kemarahan sayidah Fatimah AS kepada khalifah pertama dan kedua adalah kemarahan syi’ah
Rasulullah
saw bersabda : “Siapa yang meninggal dan tidak mengenal (berbaiat) imam
zamannya maka matinya , terhitung sebagai matinya orang yang dalam
keadaan jahil(kafir).” {Syarkh Maqashid jilid 5 halaman 239, dan Syarkh
fighi al-Akbar halaman 179 dan di kitab-kitab lain ahlu sunnah maupun
syiah.}
Rasulullah saw berkata kepada sayidah Fatimah (putrinya) :
“sesungguhnya Allah swt tidak akan mengadzabmu dan tidak akan mengadzab
satupun dari anak-anakmu”{al-Mu’jam al-Kubra jilid 11 halaman 210 dan
al-Shawaiq al-Muhriqah halaman 160 dan 235
Serta banyak dari kitab-kitab syiah dan kitab-kitab sunni yang lain.}
Rasulullah saw bersada : “Fatimah adalah bagian dariku siapa yang
telah membuatnya marah maka telah membuatku marah” {shahih al-Bukhari
hadis ke 3510 dan di seluruh kitab-kitab sunni dan syiah}
Disebutkan di dalam shahih al-Bukhari jilid 5 halaman 177 bahwa
sayidah Fatimah setelah meminta warisan Nabi (yang merupakan haknya)
dari khalifah pertama dan khalifah tidak memberikan warisan itu, sejak
saat itu sayidah Fatimah tidak pernah lagi berbicara kepada Kalifah
pertama (Abubakar) samapai akhir hayatnya. hal ini juga disebutkan di
banyak dari buku-buku sejarah ulama’ syiah dan sunni. Juga disebutkan di
kitab-kitab ahl sunnah/sunni dan syiah bahwa sayidah Fatimah
meninggaldalam keadaan marah kepada khalifah pertama (Abubakar) dan
khalifah kedua (Umar). Dan di kitab-kitab sunni dan syiah disebutkan
bahwa sayidah Fatimah tidak mau makamnya di ketahui oleh masyarakat
olehkarena itu beliau meminta suaminya(sayidina Ali ra) untuk
memamkamkannya di malam hari supaya tidak ada yang mengetahui makamnya.
dan sampai sekarang pun tidak ada satupun dari muslimin yang tahu
diamana makamnya.
Point-point yang dapat diperhatikan:
* 1. Hadis diatas tentang keutamaan sayidah fatimah adalah
shahih/benar karena diriwayatkan hampir di seluruh kitab-kitab syiah dan
sunni,
* 2 .Tentang kemarahan sayidah Fatimah kepada khalifah pertama dan
kedua juga benar karena perawinya tidak cuma satu atau sepuluh akan
tetapi lebih dari itu,
* 3. Hadis tentang “orang yang tidak tahu imam zaman nya maka matinya
mati jahiliyah” juga benar karena di sunni maupun syiah ada, dari
3point diatas kita mengetahui bahwa sayidah Fatimah pasti sebelum
meninggal pasti berbaiat kepada Imam zamannya karena sayidah Fatimah
orang yang pasti masuk sorga maka pasti melakukan perintah Rasulullah
saw. dan dari 3point diatas kita dapat mengetahui bahwa sayidah Fatimah
tidak menganggap bahwa Abubakar adalah Imam zamannya, dan pasti telah
menganggap orang lain sebagai Imamnya. dan ini membuktikan bahwa
kekhalifahan Abubakar tidak dibenarkan oleh sayidah Fatimah az-zahra.
Dan kalau kita perhatikan hadis-hadis dibawah ini kita ketahui bahwa siapa yang dianggap sebagai imam oleh sayidah Fatimah.:
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang tidak berkata bahwa Ali adalah
sebaik-baik manusia maka telah kafir” {Tarikh al-Khatib al-Baghdadi
jilid 3 halaman 192 , Kanz al-Ummal jilid 11 halaman 625} Rasulullah saw
bersabda:”jika kalian menjadikan Ali sebagai pemimpin kalian-(dan aku
melihat kalian tidak melaksanakannya)-maka kalian akan menemukan bahwa
dia(Ali) adalah pemberi petunjuk yang akan menunjukkan kepada kalian
jalan yang lurus dan benar.” {musnad ahmad jilid 1 halaman 108}
Rasulullah saw bersabda : “siapa yang menaatiku maka telah menaati
Allah swt, dan siapa yang melanggar perintahku maka telah melanggar
perintah Allah,dan siapa yang menaati Ali maka telah menaatiku, dan
siapa yang telah melanggar perintahnya maka telah melanggar perintahku.”
