Fatimah menjadi murka kepada Abu Bakar. Ia pun bersumpah bahwa sampai ajal menjemputpun, Fatimah tidak mau lagi melihat wajah Abu Bakar.
Umar mencoba membakar rumah Fatimah. Wahai Al Maksum Faimah Az Zahra sikapmu adalah pedoman kami
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang meninggal dan tidak mengenal
(berbaiat) imam zamannya maka matinya , terhitung sebagai matinya orang
yang dalam keadaan jahiliah.” {Syarkh Maqashid jilid 5 halaman 239, dan
Syarkh fighi al-Akbar halaman 179 dan di kitab-kitab lain ahlu sunnah
maupun syiah.}
Rasulullah saw berkata kepada sayidah Fatimah (putrinya) :
“sesungguhnya Allah swt tidak akan mengadzabmu dan tidak akan mengadzab
satupun dari anak-anakmu” {al-Mu’jam al-Kubra jilid 11 halaman 210 dan
al-Shawaiq al-Muhriqah halaman 160 dan 235 Serta banyak dari kitab-kitab
syiah dan kitab-kitab sunni yang lain.}
Rasulullah saw bersada : “Fatimah adalah bagian dariku siapa yang
telah membuatnya marah maka telah membuatku marah” {shahih al-Bukhari
hadis ke 3510 dan di seluruh kitab-kitab sunni dan syiah}
Disebutkan di dalam shahih al-Bukhari jilid 5 halaman 177 bahwa
sayidah Fatimah setelah meminta warisan Nabi (yang merupakan haknya)
dari khalifah pertama dan khalifah tidak memberikan warisan itu, sejak
saat itu sayidah Fatimah tidak pernah lagi berbicara kepada Kalifah
pertama (Abubakar) samapai akhir hayatnya. hal ini juga disebutkan di
banyak dari buku-buku sejarah ulama’ syiah dan sunni.
Juga disebutkan di kitab-kitab ahl sunnah/sunni dan syiah bahwa
sayidah Fatimah meninggaldalam keadaan marah kepada khalifah pertama
(Abubakar) dan khalifah kedua (Umar). Dan di kitab-kitab sunni dan syiah
disebutkan bahwa sayidah Fatimah tidak mau makamnya diketahui oleh
masyarakat olehkarena itu beliau meminta suaminya(sayidina Ali ra) untuk
mekamkannya di malam hari supaya tidak ada yang mengetahui makamnya.
dan sampai sekarang pun tidak ada satupun dari muslimin yang tahu
diamana makamnya.
Point-point yang dapat diperhatikan:
* 1. Hadis diatas tentang keutamaan sayidah fatimah adalah
shahih/benar karena diriwayatkan hampir di seluruh kitab-kitab syiah dan
sunni,
* 2 .Tentang kemarahan sayidah Fatimah kepada khalifah pertama dan
kedua juga benar karena perawinya tidak cuma satu atau sepuluh akan
tetapi lebih dari itu,
* 3. Hadis tentang “orang yang tidak tahu imam zaman nya maka matinya
mati jahiliyah” juga benar karena di sunni maupun syiah ada, dari
3point diatas kita mengetahui bahwa sayidah Fatimah pasti sebelum
meninggal pasti berbaiat kepada Imam zamannya karena sayidah Fatimah
orang yang pasti masuk sorga maka pasti melakukan perintah Rasulullah
saw. dan dari 3point diatas kita dapat mengetahui bahwa sayidah Fatimah
tidak menganggap bahwa Abubakar adalah Imam zamannya, dan pasti telah
menganggap orang lain sebagai Imamnya. dan ini membuktikan bahwa
kekhalifahan Abubakar tidak dibenarkan oleh sayidah Fatimah az-zahra.
Dan kalau kita perhatikan hadis-hadis dibawah ini kita ketahui bahwa siapa yang dianggap sebagai imam oleh sayidah Fatimah.:
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang tidak berkata bahwa Ali adalah
sebaik-baik manusia maka telah kafir” {Tarikh al-Khatib al-Baghdadi
jilid 3 halaman 192 , Kanz al-Ummal jilid 11 halaman 625} Rasulullah saw
bersabda:”jika kalian menjadikan Ali sebagai pemimpin kalian-(dan aku
melihat kalian tidak melaksanakannya)-maka kalian akan menemukan bahwa
dia(Ali) adalah pemberi petunjuk yang akan menunjukkan kepada kalian
jalan yang lurus dan benar.” {musnad ahmad jilid 1 halaman 108}
Rasulullah saw bersabda : “siapa yang menaatiku maka telah menaati
Allah swt, dan siapa yang melanggar perintahku maka telah melanggar
perintah Allah,dan siapa yang menaati Ali maka telah menaatiku, dan
siapa yang telah melanggar perintahnya maka telah melanggar perintahku.”
{mustadrak Hakim jilid 3 halaman 121}
Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Ali adalah kota hidayah, maka
barangsiapa yang masuk ke dalam kota tersebut akan selamat dan siapa
yang meninggalkannya akan celaka dan binasa.”
{Yanabi’ al-Mawaddah jilid 1 halaman 220 hadis ke 39}
Benarkah Riwayat Sayyidah Fathimah Marah Kepada Abu Bakar Adalah Idraaj Az Zuhriy?
Tulisan ini kami buat sebagai bantahan bagi para nashibi yang tidak
henti-hentinya menyelewengkan sejarah demi menjaga kesalahan sebagian
sahabat. Sangat masyhur dalam kitab shahih dan sirah bahwa Sayyidah
Fathimah marah kepada Abu Bakar ketika Abu Bakar menolak tuntutannya
atas warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disebutkan bahwa
Sayyidah Fathimah tidak mau berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau
wafat bahkan disebutkan pula Beliau berwasiat agar dimakamkan pada malam
hari sehingga Abu Bakar tidak menshalatkannya.
Nashibi yang risih dengan kabar seperti itu [terutama sangat risih
jika kabar itu dijadikan hujjah oleh Syiah] membuat syubhat wat talbiis
yang intinya menunjukkan bahwa riwayat marahnya Fathimah pada Abu Bakar
adalah idraaj [sisipan] dari Az Zuhriy maka kedudukannya dhaif.
Pernyataan nashibi itu sangat tidak benar dan inilah pembahasannya.
.
Riwayat Shaalih bin Kaisaan Dari Az Zuhriy
أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ، مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لا نُوَّرَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ
Telah mengabarkan kepada kami Ya’qub bin Ibrahiim bin Sa’d Az
Zuhriy dari ayahnya dari Shaalih bin Kaisaan dari Ibnu Syihaab yang
berkata telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah istri
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa Fathimah
binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya kepada Abu
Bakar setelah wafatnya Rasulullah tentang bagian warisannya yang
ditinggalkan Rasulullah dari harta fa’i yang dikaruniakan Allah kepada
Beliau. Abu Bakar berkata kepadanya “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] bersabda “kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan
adalah sedekah” maka Fathimah menjadi marah dan ia hidup setelah
wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan
[Thabaqat Ibnu Sa’ad 8/256-257]
Terlihat jelas dalam riwayat di atas bahwa lafaz marahnya Fathimah
adalah bagian dari perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Hal ini juga
disebutkan dalam Shahih Bukhari no 3092-3093 dan Sunan Baihaqiy
6/300-301 no 12734.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبِي ، عَنْ صَالِحٍ ، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ : أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا ، مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ عَلَيْهَا ذَلِكَ ، وَقَالَ : لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ ، إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ ، وَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ ، فَأَمَّا صَدَقَتُهُ بِالْمَدِينَةِ فَدَفَعَهَا عُمَرُ إِلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ ، فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا عَلِيٌّ ، وَأَمَّا خَيْبَرُ ، وَفَدَكُ ، فَأَمْسَكَهُمَا عُمَرُ ، وَقَالَ : هُمَا صَدَقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَانَتَا لِحُقُوقِهِ الَّتِي تَعْرُوهُ ، وَنَوَائِبِهِ ، وَأَمْرُهُمَا إِلَى مَنْ وَلِيَ الْأَمْرَ ، قَالَ : فَهُمَا عَلَى ذَلِكَ الْيَوْمَ
Faathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah
meminta kepada Abu Bakr setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] agar membagi untuk-nya bagian harta warisan yang ditinggalkan
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari harta fa’i yang Allah
karuniakan kepada beliau. Abu Bakr berkata kepadanya
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah bersabda “Kami tidak
mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya shadaqah”. Faathimah
binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pun marah dan kemudian
meng-hajr Abu Bakr. Ia terus dalam keadaan seperti itu hingga wafat.
[qaala] dan ia hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam]. [qaala] “Fathimah pernah meminta Abu
Bakr bagian dari harta yang ditinggalkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] berupa tanah di Khaibar dan di Fadak dan shadaqah beliau di
Madinah namun Abu Bakr mengabaikannya dan berkata Aku tidak akan
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang pernah dikerjakan Rasulullah
melainkan akan aku kerjakan. Sungguh aku takut menjadi sesat jika
meninggalkan apa yang diperintahkan beliau. Adapun shadaqah beliau di
Madinah telah diberikan oleh ‘Umar kepada ‘Ali dan ‘Abbas, sementara
tanah di Khaibar dan Fadak telah dipertahankan oleh ‘Umar dan
mengatakannya bahwa keduanya adalah shadaqah Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] yang hak-haknya akan diberikan kepada yang mengurus
dan mendiaminya sedangkan urusannya berada di bawah keputusan pemimpin”.
[qaala] “dan keadaannya tetap seperti itu hingga hari ini” [Musnad
Ahmad 1/6 no 25]
Menurut nashibi lafaz “dan ia hidup selama enam bulan sepeninggal
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” bukan lafaz dari Aisyah
mereka berhujjah dengan riwayat Ahmad di atas yang menunjukkan bahwa
lafaz tersebut diucapkan setelah lafaz [qaala]. Lafaz qaala berarti
perawi laki-laki berkata karena kalau perempuan [Aisyah] lafaznya adalah
qaalat. Lafaz [qaala] ini juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim no 1758
dan Mustakhraj Abu Awanah 4/250 no 6677.
Jika kita menuruti hujjah nashibi bahwa lafaz setelah lafaz [qaala]
berarti itu idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki bukan dari Aisyah
maka itu berarti lafaz sebelum lafaz [qaala] adalah perkataan Aisyah.
Maka lafaz
فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ
Faathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pun
marah dan kemudian meng-hajr Abu Bakr. Ia terus dalam keadaan seperti
itu hingga wafat
Adalah lafaz perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Maka dengan hujjah
nashibi itu sendiri dibuktikan bahwa riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az
Zuhriy menetapkan lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar adalah tsabit
dari Aisyah [radiallahu ‘anha]
Tetapi benarkah apa yang dikatakan oleh nashibi bahwa lafaz [qaala]
itu bermakna perawi laki-laki yang berkata bukan Aisyah [radiallahu
‘anha]. Untuk melihat lebih jelas maka kita harus memperhatikan
satu-persatu riwayat tersebut. Kami mengutip riwayat tersebut hanya dari
lafaz hadis Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan karena bagian itu termasuk lafaz Aisyah
Riwayat Ibnu Sa’ad
لا نُوَّرَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُر
Riwayat Ahmad
” لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ
Riwayat Muslim
لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكٍ وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ
Riwayat Abu Awanah
لا نُوَرَّثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتُهُ بِالْمَدِينَةِ
Riwayat Baihaqiy
لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَةً لَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : فَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكٍ وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ
Riwayat Bukhariy
لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَتْ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكٍ وَصَدَقَتَهُ بِالْمَدِينَةِ
Jika kita perhatikan lafaz riwayat-riwayat di atas terutama pada lafaz yang diawali dengan kata [qaala] maka didapat keterangan
- Riwayat marahnya Fathimah kepada Abu Bakar disebutkan oleh Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal, Baihaqiy dan Bukhariy dimana mereka semua menyebutkan lafaz itu sebagai bagian dari lafaz Aisyah karena terikat dengan lafaz hadis Abu Bakar dan diucapkan sebelum lafaz [qaala] [kecuali riwayat Ibnu Sa’ad yang tidak ada lafaz qaala]`
- Riwayat dengan lafaz “Fathimah hidup enam bulan setelah Rasulullah wafat” disebutkan oleh Muslim dan Abu Awanah setelah lafaz [qaala] tetapi dalam riwayat Baihaqiy lafaz tersebut masuk dalam lafaz Aisyah yaitu sebelum lafaz [qaala]
- Riwayat dengan lafaz dimana Fathimah meminta kepada Abu Bakar peninggalan khaibar, fadak dan shadaqah di madinah disebutkan Ahmad, Muslim, Abu Awanah dan Baihaqiy setelah lafaz [qaala] tetapi dalam riwayat Bukhariy lafaz tersebut adalah lafaz Aisyah karena dimulai dengan lafaz [qaalat]
Jika kita menuruti anggapan nashibi bahwa lafaz qaala bermakna perawi
laki-laki berkata bukan perkataan Aisyah maka nampak terjadi kekacauan
padahal hadis itu berujung pada perawi yang sama. Maka disini terdapat
faedah bahwa lafaz qaala itu bermakna perawi hadis melanjutkan hadis
perkataan Aisyah, sehingga pada dasarnya lafaz qaala bermakna sama
dengan lafaz qaalat. Bukti shahihnya adalah riwayat Bukhari yaitu lafaz “Fathimah meminta kepada Abu Bakar peninggalan khaibar, fadak dan shadaqah di madinah”
adalah perkataan Aisyah dengan lafaz qaalat dimana pada riwayat Ahmad,
Muslim, Baihaqiy dan Abu Awanah itu disebutkan dengan lafaz qaala.
.
.
Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah Dari Az Zuhriy
Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah disebutkan dalam Shahih Ibnu Hibban
11/152 no 4823 [riwayat Utsman bin Sa’id Ad Daarimiy] dan Sunan Baihaqi
6/300 no 1273 dan Ad Dalaail Baihaqiy 7/279, Musnad Asy Syamiyyin
Thabraniy 4/198-199 no 3097 semuanya [riwayat Abul Yamaan] dengan lafaz
yang menyebutkan kemarahan Fathimah terhadap Abu Bakar dan
mensibatkannya pada perkataan Aisyah
قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، إِنَّمَا كَانَ يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ يَعْنِي مَالَ اللَّهِ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ صَدَقَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ
‘Aaisyah berkata Lalu Abu Bakr berkata : “Sesungguhnya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi
dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga
Muhammad makan dari harta ini – yaitu harta Allah yang tidak ada
tambahan bagi mereka selain dari yang dimakan. Dan sesungguhnya aku,
demi Allah, tidak akan mengubah shadaqah-shadaqah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dari keadaan semua yang ada di jaman Nabi shallallaahu
‘alahi wa sallam. Dan sungguh aku memperlakukan shadaqah tersebut
seperti yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
padanya”. Maka Abu Bakr enggan memberikan harta peninggalan tersebut
sedikitpun pada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada
Abu Bakr, lalu ia pun meng-hajr-nya dan tidak mengajaknya bicara hingga
wafat. Dan Faathimah hidup setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam selama enam bulan [Musnad Asy Syamiyyin Thabraniy
4/198-199 no 3097].
Kemudian disebutkan riwayat Bukhari dalam Tarikh Ash Shaghiir bahwa
lafaz “Fathimah hidup setelah wafat Nabi selama enam bulan” diucapkan
setelah lafaz [qaala].
حدثنا أبو اليمان انا شعيب عن الزهري أخبرني عروة بن الزبير عن عائشة فذكر الحديث قال وعاشت فاطمة بعد النبي صلى الله عليه وسلم ستة أشهر ودفنها علي
Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah
menceritakan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah
mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah lalu menyebutkan
hadis, [qaala] “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy [Tarikh
Ash Shaghiir juz 1 no 116]
Nashibi berhujjah dengan riwayat Bukhari bahwa perkataan “Fathimah
hidup enam bulan” adalah idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah.
Hal ini disebabkan lafaz itu diucapkan setelah lafaz [qaala] yang
berarti perawi laki-laki berkata.
Sebenarnya dengan hujjah nashibi ini maka lafaz yang diucapkan
sebelum lafaz qaala adalah lafaz Aisyah. Jadi dengan hujjah nashibi
tersebut lafaz kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar adalah perkataan
Aisyah.
