Breaking News

National Treasure, Ekspedisi Wilkes dan La Galigo


National Treasure, Ekspedisi Wilkes dan La Galigo



12991367721167014942
Film ‘National Treasure’
SUATU malam saya terjaga menonton film “National Treasure” di Global TV. Film seru yang dibintangi Nicolas Cage ini mengingatkan saya mengenai cerita ‘Wilkes Expedition’, suatu ekspedisi ilmiah yang dilakukan di Wilayah Pasifik dan Antarktika, antara tahun 1838 – 1842, yang diberi nama United States Exploring Expedition (USEE). Ekspedisi ini dilakukan atas perintah langsung Kongres Amerika Serikat dan karena dipimpin oleh Kapitan Charles Wilkes, ekspedisi ini lebih dikenal sebagai Ekspedisi Wilkes.
Ekspedisi ilmiah ini terbilang sukses karena berhasil membawa pulang ke Amerika sejumlah naskah dari berbagai bidang ilmu seperti Geologi, Botani, Zoologi, Antropologi, Bahasa dan Sastra, dan lainnya. Roger G Tol, Kepala Perpustakaan KITLV Belanda (dalam Festival dan Seminar International La Galigo di Barru, tahun 2002 lalu) mengungkapkan bahwa hasil Ekspedisi Wilkes inilah yang merupakan dasar pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Amerika Serikat. Lantas, apa hubungannya dengan La Galigo, karya tulis Bugis generasi pertama itu.
Film “National Treasure” besutan sutradara John Turteltaub ini bercerita tentang pencarian harta karun yang dilindungi dan tersembunyi selama berabad - abad hingga seorang peneliti modern menemukan serangkaian petunjuk yang rumit. Nicolas Cage yang memerankan Franklin Gates, generasi ke delapan dari Keluarga Gates untuk mengejar Knights Templar Treasure, harta yang tak ternilai yang telah dikumpulkan pada Abad XI, dibawa ke Amerika oleh Freemasons dan disembunyikan oleh pengembara seperti Thomas Jefferson dan George Washington. Dengan berbekal petunjuk dan peta dari kakeknya, sebuah catatan kumal yang dipercayakan pada nenek moyang Ben, sebuah FFF (friend of the Founding Fathers) tentang harta karun negara terpendam, dia dan teman karibnya melakukan penjelajahan sampai di Antarktika.
Di setiap temuan tempat yang diduga terpendam harta karun itu hanya menghasilkan teka teki baru sampai akhirnya petunjuk itu mengarah kepada ‘Declaration of Independent’, namun Gulungan Teks Kemerdekaan Amerika tersebut ternyata juga masih menyisakan sejumlah teka – teki. Film ini semakin seru karena terjadi perpecahan diantara mereka sehingga terjadi perlombaan kepintaran dalam menguak misteri yang terdapat dalam ‘Declaration of Independent’ termasuk pencurian dan perebutan ‘Declaration of Independent’ itu sendiri, sehingga ujung – ujungnya kedua kelompok ini harus berhadapan pula dengan kepolisian Washington dan FBI.
Sesudah beberapa hal yang meyakinkan, dihadirkan diantara Ben dan Riley, seorang konservator National Archives, Dr. Abigail Chase (Diane Kruger). Abigail Chase yang cantik berambut pirang dengan sikap posesif terhadap dokumen berharga yang dicuri oleh Ben mencoba merebut dokumen tersebut dan terlibat dalam petualangan memburu harta karun ini. Akhir dari cerita seru ini adalah ditemukannya harta karun terpendam tersebut lima lantai dibawah Gereja Tninity, bahkan harta karun dimaksud termasuk diantaranya manuskrip – manuskrip dan naskah kuno dari Perpustakaan Alexandria dan koleksi ilmu pengetahuan langka dari belahan dunia lainnya.