{mustadrak Hakim jilid 3 halaman 121}
Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Ali adalah kota hidayah, maka
barangsiapa yang masuk ke dalam kota tersebut akan selamat dan siapa
yang meninggalkannya akan celaka dan binasa.”{Yanabi’ al-Mawaddah jilid 1
halaman 220 hadis ke 39}
Apakah Rasulullah saww memberi warisan kepada keluarganya atau tidak?
Ahlul sunnah tentang hal ini yakin bahwa seluruh Nabi tidak
mewariskan suatu apapun, seluruh harta Nabi setelah Nabi Meninggal
adalah sedekah. Dalil mereka adalah cuma satu hadis yang disebutkan oleh
Abu bakar. Abu bakar berkata: “Nabi Muhammad saw bersabda : “Kami para
nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah
sedekah”.
Dan berdasarkan hadis ini setelah meninggalnya Nabi saw mereka mengambil tanah fadak dan harta-harta Nabi saw yang lain.
Ketika sayidah Fatimah az-Zahra putrii Nabi saw meminta kembali tanah
fadak yang merupakan haknya , Abubakar berkata : sesungguhnya Nabi saw
telah bersabda : ” Kami para nabi tidak meninggal tidak meninggalkan
warisan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.”
Tanpa maksud untuk berat sebelah dengan madzhab tertentu tema ini kita teliti dan kita selidiki kebenaranya.
Point pertama : Dari seluruh sahabat Nabi saw hanya Abubakar yang
meriwayatkan hadis di atas. Suyuti di dalam bukunya Tadrib ar-Rawi
menerangkan bahwa jumlah sahabat setelah meninggalnya Nabi saw adalah
114ribu orang dan hanya Abubakar yang menukil hadis ini, dan tidak
satupun dari mereka yang menukilnya. Sampai-sampai istri-istri Nabi saw
tidak tau sama sekali tentang hadis ini. Sayidina Ali yang kesehariannya
selalu bersabda saw tidak pernah mendengar hadis ini, dan sayidah
Fatimah az-Zahra putrid Nabi saw yang merupakan kebanggaan Nabi saw dan
bagian dari Nabi saw juga sama sekali tidak menukil hadis ini.
Para pembesar ahlu sunnah juga mengakui bahwa hadis ini hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis ini.
Abul Qosim Bangwi yang meninggal tahun 317H, Abubakar Syafi’I yang
meninggal tahun 354H, Ibn Asakir, Suyuti, Ibn Hajar Makki, Muttaqi
Hindi, mereka semua menjelaskan bahwa selain Abubakar tidak seorangpun
dari sahabat-sahabat Nabi saw yang mendengar hadis diatas dan tidak
seorang pun yang menukilnya atau meriwayatkannya.
Point Kedua: sebagian ulama’ besar ahlusunnah seperti Ibn Adi pemilik kitab al-Kamil fi at-Dhuafa’,
Riwayat-riwayat yang dari pandangan ahlusunnah dho’if , batil dan
bohong serta buatan dinukil didalam kitabnya. Dia (Ibn Adi) tentang
riwayat hadis ini berkata: “hadis ini batil, tidak benar.”
Perkataan Ibn Adi ini adalah dari ulama’-ulama’ ahlu sunnah yang
mengatakan bahwa : ” قلت لابن خراج حدیث ما ترکناه الصدقة قالوا باطل”
Tentang hal ini Dzahabi di dalam kitab Tadzkiratu al-Hifadh jilid 2
halaman 683 dan di dalam kitab Sair A’lami an-Nubala’ jilid 13 halaman
510 begitu juga Ibn Hajar As-Qolani di dalam kitab Lisan al-Mizan jilid 3
halaman 44 dan di dalam kitab al-Kamil fi al-Dhuafa’ menyebutkan bahwa
hadis ini (yang tersebut diatas) adalah batil dan tidak benar.
Point ketiga: perdebatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abubakar.
Setelah perampasan tanah fadak sayidah Fatimah menemui Abubakar dan
berkata kepada Abubakar mengapa engkau merampas tanah fadak dari kami?