Tetapi benarkah demikian seperti yang dikatakan Nashibi bahwa lafaz
“Fathimah hidup selama enam bulan” adalah bukan milik Aisyah tetapi
idraaj [sisipan] perawi laki-laki sebelum Aisyah. Ada baiknya
diperhatikan riwayat berikut
حدثنا محمد بن عوف حدثنا عثمان بن سعيد حدثنا شعيب بن أبي حمزة عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله ص بعد رسول الله ص ستة اشهر
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Sa’iid yang berkata telah
menceritakan Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari
Aisyah yang berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafat
Rasulullah selama enam bulan” [Adz Dzuriyat Ath Thaahirah Ad Duulabiy
hal 110]
Muhammad bin ‘Auf bin Sufyaan Ath Thaa’iy seorang yang tsiqat. Abu
Hatim berkata “shaduq”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban
memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khallal berkata “imam hafizh pada
zamannya” [At Tahdzib juz 9 no 634]. Ibnu hajar berkata “tsiqat hafizh”
[At Taqrib 2/121].
أخبرناه أبو الحسين بن الفضل القطان أخبرنا عبد الله بن جعفر حدثنا يعقوب بن سفيان حدثنا أبو اليمان قال أخبرناشعيب قال وأخبرنا الحجاج بن أبي منيع حدثنا جدي جميعا عن الزهري قال حدثنا عروة أن عائشة أخبرته قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله بعد وفاة رسول الله ستة أشهر
Telah mengabarkan kepada kami Abu Husain bin Fadhl Al Qaththaan
yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far yang
berkata telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Sufyaan yang berkata
telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah
mengabarkan kepada kami Syu’aib, [Yaqub berkata] dan mengabarkan kepada
kami Hajjaaj bin Abi Manii’ yang berkata telah menceritakan kakekku,
semuanya dari Az Zuhriy yang berkata telah menceritakan kepada kami
Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya berkata “Fathimah binti
Rasulullah hidup setelah wafatnya Rasulullah selama enam bulan” [Ad
Dalaa’il Baihaqiy 6/366]
Abu Husain bin Fadhl Al Qaththaan adalah syaikh alim tsiqat musnad
[As Siyaar Adz Dzahabiy 17/331]. Abdullah bin Ja’far adalah imam
‘allamah tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 15/532]. Yaqub bin Sufyaan Al
Fasawiy seorang tsiqat hafizh [At Taqrib 2/337]
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ، ثنا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ ، ثنا أَبُو الْيَمَانِ ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : ” تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ ، وَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ahmad yang berkata
telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah Ad Dimasyiq yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan
kepada kami Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah
yang berkata “Fathimah wafat enam bulan setelah wafat Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Ali menguburkannya pada waktu malam”
[Hilyatul Auliya 2/42]
Sulaiman bin Ahmad adalah Ath Thabraniy imam hafizh tsiqat [As Siyaar
Adz Dzahabiy 16/120]. Abu Zur’ah Ad Dimasyiq adalah seorang yang tsiqat
hafizh [At Taqrib 1/584]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa hadis Utsman bin Sa’id dan
Abul Yamaan dari Az Zuhriy menyatakan bahwa lafaz “Fathimah hidup enam
bulan” adalah bagian dari lafaz Aisyaah. Maka disini terdapat faedah
bahwa lafaz [qaala] yang dibawakan Bukhari itu bermakna perawi
melanjutkan perkataan Aisyah bukan idraaj [sisipan] perawi tersebut.
.
.
Riwayat Uqail bin Khaalid Dari Az Zuhriy
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 1/9-10 no 55 dengan matan
yang mengandung lafaz Fathimah marah kepada Abu Bakar kemudian
diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya no 4240-4241, Ibnu Hibban
dalam Shahih-nya 14/573-574 no 6607 dan Ath Thahawiy dalam Syarh Musykil
Al Atsaar no 143 dengan lafaz Fathimah marah kepada Abu bakar tidak
berbicara pada Abu Bakar sampai wafat dan ia hidup enam bulan setelah
wafat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Berikut lafaz Bukhari
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ، وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ
Dari ‘Aisyah Bahwa Faathimah [‘alaihassalaam] binti Rasulillah
[shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus utusan kepada Abu Bakr untuk
meminta kepadanya bagian harta warisan dari Rasulullah [shallallaahu
‘alaihi wa sallam] dari harta fai’ di Madinah, Fadak, dan sisa harta
khumus Khaibar. Maka Abu Bakar berkata “Sesungguhnya Rasulullah
[shallallaahu ‘alaihi wa sallam] pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi
dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Hanyalah keluarga
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini.
sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah
Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di
zaman Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan
memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan
Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] padanya”. Abu Bakar pun
menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada
Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakr dan
meng-hajr-nya. Ia tidak berbicara kepada Abu Bakr hingga wafat. Dan ia
hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa
sallam] [Shahih Bukhari no 4240]
Kemudian disebutkan dalam Shahih Muslim dengan sanad dari La’its bin
Sa’d dari Uqail bahwa lafaz dimana Fathimah tidak berbicara kepada Abu
Bakar sampai wafat terletak setelah lafaz [qaala]
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا ، الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا ، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِي
Maka Abu Bakar berkata “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu
‘alaihi wa sallam] pernah bersabda‘Kami tidak diwarisi dan semua yang
kami tinggalkan adalah shadaqah’. Keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wa sallam hanya makan dari harta ini. Dan sesungguhnya aku demi Allah
tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi
wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman Rasulullah [shallallaahu
‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut
sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam padanya”. Abu Bakar pun menolak memberikan harta peninggalan
tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun
marah kepada Abu Bakar. [qaala]“Ia meng-hajr Abu Bakr dan tidak
berbicara kepadanya hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah
wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] ketika ia wafat suaminya
Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar dan
Ali yang menshalatkannya. [Shahih Muslim no 1759]
Nashibi berhujjah dengan riwayat Muslim bahwa lafaz Fathimah tidak
berbicara pada Abu Bakar, hidup selama enam bulan setelah Nabi wafat dan
ketika wafat Ali menguburkannya di waktu malam adalah idraaj [sisipan]
dari perawi laki-laki bukan perkataan Aisyah.
Jika kita menuruti hujjah nashibi di atas itu berarti lafaz sebelum
[qaala] adalah perkataan Aisyah maka lafaz “Fathimahpun marah kepada Abu
Bakar karenanya” adalah lafaz Aisyah. Tetapi benarkah demikian seperti
yang dikatakan nashibi bahwa lafaz [qaala] adalah idraaj perawi
laki-laki.
أخبرنا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد بن يحيى ، وأبو الحسين بن يعقوب الحافظ قالا : ثنا أبو العباس محمد بن إسحاق ، ثنا قتيبة بن سعيد ، ثنا الليث ، عن عقيل ، عن الزهري ، عن عروة ، عن عائشة قالت : دفنت فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ليلا ، دفنها علي ، ولم يشعر بها أبو بكر رضي الله عنه حتى دفنت وصلى عليها علي بن أبي طالب رضي الله عنه
Telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaaq Ibrahiim bin Muhammad
bin Yahya dan Abu Husain bin Ya’quub Al Haafizh keduanya berkata telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad bin Ishaaq yang berkata
telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah
menceritakan kepada kami Laits dari Uqail dari Az Zuhriy dari Urwah dari
Aisyah yang berkata “Fathimah dikuburkan di waktu malam, dikuburkan
oleh Aliy dan tidak memberitahu Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] sampai ia
dikuburkan, dan Ali [radiallahu ‘anhu] yang menshalatkannya [Mustadrak
Al Hakim no 4764]
Abu Ishaaq Ibrahim bin Muhammad bin Yahya Al Muzakkiy seorang yang
dikatakan Al Khatib tsiqat tsabit [Tarikh Baghdad 6/168]. Abul Husain
bin Ya’qub Al Hafizh adalah imam hafizh, Al Hakim berkata “ahli ibadah
shalih shaduq tsabit” [As Siyaar Adz Dzahabiy 16/242]. Abu ‘Abbas
Muhammad bin Ishaaq Ats Tsaqafiy adalah imam hafizh tsiqat syaikh islam
[As Siyaar Adz Dzahabiy 14/389]. Qutaibah bin Sa’id adalah perawi
Bukhari Muslim yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/27]. Perhatikan riwayat
Muslim dengan lafaz
قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِي
Telah dibuktikan di atas bahwa bagian terakhir lafaz Muslim yaitu
“ketika ia [Sayyidah Fathimah] wafat suaminya Ali menguburkannya di
waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar dan Ali yang
menshalatkannya” adalah perkataan Aisyah padahal lafaz itu disebutkan
Muslim setelah lafaz qaala. Disini terdapat faedah bahwa lafaz qaala
dalam riwayat Muslim bukan bermakna idraaj [sisipan] perawi melainkan
bermakna perawi berkata melanjutkan perkataan Aisyah. Inilah yang
dipahami dengan menyatukan riwayat Al Hakim dan riwayat Muslim dan hal
ini bersesuaian dengan riwayat Bukhari, Ibnu Hibban dan Thahawiy yang
menjadikan keseluruhan lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah.
.
.
Riwayat Ma’mar bin Raasyid Dari Az Zuhriy
Diriwayatkan dalam Mushannaf Abdurrazaaq 5/472-472 no 9774, Tarikh
Ath Thabariy no 935, Mustakhraj Abu Awanah no 6679, Sunan Baihaqiy 6/300
no 12732 dengan jalan sanad dari ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Az Zuhriy
dimana lafaz kemarahan Sayyidah Fathimah kepada Abu Bakar disebutkan
setelah lafaz [qaala]
فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ ، إِلا صَنَعْتُهُ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ
Maka Abu Bakar berkata kepada keduanya “Aku mendengar Rasulullah
[shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua
yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad
[shallallaahu ‘alaihi wa sallam] makan dari harta ini. Dan sesungguhnya
demi Allah aku tidak akan meninggalkan perkara yang aku lihat
melakukannya, kecuali aku akan melakukannya juga”. [qaala] “Maka dalam
hal itu Faathimah meng-hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya
hingga wafat, maka Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak
memberitahukan kepada Abu bakar [Mushannaf 'Abdurrazaq no 9774]
Nashibi berhujjah dengan riwayat ini bahwa lafaz kemarahan Fathimah
kepada Abu Bakar adalah idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki bukan
dari Aisyah. Untuk menilai validitas hujjah nashibi ini mari kita
perhatikan satu-persatu riwayat tersebut yang mengandung lafaz [qaala]
Riwayat Ath Thabariy [jalan sanad dari Abu Shaalih Ad Dhiraariy dari Abdurrazaaq]
قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ . وَكَانَ لِعَلِيٍّ وَجْهٌ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ
Riwayat Abu Awanah [dengan jalan sanad dari Adz Dzuhliy, Muhammad bin
Aliy Ash Shan’aniy dan Ishaaq Ad Dabariy dari ‘Abdurrazaaq]
قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا وَلَمْ يؤَذِّنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ وَجْهُ حَيَاةِ فَاطِمَةَ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ
Riwayat Baihaqiy [dengan jalan sanad dari Ahmad bin Manshuur dari ‘Abdurrazaaq]
قَالَ : فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَجَرَتْهُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قالتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : فَكَانَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنَ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا انْصَرَفَ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ
Riwayat ‘Abdurrazaaq dalam Al Mushannaf
قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ حَظْوَةٌ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ
Perhatikan dalam riwayat Ath Thabariy lafaz Fathimah hidup enam bulan
sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah bagian
dari lafaz [qaala] sedangkan pada riwayat Abu Awanah dan Abdurrazaaq
[dalam Al Mushannaf] lafaz tersebut adalah perkataan Aisyah. Maka disini
terdapat faedah bahwa lafaz [qaala] itu bermakna perawi melanjutkan
perkataan Aisyah artinya sama dengan lafaz [qaalat] bukan idraaj
[sisipan] dari perawi laki-laki.
Lantas bagaimana dengan lafaz kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar dan
dikuburkannya oleh Ali di waktu malam tanpa memberitahu Abu Bakar.
Untuk lebih jelasnya silakan perhatikan riwayat berikut
قَالَتْ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ , فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ , فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا , وَلَمْ يُؤْذَنَ بِهَا أَبُو بَكْرٍ , قَالَتْ : فَكَانَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَجْهٌ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا , فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ , فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ تُوُفِّيَتْ
Riwayat dengan lafaz [qaalat] ini disebutkan oleh Abu Bakar Al
Marwaziy dalam Musnad Abu Bakar no 38 dan Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al
Kabiir 1/90 dengan jalan sanad Abu Bakar bin Zanjawaih dari
‘Abdurrazaaq. Abu Bakar bin Zanjawaih seorang yang tsiqat [At Taqrib
2/107].
Maka riwayat ini menguatkan apa yang kami katakan sebelumnya bahwa
lafaz [qaala] bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah sehingga
lafaz [qaala] dan [qaalat] adalah sama, tidak ada penyelisihan seperti
yang dikatakan oleh nashibi.
Nashibi mengatakan bahwa Abu Bakar bin Zanjawaih menyelisihi jamaah
tsiqat dari ‘Abdurrazaq yaitu Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Rafi’,
Abd bin Humaid, Abu Shalih Adh Dhiraariy, Ahmad bin Manshuur Ar
Ramaadiy, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy dan Ishaq bin Ibrahim Ad
Dabariy.
Pernyataan nashibi itu patut diberikan catatan, riwayat Ishaq bin
Rahawaih, Muhammad bin Rafi’ dan Abd bin Humaid disebutkan oleh Muslim
dalam Shahih-nya secara ringkas tanpa ada penegasan apakah lafaz yang
digunakan adalah [qaala] atau [qaalat]. Jika dikatakan ia mengikut
riwayat Uqail maka telah berlalu pembahasannya di atas bahwa riwayat
Uqail menetapkan kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar sebagai lafaz
Aisyah.
Maka tersisalah empat perawi tsiqat yang dikatakan nashibi itu
menyelisihi Abu Bakar bin Zanjawaih. Ternyata Abu Bakar bin Zanjawaih
tidaklah menyendiri. Perhatikan riwayat berikut
عبد الرزاق، عن معمر، عن عروة، عن عائشة: أن عليا دفن فاطمة ليلا، ولم يؤذن بها أبا بكر
‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Urwah dari Aisyah bahwa Aliy
menguburkan Fathimah di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar
[Mushannaf ‘Abdurrazaaq 3/521 no 6556]
حدثنا إسحاق عن عبد الرزاق عن معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة أن علياً دفن فاطمة ليلاً ولم يؤذن بها أبابكر
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq dari ‘Abdurrazaaq dari
Ma’mar dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah bahwa Aliy menguburkan
Fathimah di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar [Al Awsath Ibnu
Mundzir no 3144].
حدثنا إسحاق بن إبراهيم الدبري عن عبد الرزاق عن معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن عليا دفن فاطمة ليلا
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibrahim Ad Dabariy dari
‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Zuhriy dari Urwah dari Aisyah [radiallahu
‘anha] bahwa Ali menguburkan Fathimah di waktu malam [Mu’jam Al Kabir
Thabraniy 22/398]
Ishaaq bin Ibraahim Ad Dabariy termasuk perawi yang meriwayatkan
hadis tersebut dengan lafaz [qaala] tetapi ia sendiri menjadikan lafaz
tersebut sebagai perkataan Aisyah. Dan ‘Abdurrazaaq sendiri dalam
kitabnya Al Mushannaf menjadikan lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah
padahal ia menuliskan dalam kitabnya lafaz [qaala]. Maka benarlah
seperti yang kami katakan bahwa riwayat ‘Abdurrazaaq baik dengan lafaz
[qaala] maupun [qaalat] bermakna sama yaitu menetapkan lafaz tersebut
adalah perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha]
.
.
.
Sekarang mari kita sederhanakan pembahasan panjang di atas mengenai
jalan periwayatan Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah tentang kisah
marahnya Fathimah
- Riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat]
- Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat]
- Riwayat Uqail bin Khaalid dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat]
- Riwayat Ma’mar bin Raasyid dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat]
Kesimpulan dengan mengumpulkan semua riwayat di atas bahwa lafaz
marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat adalah
perkataan Aisyah bukan idraaj dari Az Zuhriy.
Nashibi berkata bahwa yang menguatkan lafaz tersebut sebagai idraaj Az Zuhriy adalah riwayat Baihaqiy yang memuat lafaz berikut
قَالَ مَعْمَرٌ: قُلْتُ لِلزُّهْرِيِّ: كَمْ مَكَثَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سِتَّةَ أَشْهُرٍ، فقَالَ رَجُلٌ لِلزُّهْرِيِّ: فَلَمْ يُبَايِعْهُ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى مَاتَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا؟، قَالَ: وَلا أَحَدٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ
Ma’mar berkata Aku bertanya kepada Az-Zuhriy “Berapa lama
Faathimah hidup sepeninggal Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]?”.
