Breaking News


La Galigo (Episode 1: Turunnya Manusia Pertama) Lanjutan bab 1………..

OPINI | 27 April 2011 | 09:46Dibaca: 117   Komentar: 1   Nihil

lanjutan bab 1………………..
Setelah berbagai hal disepakati, utamanya mengenai keturunan masing-masing yang akan dijelmakan sebagai tunas di bumi, berbagai persiapan pun mulai dilakukan. Dengan berat hati, To Palanroé meminta agar Batara Guru, La Togeq Langiq, segera masuk untuk mandi berlangir, serta memakai wangi-wangian orang Senrijawa. Tidak menunggu lama, Batara Guru segera diperintahkan untuk bersiap-siap turun ke bumi.
To Palanroé dengan cepat berpaling dan pandangannya jatuh di wajah Sangka Batara. Dengan tenang dan penuh wibawa ia berkata:
“Berangkatlah segera Sangka Batara bersama Tenrioddang. Ajaklah cepat kemanakanmu, La Togeq Langiq, untuk mandi. Persiapkan segala keperluannya, sebab matahari sudah tinggi. Sebentar lagi ia akan diturunkan ke bumi.”
Tergesa-gesa Sangka Batara dan To Tenrioddang menuju samping peterana halilintar yang diduduki Batara Guru dan saudara-saudaranya.
Mendengar permintaan ayahandanya, Batara Guru yang sejak namanya dipilih untuk diturunkan ke bumi hanya terdiam, seketika merasakan Boting Langiq benar-benar runtuh. Rasa sedih kian merambati setiap relung kesadarannya. Matanya sembab. Genangan air di sudut matanya kian bertambah. Perpisahan dengan orang tua, adik-adik, dan suasana Boting Langiq, tiba-tiba saja terbayang dan mencabik-cabik ketegarannya. Ia sungguh merasa tak akan kuasa melawan kerinduan yang menggerogoti hatinya, jika perpisahan itu benar-benar terjadi.
Melihat La Togeq Langiq diterjang badai kepiluan, semua saudara-saudaranya pun dihasut kesedihan yang mendalam. Mereka turut prihatin merenungi nasib yang akan menimpa kakaknya. Meski demikian, mereka tak sanggup menentang kehendak To Palanroé.
Dengan tubuh yang lunglai Batara Guru berusaha berdiri dibimbing oleh adik-adiknya, diapit oleh pembesar dari Abang Létté, diramaikan penyeru semangat dari Lateng Nriuq, dan dipandu inang pengasuh dari Wawo Unruq.
“Janganlah ananda berkecil hati. Sudah demikianlah kehendak To Palanroé. Kita hanya dapat mengikuti apa keinginannya,” bujuk para pembesar dari Abang berusaha menenangkan gejolak hati Batara Guru.
Batara Guru hanya terdiam. Ia tak mampu menjawab sepatah kata pun. Kepalanya hanya tertunduk seraya meneteskan air mata yang sedari tadi menggedor-gedor ingin tumpah. Melihat kesedihan itu, para bangsawan dari Abang yang dijadikan dayang-dayang di Boting Langiq, pengasuh La Togeq Langiq yang ribuan jumlahnya, dan saudara sesusuan yang sederajat, pun turut menangis. Demikian pula dengan Welong Mpabareq. Perempuan separuh baya itu tak dapat menahan air mata kesedihan yang mengaliri lekuk pipinya memandang anak dewata yang selama ini diasuhnya.
Suasana haru seketika saja merambat begitu cepat dan menjalari setiap orang yang hadir. To Palanroé hanya terdiam. Hatinya juga sangat miris. Terlebih menyaksikan suasana tersebut. Perpisahan dengan anak yang selama ini dibesarkannya dengan penuh kasih sayang adalah sebuah ketersiksaan maha dahsyat yang tentunya akan menggerogoti perasaannya. Ia sadar keputusan untuk menurunkan tunas ke bumi adalah keputusan yang berat. Namun semua itu harus dilakukannya, sebab bumi haruslah diisi dengan keturunan yang baik. Batara Guru akan menjadi mahluk yang sempurna bahkan mengalahkan kesempurnaan dewata. Namun ia juga akan menjadi sangat hina bahkan mengalahkan binatang yang turun bersamanya.