Kemudian Abubakar membaca hadis diatas .
Setelah itu sayidah Fatimah az-Zahra menetapkan satu perkara islami
dan dengan 2 ayat al-Quran memberikan dalil bahwa perkataan Abubakar
batil dan tidak benar. Sayidah Fatimah az-Zahra berkata : “اترث اباک ولا
ارث ابی” Hai Abubakar, kau mewarisi warisan dari ayahmu dan aku Fatimah
(putri Nabi saw) tidak mewarisi warisan ayahku (apakah ini bisa
diterima akal)?
” تزعمون ان لا ارث لي افعلی عمد ترکتم کتاب الله ونبضتموه وراء ظهورکم”
Apakah kamu tidak membayangkan dengan pikiran ini kamu telah
menentang kitab Allah dan perintah-perintah Allah telah kamu letakkan
dibawah kakimu (kamu menentang perintah-perintah Allah ). Kamu berkata
kalau para Nabi tidak meniggalkan warisan. Akan tetapi al-Quran tentang
Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud berkata: “وورث سلیمان داوود”(dan Suleiman
telah mewarisi warisan dari (ayahnya) Dawud as.)
Dan juga hubungan antara Nabi Yahya dan Zakaria, Nabi Zakaria berkata:
“فهب لي من لدنک وليا يرثني ويرث من آل يعقوب” (Maka anugerahilah aku
dari sisimu seorang putera,yang akin mewarisi aku dan mewarisi sebagian
keluarga Ya’qub).
Jika seluruh Nabi tidak memberikan warisan , kenapa Nabi Zakaria
meminta kepada Allah swt seorang anak yang akna mewarisi semua miliknya,
dan semua milik keluraga Ya’qub?
Al-Quran mengeluarkan satu hukum yang mutlak yang ditujukan untuk seluruh orang-orang yang islam. Al-Quran berkata :
“یصیکم الله فی اولادکم للذکر مثل حظ الانثببن” surah an-Nisa ayat 11.
(Allah mensyariatkan Kepadamu tentang (pembagian pusaka/warisan
untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki adalah sama
dengan 2bagian anak perempuan….)
(فزعمتم ان لا حظ لي ولا ارث لي من ابي) (ولا ارث من ابي افحکم الله بآیة اخرج ابي منها)
Apa kamu berfikir kalau ada ayat yang lain yang melarang aku untuk mendapatkan warisan dari ayahku? “ام يقولون اهل ملتین لا یتوارثان”
Apa kamu berfikir kalau ada ayat yang lain yang melarang aku untuk mendapatkan warisan dari ayahku? “ام يقولون اهل ملتین لا یتوارثان”
Apakah kamu meliki keyakinan kalau aku bukan seorang muslim dan telah murtad sehingga aku tidak bias mewarisi warisan ayahku?
Ini adalah perdepatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abu-Bakr ,
kejadian ini dinukil / diriwayatkan oleh Jauhari salah seorang ulama
besar Ahlu sunnah didalam kitab as-Saqifah wa Fadak halaman 144 dan juga
dinukil / diriwayatkan oleh Ibn Abi Alhadid didalam kitabnya البلاغة
نهج شرح Begitu juga Ahmad Ibn Abi Thahir Baqdadi yang tereknal dengan
Ibn Thaifur dalam kitab بلاغات النساء halaman14 menukilnya
Point keempat : mengapa mereka tidak memberikan tanah Fadak kepada sayidah Fatimah az-Zahra ?
Didalam kitab السیرة الحلبیه jilid 2 halaman 485 dan jilid 3 halaman 362 disebutkan bahwa:
جائت فاطمة بنت رسول الله(ص) الی ابي بکر وهو علی المنبر فقالت : یا ابا
بکر افي کتاب الله ان ترث ابنتک ولا ارث ابي؟ فاستعبر ابوبکر باکیا. ثم
قال: بابای ابوک. وبابای انت. ثم نزل فکتب لها بفدک . ودخل علیه عمر
فقال:ما هذا فقال:کتاب کتبته لفطة میراثها من ابیها. قال: فماذا تنفق علی
المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری
ثم اخذ عمرالکتاب فشقه
ثم اخذ عمرالکتاب فشقه
Ketika sayidah Fatimah az-Zahra datang menemui Abubakar yang ketika
itu sedang berada di atas mimbar. Beliau ( sayidah Fatimah ) berkata :
“wahai Abubakar Apakah didalam Al-Quran terdapat ayat yang menerangkan
bahwa putrimu boleh mewarisi warisan darimu sedangkan aku tidak boleh
mewarisi warisan dari ayahku ?” (setelah mendengar hal itu) maka
Abubakar menyesal dan menangis kemudian turun dari mimbar dan menulis
sebuah tulisan (yang menyatakan bahwa Abubakar mengembalikan tanah fadak
terhadap putri Nabi saw ) untuk sayidah Fatimah, ketika selesai menulis
Umar masuk menemui Abubakar dan berkata : ini apa (tulisan ini untuk
siapa dan tentang apa)?