Az-Zuhriy berkata “Enam bulan”. Seorang laki-laki berkata kepada
Az-Zuhriy“ Apakah ‘Aliy [radliyallaahu ‘anhu] tidak berbaiat kepadanya
[Abu Bakr] hingga Faathimah [radliyallaahu ‘anhaa] wafat?”. Az-Zuhriy
berkata “Tidak seorang pun dari Baani Haasyim yang berbaiat” [Sunan
Baihaqiy 6/300 no 12732]
Dan Al Baihaqi berkomentar bahwa lafaz penundaan baiat Ali terhadap
Abu Bakar adalah munqathi’ [terputus] karena berasal dari perkataan Az
Zuhriy. Maka Nashibi berkata begitu pula dengan lafaz semisal marahnya
Fathimah dan pemboikotannya kepada Abu Bakar juga munqathi’ karena
berasal dari perkataan Az Zuhriy.
Tentu saja pernyataan ini keliru. Jawaban Az Zuhriy atas pertanyaan
Ma’mar ia ucapkan karena ia sendiri telah mendengar dari Urwah hadis
Aisyah perihal Fathimah hidup enam bulan sepeninggal Nabi serta tidak
berbaiatnya Ali kepada Abu Bakar sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah
dalam kitab Shahih. Jadi statusnya disini adalah perkataan sang perawi
[Az Zuhriy] berdasarkan hadis Aisyah yang ia riwayatkan.
Perkataan Ma’mar di atas adalah kutipan Baihaqiy dalam riwayat
‘Abdurrazaaq dan ‘Abdurrazaaq sendiri dalam Al Mushannaf menuliskan
bahwa Fathimah hidup enam bulan sepeninggal Nabi sebagai lafaz Aisyah
قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ حَظْوَةٌ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ
Pernyataan Fathimah hidup sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] selama enam bulan adalah berdasarkan perkataan Aisyah dan Az
Zuhriy mengatakannya enam bulan bukan dari pendapatnya sendiri tetapi
dari hadis yang ia dengar dan ia riwayatkan. Begitu pula halnya dengan
penundaan baiat Ali kepada Abu Bakar berasal dari hadis yang ia dengar.
Jadi tidak ada hujjah untuk menjadikan perkataan Az Zuhriy itu sebagai
bukti idraaj
.
.
.
Penggunaan Lafaz [qaala] Dalam Hadis ‘Aisyah
Syubhat model seperti ini yaitu [idraaj Az Zuhriy] dengan
mengandalkan lafaz [qaala] adalah syubhat khas ala nashibi yang
menunjukkan kelemahan dalam ilmu atau gelap mata karena kebencian dan
hawa nafsu. Perkara hadis atau atsar dari Aisyah dengan terselip lafaz
[qaala] pada hadisnya adalah perkara ma’ruf dalam hadis-hadis Aisyah.
Berikut akan kami berikan contohnya.
.
Hadis Pertama
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو المنذر ثنا مالك عن الفضيل بن أبي عبد الله عن عبد الله بن نيار الأسلمي عن عروة عن عائشة ان رجلا اتبع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال اتبعك لأصيب معك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم تؤمن بالله ورسوله قال لا قال فإنا لا نستعين بمشرك قال فقال له في المرة الثانية تؤمن بالله ورسوله قال نعم فانطلق فتبعه
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata tel;ah
menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abul Mundzir yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik dari
Fudhail bin Abi ‘Abdullah dari ‘Abdullah bin Niyaar Al Aslamiy dari
Urwah dari Aisyah bahwa seorang laki-laki mengikuti Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] ia berkata “aku ingin mengikutimu dan
memenangkan perang bersamamu”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
berkata “apakah engkau beriman pada Allah dan Rasul-Nya?”. Ia menjawab
“tidak”. Beliau berkata “kami tidak meminta bantuan orang musyrik”.
[qaala] maka Rasulullah berkata kepadanya pada kedua kalinya “apakah
engkau beriman pada Allah dan Rasul-Nya?”. Ia menjawab “Ya”. Rasulullah
berkata “pergilah turut berperang” maka ia mengikutinya [Musnad Ahmad
6/67 no 24431 shahih dengan syarat Muslim]
Perhatikan lafaz “qaala faqaala lahuu” yang artinya perawi berkata
[qaala] : maka Beliau [Rasulullah] berkata kepadanya”. Bukankah ini
adalah hadis dari Aisyah lantas siapakah yang sedang berkata “maka
Beliau [Rasulullah] berkata kepadanya”, tidak lain itu adalah Aisyah.
Tetapi mengapa dipakai lafaz [qaala], apakah itu berarti idraaj dari
perawi sebelum Aisyah?. Jelas tidak, lafaz [qaala] menunjukkan bahwa
perawi melanjutkan perkataan atau cerita Aisyah. Kisah lebih panjang
hadis Aisyah di atas dapat dilihat dalam riwayat berikut
عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل بدر فلما كان بحرة الوبرة أدركه رجل قد كان يذكر منه جرأة ونجدة ففرح أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم حين رأوه فلما أدركه قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم جئت لأتبعك وأصيب معك قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم تؤمن بالله ورسوله قال لا قال فارجع فلن أستعين بمشرك قالت ثم مضى حتى إذا كنا بالشجرة أدركه الرجل فقال له كما قال أول مرة فقال له النبي صلى الله عليه وسلم كما قال أول مرة قال فارجع فلن أستعين بمشرك قال ثم رجع فأدركه بالبيداء فقال له كما قال أول مرة تؤمن بالله ورسوله قال نعم فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم فانطلق
Dari ‘Aisyah istri Nabi [shallallaahu ‘alaihi wasallam] bahwa ia
berkata Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] keluar menuju Perang
Badar. Setelah sampai di Harratul Wabarah Beliau ditemui oleh seorang
laki-laki yang terkenal pemberani. Maka para shahabat Rasulullah merasa
senang ketika melihat laki-laki itu. Setelah dia menemui Rasulullah
[shallallaahu ‘alaihi wasallam] dia berkata kepada beliau “Saya datang
untuk mengikutimu dan memenangkan perang bersamamu”. Rasulullah bertanya
“Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Dia menjawab
“Tidak”. Beliau berkata “Kembalilah, karena aku tidak akan meminta
bantuan kepada orang musyrik”. Aisyah berkata kemudian laki-laki itu
pergi. Setelah sampai di sebuah pohon, Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi
wasallam] ditemui lagi oleh laki-laki itu. Lalu, dia mengatakan seperti
apa yang dikatakan sebelumnya. Maka Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi
wasallam] bertanya seperti apa yang beliau tanyakan sebelumnya. Beliau
berkata “Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada orang
musyrik”. [qaala] kemudian laki-laki itu pergi. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam ditemui lagi oleh laki-laki itu di Baidaa’, lalu Beliau
bertanya sebagaimana pertanyaan sebelumnya “Apakah kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya ?”. Laki-laki itu menjawab “Ya”. Maka Rasulullah
[shallallaahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada laki-laki itu “Pergilah
turut berperang” [Shahih Muslim no 1817]
Perhatikan lafaz yang kami cetak biru, hadis di atas bersumber dari
satu orang yaitu Aisyah tetapi dalam riwayat Muslim lafaz [qaalat] dan
[qaala] digunakan dalam penceritaan Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa
kedua lafaz tersebut bermakna sama. Dan perhatikan apa yang ditulis
Baihaqiy tentang kisah yang sama dalam Sunan Al Kubra 9/63 no 17877
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : لَمَّا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ بَدْرٍ ، فَلَمَّا كَانَ بِحَرَّةِ الْوَبَرَةِ أَدْرَكَهُ رَجُلٌ قَدْ كَانَ يَذْكُرُ مِنْهُ جُرْأَةً وَنَجْدَةً ، فَفَرِحَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَأَوْهُ ، فَلَمَّا أَدْرَكَهُ ، قَالَ : ” يَا رَسُولَ اللَّهِ ، جِئْتُ لأَتِّبِعَكَ وَأُصِيبَ مَعَكَ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَالَ : لا ، قَالَ : فَارْجِعْ , فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ ، قَالَ : ثُمَّ مَضَى ، حَتَّى إِذَا كَانَتِ الشَّجَرَةُ أَدْرَكَهُ الرَّجُلُ ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ ، قَالَ : فَارْجِعْ , فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ ، قَالَ : ثُمَّ رَجَعَ فَأَدْرَكَهُ بِالْبَيْدَاءِ ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَانْطَلِقْ “
Baihaqiy menggunakan lafaz [qaala] dalam riwayat di atas padahal dari
awal digunakan lafaz [qaalat] atau Aisyah berkata. Kemudian perhatikan
lafaz “kemudian laki-laki itu pergi, setelah sampai di sebuah pohon”
dalam riwayat Muslim digunakan lafaz [qaalat] tetapi dalam riwayat
Baihaqiy digunakan lafaz [qaala]. Disini terdapat faedah bahwa lafaz
[qaala] dan [qaalat] bermakna sama. Apakah ini dikatakan idraaj
[sisipan] dari perawi?. Tentu mereka yang punya pemahaman akan menjawab
tidak, tetapi para nashibi telah dikenal sebagi kaum yang hampir-hampir
tidak mengerti pembicaraan.
.
.
Hadis Kedua
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْه أَنَّ بَرِيرَةَ جَاءَتْ تَسْتَعِينُهَا فِي كِتَابَتِهَا وَلَمْ تَكُنْ قَضَتْ مِنْ كِتَابَتِهَا شَيْئًا قَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ ارْجِعِي إِلَى أَهْلِكِ فَإِنْ أَحَبُّوا أَنْ أَقْضِيَ عَنْكِ كِتَابَتَكِ وَيَكُونَ وَلَاؤُكِ لِي فَعَلْتُ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ بَرِيرَةُ لِأَهْلِهَا فَأَبَوْا وَقَالُوا إِنْ شَاءَتْ أَنْ تَحْتَسِبَ عَلَيْكِ فَلْتَفْعَلْ وَيَكُونَ وَلَاؤُكِ لَنَا فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَاعِي فَأَعْتِقِي فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ قَالَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَق.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Laits dari Ibnu Syihaab dari Urwah bahwa Aisyah
mengabarkan kepadanya bahwa Barirah datang meminta tolong kepadaku
tentang ketetapan dirinya sedang dia belum menerima ketetapan tersebut.
Maka ‘Aisyah [radliallahu 'anha] berkata, kepadanya: “Kembalilah kamu
kepada tuanmu. Jika mereka suka aku akan penuhi ketetapanmu dan
perwalian kamu ada padaku, maka aku penuhi. Kemudian Barirah
menceritakan hal itu kepada tuannya namun mereka menolak dan berkata
“Jika dia mau silahkan dia berharap untuk memperolehmu, namun perwalian
kamu tetap ada pada kami”. Maka aku menceritakan hal itu kepada
Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]. Rasulullah [shallallahu
'alaihi wasallam] bersabda “Belilah dan bebaskanlah karena perwalian
menjadi milik orang yang membebaskannya”. [qaala] Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan bersabda “Mengapa ada diantara
kalian membuat persyaratan dengan syarat-syarat yang tidak ada pada
Kitabullah. Barangsiapa yang membuat persyaratan yang tidak ada pada
Kitab Allah maka tidakberlaku baginya sekalipun dia membuat seratus kali
persyaratan. Syarat dari Allah lebih berhak dan lebih kuat [Shahih
Bukhari no 2561]
Apakah lafaz [qaala] berarti idraaj [sisipan] dari perawi sebelum
Aisyah?. Tentu saja tidak, zahir riwayat menunjukkan bahwa kisah
tersebut bersumber dari Aisyah maka lafaz [qaala] bermakna perawi
melanjutkan perkataan Aisyah. Buktinya dapat dilihat pada riwayat Shahih
Bukhari berikut
فَقَالَ خُذِيهَا فَأَعْتِقِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمْ الْوَلَاءَ فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ رِجَالٍ مِنْكُمْ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَأَيُّمَا شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ فَقَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ مَا بَالُ رِجَالٍ مِنْكُمْ يَقُولُ أَحَدُهُمْ أَعْتِقْ يَا فُلَانُ وَلِيَ الْوَلَاءُ إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam bersabda] “Ambillah dia
lalu bebaskanlah dan ajukanlah persyaratan wala’ kepada mereka karena
wala’ menjadi milik orang yang membebaskannya”. ‘Aisyah berkata “Maka
kemudian Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] berdiri di hadapan
manusia lalu memuji Allah dan mengangungkan-Nya kemudian bersabda ‘amma
ba’du mengapakah ada orang diantara kalian membuat persyaratan dengan
syarat-syarat yang tidak ada pada Kitabulloh. Syarat apa saja yang
tidak ada pada Kitab Allah maka dia bathil sekalipun dengan seratus
persyaratan. Ketetapan Allah dan syarat dari Allah lebih kuat. Dan apa
alasannya orang-orang diantara kalian berkata “Bebaskanlah dia wahai
fulan namun perwaliannya tetap milikku”. Sesungguhnya perwalian menjadi
milik orang yang membebaskannya.[Shahih Bukhari no 2563]
.
.
Hadis Ketiga
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ ، ثنا عَبْدَةُ ، عَنْ هِشَامٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : ” تَحَجَّرَ كَلْمُ سَعْدٍ بِالنَّزْفِ ، فَدَعَا سَعْدٌ ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُجَاهِدَ مِنْ قَوْمٍ كَذَبُوا رَسُولَكَ وَآذَوْهُ وَأَخْرَجُوهُ ، اللَّهُمَّ فَإِنِّي أَظُنُّ إِنْ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فِيمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ ، فَإِنْ كُنْتَ أَبْقَيْتَ مِنْ حَرْبِ قُرَيْشٍ شَيْئًا فَابْقِنِي لَهُمْ أُجَاهِدْهُمْ فِيكَ ، وَإِنْ كُنْتَ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فِيمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَافْجُرْ بِهَا وَاجْعَلْ مَنِيَّتِي فِيهَا ، قَالَ : فَانْفَجَرَ مِنْ لَيْلَتِهِ فَمَا زَالَ يَسِيلُ حَتَّى مَاتَ
Telah menceritakan kepada kami Harun bin Ishaaq yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Abdah dari Hisyaam dari ayahnya dari
‘Aisyah yang berkata “Sa’ad sakit dengan perdarahan, maka Sa’d berdoa
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada yang lebih aku
sukai untuk berjihad di jalan-Mu daripada memerangi kaum yang
mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah, aku mengira bahwa Engkau
telah menghentikan perang antara kami dan mereka. Seandainya masih ada
perang melawan Quraisy, panjangkanlah umurku supaya aku dapat berjihad
melawan mereka di jalan-Mu. Sekiranya memang benar Engkau telah
menghentikan perang, pancarkanlah lukaku ini dan matikanlah aku
karenanya. [qaala] maka lukanya terus mengalirkan darah sampai ia
meninggal. [Musnad ‘Aisyah Ibnu Abi Daud no 66]
Apakah lafaz [qaala] dalam riwayat di atas bermakna idraaj [sisipan]
dari perawi sebelum Aisyah?. Jawabannya tidak, riwayat tersebut juga
disebutkan Bukhari dalam Shahih-nya yaitu
قَالَ هِشَامٌ فَأَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ سَعْدًا قَالَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ مِنْ قَوْمٍ كَذَّبُوا رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخْرَجُوهُ اللَّهُمَّ فَإِنِّي أَظُنُّ أَنَّكَ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَإِنْ كَانَ بَقِيَ مِنْ حَرْبِ قُرَيْشٍ شَيْءٌ فَأَبْقِنِي لَهُ حَتَّى أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ وَإِنْ كُنْتَ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فَافْجُرْهَا وَاجْعَلْ مَوْتَتِي فِيهَا فَانْفَجَرَتْ مِنْ لَبَّتِهِ فَلَمْ يَرُعْهُمْ وَفِي الْمَسْجِدِ خَيْمَةٌ مِنْ بَنِي غِفَارٍ إِلَّا الدَّمُ يَسِيلُ إِلَيْهِمْ فَقَالُوا يَا أَهْلَ الْخَيْمَةِ مَا هَذَا الَّذِي يَأْتِينَا مِنْ قِبَلِكُمْ فَإِذَا سَعْدٌ يَغْذُو جُرْحُهُ دَمًا فَمَاتَ مِنْهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Hisyam berkata Ayahku telah mengabarkan kepadaku dari ‘Aisyah
bahwa Sa’ad berkata; Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa
tidak ada yang lebih aku sukai untuk berjihad di jalan-Mu daripada
memerangi kaum yang mendustakan Rasul-Mu shallallahu ‘alaihi wasallam
dan telah mengusir beliau. Ya Allah, aku mengira bahwa Engkau telah
menghentikan perang antara kami dan mereka. Seandainya masih ada perang
melawan Quraisy, panjangkanlah umurku supaya aku dapat berjihad melawan
mereka di jalan-Mu. Sekiranya memang benar Engkau telah menghentikan
perang, pancarkanlah lukaku ini dan matikanlah aku karenanya. Maka
memancarlah darah dari dadanya. Dan tidak ada yang mencengangkan mereka
saat dimasjid di dalam tenda bani Ghifar, kecuali darah yang mengalir.