Tak ingin larut dengan kesedihan yang ia rasakan, To Palanroé cepat-cepat membenahi perasaannya yang kusut. Ia menarik nafas perlahan, meski tersendat-sendat karena terganjal suasana haru di sekitarnya. Bibirnya bergetar berusaha menyusun kalimat yang akan diucapkannya.
“Sabarlah anakku…. Janganlah engkau menentang kemauanku untuk kuturunkan menjadi tunas di bumi. Bukankah selama ini kuturuti segala kemauanmu, tak kutolak angan-anganmu?”
Batara Guru kembali merasakan segala keindahan Boting Langiq buyar, meleburke dalam perpisahan. Berbagai kenikmatan di Rualletté dan istana Sao Kuta Pareppaqémeledak dan berhamburan menjadi bayang-bayang. Ditatapnya wajah ayahandanya. Pancaran mata penguasa Boting Langiq itu masih terlihat lembut, meski hatinya gundah, memancarkan sinar kehalusan budinya. Patotoqé hanya mengangguk. Tatapan matanya berwibawa.
Batara Guru perlahan beranjak untuk mandi. Sepanjang jalan ia bersaudara dielu-elukan para pembesar dari Rualletté, bangsawan tinggi dari Limpo Bonga. Di sampingnya anak dewata mengapit dan di depannya berjalan para pemuka masyarakat dari Abang Létté. Dibukalah pintu halilintar, saat Batara Guru ingin masuk. Berjalan tegap ia melangkahi ambang petir, lalu duduk di atas peterana bulan diapit oleh adik-adiknya.
Berbagai peralatan mandi telah disiapkan. Langir untuk membersihkan rambut Batara Guru dan jeruk kemilau yang dapat menghilangkan bau dan daki yang melekat pada badan La Togeq Langiq telah pula diperahkan. Tempayan juga sudah diisi hingga penuh. Air yang berada di dalamnya diam, seolah tafakur.
Batara Guru segera mengganti pakaiannya dengan pakaian mandi. Ia meraih sibur dari petir, lalu perlahan meraup air dari tempayan dan mengguyurkan ke tubuhnya. Begitu pilunya air yang mengaliri setiap lekuk tubuhnya yang kekar. Seperti ada penyesalan yang menggejolak dalam setiap butiran air tersebut. Dan Batara Guru dapat merasakannya.
Setelah semua bagian tubuhnya basah, La Togeq Langiq lantas bangkit meraih mangkuk halilintar besar berkuping berisi langir yang berbusa. Ia lantas berlangir membersihkan rambut dan menghilangkan bau orang Senrijawa dengan perasan jeruk kemilau. Dettia Tana bersama Punna Batara menggosok-gosok kedua lengannya. Usai berlangir, Telaga Unruq mengalirkan air ke kepala dan tubuh anak dewata kesayangannya dengan lembut, penuh kasih sayang.
Usai mandi, Wélong Mpabareq memasangkan baju Batara Guru. Kemudian Batara Guru beranjak ke jarasana kilat mengeringkan tubuh. Berseliweran kipas kilat dari Léténg Nriuq mengipasinya. Ratusan pedupaan mengelilingi. Bersahut-sahutan pula penyuruh semangat kekahyangannya.
Mendapat perlakuan tersebut, meski sudah biasa, namun telah membuatkan jejak luka yang akan terus menjadi kenangan. Dan itu akan kian menderitakannya saat telah berada di bumi nanti. Bayangan perpisahan bertambah garang mengoyak perasaannya. Semakin berat rasanya meninggalkan Boting Langiq. Sepenggal demi sepenggal waktu dirasakannya begitu menyiksa. Karenanya, air mata Batara Guru tak henti-hentinya mengalir membuat peta kegetiran dalam jiwanya, mengenang keadaan negeri di Rualletté, Boting Langiq yang sebentar lagi akan ditinggalkannya.
Melihat kepiluan yang kian mengental dalam diri Batara Guru, membuat Dettia Unruq Punna Batara tak dapat menahan perasaanya. Ia beranjak duduk di samping La Togeq Langiq dan mengulas-ulas pinggang saudaranya. Sembari menangis ia berkata dengan suara parau dan tersendat-sendat menahan kepiluan:
“Hentikanlah air matamu. Kerinduan ke Boting Langiq janganlah membuat kakanda kehilangan kebijaksanaan dan kehalusan budi. Tenangkanlah hatimu menelusuri nasib. Apa lagi yang hendak kita lakukan, kalau memang demikian keputusan ayahanda.”
