Syiah sebagai pengikut Ali sudah muncul sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup
Artikel Islam:
 Sejarah Syiah: Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H
Kapan Syiah Muncul?
Syiah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam 
pertama Mazhab Syiah) sudah muncul sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup. 
Hal ini dapat dibuktikan dengan realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika Nabi Muhammad SAW mendapat perintah dari 
Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata 
kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk 
mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku 
meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia 
untuk mengikutinya kecuali Sayyidina Ali bin abi thalib a.s. Sangat 
tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan –di hari pertama ia 
memulai langkah-langkahnya– memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat
 kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya 
yang setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, 
akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak 
memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya 
sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat 
bahwa Imam Ali bin abi thalib as setelah diperkenalkan sebagai pengganti
 dan washi Nabi Muhammad SAW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang 
tidak berbeda dengan missi Nabi Muhammad SAW dan orang yang mengikutinya
 berarti ia juga mengikuti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syiah,
 Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali bin abi thalib as 
terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun 
perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan 
ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga, Imam Ali bin abi thalib as adalah
 sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan 
pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur 
di atas ranjang Nabi Muhammad SAW di malam peristiwa lailatul mabit 
ketika Nabi Muhammad SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya 
di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya 
pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya 
Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki 
oleh Imam Ali bin abi thalib as Sebuah peristiwa –yang seandainya dapat 
direalisasikan sesuai dengan kehendak Nabi Muhammad SAW– akan memberikan
 warna lain terhadap Islam.
Semua keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang 
diakui oleh Ahlussunnah bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali bin
 abi thalib as secara otomatis akan menjadikan sebagian pengikut Nabi 
Muhammad SAW yang memang mencintai kesempurnaan dan hakikat, akan 
mencintai Imam Ali bin abi thalib as dan lebih dari itu, akan menjadi 
pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian pengikutnya 
yang memang memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali bin abi thalib 
as, untuk membencinya meskipun mereka melihat ia telah berjasa dalam 
mengembangkan dan menjaga Islam dari kesirnaan.
Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki
 oleh Imam Ali bin abi thalib as, para pengikutnya meyakini bahwa ia 
adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan 
Nabi Muhammad SAW setelah ia wafat. Keyakinan ini menjadi semakin mantap
 setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum 
ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul 
Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah 
Nabi Muhammad SAW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi 
oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi 
dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Saidah guna
 menentukan khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. Dan dengan cara dan 
metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai 
khalifah pertama muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali bin abi thalib as yang hanya
 segelintir selesai mengebumikan jenazah Nabi Muhammad SAW, mereka 
mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut 
Imam Ali bin abi thalib as seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, 
Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan 
menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa
 dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: 
“Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan 
diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu. 
Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat 
muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak 
mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar 
Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak 
minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, 
mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, 
kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa 
kepemimpinan adalah hak Imam Ali bin abi thalib as setelah Nabi Muhammad
 SAW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema 
kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali bin abi thalib as untuk 
memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan 
dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap 
bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi 
yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali bin abi 
thalib as tampil aktif dalam memecahkannya.
Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah
Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin, 
banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam 
menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah 
Nabi Muhammad SAW. Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah 
dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang 
berlanjut dengan pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul 
mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat 
kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah 
berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW, penghapusan khumus dari orang-orang
 yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Nabi Muhammad
 SAW, pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal dalam azan, 
pemberian harta dan dukungan istimewa kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat
 berkuasa di Syam dengan leluasa, dan lain sebagainya, semua itu adalah 
bukti jelas penyelewengan dan kepincangan yang terjadi pada masa tiga 
khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga orang yang berpikiran
 jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat 
menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh 
oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan kinerjanya selama ia 
memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta merta memilih Imam Ali
 bin abi thalib as secara aklamasi untuk memegang tampuk khilafah. Di 
antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah Thalhah 
dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan 
kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat
 sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.
Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang 
dilontarkannya adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala 
kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Nabi Muhammad 
SAW diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian. Sekarang 
orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan harus 
memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak becus harus 
disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka dengan 
tidak benar”.