Mereka berkata “wahai penghuni tenda, apakah yang datang kepada kami ini
dari arah kalian?”. Ternyata luka Sa’ad menyemburkan darah lalu dia
meninggal karena lukanya itu. Semoga Allah meridlainya. [Shahih Bukhari
no 4122]
Riwayat Bukhari di atas menunjukkan dengan jelas bahwa lafaz [qaala]
pada riwayat Ibnu Abi Daud sebenarnya masih termasuk bagian dari cerita
Aisyah [radiallahu ‘anha]. [qaala] tersebut bermakna perawi melanjutkan
cerita atau perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha].
.
.
Hadis Keempat
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَبَتَّ طَلَاقَهَا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ فَتَزَوَّجْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ الْهُدْبَةِ وَأَخَذَتْ بِهُدْبَةٍ مِنْ جِلْبَابِهَا قَالَ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَاحِكًا فَقَالَ لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ بِبَابِ الْحُجْرَةِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ قَالَ فَطَفِقَ خَالِدٌ يُنَادِي أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَزْجُرُ هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibnu Syihab yang berkata telah menceritakan kepadaku Urwah
bin Zubair bahwa ‘Aisyah istri Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] telah
mengabarkan kepadanya bahwa Rifa’ah Al Qurazhiy telah menceraikan
istrinya, setelah itu istrinya menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabiir,
kemudian ia datang kepada Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Aku
[Aisyah] berkata wahai Rasulullah, sesungguhnya ia pernah menjadi istri
Rifa’ah, kemudian ia menceraikannya dengan talak tiga. Setelah itu, ia
menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabir, dan dia, demi Allah sesuatu
yang ada padanya seperti ujung kain yang ini, sambil mengambil ujung
jilbabnya. [qaala] maka Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]
tersenyum sambil bersabda “sepertinya kamu ingin kembali kepada Rifa’ah,
itu tidak mungkin, sampai Abdurrahman merasakan madumu dan kamu
merasakan madunya”. Waktu itu, Abu Bakar sedang duduk di samping
Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dan Khalid bin Sa’id bin Al
‘Ash duduk di samping pintu, dia tidak di izinkan masuk. [qaala] Maka
Khalid menyeru Abu Bakar, kenapa kamu tidak menghardik wanita itu yang
berkata dengan keras di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam? [Shahih Muslim no 1433]
Perhatikan lafaz [qaala] sebelum lafaz “maka Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] tersenyum dan bersabda”. Apakah lafaz itu berarti
idraaj [sisipan] perawi padahal hadis itu adalah kisah yang diceritakan
Aisyah. Begitu pula lafaz [qaala] sebelum lafaz “maka Khalid menyeru Abu
Bakar”, apakah itu idraaj dari perawi bukan lafaz Aisyah?. Tentu saja
tidak, lafaz [qaala] dan [qaalat] bermakna sama, perhatikan lafaz
Bukhari dalam kisah istri Rifa’ah ini yaitu riwayat Aisyah yang sama
hanya saja dengan lafaz
قَالَ وَأَبُو بَكْرٍ جَالِسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ بِبَابِ الْحُجْرَةِ لِيُؤْذَنَ لَهُ فَطَفِقَ خَالِدٌ يُنَادِي أَبَا بَكْرٍ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَزْجُرُ هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
[qaala] dan Abu Bakar duduk di samping Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] dan Ibnu Sa’iid bin ‘Aash duduk di depan pintu kamar supaya
diizinkan masuk maka Khalid menyeru Abu Bakar “wahai Abu Bakar mengapa
kamu tidak menghardik wanita ini yang berkata keras di sisi Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 6084]
Bukhari meriwayatkan perkataan Aisyah ini dengan lafaz [qaala]
sedangkan Muslim meriwayatkan perkataan Aisyah dengan lafaz [qaalat]
silakan perhatikan riwayat berikut
عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ قَالَتْ وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَهُ وَخَالِدٌ بِالْبَابِ يَنْتَظِرُ أَنْ يُؤْذَنَ لَهُ فَنَادَى يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَسْمَعُ هَذِهِ مَا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah yang berkata suatu ketika
istri Rifa’ah menemui Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] dia berkata
“aku adalah istri Rifa’ah, kemudian dia menceraikanku dengan talak tiga,
kemudian aku menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabiir, tapi sesuatu
yang ada padanya seperti ujung kain”. Rasulullah [shallallahu 'alaihi
wasallam] tersenyum mendengarnya, dan berkata “Apakah kamu ingin kembali
kepada Rifa’ah? itu tidak mungkin, sebelum kamu merasakan madunya dan
dia merasakan madumu”. ‘Aisyah berkata dan Abu Bakar berada di samping
Rasulullah, sedangkan Khalid berada di pintu sedang menunggu untuk
diizinkan, maka dia berseru “Wahai Abu Bakar, apakah kamu tidak
mendengar perempuan ini berkata dengan keras di sisi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam?” [Shahih Muslim no 1433]
Contoh-contoh di atas sudah lebih dari cukup sebagai bukti bahwa
lafaz [qaala] dan [qaalat] bermakna sama yaitu bagian dari riwayat
Aisyah bukan idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah.
.
.
.
Pembahasan Syubhat Nashibi Atas Kemarahan Sayyidah Fathimah
Selain menyebarkan syubhat pada kedudukan hadis “kemarahan Fathimah”,
nashibi juga membuat syubhat untuk mendistorsi makna hadis tersebut. Ia
mengatakan kalau kemarahan Fathimah itu bersifat sementara dan
manusiawi lantaran kecewa karena penolakan Abu Bakar namun setelah itu
Sayyidah Fathimah menerima penjelasan Abu Bakar sebagai bentuk
taslim-nya terhadap sabda Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Ada satu hal yang perlu para pembaca perhatikan nashibi itu
mengatakan bahwa kemarahan Sayyidah Fathimah itu terjadi lantaran Abu
Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah. Bukankah nampak jelas dalam
hadis shahih bahwa alasan penolakan Abu Bakar karena berdasarkan hadis
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “Kami tidak mewariskan”.
Apakah masuk akal Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar jika Beliau
memang mengakui kebenaran hadis tersebut?. Bukankah Ahlul Bait [Sayyidah
Fathimah] adalah orang yang selalu bersama Al Qur’an dan bukankah Al
Qur’an mengatakan
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Maka demi Tuhanmu, mereka [pada hakikatnya] tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan
sepenuhnya [QS An Nisa : 65]
Jika merasa berat hati kepada keputusan Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] saja tidak diperbolehkan maka apalagi menyikapinya
dengan marah. Penjelasan yang paling mungkin adalah Sayyidah Fathimah
tidak mengakui kebenaran hadis yang disampaikan Abu Bakar. Nashibi itu
berhujjah dengan riwayat berikut
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَسَمِعْتُهُ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ جُمَيْعٍ، عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ، قَالَ: لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ: أَنْتَ وَرِثْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ أَهْلُهُ؟ قَالَ: فَقَالَ: لَا، بَلْ أَهْلُهُ، قَالَتْ: فَأَيْنَ سَهْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا طُعْمَةً، ثُمَّ قَبَضَهُ جَعَلَهُ لِلَّذِي يَقُومُ مِنْ بَعْدِهِ “، فَرَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، قَالَتْ: فَأَنْتَ، وَمَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah. Abdullah berkata dan aku
mendengarnya [juga] dari ‘Abdullah bin Abi Syaibah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Walid bin Jumai’ dari
Abu Thufail yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] wafat, Fathimah mengirim utusan kepada Abu Bakar yang pesannya
“engkau yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya?”. Abu Bakar menjawab
“bukan aku tapi keluarganya”. Sayyidah Fathimah berkata “dimana bagian
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?”. Abu Bakar berkata “aku
mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan
sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla jika memberi makan seorang Nabi
kemudian ia wafat maka dijadikan itu untuk orang yang bertugas
setelahnya, maka aku berpendapat untuk menyerahkannya kepada kaum
muslimin”. Sayyidah Fathimah berkata “engkau dan apa yang engkau dengar
dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah lebih tahu”
[Musnad Ahmad 1/4 no 14, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya
hasan perawinya perawi tsiqat perawi Bukhari dan Muslim kecuali Walid
bin Jumai’ ia termasuk perawi Muslim]
Nashibi berhujjah dengan riwayat ini tetapi anehnya ia tidak bisa
memahami karena memang akalnya tidak punya kemampuan dalam memahami
riwayat atau dalam kasus ini adalah tidak paham bahasa manusia. Kalau
teman anda mengatakan kepada anda “siapakah yang berhak mewarisi ayahku,
engkau atau keluarga ayahku?”. Anda menjawab “tentu saja keluarga
ayahmu”. Orang dari sudut bumi manapun jika berpikiran waras akan paham
bahwa anda mengakui kalau keluarga teman andalah yang mewarisi ayahnya.
Namun karena pengaruh kebencian dan hawa nafsu ada sekelompok manusia
bermental nashibi yang mengalami kekacauan pemahaman terutama dalam hal
bahasa yang sederhana. Nashibi itu berkata
Jawaban pertama yang dikatakan Abu Bakr itu terkait hukum umum bahwa jika ada seorang meninggal, maka hartanya diwarisi oleh anak dan keluarganya. Itulah yang nampak pada dialog dalam riwayat Abu Hurairah.
Kelucuan pertama, nashibi ini suka meloncat-loncat dalam memahami
suatu riwayat. Bukankah yang sedang ia bahas adalah riwayat Abu Thufail
di atas lantas kenapa buru-buru ia meloncat ke riwayat Abu Hurairah.
Kita katakan padanya perhatikan terlebih dahulu hadis Abu Thufail yang
anda kutip. Sayyidah Fathimah bertanya pada Abu Bakar
: أَنْتَ وَرِثْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ أَهْلُهُ؟
“Engkau yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ataukah keluarganya?”.
Mari perhatikan para pembaca, Apakah Sayyidah Fathimah sedang
membicarakan hukum warisan secara umum?. Ooh tidak, Sayyidah Fathimah
langsung ke pokok masalahnya yaitu siapa yang mewarisi Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam]. Lantas apa jawaban Abu Bakar
لَا، بَلْ أَهْلُهُ
“tidak, bahkan yang mewarisinya adalah keluarganya”.
Apakah jawaban Abu Bakar ini tentang hukum waris secara umum?. Ooh
tidak, Abu Bakar dengan sharih [tegas] menyatakan bahwa yang mewarisi
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah keluarganya.
Sekarang kalau kita bicara masalah hukum waris secara umum bahwa yang
mewarisi seseorang adalah keluarganya maka kita tanya pada para pembaca
berdasarkan dialog Abu Bakar dan Sayyidah Fathimah di atas, apakah
hukum waris secara umum dimana seseorang diwarisi keluarganya berlaku
pada diri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Kita sederhanakan
lagi bahasanya, jika hukum waris umum berlaku pada Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] maka keluarga Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] yang akan mewarisi Beliau [shallallahu ‘alaihi
wasallam]. Tentu saja berdasarkan jawaban Abu Bakar “bahkan yang
mewarisinya adalah keluarganya” maka itu berarti hukum waris secara umum
juga berlaku atas diri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Adapun jawaban kedua diberikan setelah Abu Bakr benar-benar paham akan maksud Faathimah radliyallaahu ‘anhaa yang akan meminta bagian harta warisan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari harta fai’ di Fadak dan Khaibar
Sebenarnya secara tidak langsung nashibi itu sedang merendahkan IQ
Abu Bakar yang tidak bisa menangkap maksud pertanyaan Sayyidah Fathimah.
Apakah sebelumnya Abu Bakar tidak paham maksud pertanyaan “engkaukah
yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau
keluarganya?”.
Kira-kira lafaz mana sih yang tidak dipahami Abu Bakar. Apakah kata “engkaukah”. Ya sebodoh-bodohnya orang akan paham maksud kata “engkau”. Apakah pada kata “Rasulullah”?.
Kalau Abu Bakar tidak paham dengan kata ini mungkin lebih baik ia tidak
perlu menyandang gelar sahabat Nabi. Apakah pada kata “keluarganya”?. Kita yakin Abu Bakar itu punya keluarga maka sudah pasti ia paham apa makna keluarga.
Mungkin yang belum dipahami Abu Bakar itu adalah lafaz “mewarisi”, lha kalau memang belum paham ya mbok ditanya lebih jelas bukannya langsung menjawab. Lagipula serumit apakah kata “mewarisi”.
Mungkin akan ada yang bersilat lidah bahwa mewarisi itu tidak selalu
dinisbatkan pada harta tetapi juga pada ilmu dan hikmah. Tetap saja
jawaban Abu Bakar “tidak, bahkan keluarganya yang mewarisinya”
merujuk pada mewarisi harta dimana orang yang meninggal hartanya akan
diwarisi keluarganya dalam hal ini jika Rasulullah meninggal yang
mewarisinya adalah keluarganya. Jadi dari awal Abu Bakar sudah paham
makna pertanyaan Sayyidah Fathimah sehingga ia bisa langsung
menjawabnya. Sekarang perhatikan pertanyaan Sayyidah Fathimah
selanjutnya
: فَأَيْنَ سَهْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dimanakah bagian harta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”
Pertanyaan Sayyidah Fathimah ini menunjukkan bahwa dalam dialog
tersebut Sayyidah Fathimah memahami jawaban Abu Bakar sebelumnya sebagai
pengakuan Abu Bakar kalau keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] yang mewarisi harta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Sehingga Beliau langsung bertanya perihal harta Rasulullah [shallallahu
'alaihi wasallam]. Apa jawaban Abu Bakar? Inilah dia
: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا طُعْمَةً، ثُمَّ قَبَضَهُ جَعَلَهُ لِلَّذِي يَقُومُ مِنْ بَعْدِهِ
Aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla jika memberi makan seorang Nabi suatu
makanan kemudian ia wafat maka dijadikan itu untuk orang yang bertugas
setelahnya
Kita tanya pada para pembaca, apakah ada bagian dari hadis ini yang
menyatakan bahwa Nabi tidak mewariskan atau apa yang Beliau tinggalkan
adalah sedekah?. Tidak ada, jadi hadis di atas tidaklah menafikan hak
ahli waris Nabi. Intinya jika Allah memberikan bagian makanan kepada
Nabi maka jika Nabi wafat yang berhak atas makanan itu adalah orang yang
bertugas setelahnya tetapi hal ini tidak lantas menelantarkan ahli
waris Beliau sehingga ahli waris-Nya tidak akan mendapat apa-apa. Hukum
Allah sangat jelas dalam Al Qur’an dan itulah yang dipahami oleh
Sayyidah Fathimah bahwa ahli waris juga berhak atas harta Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar sendiri yang membawakan
hadis di atas mengakui hak ahli waris Nabi.
Sayyidah Fathimah tidaklah menolak hadis Abu Bakar yang ini bahwa
“ada hak atau bagian orang yang bertugas setelah Nabi dalam harta milik
Nabi”. Dalam pandangan Sayyidah Fathimah ahli waris berhak atas harta
Nabi dan berdasarkan hadis Abu Bakar ternyata orang yang bertugas
setelah Nabi juga punya hak atas harta milik Nabi. Inilah yang dipahami
dalam hadis Abu Thufail.