“Benar apa yang katakan adinda Dettia Unruq,” ujar Aji Palallo yang diangguki Sangiang Kapang Aji Pattongeng. “Turutlah kakanda apa yang diperintahkan oleh ayahanda. Janganlah menampik kehendaknya. Apakah salahnya ketetapan To Palanroé yang menghendaki engkau turun ke dunia membangun negeri di bumi, mengatur daerah di permukaan Pérétiwi, mematangkan kayu sengkonang atas namanya. Bukankah engkau tak sendiri, sebab Puang di Toddang Toja juga akan memunculkan anaknya menjelma di atas dunia. Dialah temanmu untuk saling menghibur dan meramaikan dunia dengan anak-anak kalian.”
Mendengar ucapan saudara-saudaranya, Batara Guru hanya terdiam. Ia tak begitu kuat berucap, sehingga tak sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya. Sementara di luar, sinar matahari yang terpancar di Boting Langiq perlahan condong ke barat.
“Bangkitlah engkau, Taletting Tana di Pérétiwi! Sampaikan kepada Batara Guru untuk segera bersiap-siap turun ke bumi,” perintah Patotoqé.
Buru-buru Taletting Tana bangkit, masuk ke dalam bilik tempat Batara Guru mengeringkan diri. Setelah menyembah, ia langsung duduk di samping peterana yang diduduki Batara Guru dan menyampaikan pesan Patotoqé.
Bagai petir yang menyambar ucapan Talletting Tana membuat semua kesadaran Batara Guru luluh. Dengan berat ia berusaha bangkit dan berjalan ke depan, ke ruang utama, diikuti semua saudaranya.
Bersimpuh La Togeq Langiq di hadapan Patotoqé dan Datu Palingéq. Setelah duduk, Datu Patotoq Sangkuru Wira segera menyodorkan sirih yang telah ditumbuk kepada Batara Guru. Ada haru yang memancar dari sorot mata penguasa Boting Langiq itu. Demikian pula dengan Palingéq. Karena tak dapat menahan haru, perempuan penguasa langit itu segera beranjak dari tempat duduknya dan langsung merangkulkan legannya pada leher anak kesayangannya.
“Janganlah bersedih anakku. Terimalah takdirmu untuk dijadikan tunas di muka bumi, sebab hanya engkaulah yang pantas untuk mengemban tugas ini,” ujar Patotoqé berusaha memberikan semangat kepada anaknya.
Semakin sedih hati Batara Guru mendengar perkataan ayahandanya, terlebih oleh rangkulan ibundanya. Sedikit pun ia tak mampu berucap. Bibirnya kaku. Kata-kata yang pantas untuk dikeluarkannya tiba-tiba saja begitu asing dan tak mau menyapa. Hanya air mata La Togeq Langiq yang membanjiri pipinya. Raut wajahnya yang penuh kewibawaan telah ditaburi guratan-guratan duka yang mendalam. Tatapannya yang biasa tajam, telah bersemai air mata yang sepertinya tak ingin berhenti mengalir membentuk peta-peta buram.
Perlahan Patotoqé menunduk dan mengusap-usap kepala putra mahkota kesayangannya. Ia lantas membuka ikatan keris agung taruhan jiwanya dan melilitkannya ke pinggang langsing, anak sibirang tulangnya. Ditanggalkannya pula ikat kepala kemilau yang menghiasi kepalanya dan meletakkannya di atas kepala tunas yang akan diturunkan ke bumi. Selain itu, Patotoqé juga membuka gelang berhiaskan bulan dan cincin berkilau yang ada di tangan kanannya, lalu memasangnya di jari Batara Guru.