***
Salah satu kesalahan kita sebagai suatu bangsa adalah lemahnya ingatan dan lalainya kita dalam melestarikan pustaka leluhur. La Galigo bukan hanya sebuah karya tulis. Dia adalah karya sastra monumental, dasar keperibadian dan tradisi masyarakat Bugis Makassar. Dan karya epik mitik yang panjangnya melebihi karya Mahabharata dan Ramayana tersebut mengembara ke dunia lain dan seperti kita tahu, kita sendiri berada di masa gelap dalam sejarah.
Menyaksikan akhir cerita film “National Treasure” tersebut, kuat dugaan saya bahwa cerita dalam film ini berhubungan dengan Ekspedisi Wilkes dari tahun 1838 – 1842 yang dilakukan di berbagai belahan dunia lainnya, dan salah satu harta karun terpendam tersebut adalah masa lalu orang Bugis Makassar, naskah La Galigo. Tulisan ini pada akhirnya mengungkap satu cerita tersendiri, merujuk kepada penjelasan Roger G Tol, mantan Kepala Perpustakaan KITLV Belanda tentang mengapa beberapa bagian dari Naskah La Galigo terpelihara dan tersimpan dengan rapi di Library of Congress, Washington, Amerika Serikat.
Diceritakan oleh Roger G Tol, Pada Februari 1842, rombongan Ekspedisi Wilkes tiba di Singapura dan disambut antara lain oleh Alfred North, kolektor naskah melayu dan bugis serta seorang Pendeta Amerika yang sedang bertugas di Singapura. Dari tangan Alfred North-lah, Wilkes memperoleh sejumlah naskah Melayu dan Bugis yang sangat langka dan ditulis dengan indah sekali, termasuk diantaranya naskah La Galigo.
Alfred North (1807 – 1869) sendiri selain sebagai pendeta, juga bekerja sebagai ahli cetak di Mission Press Singapura, sebuah kegiatan sampingan yang dijalaninya dari tahun 1834 – 1843. Di lingkungan Mission Press itu beberapa staf keturunan Asia menjadi teman kantor Alfred, antara lain Abdullah dan Husin bin Ismail. Mereka berdua bertugas menyalin naskah, membantu mencetak litograf, dan sesekali mengajar orang Inggris dan Amerika. Abdullah mengajar bahasa Melayu dan Husin mengajar bahasa Bugis. Menurut Roger, dari tangan kedua orang inilah, North mendapatkan naskah – naskah berbahasa Melayu dan Bugis, yang kemudian diserahkan kepada tim Ekspedisi Wilkes. (Kompas, 5 April 2002).
Koleksi naskah Bugis di Library of Congress pantas menjadi perhatian dan tujuan para peneliti, karena keunikan dan ketuaan naskahnya, ditulis sekitar tahun 1842. Di beberapa tempat terdapat naskah Bugis yang lebih tua, terutama di Inggris tetapi tidak banyak. Di Belanda kebanyakan naskah Bugis ditulis pada pertengahan Abad XIX ke atas. Sementara di negeri kelahirannya sendiri, kebanyakan naskah Bugis hanya berasal dari Abad XX. Yang tak kalah istimewanya, naskah La Galigo yang terdapat di Library of Congress adalah tempat penyalinannya. Naskah – naskah tersebut disalin di luar Sulawesi Selatan, sesuatu yang langka terjadi. Kemudian secara jelas merupakan suatu paket yang bersifat koheren, satu penyalin / penerjemah, satu kolektor, yang berhubungan instrinsik dengan naskah – naskah Melayu yang merupakan imbangan dari koleksi naskah nusantara di Library of Congress.