Abubakar Menjawab: ini tulisan yang aku tulis untuk Fatimah tentang warisan-warisan untuknya dari ayahnya. Umar berkata: Apa yang akan kau berikan kepada Muslimin(kalau bukan dengan tanah fadak) sedangkan semua orang arab telah melawan seperti yang telah kamu saksikan . Kemudian Umar mengambil surat/tulisan tersebut dan merobek-robeknya.
Abubakar Menjawab: ini tulisan yang aku tulis untuk Fatimah tentang warisan-warisan untuknya dari ayahnya. Umar berkata: Apa yang akan kau berikan kepada Muslimin(kalau bukan dengan tanah fadak) sedangkan semua orang arab telah melawan seperti yang telah kamu saksikan . Kemudian Umar mengambil surat/tulisan tersebut dan merobek-robeknya.
Disini terdapat point penting dan menarik. “فماذا تنفق علی المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری”
Tulisan ini menerangkan bahwa (pada saat itu ) kabilah-kabilah arab
telah bangkit melawan kita sedangkan tidak seorangpun yang membayar
zakat dan pajak kepada kita. Dengan harta apa kamu ingin menjaga
kekuasaan.
Kemudian pada kalimat terakhir “ثم اخذ عمر الکتاب فشقه” tulisan ini
menyebutkan bahwa Umar mengambil tulisan Abubakar dan kemudian
menyobeknya. Kalau Umar menghormati kekhalifahan Abubakar maka Umar
tidak akin menyobek tulisan Abubakar yang merupakan pemimpinnya.
Setelah
kaum muslimin menyalati jenazah Nabi saw., Imam Ali as. menggali
kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah sau-daranya itu.
Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari
menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia
mengeluh: “Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu.
Sesung-guhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu.
Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan
sesudah-mu terdapat peristiwa besar.”[1]
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam
kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah
menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil meng-ubah
perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada
kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam
kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata
mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk
hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun
harta untuk kepentingannya sendiri.
Muktamar Tsaqîfah
Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi
yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat
peris-tiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka
sekaligus membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum “pemberontak” telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani
Sâ‘idah pada hari Nabi saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu,
suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya
kekhalifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin
muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang
telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh
Nabi saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum.
Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu
rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Nabi
saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka
melontarkan tuduhan bahwa Nabi saw. sedang mengigau sehing-ga mereka
pun berhasil melakukan makar tersebut.
Ala kulli hal, kaum Anshar telah berperan sebagai tulang
punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Nabi saw. dan mereka pernah
mene-barkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu
hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu
orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh
karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir
terhadap kaum Muhajirin.
Hubâb bin Munzdir berkata: “Kami betul-betul merasa khawatir bila
kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan
saudara-saudara mereka telah kita bunuh.”[2]
Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia
pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa.
Mereka berusaha merendahkan dan menghinakan para khalifah itu. Mu‘âwiyah
telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu‘âwiyah memerintah,
dia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka
dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta,
darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah
menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.
Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar
men-calonkan Sa‘d sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin
suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa‘d karena kedengkian yang telah
tertanam antara sukunya dan suku Sa‘d, Khazraj. Sudah sejak lama memang
hubungan antara kedua suku ini tegang.