Demikian pula dengan Datu Palingéq. Ia menyerahkan cincin kilat yang melilit di tangan kirinya. Dengan air mata yang kian terburai, ia berkata kepada Batara Guru. Kalimatnya terputus-putus oleh isak yang menyeringai:
“Tenangkan hatimu, anakku La Togeq Langiq…. Turunlah ke bumi dengan hati yang lapang. Bawalah taletting mperreq, siri atakka, telleq araso, wempong mani, bertih kilat orang Léténg Nriuq, dan beras berwarna dari Sawang Kuttu ini. Jika nanti engkau dalam perjalanan turun ke bumi, lemparkanlah taletting mperreq, agar menjadi tanah dan meluaskannya, mendirikan kampung, mengonggokkan gunung, menebar pebukitan, menghamparkan laut, menyematkan danau, menggurat binanga, melekukkan alur sungai dan menjuntaikan serasah dari balik-balik lembah, gunung dan bukit. Lemparkan pula siri atakka di sebelah kananmu dan telleq araso di sebelah kirimu. Itulah yang nantinya akan menjadi hutan belantara. Dan jika engkau sudah mendekat ke bumi, lemparkanlahwempong mani. Itulah yang akan menjadi ular dan margasatwa beraneka jenis. Dan jangan lupa untuk menaburkan bertih kilat Léténg Nriuq dan beras berwarna dari Sawang Kuttu. Sebab itulah yang akan menjadi burung-burung yang beraneka macam.”
To Palanroé sejenak tertegun. Ucapan istrinya yang tersendat-sendat oleh tangis membuatnya sangat rawan. Namun perpisahan itu memang harus terjadi. Ini adalah perjalanan yang harus dilalui oleh Batara Guru.
“Tenangkan hatimu anakku, Batara Guru. Terimalah semua pemberian ibundamu, Mutia Unruq. Semoga kelak engkau dapat hidup tenteram di dunia. Jika nanti engkau menjelma ke dunia, akan diturunkan pula angin, badai diadukkan, guntur akan bersahut-sahutan, kilat petir saling menyabung, menggelegarkan halilintar, digiring pula gumpalan awan berarak, dilayangkan kabut tebal, bintang-bintang ditebarkan dan disejajarkan penuh makna. Air hujan akan menyebarkan kehidupan. Akan saling dijauhkan pula benda-benda di kolong langit, dan gelap dihamparkan untuk menyesatkan orang-orang. Semuanya berada dalam perhitungan….”
Datu Patotoq sejenak terdiam. Ditariknya nafas dalam-dalam sembari meramu kata-kata yang akan dikeluarkannya. Ditatapnya Batara Guru yang tertunduk.
“Anakku… berbagai nikmat dan kesengsaraan itu adalah ketentuan dari perjalanan hidup di dunia. Dan apapun yang engkau hadapi, menyembahkan engkau ke Rualletté, menadahkan tangan ke Pérétiwi. Janganlah sekali-kali engkau mengatakan bahwa dewata jua orang tuaku. Sebab engkau akan hancur anakku disambar petir yang menyala menebas apa saja yang ada di bumi. Akan hilanglah jiwa datumu. Di dunia, segala kepribadianmu akan dimatangkan. Engkau bisa jatuh dan hina seperti binatang yang turun bersamamu. Dan engkau akan sempurna bahkan melebihi kesempurnaan dewata sekalipun. Ingat… engkau adalah manusia, dan aku adalah dewa.”
Mendengar ucapan yang ayahandanya, bertambah sedihlah hati Batara Guru. Air matanya kembali mengalir membentuk alur kepedihan di permukaan wajahnya. Bayangan perpisahan semakin garang menggedor-gedor batinnya. Wajahnya yang biasa teduh, telah disaput awan hitam yang berarak.
“Sekarang bersiap-siaplah. Akan kuturunkan engkau bersama beberapa bangsawan dan anak batara. Tenangkan jiwamu. Kosongkan pikiranmu,” pinta To Palanroé dengan suara berat.
To Palanroé menunduk perlahan, meraih puan dari petir, membukanya lalu menyirih. Tatapannya lurus menohok ke wajah putra mahkotanya. Begitu lembut kedua kelopak matanya mendekap. Suasana seketika hening. Angin tiba-tiba saja mati. To Palanroé dengan teramat halus mulai memadamkan jiwa Batara Guru, melayangkan sukma anak sulung kesayangannya. Hanya dalam sekejap, tubuh Batara Guru perlahan tersungkur.
To Palanroé lantas membaringkan tubuh anaknya di bambu betung. Diselimutinyadengan kain berhiaskan bulan, dililiti dengan tirai dari Wawo Unruq, digenggamkannya cemeti warisan, disimpankan siri atakka di sebelah kanannya, dan telleq araso di sebelah kirinya. Diletakkan pula taletting mperreq, wempong mani, bertih kilat, dan beras berwarna dari Sawang Kuttu.