Kesalingterkaitan koleksi Melayu dan Bugis di Washington dan Cambridge (Harvard), menurut Roger G Tol, bisa dijelaskan dengan satu contoh saja. Apalagi dari 15 naskah Melayu di Washington, tak kurang dari 7 naskah disalin oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Di Washington juga terdapat sebuah naskah Hikayat Abdullah, yang disalin oleh Husin bin Ismail. Dan baru – baru ini ditemukan lagi sebuah naskah hikayat Abdullah di Cambridge (Harvard) yang juga disalin oleh Husin bin Ismail. Tak meragukan lagi, bahwa naskah – naskah Bugis di Library of Congress ditulis oleh Husin bin Ismail. Untuk membuktikan hal tersebut, menurut Roger tidak terlalu sulit, karena terdapat sejumlah helai lepas dengan catatan yang ditulis oleh Alfred North sendiri. Pada halaman terakhir dua naskah Melayu (LC Jawi 5 dan LC Jawi 9) terdapat sebuah kolofon yang menyatakan bahwa teks disalin oleh ”Alfaqi Husin bin Ismail”. Selanjutnya dalam naskah Hikayat Abdullah (LC Jawi 7), yang ditulisan tangannya sama dengan kedua naskah diatas, terdapat catatan North yang berbunyi, ”Salinan ini diambil langsung dari naskah otograf oleh Husin, seorang Bugis yang mahir menulis huruf Melayu”.
Jika kita berpaling ke naskah Bugis koleksi Library of Congress, dapat dilihat bahwa ke – 10 naskah tersebut pun disalin oleh satu orang, sebab tulisan tangannya sama. Satu naskah, yaitu Jilid VIII dengan jelas menyebut nama si penyalin dalam kolofon ”Guru La Useng Punna Uki”, artinya Guru Husin yang punya tulisan. Bahkan dalam Jilid IX mengandung 4 terjemahan dari Bahasa Melayu. Tiap terjemahan berakhir dengan sebuah kolofon yang menyebut Husin sebagai penerjemah sekaligus penyalin, ”Guru Useng Moki’ Engngi” (Ditulis oleh Guru Husin). ”Guru La Useng PunnaE Oki Sure’ Melayu Tipakkadadai Sure Ogi’, artinya ”Penulisan Terjemahan Ini dari Bahasa Melayu ke Bahasa Bugis dilakukan oleh Guru Husen”. Kemudian dalam beberapa naskah ditemukan catatan North yang menyebutkan bahwa naskah tersebut disalin oleh Husin, seorang Bugis terpelajar di Singapura” (Jilid X) atau cuma ”diterjemahkan oleh seorang Bugis di Singapura” (Jilid VIII). (Kompas, 5 April 2002).
Bagi Roger, fakta – fakta tersebut menunjukkan secara meyakinkan bahwa penyalin naskah Bugis dengan penyalin naskah Melayu orang sama, yaitu Husin bin Ismail. Seluruh koleksi naskahnya masih utuh sampai sekarang. Naskah – naskah tersebut juga tersimpan dalam Perpustakaan Nasional RI di Jakarta. Meski Roger mengaku belum sempat memeriksa seluruh koleksi yang berjumlah sekitar 300 naskah tersebut, tapi dia yakin terdapat puluhan naskah hasil salinan Husin di dalamnya. Dengan demikian, setelah meneliti seluruh naskah salinan Husin yang masih selamat hingga kini, Roger sampai pada kesimpulan, bahwa Husin bin Ismail, merupakan salah seorang penyalin naskah Melayu yang paling produktif hingga kini (Kompas, 5 April 2002).
Naskah – naskah Husin bin Ismail menjadi koleksi di beberapa perpustakaan besar dunia. Selain di Washington, juga ada di Inggris. Dan kemungkinan besar ada juga di Belanda, sebab Husin bin Ismail memiliki hubungan yang sangat dekat dengan salah seorang Belanda yang bekerja di Tanjung Pinang – Riau. Orang Belanda itu bernama H. Von de Wall yang terkenal dengan kemampuan leksikografinya. Ada empat naskah Husin yang ada di Inggris, hingga kini. Dua naskah terdapat di Cambridge, Hikayah Amir Hamzah dan Hikayat Indera Putera. Dalam kolofonnya masing – masing menyebutnya sebagai penyalin ”Enci Husin bin Ismail dan Enci Husin di Tanah Merah”. Dan dua naskah terdapat di Perpustakaan SOAS London, yaitu Syair Harith Fadilah serta Hikayah Syahi Mardan, keduanya disalin oleh ”Al Husin bin Ismail Orang Bugis To Belawa”. (Kompas, 5 April 2002).