Ia mengadakan perombakan-perombakan secara besar-besaran, 
baik di bidang birokrasi maupun bidang pembagian harta baitul mal. Ia 
mengganti semua gubernur daerah yang telah ditunjuk oleh para khalifah 
sebelumnya dengan orang-orang yang layak untuk memegang tampuk tersebut 
dan membagikan harta baitul mal dengan sama rata di antara masyarakat. 
Hal ini menyebabkan sebagian sahabat sakit hati. Tentunya mereka yang 
merasa dirugikan oleh metode Imam Ali bin abi thalib as tersebut. Hal 
itu dapat kita pahami dalam peristiwa-peristiwa berdarah berikut:
Faktor utama perang Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah 
dan Zubair karena hak mereka –sebagai sahabat senior– dari harta baitul 
mal merasa dikurangi dan disamaratakan dengan masyarakat umum. Dengan 
alasan ingin menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke kota Makkah dan menemui 
A’isyah yang memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali bin abi thalib
 as demi mengajaknya memberontak atas pemerintahan yang sah. Slogan yang
 mereka gembar-gemborkan untuk menarik perhatian opini umum adalah 
membalas dendam atas kematian Utsman. Padahal, ketika Utsman dikepung 
oleh para “pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka ada di Madinah 
dan tidak sedikit pun usaha yang tampak dari mereka untuk membelanya. 
A’isyah sendiri adalah orang pertama dan paling bersemangat mensupport 
masyarakat untuk membunuhnya. Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh,
 ia mencelanya dan merasa bahagia karena itu.
Faktor utama perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah 
atas khilafah, karena ia telah disingkirkan oleh Imam Ali bin abi thalib
 as dari kursi kegubernuran Syam. Perang ini berlangsung selama 1,5 
tahun yang telah memakan banyak korban tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah 
di perang adalah membalas dendam atas kematian Utsman juga. Padahal, 
selama Utsman dalam kepungan para “pemberontak”, ia meminta bantuan dari
 Mua’wiyah yang bercokol di Syam demi membasmi mereka. Dengan satu 
pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah berangkat dari Syam ke arah Madinah. 
Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka sengaja memperlambat jalannya 
pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah mendengar Utsman terbunuh, 
mereka kembali ke Syam dan kemudian bergerak kembali menuju ke Madinah 
dengan slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah 
Shiffin.
Anehnya, ketika Imam Ali bin abi thalib as syahid dan 
Mu’awiyah berhasil memegang tampuk khilafah, mengapa ia tidak 
mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas dendam atas kematian 
Utsman”?
Setelah perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang Nahrawan
 berkecamuk. Faktornya adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang 
disulut oleh Mu’awiyah atas pemerintahan Imam Ali bin abi thalib as dan 
atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh mereka sendiri terhadap Imam 
Ali bin abi thalib as yang menghasilkan pencabutannya dari kursi 
khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi 
akhirnya, Imam Ali bin abi thalib as juga berhasil memadamkan api perang
 tersebut.
Tidak lama berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali bin 
abi thalib as syahid dengan kepala yang mengucurkan darah akibat tebasan
 pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid Kufah.
Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali bin abi thalib as
Meskipun Imam Ali bin abi thalib as tidak berhasil 
memapankan kembali situasi masyarakat Islam yang sudah bobrok itu secara
 sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia dapat dikatakan berhasil:
Pertama, dengan kehidupan sederhana yang dimilikinya, ia 
berhasil menunjukkan kepada masyarakat luas, khususnya para generasi 
baru, metode hidup Nabi Muhammad SAW yang sangat menarik dan pantas 
untuk diteladani. Hal ini berlainan sekali dengan kehidupan Mu’awiyah 
yang serba mewah. Ia a.s. tidak pernah mendahulukan kepentingan 
keluarganya atas kepentingan umum.
Kedua, dengan segala kesibukan dan problema sosial yang 
dihadapinya, ia masih sempat meninggalkan warisan segala jenis ilmu 
pengetahuan yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan dapat dijadikan 
sebagai penunjuk jalan untuk mencapai tujuan hidup insani yang 
sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu ungkapan-ungkapan pendek dalam 
berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, sosial dan keagamaan. Ia 
adalah pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama yang mengutarakan 
pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal oleh para 
filosof kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam Islam yang 
menggunakan argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan sebuah 
pembahasan filosofis.