Bambu betung tempat Batara Guru terbaring, kemudian diikat oleh To Palanroé dengan tali emas. Atas permintaan To Palanroé, To Tenrioddang segera memerintahkan untuk meletakkan ayunan keemasan yang dipersiapkan turun ke bumi. To Palanroé sendiri yang menaikkan bambu betung tempat berbaring anak kesayangannya di atas ayunan emas.
Usai menaikkan bambu betung ke atas ayunan emas, To Palanroé segera memerintahkan Sangka Batara untuk memanggil beberapa hamba dewa, To Sunra, Peddengngengngé, Pérésola, Asu Panting, Setan, I La Sualang, burung hantu, burungkokociq, petir, badai, Sangiang Mpajung, tanra tellué, épangngé, manuqé, worong-mporong dan teppitué untuk segera datang dan menemani kepergian ayunan emas.
Tak akan lewat makanan di tenggorokannya mereka yang tidak mau datang dan mengiringi keturunanku turun ke bumi,” tegas To Palanroé.
Belum sepenanak nasi, berangkatlah Sangka Batara. Dia sendiri yang memukul gendang petir pusaka kerajaan di Rualletté. Sekali saja dipukul saat itu juga serentak semua datang di dalam pagar anak dewata. Mereka pun duduk menunggu di bawah pohon asam tanra tellu.
Setelah semuanya datang, To Palanroé, kembali memerintahkan kepada Sangka Batara agar pintu langit segera dibuka. Hanya dalam sekejap palang guntur penutup pintu agung batara perlahan dibuka. Setelah pintu agung Boting Langiq benar-benar terbuka, satu demi satu ketujuh lapis pintu batara lainnya pun disingkapkan. Semua hamba dewa yang bermacam-macam diturunkan. To Létté Ileq lalu menurunkan gelap, Sangiang Mpajung menghambur badai, Ruma Makompong menyabung halilintar, Pulakalié menebar cahaya kilat, dan bersama To Alebboreng menyulut api dewata.
Saat itulah, ayunan kemilau yang dimuati bambu betung tempat berbaringnya Batara Guru diturunkan perlahan, diusung oleh guntur dan diiringi angin kencang. Hampir bersamaan, kilat bersabung, guntur menggelegar, halilintar saling bersahutan, kilat menyala-nyala seiring dengan badai yang menerjang garang.
Setelah ayunan emas diturunkan, beriringan pula berangkat tanra tellué, épangngé, manuqé, worong-mporong, tappitué, To Sunraé, Peddengngengngé, dan Pérésola. Para hamba dewata yang beraneka macamnya, mengelu-elukan tuan mereka. To Alebboreng dan Pulakalié juga turun semuanya.
Baru setengah langit turunnya ayunan tali manurung, Batara Guru pun tersadar. Ia lalu berpaling dan menyingkap baju biru langitnya. Saat itu Manurungngé[1] menengadah ke Boting Langiq. Dilihatnya tempat bertahta kedua orang tuanya itu samar-samar. Demikian pula tatkala ia menunduk ke Pérétiwi.
Sungguh pedih hati Batara Guru. Hampir saja berhenti tarikan nafasnya jika mengingat-ingat keadaan di Boting Langiq. Bayangan orang tua dan saudara-saudaranya kembali melintas, bermain-main dalam benaknya. Rasa rindu itu kini kembali menggedor-gedor bahkan semakin garang.
“Rupanya aku akan tenggelam dan kehilangan pembelai semangat kahyanganku di Rualletté. Hanya dalam angan saja tempat tinggalku yang tak bertara di Boting Langiq. Entahlah, apakah nanti jika aku tenggelam dan padam nyala jiwaku, saudara-saudaraku akan menyaksikannya,” ucap Batara Guru membatin.
Namun dengan cepat Manurungngé tersadar. Dengan lembut, meski gejolak hatinya kian mencabik-cabik, ia menghamburkan taletting mperreq, melemparkan siri atakka di sebelah kanannya, dan telleq araso di sebelah kirinya. Bertambah dekat ke bumi, Batara Guru melontarkan wempong mani yang berasal dari Wawo Unruq. Ditebarkannya pula lagi bertih kilat dari Léténg Nriuq, dan beras berwarna dari Limpo Bonga. Maka ramailah bunyi aneka ragam margasatwa yang saling memperebutkan tempat bertengger di dalam hutan.