‘Uwaim bin Sâ‘idah bangkit bersama Ma‘n bin ‘Adî, sekutu Anshar,
untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada
dua sahabat ini peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar
dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara
tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum
Anshar. Wajah Sa‘d berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara
Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk
membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah
memainkan peranannya yang aktif di ajang perebutan kekuasaan itu. Dia
menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar
keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid
Nabi saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam
baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula
pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar,
Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar
Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. menolak
dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk
menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Nabi
saw. Kedudukan Ali as. di sisi Nabi saw. seperti kedudukan Hârûn di sisi
Mûsâ as. Islam telah tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia
mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw.
menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Ia pernah bersabda kepada kaum
muslimin: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah
juga pemimpinnya.”
Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar
dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memak-sanya
berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung
rumah Ali as. Dia menakut-nakuti, mengancam, dan meng-gertak Ali as.
dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Nabi
saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan
suara lantang: “Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?” Umar
menjawab dengan keras: “Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang
telah dibawa oleh ayahmu.”[3]
Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap orang muslim! Mereka
telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Fatimah Az-Zahrâ’ as.,
buah hati Nabi saw. Padahal Allah ridha karena keridhaan Az-Zahrâ’ dan
murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak
kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan
paksa. Dengan pedang terhunus para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret
Imam Ali as. untuk menghadap. Mereka berkata dengan lantang: “Baiatlah
Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!”
Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh tanpa rasa takut
sedikit pun terhadap kekerasan dan kekuatan mereka. Ia berkata: “Aku
lebih berhak atas perkara ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat
kalian, sebaliknya kalianlah yang semestinya membaiatku. Kalian telah
merampas hak ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki
hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian juga telah merampas
kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kalian
telah mendakwa di hadapan kaum Anshar bahwa kalian lebih berhak atas
kekhilafahan ini daripada mereka dengan dalih Nabi Muhammad saw. berasal
dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan
kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti
kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang
lebih utama dan lebih dekat dengan Nabi saw., baik ketika ia masih hidup
maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman! Jika
tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu menyadarinya.”
Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat
mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa
memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw.
Argumentasi Imam Ali as. lebih kuat, lantaran suku Quraisy yang terdiri
dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw.
itu bukan sepupu-sepupu atau pamannya. Sementara hubungan kekerabatan
antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjalin dalam bentuk yang paling
sempurna. Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan
suami untuk putri semata wayangnya.
Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. dan berkata: “Berbaiatlah!”
“Jika aku tidak melakukannya?”, tanya Imam Ali pendek.
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak mem-baiat, aku akan penggal lehermu”, jawab Umar sengit.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah
disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam
Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membe-lanya dari
kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: “Jika
demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasu-lullah.”
Umar segera menimpali dengan berang: “Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak.”
Umar telah lupa dengan sabda Nabi saw. bahwa Imam Ali as. adalah
saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama
dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama
Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari
oleh Umar.
Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk
mengingkari hal itu. Kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Mengapa engkau
tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?”
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Akhirnya dia menentukan sikap: “Aku tidak akan memaksanya, selama
Fatimah berada di sisinya.”
Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari menuju ke makam
saudaranya, Nabi saw., untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang
menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: “Wahai putra ibuku,
sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka
membunuhku.”[4]
Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat
Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah
dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar, telah terjadi apa yang
telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah
Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt.
berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat
atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang
berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada
Allah sedikit pun ….”(QS. Âli ‘Imrân [3]:144)
Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala
kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw.
ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan
kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan
secara rinci dalam Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin as.
Disebutkan dalam shahih Bukhori dalam kitab Bada’ al-Khalq di bab
Manaqib qarabatu Rasulillah saw bahwa Rasulullah saw bersabda : ”
Fatimah adalah bagian dariku, maka barang siapa yang membikin marah dia
maka telah membuatku marah” hadis seperti ini juga di riwayatkan dalam
kitab Kanz Al-Ummal jilid 6 halaman 230. Disebutkan juga dalam kitab
shahih Bukhori dalam kitab Al-Nikah disebutkan juga dalam kitab Musnad
Ahmad jilid 4 halaman 328.
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di dalam bab Fadhail as-Shahabah.
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di al-Bab al-Mutaqadim.
Disebutkan juga dalam kitab shahih at-Tirmidzi jilid 2 halaman 319.
disebutkan juga dalam kitab al-Mustadrak ala al-Shahihain jilid 3 halaman 158.