Hadis Abu Thufail ini berbeda dengan hadis Aisyah dan Abu Hurairah
dimana Sayyidah Fathimah meminta warisan Nabi dan Abu Bakar berkata
bahwa para Nabi tidak mewariskan, semua yang ditinggalkan adalah
sedekah. Kedua hadis yang disampaikan Abu Bakar adalah dua hadis yang
berbeda maknanya
Hadis “Nabi tidak mewariskan” menafikan hak ahli waris Nabi
maka itu berarti keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
tidak mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini
bertentangan dengan pengakuan Abu Bakar sebelumnya dalam hadis Abu
Thufail
Hadis “Nabi tidak mewariskan dan semua yang ditinggalkan adalah sedekah”
menunjukkan bahwa harta Nabi adalah untuk kaum muslimin dan ini marfu’
dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tetapi pada hadis Abu Bakar
riwayat Abu Thufail, yang berhak atas bagian Nabi itu adalah orang yang
bertugas setelahnya. Dan Abu Bakar berkata
“، فَرَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ،
Maka aku berpendapat atau berpandangan untuk mengembalikannya kepada kaum muslimin
Nampak bahwa “harta tersebut untuk kaum Muslimin” adalah pendapat
atau pandangan Abu Bakar padahal dalam hadis riwayat Aisyah Abu Bakar
dengan jelas memarfu’kan itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Kedua hadis yang berbeda menunjukkan bahwa peristiwa yang
diriwayatkan Abu Thufail berbeda dengan peristiwa yang diriwayatkan
Aisyah. Kisah Abu Thufail terjadi sebelum Kisah Aisyah dengan alasan
- Pada riwayat Abu Thufail, Abu Bakar mengakui bahwa keluarga Rasulullah yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sangat tidak mungkin kalau hal ini diucapkan setelah Abu Bakar menyatakan Nabi tidak mewariskan
- Jika Sayyidah Fathimah telah mendengar hadis Abu Bakar [dalam riwayat Aisyah] maka sangat tidak mungkin Sayyidah Fathimah bertanya kembali pada Abu Bakar “engkau yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya?”.
- Dalam kisah Aisyah dinyatakan bahwa Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat maka tidak mungkin kisah Aisyah terjadi sebelum kisah Abu Thufail.
Ketiga poin di atas menunjukkan bahwa Kisah Abu Thufail dimana Abu
Bakar mengakui bahwa keluarga Rasulullah yang mewarisi Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] terjadi sebelum kisah Aisyah dimana Abu
Bakar menyatakan hadis Nabi tidak mewariskan.
Kisah Abu Thufail dan Kisah Aisyah diriwayatkan dengan sanad yang
shahih maka yang diperlukan adalah menggabungkan keduanya. Tentu saja
penggabungan keduanya tidak dengan seenak perut seperti yang dinyatakan
oleh nashibi. Penggabungan tersebut harus dengan dasar yang jelas dan
sesuai dengan kedua hadis tersebut.
Penggabungan kedua kisah tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya
Sayyidah Fathimah datang kepada Abu Bakar atau mengirim utusan
[sebagaimana yang nampak dalam riwayat] dan pada saat itu Abu Bakar
mengakui bahwa yang mewarisi Nabi adalah keluarganya hanya saja Abu
Bakar menyampaikan hadis bahwa orang yang bertugas setelah Nabi berhak atas bagian [makanan] yang diberikan Allah untuk Nabi.
Dan Abu Bakar sendiri berpendapat untuk mengembalikannya kepada kaum
muslimin. Sayyidah Fathimah menerima hal ini tetapi bukan berarti ahli
waris Nabi tidak memiliki hak sedikitpun atas harta Nabi maka kali kedua
ia meminta kembali warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu
riwayat Aisyah.
Pada kali kedua, Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah dengan membawakan hadis “Nabi tidak mewariskan”.
Berbeda dengan sebelumnya dimana Sayyidah Fathimah membenarkan hadis
Abu Bakar kali ini Sayyidah Fathimah marah dan tidak mau berbicara
dengan Abu Bakar sampai Beliau wafat. Hal ini disebabkan Sayyidah
Fathimah tidak mengakui hadis Nabi tidak mewariskan. Alasannya memang
tidak nampak jelas tetapi bisa diperkirakan
- Mungkin karena sebelumnya Abu Bakar telah mengakui bahwa keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lantas sekarang Abu Bakar malah menentang perkataannya sendiri
- Mungkin karena Sayyidah Fathimah beranggapan hadis tersebut bertentangan dengan hukum waris yang jelas dalam Al Qur’anul Karim dan Beliau sebagai ahlul bait adalah orang yang selalu bersama Al Qur’an dan orang yang seharusnya paling mengetahui jika memang ada hadis seperti itu.
Apapun alasannya yang jelas Sayyidah Fathimah menampakkan kemarahan
setelah mendengar penjelasan Abu Bakar soal hadis Nabi tidak mewariskan.
Mungkin nashibi itu akan berkata kami mendustakan hadis shahih.
Kami jawab : dalam hal ini kami berpegang pada Al Qur’anul Karim dan
hadis shahih bahwa ahlul bait adalah pedoman bagi umat termasuk pedoman
bagi Abu Bakar. Ditambah lagi dengan hadis kemarahan Fathimah yang
adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Intinya kemarahan
Fathimah juga termasuk hujjah seperti halnya kemarahan Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam]. Penafsiran kami dalam hal ini adalah Abu Bakar
keliru dalam pendengarannya atau pemahamannya terhadap hadis tersebut
tentu kami tidak akan menyatakan bahwa Abu Bakar berdusta atas Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kami menghormati Abu Bakar dan
kejujurannya tetapi walaupun begitu Beliau tetap manusia yang bisa
salah. Nashibi itu berkata
Mengapa ketika ia mengkritik Abu Bakr ia tidak mengkritik Faathimah ? (o iya lupa, haram hukumnya mengkritik Faathimah, karena ia harus benar apapun keadaannya, dan lawannya harus salah apapun keadaannya). Kritikannya terhadap Abu Bakr secara tidak langsung merendahkan IQ Faathimah yang tidak bisa menangkap unsur manipulasi hadits yang dilakukan Abu Bakr, yang kemudian baru ditangkap oleh orang Raafidlah itu ratusan tahun setelah wafatnya. Sungguh menjijikkan ! Bodoh sekali Faathimah itu menurut logika orang Raafidlah itu.
Bagian mana dari kritikan kepada Abu Bakar yang ia maksud merendahkan
IQ Sayyidah Fathimah?. Inilah akibatnya jika kebodohan bercampur dengan
kebencian plus hawa nafsu. Jika diri sendiri yang bodoh tolong jangan
menisbatkan pada orang lain apa lagi mengandaikannya pada semulia-mulia
wanita Sayyidah Fathimah.
Silakan pembaca perhatikan pembahasan kami terhadap riwayat Abu
Thufail dan riwayat Aisyah adakah kami menunjukkan atau mengisyaratkan
kebodohan Abu Bakar atau Sayyidah Fathimah?. Tidak ada, justru perkataan
nashibi itu yang menunjukkan kejahilannya.
Bagaimana mungkin lafaz khusus keluarga Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
ditafsirkan Abu Bakar sedang membicarakan kaidah umum waris bukan untuk
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Nashibi itu sedang
menunjukkan bahwa Abu Bakar jahil atau bodoh dalam bahasa manusia pada
umumnya. Jika memang yang dibicarakan kaidah umum maka Abu Bakar akan
berkata “seseorang memang diwarisi oleh keluarganya tetapi tidak untuk
Rasulullah karena Beliau tidaklah diwarisi apa yang ia tinggalkan adalah
sedekah”. Tetapi faktanya dengan jelas Abu Bakar menjawab “tidak bahkan
keluarganya yang mewarisinya”.
.
.
Nashibi itu membawakan distorsi makna yang lain yaitu dengan
mengatakan bahwa sikap meng-hajr atau berhenti berbicara kepada Abu
Bakar bukan berarti berhenti total tetapi tidak berbicara dalam masalah
itu hingga wafat. Nashibi itu membawakan sebagian lafaz yang ia pikir
dapat mendukung hujjahnya
فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ ، إِلا صَنَعْتُهُ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ
Maka Abu Bakar berkata kepada keduanya “Aku mendengar Rasulullah
[shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua
yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad
[shallallaahu ‘alaihi wa sallam] makan dari harta ini. Dan sesungguhnya
demi Allah aku tidak akan meninggalkan perkara yang aku lihat
melakukannya, kecuali aku akan melakukannya juga”. [qaala] “maka dalam
hal itu Faathimah meng-hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya
hingga wafat, Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahukan
kepada Abu bakar [Mushannaf 'Abdurrazaq no 9774]
Lafaz yang dijadikan hujjah nashibi itu adalah “Falam tukallimhu fii
dzalika hatta maatat”. Nashibi mengartikannya sebagai tidak berbicara
tentang masalah warisan sampai wafat. “Fii dzalika” diartikan nashibi
sebagai “masalah warisan”. Ini termasuk distorsi dalam mengartikan lafaz
riwayat.
Lafaz “fii dzalika” dalam kalimat bukan lafaz yang berdiri sendiri
melainkan kata ganti yang menerangkan sesuatu hal yang telah disebutkan
atau dijelaskan pada kalimat sebelumnya. Terkait dengan hadis riwayat
‘Abdurrazaaq di atas, lafaz “fii dzalik” menerangkan tentang
reaksi Abu Bakar atas permintaan Sayyidah Fathimah, reaksi itu berupa
penolakan Abu Bakar atas permintaan Fathimah dengan membawakan hadis
Nabi tidak mewariskan. Jadi makna yang benar lafaz tersebut adalah “maka
dalam hal itu [yaitu penolakan Abu Bakar] Fathimah meng-hajr-nya dan
tidak berbicara dengannya sampai wafat”. Makna ini serupa dengan lafaz “fii dzalika” pada riwayat Uqail dari Az Zuhriy
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُر
Maka Abu Bakar berkata “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu
‘alaihi wa sallam] pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang
kami tinggalkan adalah shadaqah’. Hanyalah keluarga Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini. sesungguhnya aku
demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah
[shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman
Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan
memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan
Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] padanya”. Abu Bakar pun
menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada
Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakr dan
meng-hajr-nya. Ia tidak berbicara kepada Abu Bakr hingga wafat. Dan ia
hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa
sallam] [Shahih Bukhari no 4240]
Dalam riwayat Uqail di atas terdapat lafaz “Fawajadat Fathimah ‘ala Abu Bakar fii dzalika” yang artinya “maka dalam hal itu Fathimah marah kepada Abu Bakar”.
Apakah hal itu atau fii dzalika yang dimaksud? Itu diterangkan dalam
kalimat sebelumnya yaitu Abu Bakar menolak memberikan peninggalan Nabi
dengan alasan hadis Nabi tidak mewariskan. Jadi “fii dzalika”
adalah kata ganti yang menerangkan penolakan Abu Bakar, maka dalam hal
penolakan Abu Bakar ini, Fathimah menjadi marah kepadanya, meng-hajr-nya
dan tidak berbicara hingga wafat. Itulah makna sebenarnya lafaz “fii dzalik” dalam riwayat Az Zuhriy.
Hal ini menjelaskan mengapa dalam semua riwayat lain dari Az Zuhriy
selain sebagian riwayat ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Aliy tidak
menyebutkan lafaz “fii dzalika” karena pada dasarnya lafaz
tersebut hanya sebagai kata ganti yang menegaskan penolakan Abu Bakar
atas permintaan Sayyidah Fathimah.
Riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az Zuhriy
، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ
Maka Fathimah [alaihis salaam] menjadi marah dan meng-hajr Abu Bakar dan ia terus meng-hajr Abu Bakar sampai ia wafat
Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy
فَوَجَدَتْ فَاطِمَةَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ
Maka dalam hal itu Fathimah marah terhadap Abu Bakar meng-hajr-nya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat
Riwayat Uqail bin Khaalid dari Az Zuhriy
فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ
Maka dalam hal itu Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar meng-hajr-nya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat
Riwayat Hisyam dari Ma’mar dari Az Zuhriy
فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ
Maka Fathimah meng-hajrnya dan tidak berbicara dengannya sampai wafat
Riwayat Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Az Zuhriy
فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَت
Maka dalam hal itu Fathimah meng-hajr Abu Bakar tidak berbicara dengannya hingga wafat
فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَجَرَتْهُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ
Maka Fathimah [radiallahu ‘anha] marah dan meng-hajrnya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat.
Qarinah [petunjuk] lain yang menguatkan lafaz “tidak berbicara
dengannya sampai wafat” adalah Sayyidah Fathimah dikuburkan Ali di waktu
malam dan tidak memberitahu Abu Bakar hingga ia dikuburkan. Kalau
seandainya hubungan Abu Bakar dengan Fathimah baik-baik saja bahkan
dikatakan oleh nashibi terjalin persaudaraan erat maka apa yang mencegah
Ali memberitahu Abu Bakar tentang wafatnya Sayyidah Fathimah. Qarinah
ini menguatkan lafaz “terus meng-hajr-nya hingga wafat”. Secara umum
dalam hidup bermasyarakat saja kalau ada anggota keluarga yang wafat,
kita pasti menghubungi keluarga, tetangga, sahabat, saudara dan
teman-teman kecuali kalau misalnya ada orang yang menzhalimi keluarga
kita maka mungkin kita tidak perlu repot-repot memberitahunya.
.
.
Sayyidah Fathimah tidak menyendiri dalam penolakannya, diriwayatkan
dalam kitab Shahih [riwayat Aisyah] bahwa Imam Ali ketika ia berbaiat
kepada Abu Bakar setelah Fathimah wafat [enam bulan], Beliau mengakui
bahwa ahlul bait berhak akan harta tersebut karena kekerabatan mereka
dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا
Maka Abu Bakar masuk, Ali mengucapkan syahadat dan berkata “kami
mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu,
kami tidak dengki terhadap kebaikan yang diberikan Allah kepadamu tetapi
kamu telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami, kami berpandangan
bahwa kami berhak memperoleh bagian karena kekerabatan kami dari
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 4240 &
4241]
Artinya selepas enam bulan dan setelah mendengar hadis Abu Bakar,
Imam Ali masih berpendapat kalau ahlul bait lebih berhak. Kemudian dalam
riwayat Malik bin Aus, Imam Ali juga datang kembali ketika Umar
menjabat khalifah dan kembali meminta warisan Nabi kepada Umar. Umar
berkata
ثم جئتماني جاءني هذا يعني – العباس – يسألني ميراثه من بن أخيه وجاءني هذا – يعني عليا – يسألني ميراث امرأته من أبيها فقلت لكما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لانورث ما تركنا صدقة
Kemudian kalian berdua mendatangiku, datang kepadaku dia yakni
Abbas meminta kepadaku warisannya dari putra saudaranya dan dia ini
datang kepadaku yakni Ali meminta warisan istrinya dari ayahnya. Maka
aku berkata kepada kalian berdua bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] berkata “kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan adalah
sedekah” [Mushannaf Abdurrazaq 5/469-470 no 9772 dengan sanad yang
shahih]
Hal ini membuktikan bahwa Imam Ali dan Abbas setelah mendengar hadis
Abu Bakar mereka tetap meminta warisan Nabi kepada Umar ketika Umar
menjabat khalifah, tidak lain ini menunjukkan bahwa Imam Ali dan Abbas
tidak mengakui kebenaran hadis Abu Bakar.
.
.
Ada petunjuk lain bahwa hadis Abu Bakar keliru yaitu pada lafaz “apa
yang kami tinggalkan adalah sedekah”. Diriwayatkan dalam kabar shahih
bahwa pakaian-pakaian milik Nabi masih disimpan oleh istri Beliau dan
tidak disedekahkan kepada kaum muslimin.
حدثنا شيبان بن فروخ حدثنا سليمان بن المغيرة حدثنا حميد عن أبي بردة قال دخلت على عائشة فأخرجت إلينا إزارا غليظا مما يصنع باليمن وكساء من التي يسمونها الملبدة قال فأقسمت بالله إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قبض في هذين الثوبين
Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farrukh yang berkata
telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Mughiirah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Humaid dari Abi Burdah yang berkata “aku masuk
menemui Aisyah dan ia mengeluarkan kepada kami kain kasar buatan Yaman
dan baju yang terbuat dari bahan kasar [Abu Burdah] berkata kemudian ia
[Aisyah] bersumpah dengan nama Allah bahwa Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] wafat dengan memakai kedua pakaian ini [Shahih Muslim
3/1649 no 2080]
Nashibi berpanjang-panjang berhujjah membuat pembelaan atau bantahan
tetapi pembelaannya gak nyambung. Intinya ia mau mengatakan kalau
pakaian adalah nafkah bagi istri maka itu dikecualikan. Tentu saja ini
konyol bin naif, jika anda ingin menafkahi istri anda maka anda akan
memberikan kepadanya pakaian khusus buat istri anda bukan pakaian yang
sering anda pakai. Intinya bagaimana mungkin pakaian Nabi menjadi nafkah
buat istri Nabi. Apa anda memberikan nafkah pakaian istri anda dengan
memberikan pakaian yang anda pakai kepada istri anda?. Tolong kalau mau
membantah yang cerdas sedikit lah, jangan berpanjang-panjang supaya
kelihatan keren padahal gak nyambung.