Ketika ayunan petir yang memuat bambu betung tempat berbaring Batara Guru kian mendekati permukaan bumi, terjadi keanehan. Ayunan itu tak mau merapat. Saat itulah guntur berbunyi tujuh kali, kilat petir kembali sabung-menyabung membelah langit. Boting Langiq seakan hendak runtuh, dan Pérétiwi seperti akan hancur. Namun akhirnya, sampai juga ayunan petir Manurungngé di dunia. Bambu betung tersebut perlahan diturunkan. Di sekelilingnya pohon-pohon bersujud. Angin yang ditebar seketika berhenti bertiup. Gunung-gunung dan lembah tafakur bersama semua margasatwa. Keheningan dengan cepat merambati bumi.
Hanya sesaat, ayunan petir yang mengantar bambu betung tersebut bergerak dan meluncur kembali ke Boting Langiq. Kembali pula semua anak dewata yang mengiringinya.
***
Di istana Sao Kuta Pareppaqé, tatkala para pengiring Batara Guru turun ke bumi telah kembali, menangislah semua anak Patotoqé. Terlebih begitu melihat ayunan petir yang mengantar Batara Guru telah kosong. Para bangsawan dari Abang yang dijadikan biti perwara di Boting Langiq pun tiada dapat menahan air mata mereka yang bercucuran.
Suasana haru dengan cepat menjalari setiap relung hati mereka yang ada di istanaSao Kuta Pareppaqé. Hampir bersamaan menangis pula semua saudara sesusuan, inang pengasuh yang ratusan jumlahnya, serta juak nan beribu banyaknya. Tak dapat menahan kepiluan teman sepermainan Batara Guru, meratap sembari mengempaskan diri pula Wé Saung Nriuq, Wé Lélé Ellung, Apung Talaga, mengenang Batara Guru. Hampir hilang batas kesenangan hatinya Welong Mpabareq mengenang anak dewata kesayangannya. Ia bahkan ingin ikut diturunkan di dunia supaya dapat sehidup semati dengan anak dewata yang sekian lama diasuhnya.
Melihat suasana tersebut, To Palanroé hanya terdiam. Hampir hilang batas ketenangan jiwanya mengenang putra mahkotanya. Kesedihan yang menjejali tak dapat ia bendung. Demikian pula dengan Datu Palingéq. Perempuan yang telah melahirkan Batara Guru itu hanya duduk sembari mempertautkan jemarinya berusaha menahan air mata kepiluan yang keluar dari kedua matanya.
Cukup lama larut dalam kesedihan, Sinauq Toja dan Guru ri Selleq mulai gelisah hendak turun kembali ke Toddang Toja. Dengan terbata-bata keduanya terpaksa minta diri. Meski berat, namun To Palanroé dan Datu Palingéq akhirnya memberikan izin. Tak berapa lama anak-anak To Palanroé, saudara-saudara, sepupu sekali dan kemanakannya yang lain pun berpamitan. Maka sunyilah istana Sao Kuta Pareppaqé. Tinggallah To Palanroé dan Datu Palingéq termenung mengenang sibiran tulangnya.
Di luar istana, angin terus menghempas, lelah. Saling berkejaran menggiring awan dan menyemaikannya. Lalu mati. Petir, halilintar menggelayut lunglai. Tak ada gairah. Tak ada keriangan. Boting Langiq ditelungkup pilu.

[1] Sebutan lain untuk Batara Guru saat berada di dunia, di samping panggilan lainnya: Datu Manurung, La Togeq Langiq, Wira Talallo To Boting Langiq atau Yang Menetas di Lappa Tellang. Manusia yang diturunkan dari Boting Langiq (Dunia Atas) oleh Patotoqé (Sang Penentu Nasib). Segala sesuatu yang turun dari Boting Langiq lalu menjelma ke bumi disebut manurung. To Manurung untuk menyebutkan manusia yang turun dari Boting Langiq. Jadi yang dimaksud bukan hanya Batara Guru, bisa saja pengiringnya. Sedangkan Tompoq dimaksudkan untuk menyebut segala sesuatu yang berasal dari Todddang Toja atau Pérétiwi (Dunia Bawah) yang muncul ke bumi. Sebutan ini sering digunakan untuk menyebut Wé Nyiliq Timoq “To Tompoq”. To Tompoq sebutan untuk manusia. Meski tidak selamanya To Manurung dan To Tompoq dimaksudkan adalah Batara Guru dan Wé Nyiliq Timoq…. (bersambung bab 2)

No comments