Disebutkan juga dalam kitab Hilah al-Auliya’ jilid 2 halaman 40 hadis diatas disebutkan dalam alur yang berbeda di dalam kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ” sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk Ridhanya Fatimah.” hadis-hadis tentang kemuliaan sayidah Fatimah as dimuat di seluruh buku-buku ulama’ sunni yang mu’tabar dan penting. Sayidah Fatimah adalah kecintaan Nabi saw, kecintaan Nabi saw adalah kecintaan Allah swt. disebutkan didalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt berfirman : “sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di dalam bab Fadhail as-Shahabah.
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di al-Bab al-Mutaqadim.
Disebutkan juga dalam kitab shahih at-Tirmidzi jilid 2 halaman 319.
disebutkan juga dalam kitab al-Mustadrak ala al-Shahihain jilid 3 halaman 158.
Disebutkan juga dalam kitab Hilah al-Auliya’ jilid 2 halaman 40 hadis diatas disebutkan dalam alur yang berbeda di dalam kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ” sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk Ridhanya Fatimah.” hadis-hadis tentang kemuliaan sayidah Fatimah as dimuat di seluruh buku-buku ulama’ sunni yang mu’tabar dan penting. Sayidah Fatimah adalah kecintaan Nabi saw, kecintaan Nabi saw adalah kecintaan Allah swt. disebutkan didalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt berfirman : “sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”
Disebutkan dalam kitab الوافی بالوفیات jilid 2 halaman 17 bahwa
ابراهیم ابن سیار النظام berkata bahwa sesungguhnya Umar ibn khattab
(khalifah kedua) telah memukul perut sayidah Fatimah as (yang dalam
keadaan hamil) di hari baiat (hari dimana masyarakat dipaksa untuk
berbaiat kepada Abubakar) sampai Muhsin (anak yang dikandungnya) keluar
dari perutnya jatuh ketanah.
Disebutkan juga dalam kitab الامامة و السیاسة jilid 1 halaman 12
bahwa IBn Qutaibah Ad-Dainuri berkata : sesungguhnya Abubakar mencari
sekelompok orang untuk berbaiat kepadanya yang mana sekelompok tersebut
berada di rumah sayidina Ali as maka Abu bakar mengirim Umar, datanglah
Umar ke rumah sayidina Ali as dan dia memanggil mereka semua yang berada
di dalam rumah sayidina Ali as, akan tetapi mereka semua tidak ada yang
menjawab teriakan Umar, dan tidak ada satupun yang keluar, maka Umar
untuk kedua kalinya dengan membawa kayu bakar yang ada di tangannya dia
berteriak : “demi yang jiwaku berada di tangannya kalian semua akan
keluar atau aku bakar rumah ini beserta yang berada didalamnya.” satu
orang dari dalam rumah berkata kepada Umar : “wahai ayahnya Hafsah
sesungguhnya Fatimah berada di dalam rumah ini.” Umar berakata
:”walaupun dia ada” (aku akan tetap membakar rumah ini). kejadian ini
juga dimuat di dalam kitab العقد الفرید jilid 4 halaman 259 cetakan
mesir dengan alur yang sedikit berbeda.. di dalam kitab کنز العمال jilid
3 halaman 140 bahwa umar berkata keada sayidah Fatimah as: “tidak ada
orang yang lebih dicintai oleh ayahmu lebih daripada cintanya kepadamu,
akan tetapi ini tidak akan mencegahku, sebagaimana sekelompok orang ini
yang telah berkumpul di dekatmu, aku akan memerintah mereka untuk
membakar rumahmu.”
Orang-orang yang menyerang rumah putri Nabi saw
Orang-orang yang menyerang rumah putri Nabi saw itu disebutkan di
dalam kitab تاریخ الطبری jilid 2 halaman 443-444. kejadian juga
disebutkan dalam kitab تاریخ ابوالغداء jilid 1 halaman 156 dengan alur
yang sedikit berbeda yaitu Abubakar menyuruh Umar untuk mengambil baiat
dari orang-orang yang berada di dalam rumah sayidina Ali, dan jika
mereka menolak maka perintah berikutnya adalah Umar harus menyerang
mereka, dan Umar membakar rumah sayidah Fatimah as..