.
.
Dalam masalah Fadak ini kami tidak mempermasalahkan bagaimana Abu
Bakar dan Umar memperlakukan harta tersebut. Nampak dalam riwayat shahih
bahwa mereka memperlakukan harta tersebut sebagaimana Rasulullah
[shallallahu 'alaihi wasallam] memperlakukannya. Tetapi yang jadi
permasalahan disini adalah bagaimana pandangan Ahlul Bait yaitu Sayyidah
Fathimah terhadap harta tersebut?.
Sekelompok nashibi yang binasa mengatakan bahwa dengan riwayat
kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar menunjukkan bahwa Sayyidah Fathimah
tamak akan harta warisan. Ini ucapan batil dari orang yang berhati
busuk, kami sedikitpun tidak ragu jika harta itu ada di tangan Sayyidah
Fathimah atau Imam Aliy maka mereka akan memperlakukannya seperti yang
Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] lakukan. Apa nashibi pikir
cuma Abu Bakar dan Umar yang mampu mengurus harta itu seperti halnya
Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]?.
Inti permasalahan antara Sayyidah Fathimah dan Abu Bakar tidak
terletak pada besar kecilnya harta peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi
wasallam] tetapi pada pandangan masing-masing mereka terhadap status
harta tersebut. Bagi yang ingin membela Abu Bakar, kami persilakan dan
bagi yang ingin membela Sayyidah Fathimah juga kami persilakan. Hal yang
menjijikkan adalah ulah nashibi yang berusaha menafikan adanya
perselisihan ini dengan berbagai syubhat murahan.
Bagi kami pribadi kebenaran ada pada Sayyidah Fathimah dan pandangan
kami ini tegak atas dasar hujjah Al Qur’an dan Al Hadis tidak seperti
tuduhan nashibi bahwa kami mendustakan hadis shahih. Jika kami dikatakan
mendustakan hadis shahih maka sungguh mereka lebih layak untuk
dikatakan mendustakan Al Qur’an dan Hadis. Jika mereka bisa membuat
pembelaan maka mengapa kami tidak bisa membuat pembelaan. Dan tidak ada
urusannya pandangan kami ini dengan apa yang diyakini Syiah. Kami
menegakkan pandangan kami bukan dengan kitab-kitab Syiah dan tidak
pernah pula kami menyatakan bahwa kami ini penganut Syiah yang mewakili
mazhab Syiah.
Tentu saja sebagai suatu pandangan maka ia bisa benar ataupun salah.
kami tidak keberatan jika ada yang bersedia menunjukkan kesalahan
pandangan kami, akan kami pelajari setiap masukan yang tertuju kepada
kami dan jika memang salah maka kami akan mengakuinya. Begitu pula jika
kami terbukti benar maka kami akan mempertahankan kebenaran tersebut
meskipun para nashibi penuduh dan pencela itu tidak suka.
Bagi nashibi mungkin masalah ini terkait dengan khayalan mereka yang
jika khayalan tersebut diungkapkan dalam bahasa nashibi akan menjadi
kalimat “cuma agama nashibi yang mereka anut yang benar sedangkan agama
syiah yang mereka cela adalah sesat dan menyesatkan”. Begitu terikatnya
mereka dengan waham ini sampai-sampai setiap ada pandangan yang
menyelisihi mereka dan sependapat dengan Syiah akan mereka tuduh Syiah
yang menyesatkan walaupun pandangan tersebut sebenarnya diungkapkan
bukan oleh penganut Syiah. Yah di mata para nashibi, perkara ini bukan
lagi soal mencari kebenaran tetapi sudah menjadi bagian dari pembenaran
atas tuduhan mereka terhadap mazhab Syiah yang selalu mereka cela.
.
.
Kami tutup pembahasan kali ini dengan membawakan riwayat dimana
keturunan Aliy bin Abi Thalib yaitu Hasan bin Muhammad bin Aliy bin Abi
Thalib mengakui perselisihan yang terjadi antara Sayyidah Fathimah
sampai beliau wafat dengan Abu Bakar.
عبد الرزاق عن بن جريج وعمرو بن دينار أن حسن بن محمد أخبره أن فاطمة بنت النبي صلى الله عليه و سلم دفنت بالليل قال فر بها علي من ابي بكر أن يصلي عليها كان بينهما شيء عبد الرزاق عن بن عيينة عن عمرو بن دينار عن حسن بن محمد مثله الا أنه قال اوصته بذلك
‘Abdurrazaaq dari Ibnu Juraij dan ‘Amru bin Diinar bahwa Hasan
bin Muhammad mengabarkan kepadanya bahwa Fathimah binti Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dikuburkan Aliy pada malam hari untuk
menghindari Abu Bakar menshalatkannya karena diantara mereka berdua ada
sesuatu. ‘Abdurrazaaq dari Ibnu Uyainah dari ‘Amru bin Diinar dari Hasan
bin Muhammad meriwayatkan seperti itu kecuali bahwa ia berkata
“[Fathimah] telah mewasiatkan kepadanya tentang hal itu” [Al Mushannaf
‘Abdurrazaaq 3/521 no 6554-6555]
Riwayat di atas sanadnya shahih hingga Hasan bin Muhammad.
Diriwayatkan ‘Abdurrazaaq dengan sanad yaitu dari Ibnu Juraij dan Ibnu
Uyainah dari ‘Amru bin Diinar dari Hasan bin Muhammad. Dalam kitab Al
Mushannaf tertulis “Ibnu Juraij dan ‘Amru Diinar” ini kemungkinan besar
tashif [salah tulis] yang benar adalah “Ibnu Juraij dari ‘Amru bin
Diinar” hal ini dikuatkan pada lafaz “bahwa Hasan bin Muhammad
mengabarkan kepadanya”. Frase “nya” disana merujuk pada satu orang maka
dia adalah ‘Amru bin Diinar apalagi dikenal bahwa Ibnu Juraij termasuk
salah satu murid ‘Amru bin Diinar.
Ibnu Juraij adalah ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Aziz bin Juraij Al Makkiy
seorang tsiqat faqih memiliki keutamaan tetapi melakukan tadlis dan
irsal [At Taqrib 1/617]. Sufyan bin Uyainah adalah tsiqat hafizh faqih
imam hujjah kecuali mengalami perubahan hafalan di akhir umurnya,
dituduh melakukan tadlis tetapi dari perawi tsiqat, termasuk pemimpin
thabaqat kedelapan dan ia orang yang paling tsabit dalam riwayat ‘Amru
bin Diinar [At Taqrib 1/371]. ‘Amru bin Diinar Al Makkiy adalah seorang
yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/734]. Hasan bin Muhammad bin Aliy bin
Abi Thalib adalah seorang yang tsiqat faqih [At Taqrib 1/210]. Adz
Dzahabiy berkata “ia termasuk ulama ahlul bait” [As Siyaar Adz Dzahabiy
4/131]
Menurut Hasan bin Muhammad, Sayyidah Fathimah telah berwasiat kepada
Imam Ali agar menguburkannya di waktu malam sehingga Abu Bakar tidak
bisa menshalatkannya. Hasan bin Muhammad mengatakan bahwa hal ini
terjadi karena antara Sayyidah Fathimah dan Abu Bakar terjadi sesuatu,
dan itu tidak lain perselisihan masalah warisan Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] seperti yang dijelaskan dalam hadis Aisyah.
Tidak Shahih Abu Bakar Meminta Maaf Pada Sayyidah Fatimah
Abu Bakar Tidak Pernah Meminta Maaf Pada Sayyidah Fatimah AS
Sepertinya kisah Fadak ini masih terus berlanjut untuk dibahas.
Kali ini sang penulis yang merasa tahu banyak soal Syiah itu telah
membuat tulisan baru. Akhirnya Fatimah Memaafkan Abu Bakar.
Sayangnya metode penulisan tetap saja tidak berubah. Beliau tetap
berpegang pada riwayat-riwayat yang tidak shahih atau dipertanyakan
keshahihannya. Seandainya anda tidak merasa bosan maka kali ini saya
kembali akan meluruskan tulisan beliau dalam Situsnya itu
.
Seperti biasa sang penulis menyatakan kesimpulan di bait pertama tulisannya
Fatimah saja mau memaafkan Abubakar tanpa mensyaratkan pengalihan hak tanah fadak pada dirinya, tapi pada hari ini, setelah 14 abad dari peristiwa itu, masih banyak yang mendendam pada Abubakar.
Kesimpulan ini keliru karena tidak ada kabar shahih yang
meriwayatkan bahwa Abu Bakar meminta maaf kepada Sayyidah Fatimah AS
pasca peristiwa Fadak. Kabar shahih yang ada justru kesaksian Aisyah RA
bahwa Sayyidah Fatimah AS tidak pernah berbicara kepada Abu Bakar sampai
akhir hayatnya pasca peristiwa Fadak.
Terkadang orang lain membuat kita begitu marah, sehingga dalam hati kita timbul dendam dan ingin melampiaskan dendam itu secepatnya. Bisa jadi dendam itu begitu merasuk sehingga kita tidak bisa menahan emosi ketika melihat orang tadi.
Oleh karena itu kesabaran dan meminta maaf adalah obat yang sangat baik 

Kejadian di atas menimpa sahabat Abubakar, ketika beberapa orang menuduh Aisyah anaknya –yang juga istri Rasulullah- telah berzina, dan salah satu yang menuduh adalah Misthah bin Utsatsah, salah seorang sepupu Abubakar yang miskin dan hidup dari pemberian Abubakar. Ketika itu Abubakar bersumpah untuk tidak memberikan uang lagi pada Misthah. Hal ini wajar dilakukan oleh manusia biasa, yang hatinya terluka ketika Misthah –yang hidup dari uang pemberian Abubakar- ikut-ikutan menuduh Aisyah berzina. Namun Allah sang Maha Pengasih, ingin memberikan pelajaran bagi kaum muslimin tentang akhlak yang mulia, yaitu pemaaf. Lalu turunlah ayat ini menghibur Abubakar, bahwa orang pemaaf akan dimaafkan oleh Allah. Akhirnya Abubakar tetap memberikan nafkah pada sepupunya tadi, karena mengharap ampunan dari Allah.
Sebuah pelajaran dari kisah ini adalah terkadang sahabat-sahabat Nabi(terlepas dari keutamaan Mereka) adalah
manusia yang dipengaruhi kecenderungannya sehingga bisa melakukan suatu
kekeliruan. Contoh di atas cukup jelas dimana ada beberapa sahabat Nabi
yang ikut-ikutan dengan kaum munafik menyebarkan tuduhan terhadap
Aisyah RA. Walaupun begitu Akhlak yang ditunjukkan oleh Abu Bakar RA
jelas merupakan contoh yang patut di teladani.
Salah satu kisah yang sering diulang-ulang oleh kaum syi’ah –yang ingin membuat black campaign kepada Abubakar – adalah kisah fadak.
Syiah mengulang-ngulang Kisah ini karena kisah ini dalam persepsi
mereka adalah bentuk kezaliman terhadap Ahlul Bait. Kebanyakan pihak
Sunni justru melah membenarkan apa yang dilakukan Abu Bakar RA. Hal ini
yang membuat Syiah mengulang-ngulang pembelaan mereka kepada Ahlul Bait.
Tetapi kita tidak pernah mendengar ustadz syi’ah mengisahkan ending kisah ini, seakan-akan kisah ini hanya berakhir dengan Fatimah yang pulang ke rumahnya dan marah, selesai sampai di sini.
Kabar yang shahih telah jelas menyatakan bahwa Sayyidah Fatimah AS
marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar selama 6 bulan. Dan itu saya
dengar bukan dari ustad Syiah tetapi dari Kitab Shahih Bukhari.
Ternyata masih ada babak episode yang dipotong dan ending dari kisah fadak, tetapi entah mengapa ustadz syi’ah tidak pernah membahasnya.
Mungkin Ustad Syiah itu cukup pintar untuk tidak membahas
kisah-kisah yang dhaif, tidak shahih atau dipertanyakan keshahihannya.
Entahlah, saya tidak tahu pasti apa sebenarnya yang dipahami oleh
Ustad-ustad Syiah. 

Yang jelas kitab syi’ah sendiri memuat ending dari kisah fadak ini, yaitu dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang ditulis oleh Ibnu Abil Hadid pada jilid 1 hal 57, dan Ibnu Al Maitsham pada jilid 5 hal 507, disebutkan :
Saat Fatimah marah Abubakar menemuinya di lain waktu dan memintakan maaf bagi Umar, lalu Fatimah memaafkannya.
Mari kita mengkritisi bagian ini. Apa buktinya kalau Kitab Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid adalah kitab Syiah?. Memang kitab Nahjul Balaghah ditulis
oleh Ulama Syiah tapi kitab Syarh Nahjul Balaghah ditulis oleh Ibnu
Abil Hadid. Apa buktinya Ibnu Abil Hadid seorang Syiah?. Sejauh yang
saya tahu bukti jelas menyatakan bahwa beliau seorang Ulama Mu’tazilah.
Apakah anda wahai penulis pernah melihat bahwa Ulama-ulama Syiah
menyatakan kesyiahan Ibnu Abil Hadid? Berhentilah membuat tuduhan 

Kemudian, Apakah kitab Syarh Nahjul Balaghah adalah kitab
dimana penulisnya menyatakan bahwa semua apa yang ia tulis adalah
Shahih?. Setahu saya tidak ada bukti yang menunjukkan kalau Ibnu Abil
Hadid menyatakan bahwa Semua riwayat yang ia kutip sebagai shahih. Oleh
karena itu riwayat yang anda bawa itu perlu diteliti keshahihannya
apalagi dalam Kitab Nahjul Balaghah yang ditulis Ulama Syiah
tidak ada riwayat yang anda sebutkan itu. Riwayat itu(kalau memang ada)
ditambahkan oleh mereka para Pensyarh Kitab Nahjul Balaghah.
Kemudian, bagaimana kita meneliti keshahihan riwayat tersebut jika
anda wahai penulis tidak mencantumkan sanadnya? Atau riwayat tersebut
memang tidak bersanad. Kalau begitu riwayat ini masih dipertanyakan
keshahihannya. Nah bagaimana bisa anda berpegang pada riwayat yang belum
pasti kebenarannya apalagi kalau riwayat tersebut ternyata bertentangan
dengan riwayat yang jelas-jelas shahih. 

Fatimah dengan besar hati memaafkan Abubakar, yang telah melaksanakan perintah Rasulullah untuk tidak mewariskan harta peninggalannya pada ahli waris. Abubakar juga tidak menyerahkan fadak kepada Fatimah agar mau memaafkannya, tetapi di sini Fatimah juga tidak menuntut penyerahan tanah fadak sebagai syarat untuk mau memaafkan Abubakar dan Umar. Itulah akhlak putri Nabi yang sejak dini dididik untuk mencintai akherat dan membenci dunia yang fana. Inilah salah satu akhlak kenabian diwarisi Fatimah dari sang ayah.
Akhlak Sayyidah Fatimah AS tidak diragukan lagi adalah akhlak yang
mulia seperti yang diajarkan baginda Rasulullah SAW. Sayangnya tidak ada
riwayat shahih yang menyatakan kalau Abu Bakar meminta maaf pada
Sayyidah Fatimah AS.
Sudah selayaknya kita meniru teladan dari kisah di atas, tidak membawa dendam dalam hati untuk waktu yang lama. Semua yang telah berlalu hendaknya kita maafkan, demi mengharap keridhoan dan ampunan Allah. Siapa yang tidak menginginkan ampunan Allah?
Berhentilah bersikap seolah-olah semua yang anda sampaikan itu
benar. Dalam kisah Fadak tidak ada unsur dendam kesumat dan cinta harta
dunia yang fana. Perselisihan ini soal kebenaran yang diyakini oleh
masing-masing pihak. Sayyidah Fatimah AS adalah sang pedoman bagi
manusia sebagaimana yang ditetapkan Rasulullah SAW dalam Hadis Tsaqalain
oleh karena itu sikap beliau menandakan penentangannya terhadap apa
yang dinyatakan Abu Bakar. Mungkin bagi anda sulit sekali memahami
perselisihan ini karena anda dan para Salafy lainnya(maaf kalau saya salah) tidak pernah mau menerima Sabda Rasulullah SAW dalam Hadis Tsaqalain bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam.
Riwayat di atas menguatkan riwayat dari Sunan Baihaqi yang kami nukilkan di salah satu makalah situs ini.