***
Karena La Galigo sendiri masih asing pada sebagian besar diantara kita maka tentu pertanyaan mendasarnya adalah apa sich sebenarnya La Galigo itu ? Bagaimana ceritanya, kedudukan dan fungsinya ? Masa mula penulisannya serta sederet pertanyaan lainnya. Tentu saja orang yang berwenang menjawab pertanyaan ini adalah mereka yang ahli dan pernah bersentuhan langsung dengan naskahnya, seperti Prof Dr Fachruddin Ambo Enre, Drs Muhammad Salim, dan Dr Nurhayati Rachman. Hal ini penting disampaikan disini mengingat pemahaman tentang La Galigo sendiri bukanlah pemahaman yang mudah. Yang sampai pada kita hingga saat ini hanyalah transkripsi dan terjemahan dengan penjelasan dan ulasan yang sangat minim. La Galigo sendiri kayaknya diposisikan bukan untuk konsumsi umum, tapi hanya untuk konsumsi akademis, di kalangan yang sangat terbatas.
Hanya saja sebagai bahan pertimbangan, disini dicatat pendapat beberapa ahli yang pernah berbicara mengenai La Galigo. Thomas Stanford Raffles misalnya menganggap Galigo itu sebagai puisi wiracarita (heroic poem) yang mengisahkan sejarah Sawerigading. Matthes juga menyebutnya puisi wiracarita (heldendicht. Fredericy menamainya mitos yang antara lain melambangkan sistem perkawinan di kalangan Bugis. Kern menyebutnya mitologi yang bersifat roman keluarga dan merupakan prasejarah orang Bugis. Mills menganggapnya sebagai kompilasi legenda setempat yang diilhami oleh kronik Jawa. A. Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa orang Wajo pada umumnya memandang Galigo hanya sebagai sastra kuno yang disucikan dan bukan sejarah. Sedangkan orang Luwu—terutama bangsawannya (termasuk bangsawan Bugis Makassar)—benar-benar percaya bahwa mereka itu keturunan tokoh Galigo. (Enre, Fachruddin A : 1999 : 22).
Prof Dr Mattulada pada satu segi memandang Galigo sebagai mitologi yang mengandung nilai religius dan sakral, sehingga tidak dimasukkannya dalam golongan Lontaraq. Pada segi yang lain ia melihatnya sebagai pola konsepsi kenegaraan dan kepemimpinan orang Bugis, yang periode berlakunya kira – kira pada Abad VII – X, mendahuluio periode anang dan periode lontaraq. (Mattulada, 1975 : 10, 357). Berbagai pendapat diatas menunjukkan adanya tiga jenis bentuk yang dikenakan pada Galigo, yaitu mitos atau legenda, sejarah, dan sastra. (Enre, Fachruddin A : 1999 : 22).

Apakah yang seharusnya kita lakukan agar La Galigo lebih membumi ? Menutup tulisan ini barangkali pekikan Asdar Muis RMS, teaterawan dan esais kondang asal Pangkep dalam gelar teater gugat pada Festival dan Seminar International La Galigo di Pancana, Tanete, Kabupaten Barru tahun 2002 lalu.
” Empat kontainer I La Galigo ada di Leiden,
Sementara kita disini ada di masa silam !”.

Semoga pekikan tersebut membangunkan kesadaran kita terhadap kebutuhan akan pustaka leluhur dan tidak sekedar mendengar ceritanya, layaknya dongeng dalam pengantar tidur.(*)

No comments