Disebutkan di kitab2 sejarah bahwa sayidah Fatimah mulai saat itu
sampai meninggal tidak mau berbicara kepada Abubakar dan Umar dan juga
tidak Ridha atas perbuatan mereka, serta marah atas apa yang mereka
lakukan kepadanya dan sayidina Ali as.. disebutkan juga didalam kitab
sejarah bahwa sayidah Fatimah setiap selesai sholat selalu mengadu
kepada Allah swt atas perbuatan mereka….
disebutkan juga dalam kitab-kitab sejarah bahwa Fatimah a.s berkata kepada Khalifah pertama dan kedua: “Jika aku membacakan hadis dari Rasulullah SAWW apakah kalian akan mengamalkannya?”
disebutkan juga dalam kitab-kitab sejarah bahwa Fatimah a.s berkata kepada Khalifah pertama dan kedua: “Jika aku membacakan hadis dari Rasulullah SAWW apakah kalian akan mengamalkannya?”
“Ya”, jawab mereka singkat.
Ia melanjutkan: “Demi Allah, apakah kalian tidak pernah mendengar
Rasulullah SAWW bersabda: “Kerelaan Fathimah adalah kerelaanku dan
kemurkaannya kemurkaanku. Barang siapa mencintai Fathimah putriku, maka
ia telah mencintaiku, barang siapa yang membuatnya rela, maka ia telah
membuatku rela, dan barang siapa membuatnya murka, maka ia telah
membuatku murka”?
“Ya, kami pernah mendengarnya dari Rasulullah SAWW”, jawab mereka pendek.
“Kujadikan Allah dan malaikat sebagai saksiku bahwa kalian berdua
telah membuatku murka. Jika aku kelak berjumpa dengan Rasulullah,
niscaya aku akan mengadukan kalian kepadanya”, lanjutnya.
Di kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ”
sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk
Ridhanya Fatimah.”
Disebutkan di dalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt
berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan
RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan
menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”
Fatimah Az-Zahrâ’ Menuju ke Alam Baka
Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah
kepergian buah hati Rasulullah saw., Fatimah Az-Zahrâ’ as. Ia jatuh
sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang
mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat
menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya
duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Nabisaw. itu. Ia
telah mengalami berbagai kekejaman dan kezaliman dalam masa yang sangat
singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya
yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya dan menyerang
rumahnya.
Fatimah Az-Zahrâ’ telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam
wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas
haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada
malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi
bukti betapa ia murka kepada mereka.
Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di
pusara-nya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil
menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan
takziah, bela sungkawa dan pengaduan kepada Nabi saw. setelah
menyampaikan salam kepada beliau:
Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu
yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya
Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan
betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan
besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaring-kanmu
di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu
berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi
kesedihanku tetap abadi. Malam-malamkupun menjadi panjang, hingga Allah
memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan
bercerita kepadamu tentang persekong-kolan umatmu untuk berbuat
kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka!
Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut.
Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan
jenuh! Jika aku berpaling, itu bukan karena bosan. Jika aku diam, itu
bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah
kepada orang-orang yang sabar.[5]
Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia
menga-lami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah
saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit
hati dan duka yang dialaminya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as.
juga minta kepada Nabi saw. agar memaksa putrinya bercerita dan
memberi-kan keterangan tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang
telah dilakukan oleh umatnya itu.
Seusai menguburkan jenazah buah hati Nabi saw., Imam Ali as. kembali
ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para
sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana
mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan
politik dan tidak terlibat di dalamnya.
1.Nahjul Balaghah, khotbah ke-409.
2.Hayâh Al-Imam Husain as., Jil. 1/ 235.
3.Ansâb Al-Asyrâf, karya Al-Balâdzurî. Para sejarahwan
sepakat tentang adanya ancaman Umar terhadap Ali as. untuk membakar
rumahnya itu. Silakan merujuk Târîkh Ath-Thabarî, Jil. 3/202, Târikh Abi Al-Fidâ’, Jil. 1/156, Târîkh Al-Ya‘qûbî, Jil. 2/105, Murûj Adz-Dzahab, Jil. 1/414, Al-Imâmah wa As-Siyâsah, Jil. 1/12, Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, Jil. 1/ 34, Al-Amwâl, karya Abu ‘Ubaidah, hal. 131, A‘lâm An-Nisâ’, Jil. 3/205, danAl-Imam Ali, karya Abul Fattâh Maqshûd, Jil. 1/213.
4.Al-Imâmah wa As-Siyâsah, hal. 28-31.
5.Nahjul Balâghah, Jil. 2/ 182.
No comments
Post a Comment