Riwayat Ibnu Abil Hadid yang dipertanyakan keshahihannya menjadi
penguat bagi riwayat Baihaqi yang sudah jelas dhaif atau tidak shahih.
Sungguh metode yang benar-benar hebat bagi seorang Salafy.
Namun ada penjelasan yang dirasa perlu untuk disampaikan.
Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: “Wahai Fatimah ini Abu Bakar minta izin.” Fatimah berkata: “Apakah kau setuju aku mengijinkan ?”, Ali berkata: “Ya.” Maka Fatimah mengijinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: “Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasulnya dan kalian keluarga Nabi.
Ibnu Katsir berkata: Ini suatu sanad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al Bidayah Wannihaayah 5/252)
Saya sudah pernah membahas tuntas riwayat ini dalam tulisan Penyimpangan Kisah Fadak Oleh Hakekat.com. Silakan lihat sekali lagi 

Ibnu Hajar mengutip dari Ad Daruquthni bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali, hadits itu tercantum dalam shahih Bukhari. Sehingga terkesan bahwa riwayat di atas adalah putus sanadnya karena Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali. Lalu bagaimana status riwayat ini? Jelas riwayat ini mursal, tetapi riwayat mursal memiliki banyak tingkatan, ini dijelaskan dalam kitab biografi perawi.
Sudah saya nyatakan sebelumnya bahwa riwayat As Sya’bi dari Ali
adalah mursal khafi karena seperti yang dinyatakan Daruquthni, Asy
Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadis dari Ali dalam Shahih Bukhari. Sedangkan riwayat yang dinyatakan Ibnu Katsir itu bukan riwayat dalam Shahih Bukhari.
Jadi sudah jelas riwayat tersebut mursal. Hadis mursal adalah dhaif
kecuali ada hadis lain dengan sanad yang shahih dan muttasil yang
menguatkan riwayat mursal tersebut. Dalam kitab Muqaddimah Ibnu Shalah dapat dilihat bahwa salah satu syarat hadis shahih adalah bersambung sanadnya. 

Kita bisa memahami jika orang awam yang belum memperdalam ilmu hadits mempertanyakan riwayat ini.
Begitukah? Apakah orang awam yang belum memperdalam ilmu hadis bisa
mempertanyakan riwayat Baihaqi. Bagaimana bisa orang awam tahu kalau
riwayat Baihaqi adalah mursal kecuali ia pernah membaca kitab biografi
perawi hadis yang menyebutkan kalau Asy Sya’bi lahir jauh setelah
Sayyidah Fatimah AS dan Abu Bakar wafat. Bagaimana bisa orang awam tahu
kalau riwayat Asy Sya’bi dari Ali adalah mursal khafi kecuali ia
mempelajari ini dari kitab Musthalah hadis atau membaca Kitab Al Illal Daruquthni atau membaca Fath Al Bari. Justru orang awam lah yang akan terkelabui oleh pengandaian Ibnu Katsir yang berkata Ini suatu sanad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali 

Tapi mestinya dia melihat bagaimana Ibnu Katsir memberi dua kemungkinan, bisa jadi dia mendengar dari Ali atau mendengar dari orang yang mendengar dari Ali, karena Ibnu Katsir menyadari penjelasan ulama bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadits dari Ali bin Abi Thalib.
Dan mestinya anda melihat wahai penulis dengan tingkat kelimuan
anda bahwa kedua kemungkinan Ibnu Katsir itu adalah dhaif. Lihat
baik-baik
- Kemungkinan Pertama Asy Sya’bi mendengar dari Ali, sudah jelas mursal khafi sebagaimana yang anda kutip dari Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari. Hadis mursal sudah jelas dhaif kecuali ada hadis lain yang muttasil shahih yang menguatkan riwayat mursal tersebut.
- Kemungkinan kedua Asy Sya’bi mendengar dari orang yang mendengar
dari Ali. Bagaimana mungkin anda menyetujui Ibnu Katsir kalau sanad
seperti ini kuat. Sanad seperti ini sudah jelas dhaif karena tidak
diketahui siapa perawi yang mendengar dari Ali dan menyampaikan kepada
Asy Sya’bi. Bukankah bisa jadi perawi tersebut adalah perawi yang
dhaif.
Kemudian sang penulis tersebut malah berkata
Ibnu Katsir – yang tentunya lebih mengerti hadits dari kita-kita yang awam- mengatakan sanad ini kuat dan bagus, karena Ibnu Katsir telah mempelajari status riwayat Sya’bi dari kitab biografi perawi hadits. Tidak ada salahnya kita yang awam ini membaca langsung terjemahan nukilan dari kitab biografi perawi, agar mendapat gambaran lebih jelas tentang status riwayat dari Sya’bi – yang nama lengkapnya adalah Amir bin Syurahil As Sya’bi-:
Setelah saya mempelajari ini, saya pun terheran-heran dengan Ibnu
Katsir yang tentunya lebih mengerti masalah hadis tetapi justru
menyatakan sanad yang dhaif sebagai sanad yang kuat. Sepertinya dalam
pembahasan yang berkaitan dengan sentimen mahzab telah mempengaruhi
seorang Ulama dalam mengambil keputusan. Baik mari kita lihat apa yang
akan anda sampaikan wahai penulis
Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan ulama lain mengatakan bahwa Sya’bi adalah tsiqah, Al Ijli mengatakan bahwa Sya’bi meriwayatkan hadits dari empat puluh delapan sahabat, dia lebih tua dari Abu Ishaq dua tahun, dan Abu Ishaq lebih tua dua tahun dari Abdul Malik, dia tidak memursalkan hadits kecuali hampir seluruhnya adalah shahih
Tahdzibut Tahdzib jilid 5 hal 59
Beliau Asy Sya’bi adalah tabiin yang tsiqah. Hal ini sangat jelas
dalam Kitab Rijal Hadis. Tetapi permasalahannya bukan terletak pada
kredibilitas Asy Sya’bi, jadi anda membuang-buang waktu menuliskan
berbagai predikat tsiqat pada Asy Sya’bi
.
Pernyataan Al Ajli cukup relevan untuk dibahas. Seperti yang anda kutip Al Ajli mengatakan bahwa hampir seluruh mursal Asy Sya’bi adalah shahih. Apakah
dengan begitu anda memahami bahwa hadis apapun jika Asy Sya’bi berkata
Rasulullah SAW bersabda, maka hadis tersebut adalah shahih dengan
kesaksian Al Ajli. Kalau iya maka anda benar-benar naif. Seorang Ulama
berkata bahwa hadis seseorang yang mursal itu shahih karena dari
hadis-hadis mursal yang diriwayatkan orang tersebut ternyata dibenarkan
oleh hadis-hadis lain yang shahih dan sanadnya bersambung. Oleh karena
itu Ulama tersebut menerima hujjah mursal seseorang
.
Al Ajli bisa jadi mengetahui banyak riwayat mursal Asy Sya’bi dan
ternyata setelah ia pelajari ada banyak riwayat shahih lain yang
membuktikan kebenaran riwayat mursal Asy Sya’bi. Hal ini mungkin cukup
bagi Al Ajli untuk menyatakan hampir seluruh mursal Asy Sya’bi adalah
shahih. Tetapi adalah tidak benar menyatakan keshahihan hadis hanya
karena Asy Sya’bi yang meriwayatkannya. Hal ini bertentangan dengan
kaidah jumhur dalam menetapkan keshahihan hadis seperti yang tertera
dalamMuqaddimah Ibnu Shalah.
Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang adil(terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat.
Dalam hal ini pernyataan Al Ajli adalah pernyataan yang harus
dibuktikan kebenarannya dengan cara melihat semua riwayat mursal Asy
Sya’bi dan mencari syawahidnya dari hadis shahih lain yang bersambung
sanadnya. Karena bisa jadi Al Ajli tidak mengetahui ada riwayat mursal
Asy Sya’bi yang tidak memiliki syawahid dari hadis shahih lain
.
Dengan dasar ini maka saya kembalikan permasalahan ini kepada anda
wahai penulis, apakah ada riwayat shahih lain yang mendukung atau
menguatkan kebenaran riwayat mursal Asy Sya’bi dalam Sunan Baihaqi yang
anda kutip?. Sejauh penelitian saya tidak ada, tetapi mungkin anda lebih
tahu dan saya yang awam ini mohon diberikan wejangan 

Pada halaman yang sama Ibnu Hajar menukil ucapan Al Ajurri dari Abu Dawud: mursal dari Sya’bi lebih aku sukai daripada mursal Nakha’i.
Siapapun berhak suka atau tidak suka tetapi itu tidak menjadi
sebuah ketetapan bahwa mursal Asy Sya’bi sudah pasti shahih. Kembali
pada Buktikan maka saya percaya.
Ditambah lagi dengan riwayat dari Syarah Nahjul Balaghah karya Ibnul Maitsam dan Ibnu Abil Hadid yang menguatkan riwayat ini.
Riwayat yang anda maksud itu masih dipertanyakan keshahihannya jadi
tidak bisa menjadi penguat apapun karena riwayat itu sendiri justru
lebih membutuhkan penguat dari yang lain.
Allah menyebutkan salah satu sifat golongan muttaqin –orang bertakwa- dalam surat Ali Imran ayat 134, yaitu mereka yang memaafkan kesalahan manusia.
Benar sekali, saya sangat sependapat dengan anda wahai penulis
Tidak layak kita menyimpan dendam dalam hati selama bertahun-tahun, tanyakan pada diri kita apa manfaat yang kita dapat dari menyimpan dendam? Yang kita dapat adalah rasa marah, tidak ada manfaat yang kita dapat. Sebaliknya, maaf dapat membuat hati kita tenang dan lapang, selain itu kita juga mendapat berita gembira dari Allah, apakah kita tidak ingin mendapat ampunan dari Allah?
Benar sekali wahai penulis dan saya tambahkan sangat tidak layak
jika kata-kata anda ini ditujukan atas sikap Sayyidah Fatimah AS yang
marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar RA sampai akhir hayatnya.
Karena ini bukan soal dendam kesumat tetapi soal Kebenaran dan Hukum
Allah SWT. 

Saya tutup tulisan ini dengan Firman Allah SWT
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. (QS. Al Ma’idah 5:8 )
Salam Damai
Kemurkaan Fatimah kepada Abubakar dan Umar yang menyerang rumahnya
Muhammad lahir dalam keadaan yatim. Dan ketika Muhammad masih kecil,
ibunya Aminah binti Wahhab wafat. Padahal sebagaimana umumnya anak-anak
tentu Muhammad sedang begitu membutuhkan belaian kasih sayang ayah
bundanya.
Dalam kedukaannya sebagai anak kecil yang kehilangan ibu yang
mengasihinya, Abu Thalib, Paman Nabi itu mengambil Muhammad untuk
tinggal bersamanya. Muhammad di asuk oleh Fatimah binti Asad. Darinya
Muhammad memperoleh kasih sayang seorang ibu. Dalam pelukan kasih sayang
Fatimah binti Asad itu Muhammad dapat memanggilnya “Wahai Ibunda!”
Setelah Muhammad dewasa, Fatimah binti Asad wafat. Muhammad sangat
berduka hatinya. Ketika dalam kedukaan itu, Allah menganugrahkan
seorang putri kepada Muhammad. Setiap kali melihat putrinya itu,
Muhammad selalu teringat kepada ibu angkat yang sangat dia kasihi. Maka
dengan rasa kasih sayang pula Muhammad menamakan putrinya dengan
Fatimah.
Fatimah tumbuh sebagai gadis yang cerdas dan cantik. Muhammad sangat
menyayanginya. Ketika Fatimah berdiri di mihrabnya, berkas-berkas cahaya
merekah menerangi para penghuni langit, sebagaimana cahaya
bintang-bintang menerangi bumi. Oleh karena itu kemudian Fatimah
diujuluki Az-Zahra oleh ayahandanya.
Muhammad sangat menyayangi Fatimah, sehingga ia berkata, “barang
siapa yang menyakiti Fatimah, maka ia menyakiti aku. Fatimah adalah
bagian dari diriku, barang siapa yang membuatnya marah, maka ia
membuatku marah. Sesungguhnya Allah marah untuk marahnya Fatimah. Dan
Allah ridha untuk ridhanya Fatimah.”
Fatimah pun begitu mencintai ayahnya. Berat benar Fatimah menanggung
perasaan beban derita yang dialami oleh ayahandanya, Muhammad. Ketika
Muhamamd sujud di depan Ka`bah, kaum kafir Quraisy melempari Muhammad
dengan tahi dan usus unta. Fatimah tidak rela melihat ayahnya
diperlakukan seperti itu, lalu meminta kafir Quraisy itu untuk berhenti
dengan memarahi mereka. Segera Fatimah menghampiri ayahandanya. Dan
dengan kasih sayangnya, Fatimah yang masih berusia 9 tahun mengusap
wajah ayahadannya yang penuh dengan debu dan kotoran unta. Fatimah
menangis untuk ayahnya. “wahai Ayah, apa yang telah mereka lakukan
kepadamu?” Fatimah memeluk Muhammad seakan Fatimah adalah Fatimah binti
Asad yang ketika masa kanak-kanak Muhammad dahulu, Fatimah senantiasa
memeluk Muhammad kala Muhammad merasakan kesedihan. Betapa tidak,
Muhammad mencintai putrinya itu, karena Fatimah tidak saja sebagai
putrinya yang cantik, pintar dan mulia akhlaknya, tetapi juga bagaikan
ibu yang senantiasa menghapus duka laranya.
Sepeninggal Muhammad saw, Fatimah menangung beban derita yang dalam.
Tubuhnya ringkih dan sakit-sakitan. Terutama setelah Umar memukul
perutnya yang sedang hamil, sehingga Muhsin, bayi yang berada dalam
kandungan Fatimah jatuh ke tanah. Ia pun telah pergi mendatangi Abu
Bakar, meminta tanah Fadaq peninggalan ayahandanya sebagai harta warisan
baginya. Karena bukan saja karena Fatimah membutuhkan harta warisan
itu, tetapi karena seseorang harus mengambil apa yang menjadi haknya.
Tetapi Abu Bakar menolak memberikannya, karena Abu Bakar mengaku bahwa
temannya memberi tahu dirinya bahwa temannya itu pernah mendengar
Rasulullah bersabda, “Para nabi itu tidak meninggalkan warisan harta
benda. Yang di wariskan para nabi itu hanyalah ilmu.” Tapi Fatimah tidak
sependapat dengan Abu bakar. Perselisihan pun terjadi. Tapi Abu Bakar
tetap dalam pendiriannya. Fatimah menjadi murka kepada Abu Bakar. Ia pun
bersumpah bahwa sampai ajal menjemputpun, Fatimah tidak mau lagi
melihat wajah Abu Bakar.
Malam-malamnya dipenuhi dengan doa dan tangisan. Karena seringnya
Fatimah menangis, maka orang-orang menggelarinya al-Bahai (yang sering
menangis). Tak jarang Fatimah datang ke kubur Muhammad, sambil menangis
lalu mengadukan segala soalan hidupnya seakan-akan. “Wahai Rasulullah,
ayahandaku! Apakah engkau melihat, apa yang telah dilakukan oleh umatmu
terhadap ku?” lalu Fatimah menangis sejadi-jadinya.
Fatimah jatuh sakit. Berita sakitnya Fatimah terdengar oleh Abu
Bakar. Lalu Abu Bakar menangis dan berkata, “Sungguh bagiku, keredhaan
Fatimah, putri Rasulullah adalah lebih baik bagiku dari pada langit,
bumi dan segala isinya.” Lalu Abu Bakar datang menjenguk serta meminta
maaf kepada Fatimah.
Dengan kasih sayang, Ali selalu mendampingi Fatimah dalam sakitnya
itu. Dengan nada sendu, Fatimah berkata kepada suaminya, “Wahai Putra
Pamanku, saat-saat yang kunantikan sudah semakin dekat. Dan jiwaku
semakin merunduk. Tidak ada yang kuharapkan selain pertemuan dengan
ayahku, Rasulullah. Dan aku ingin berwasiat kepadamu!”
Dengan lembut, Ali menjawab, “Wasiatkanlah kepadaku, duhai Fatimah, Putri Rasulullah, kekasihku!”
“wahai Putra Pamanku, engkau tidak mendustakan dan tidak mengkhianati
janji-janji yang kau ucapkan. Dan aku tidak pernah berpaling dari mu,
tidak pula mengkianatimu, sejak kita besama selamanya.” Demikian
Fatimah, dengan suaranya yang lemah. Lalu keduanya saling berpegangan,
saling berpelukan dan menangis dalam cinta.