Ketiga, ia berhasil mendidik para pakar agama Islam yang 
dijadikan sumber rujukan dalam bidang ilmu ‘irfan oleh para ‘arif di 
masa sekarang, seperti Uwais Al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam 
At-Tammar dan Rusyaid Al-Hajari.
Masa Sulit bagi Mazhab Syiah
Setelah Imam Ali bin abi thalib as syahid di mihrab 
shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang
 tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia 
malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat 
pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan 
pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta
 yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan
 a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat 
kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam
 akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan 
Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 
ma’shum a.s.)
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan 
Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., –sebagaimana layaknya para pemeran 
politik kotor– ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah 
ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak
 berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa. 
Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang 
telah sampai kepada tujuanku”.
Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali 
sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus 
kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai 
putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.
Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para 
pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang 
diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. 
Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian 
terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut 
Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada 
para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali bin abi 
thalib as Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin 
Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.
Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa 
tersulit bagi Mazhab Syiah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit 
pun kesempatan untuk bernafas.
Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan
 yang telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan 
berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku 
mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka 
terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan 
diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan 
sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan 
ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin 
menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang 
yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang
 diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan 
cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya, dan segala 
kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta 
tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan 
membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat
 sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah 
memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh, 
mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di 
atas perlu diragukan.
Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, 
putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah 
membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki 
kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa 
nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian 
“cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega 
membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih 
karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan 
kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di 
kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan 
besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga 
diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun 
ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.
Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, 
Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah 
menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari 
Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari
 dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang dari mereka pernah 
ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan untuk 
melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.
Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah 
waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan 
mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat 
menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki 
eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa 
keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari 
terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di 
berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah 
karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan 
perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. 
Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun 
kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali 
para keturunan Imam Ali bin abi thalib as karena tekanan yang dilakukan 
oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan 
melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun mengalami kekalahan– 
sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa 
eksistensi Syi’ah belum sirna.
Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah 
melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. 
Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2 
yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 
H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. 
Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan 
memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW
 tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, 
mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang 
masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian 
compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil 
memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan 
batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.
Sejarah Syiah pada Abad Ke-2 H.
Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena 
kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah 
Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini 
dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu 
Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu 
Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. 
Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka 
mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak 
mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan 
kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya 
berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk 
memberontak”.
Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani 
Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para 
keturunan Imam Ali bin abi thalib as dengan baik, dan demi membalas 
dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua 
keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para 
penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, 
mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para 
keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan para pengikut mereka serta 
orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara 
dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah 
dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh 
dengan racun dan para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dibunuh atau 
dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa 
berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi 
mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.
Sejarah Syiah pada Abad Ke-3 H.
Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah 
mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka 
dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di 
berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut:
Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani 
dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam 
bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu 
rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218
 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang 
sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari 
argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan 
kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk 
menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut 
Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan 
jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog 
dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah
 kepada khalayak ramai.
Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai 
putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan
 sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan
 ruang gerak yang relatif bebas.
Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena 
setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai 
merongrong para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan pengikut mereka
 kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas 
perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan 
tanah.
Sejarah Syiah pada Abad ke-4 H.
Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani 
Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut 
mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), 
terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk 
mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, –menurut 
pendapat para sejarawan–mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, 
Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat 
menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota 
besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota 
Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar 
mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di 
Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.
Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu 
Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam 
Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) 
melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai 
Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya, 
Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.
Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti 
Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai 
Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana.
Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di 
kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah
 dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah 
berhasil menang dengan gemilang.
Sejarah Syiah pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.
Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika 
perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika 
perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh 
kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad 
ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih 
satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan 
leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, 
Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah 
kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, 
raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di 
Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta 
dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke 
seluruh masyarakat ramai.
Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah 
dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, 
para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas 
menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal 
kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan 
Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun 
786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh 
Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena 
tuduhan mengajarkan filsafat.
Sejarah Syiah pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 
13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang 
syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin
 mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan
 para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai 
dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah 
yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari 
cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara 
yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga 
sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah
 ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab 
Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga 
semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan 
dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas 
pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H.
Sejarah Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.
Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan 
sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah 
kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas 
penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap 
negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di 
masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia 
berjumlah 300.000.000 lebih.

 
 
 
 
 
 Posts
Posts
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
No comments
Post a Comment