“inilah yang ingin aku wasiatkan , Pertama, sepeninggalku engkau
nikahilah Umamah binti Abi Al-Ash! Sesungguhnya ia menyayangi
anak-anakku seperti aku menyayangi anak-anakku. Kedua, buatkanlah aku
keranda untuk mayatku. Dan tanyakan kepada Asma binti Umais tentang
bentuk kerandanya. Karena aku telah memberi tahunya tentang bentuk
keranda yang aku inginkan, bila aku mati. Tutuplah kerandaku dengan
rapat, dikafani dan dibungkus dengan kain lampin yang tebal. Ketiga,
kuburkanlah aku di tanah Baqi pada malam hari, tak jauh dari ayahandaku
dikuburkan.”
Umamah binti Abi al-Ash adalah Putri Zainab binti Muhammad. Bukanlah
hal mudah bagi Ali untuk menjalankan wasiat dari Fatimah. Tapi karena
cintanya kepada Fatimah, Ali berjanji untuk melaksanakan semua wasiat
itu.
Setelah mendengar suaminya mau berjanji untuk melaksanakan wasiat
itu, Fatimah tampak senang dan bercahaya wajahnya. “Wahai Putra Pamanku,
sesungguhnya wajah ayahandaku Rasulullah, selalu hadir di pelupuk
mataku. Aku rindu bertemu dengannya. Akulah orang pertama yang akan
menjumpainya di antara ahli baitnya.”
Fatimah, wanita suci lagi disucikan, pemimpin kaum wanita surga,
bunga terindah di dunia dan diakhirat, kini ia gugur layu ke bumi. Ia
wafat pada malam selasa bulan ramadhan tahun 11 Hijriah. Semua menangis
karena kehilangan wanita yang agung itu. Tapi tidak ada yang dapat
dilakukan, datang dan pergi, mendapat dan kehilangan, berjumpa dan
berpisah lagi adalah hukum kehidupan yang tak dapat diingkari. Tidak ada
jalan lain kecuali merelakannya. Fatimah wafat dalam usia dua puluh
sembilan tahun.
Kabar kematian Fatimah segera tersebar luas di Madinah. Orang-orang
berdatangan dan berkumpul di rumah Fatimah. Hasan dan Husain menangis
dipangkuan ayahandannya Ali, yang juga tampak bersedih kehilangan.
Kepergian Fatmah Az-Zahra diiringi tangisan pilu seluruh kaum
muslimin yang mengantarkan ke pemakaman dengan diliputi duka yang
mendalam. Ali menyalatinya, dan iapun turun ke dalam liang lahat,
berdiri pada bagian kepala Fatimah, mengantarnya dengan kalimat-kalimat
yang membangkitkan kesedihan hadirin. Maka, jenazah yang suci dan wangi
itupun dikuburkan
.
Disebutkan dalam shahih Bukhori dalam kitab Bada’ al-Khalq di bab
Manaqib qarabatu Rasulillah saw bahwa Rasulullah saw bersabda : ”
Fatimah adalah bagian dariku, maka barang siapa yang membikin marah dia
maka telah membuatku marah” hadis seperti ini juga di riwayatkan dalam
kitab Kanz Al-Ummal jilid 6 halaman 230. Disebutkan juga dalam kitab
shahih Bukhori dalam kitab Al-Nikah disebutkan juga dalam kitab Musnad
Ahmad jilid 4 halaman 328
.
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di dalam bab Fadhail as-Shahabah.
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di al-Bab al-Mutaqadim.
Disebutkan juga dalam kitab shahih at-Tirmidzi jilid 2 halaman 319.
disebutkan juga dalam kitab al-Mustadrak ala al-Shahihain jilid 3 halaman 158
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di dalam bab Fadhail as-Shahabah.
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di al-Bab al-Mutaqadim.
Disebutkan juga dalam kitab shahih at-Tirmidzi jilid 2 halaman 319.
disebutkan juga dalam kitab al-Mustadrak ala al-Shahihain jilid 3 halaman 158
.
Disebutkan juga dalam kitab Hilah al-Auliya’ jilid 2 halaman 40 hadis diatas disebutkan dalam alur yang berbeda di dalam kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ” sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk Ridhanya Fatimah.” hadis-hadis tentang kemuliaan sayidah Fatimah as dimuat di seluruh buku-buku ulama’ sunni yang mu’tabar dan penting. Sayidah Fatimah adalah kecintaan Nabi saw, kecintaan Nabi saw adalah kecintaan Allah swt. disebutkan didalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt berfirman : “sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”
Disebutkan juga dalam kitab Hilah al-Auliya’ jilid 2 halaman 40 hadis diatas disebutkan dalam alur yang berbeda di dalam kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ” sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk Ridhanya Fatimah.” hadis-hadis tentang kemuliaan sayidah Fatimah as dimuat di seluruh buku-buku ulama’ sunni yang mu’tabar dan penting. Sayidah Fatimah adalah kecintaan Nabi saw, kecintaan Nabi saw adalah kecintaan Allah swt. disebutkan didalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt berfirman : “sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”
Disebutkan dalam kitab الوافی بالوفیات jilid 2 halaman 17 bahwa
ابراهیم ابن سیار النظام berkata bahwa sesungguhnya Umar ibn khattab
(khalifah kedua) telah memukul perut sayidah Fatimah as (yang dalam
keadaan hamil) di hari baiat (hari dimana masyarakat dipaksa untuk
berbaiat kepada Abubakar) sampai Muhsin (anak yang dikandungnya) keluar
dari perutnya jatuh ketanah
.
Disebutkan juga dalam kitab الامامة و السیاسة jilid 1 halaman 12
bahwa IBn Qutaibah Ad-Dainuri berkata : sesungguhnya Abubakar mencari
sekelompok orang untuk berbaiat kepadanya yang mana sekelompok tersebut
berada di rumah sayidina Ali as maka Abu bakar mengirim Umar, datanglah
Umar ke rumah sayidina Ali as dan dia memanggil mereka semua yang berada
di dalam rumah sayidina Ali as, akan tetapi mereka semua tidak ada yang
menjawab teriakan Umar, dan tidak ada satupun yang keluar, maka Umar
untuk kedua kalinya dengan membawa kayu bakar yang ada di tangannya dia
berteriak : “demi yang jiwaku berada di tangannya kalian semua akan
keluar atau aku bakar rumah ini beserta yang berada didalamnya.” satu
orang dari dalam rumah berkata kepada Umar : “wahai ayahnya Hafsah
sesungguhnya Fatimah berada di dalam rumah ini.”
Umar berkata :”walaupun dia ada” (aku akan tetap membakar rumah ini).
kejadian ini juga dimuat di dalam kitab العقد الفرید jilid 4 halaman
259 cetakan mesir dengan alur yang sedikit berbeda.. di dalam kitab کنز
العمال jilid 3 halaman 140 bahwa umar berkata keada sayidah Fatimah as:
“tidak ada orang yang lebih dicintai oleh ayahmu lebih daripada cintanya
kepadamu, akan tetapi ini tidak akan mencegahku, sebagaimana sekelompok
orang ini yang telah berkumpul di dekatmu, aku akan memerintah mereka
untuk membakar rumahmu.”
Orang-orang yang menyerang rumah putri Nabi saw itu disebutkan di
dalam kitab تاریخ الطبری jilid 2 halaman 443-444. kejadian juga
disebutkan dalam kitab تاریخ ابوالغداء jilid 1 halaman 156 dengan alur
yang sedikit berbeda yaitu Abubakar menyuruh Umar untuk mengambil baiat
dari orang-orang yang berada di dalam rumah sayidina Ali, dan jika
mereka menolak maka perintah berikutnya adalah Umar harus menyerang
mereka, dan Umar membakar rumah sayidah Fatimah as..
Disebutkan di kitab2 sejarah bahwa sayidah Fatimah mulai saat itu
sampai meninggal tidak mau berbicara kepada Abubakar dan Umar dan juga
tidak Ridha atas perbuatan mereka, serta marah atas apa yang mereka
lakukan kepadanya dan sayidina Ali as.. disebutkan juga didalam kitab
sejarah bahwa sayidah Fatimah setiap selesai sholat selalu mengadu
kepada Allah swt atas perbuatan mereka….
disebutkan juga dalam kitab-kitab sejarah bahwa Fatimah a.s berkata kepada Khalifah pertama dan kedua: “Jika aku membacakan hadis dari Rasulullah SAWW apakah kalian akan mengamalkannya?”
disebutkan juga dalam kitab-kitab sejarah bahwa Fatimah a.s berkata kepada Khalifah pertama dan kedua: “Jika aku membacakan hadis dari Rasulullah SAWW apakah kalian akan mengamalkannya?”
“Ya”, jawab mereka singkat.
Ia melanjutkan: “Demi Allah, apakah kalian tidak pernah mendengar
Rasulullah SAWW bersabda: “Kerelaan Fathimah adalah kerelaanku dan
kemurkaannya kemurkaanku. Barang siapa mencintai Fathimah putriku, maka
ia telah mencintaiku, barang siapa yang membuatnya rela, maka ia telah
membuatku rela, dan barang siapa membuatnya murka, maka ia telah
membuatku murka”?
“Ya, kami pernah mendengarnya dari Rasulullah SAWW”, jawab mereka pendek.
“Kujadikan Allah dan malaikat sebagai saksiku bahwa kalian berdua
telah membuatku murka. Jika aku kelak berjumpa dengan Rasulullah,
niscaya aku akan mengadukan kalian kepadanya”, lanjutnya.
Di kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ”
sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk
Ridhanya Fatimah.”
Disebutkan di dalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt
berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan
RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan
menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”
Kesalahan Nashibi Perihal Idraaj Dalam Hadis Aisyah Berlafaz Qaala
Kami membuat tulisan ini khusus untuk meluruskan penyimpangan ilmu
hadis ala nashibi perihal idraaj dalam hadis Aisyah yaitu hadis-hadis
Aisyah yang mengandung lafaz [qaala]. Pada kasus sebelumnya, nashibi
berhujjah dengan riwayat Aisyah dalam Tarikh Ash Shaghiir Al Bukhariy
حدثنا أبو اليمان انا شعيب عن الزهري أخبرني عروة بن الزبير عن عائشة فذكر الحديث قال وعاشت فاطمة بعد النبي صلى الله عليه وسلم ستة أشهر ودفنها علي
Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah
menceritakan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah
mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah lalu menyebutkan
hadis, [qaala] “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy [Tarikh
Ash Shaghiir juz 1 no 116]
Menurut nashibi lafaz [qaala] disana adalah idraaj dan riwayat ini ia
katakan menjadi bukti nyata bahwa lafaz “Fathimah hidup enam bulan”
adalah idraaj Az Zuhriy. Kami katakan bahwa ini kesalahan menyedihkan
dan kami tidak habis pikir bagaimana kesalahan ini bisa muncul dari
orang yang sudah akrab dengan ilmu hadis. Lafaz [qaala] pada riwayat di
atas bukan bermakna idraaj [sisipan perawi] tetapi bermakna perawi
berkata melanjutkan perkataan Aisyah atau perawi berkata dengan
membawakan perkataan Aisyah.
Kami akan membawakan salah satu contoh penulisan atau peringkasan hadis Aisyah yang mengandung lafaz [qaala].
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق أنا بن جريج قال أخبرت عن بن شهاب عن عروة عن عائشة أنها قالت وهي تذكر شأن خيبر كان النبي صلى الله عليه و سلم يبعث بن رواحة إلى اليهود فيخرص عليهم النخل حين يطيب قبل أن يؤكل منه ثم يخيرون يهود أيأخذونه بذلك الخرص أم يدفعونه إليهم بذلك وإنما كان أمر النبي صلى الله عليه و سلم بالخرص لكي يحصى الزكاة قبل أن تؤكل الثمرة وتفرق
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrazaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij
yang berkata telah diberik kabar dari Ibnu Syihaab dari Urwah dari
Aisyah bahwasanya ia berkata dan ia bercerita tentang kisah Khaibar
“Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Ibnu Rawaahah kepada
orang-orang yahudi untuk menaksir kurma ketika telah layak panen sebelum
dimakan kemudian orang-orang yahudi itu diberi pilihan, apakah mereka
mengambil bagiannya dengan takaran yang ditetapkan atau membayar kepada
mereka atas bagiannya. Sesungguhnya hanyalah perintah Nabi untuk
menaksir kurma agar dapat dihitung pengeluaran zakatnya sebelum dimakan
buahnya dan dibagi-bagikan [Musnad Ahmad 6/163 no 25344]
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن بكر أنا بن جريج عن بن شهاب أنه بلغه عنه عن عروة عن عائشة أنها قالت وهي تذكر شأن خيبر فذكر الحديث إلا أنه قال حين يطيب أول التمر وقال قبل أن تؤكل الثمار
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Bakr yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu
Juraij dari Ibnu Syihaab bahwasanya telah sampai kepadanya dari Urwah
dari Aisyah bahwa ia berkata dan ia bercerita tentang kejadian khaibar,
kemudian menyebutkan hadisnya, hanya saja ia berkata “ketika awal panen
kurma” dan berkata “sebelum dimakan buahnya” [Musnad Ahmad 6/163 no
2545]
Apakah beradasarkan riwayat Ahmad di atas maka kita katakan lafaz
“Hiina yathiibu awwalut tamri” [yang dicetak merah] adalah idraaj dari
Az Zuhriy karena diawali dengan lafaz [qaala] yang berarti perawi
laki-laki berkata?. Jawabannya tidak, lafaz tersebut adalah lafaz Aisyah
inilah salah satu riwayat lengkap yang memuat lafaz tersebut
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ح وَحَدَّثَنَا ابْنُ صَاعِدٍ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ زَنْجُوَيْهِ , ثنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ , ثنا ابْنُ جُرَيْجٍ , عَنِ الزُّهْرِيِّ , عَنْ عُرْوَةَ , عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ وَهِيَ تَذْكُرُ شَأْنَ خَيْبَرَ , وَقَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْعَثُ بِابْنِ رَوَاحَةَ إِلَى الْيَهُودِ فَيَخْرُصُ النَّخْلَ حِينَ تَطِيبُ أَوَّلَ التَّمْرَةِ قَبْلَ أَنْ يُؤْكَلَ مِنْهَا ثُمَّ يُخْبِرُ يَهُودَ يَأْخُذُونَهَا بِذَلِكَ الْخَرْصِ أَوْ يَدْفَعُونَهُ إِلَيْهِمْ بِذَلِكَ الْخَرْصِ , وَإِنَّمَا كَانَ أَمْرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْخَرْصِ لِكَيْ تُحْصَى الزَّكَاةُ قَبْلَ أَنْ تُؤْكَلَ الثِّمَارُ وَتَفَرَّقَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar An Naisaburiy yang
berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya. Dan telah
menceritakan kepada kami Ibnu Shaa’idin yang berkata telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Zanjuwaih yang berkata telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ibnu Juraij dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah bahwasanya
ia berkata dan ia menceritakan kejadian Khaibar. Aisyah berkata “Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Ibnu Rawahah kepada orang-orang
yahudi untuk menaksir kurma ketika awal panen kurma sebelum dimakan
kemudian orang-orang yahudi itu diberi pilihan, apakah mereka mengambil
bagiannya dengan takaran yang ditetapkan atau membayar kepada mereka
atas bagiannya. Sesungguhnya hanyalah perintah Nabi untuk menaksir kurma
agar dapat dihitung pengeluaran zakatnya sebelum dimakan buahnya dan
dibagi-bagikan [Sunan Daruquthniy 3/52 no 2052]
Jadi apa makna [qaala] dalam riwayat Ahmad sebelumnya?. Lafaz qaala
disana bermakna perawi berkata dalam hadisnya yaitu perkataan Aisyah
“ketika awal panen kurma”. Begitu pula dengan riwayat Bukhari dalam
Tarikh As Shaghiir sebelumnya, lafaz qaala disana bermakna perawi
berkata daam hadisnya yaitu perkataan Aisyah “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy”.
Kami telah membawakan bukti-bukti berupa riwayat dimana lafaz tersebut
diawali dengan kata [qaalat] yang berarti Aisyah berkata.
Hal ini cukup untuk membungkam syubhat menyedihkan para nashibi,
tetapi sepertinya nashibi tersebut tetap tidak akan menerimanya. Sungguh
jelas terlihat siapa sebenarnya yang sedang mencari kebenaran dan siapa
yang mencari pembenaran terhadap hawa nafsu dan kebenciannya.
Hanya ini sajian ringkas yang dapat kami tuliskan untuk meluruskan
penyimpangan ilmu hadis ala nashibi perihal idraaj dalam hadis Aisyah.
Semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Wassalam
No comments
Post a Comment