SAWERIGADING, LELAKI YANG INGIN MENIKAHI SAUDARI PEREMPUANNYA SENDIRI
SAWERIGADING, LELAKI YANG INGIN MENIKAHI SAUDARI PEREMPUANNYA SENDIRI
Sang Patotoqe, penguasa tunggal Kerajaan Langit telah mengutus putranya yang bernama Batara Guru untuk turun ke dunia. Setelah tiba di dunia, Batara Guru kawin dengan puteri dari Kerajaan Peretiwi yang bernama We Nyiliq Timoq. Dari perkawinan Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, lahirlah putra mahkota bernama Batara Lattuq. Dan setelah dewasa Batara Lattuq menikah dengan We Datu Sengngeng setelah berlayar selama berbulan-bulan. Dari perkawainan Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng, lahirlah dua anak kembar berlainan jenis. Yang putra bernama Sawerigading, sedangkan yang putri bernama We Tenriabeng. Sebagaimana adat-adat kebiasaan orang bangsawan untuk kelahiran anak-anak mereka, telah diadakan upacara oleh orang tuanya.
Namun setelah mengadakan upacara itu, Batara Lattuq dan permaisurinya menghilang, naik ke Boting Langiq atau puncak langit. Kejadian ini menggemparkan penduduk Kerajaan Manurung Ale Luwuq. Setelah reda keadaannya, para pemuka pembesar Kerajaan Ale Luwuq bersepakat untuk memelihara keturunan Batara Lattuq, dengan jalan memisahkan mereka. Demikianlah sehingga We Tenriabeng dibuatkan mahligai berjauhan dari tempat pemeliharaan Sawerigading.
Sawerigading tetap dipelihara di pusat kerajaan Ale Luwuq. Mereka berdua masing-masing dirawat oleh inang pengasuh dan dayang-dayang. Khusus Sawerigading, ia diasuh dan dijaga oleh tiga puluh orang pemuda yang cakap dan tangkas. Sehingga tidak heran apabila dewasa dan berkembang menjadi seorang yang berjiwa kesatria, cekatan dan terampil dalam menggunakan senjata dan bersemangat kepahlawanan.
Keadaan yang ideal juga berlaku bagi We Tenriabeng, karena sejak kecil ia diasuh untuk dididik dan dilatih agar menguasai keterampilan dan kepandaian yang harus dimiliki oleh seorang puteri raja, sehingga tidak heranlah apabila setelah dewasa ia tumbuh kembang menjadi seorang yang berwajah cantik. Ditambah lagi ia memiliki keterampilan serta pengetahuan mengenai adat istiadat kewanitaan bangsawan.
Pada suatu hari Sawerigading yang telah dewasa serta telah menjadi penguasa Kerajaan Manurung Ale Luwuq, bersama pengiringnya pergi menjelajah untuk memeriksa daerah-daerah kekuasaannya. Dalam penjelajahannya itu, pada suatu ketika, ia tiba pada suatu mahligai yang indah dan megah sekali. Dan ia menjadi terkesima ketika bertatap muka dengan penghuninya, seorang putri yang teramat cantik jelita. Terpengaruh oleh darah remajanya, Sawerigading kemudian menanyakan nama puteri jelita itu. Dari para pengiringnya ia mendapat keterangan bahwa nama puteri jelita tersebut adalah We Tenriabeng, namun mengenai orang tuanya serta dari mana asalnya mereka tidak ada yang mengetahuinya.
Sejak itu, timbullah dorongan keras untuk mempersunting puteri tersebut di dalam hati Sawerigading. Setibanya di pusat kerajaan, ia segera mengumpulkan para pembesar dan pemuka kerajaan untuk menyampaikan niatnya tersebut. Namun oleh para penasehatnya, niatnya tersebut tidak disetujui, karena mereka tahu bahwa We Tenriabeng sebenarnya adalah saudara kembar dari rajanya. Repotnya Sawerigading tidak mau mendengarnya, ia tidak percaya dengan segala nasehat para penasehatnya, ia ngotot tetap ingin menikahi We Tenriabeng. Ia malah membunuh juru bicara dari para penasehatnya.
Kegemparan dan kegelisahan masyarakat kerajaan Ale Luwuq akhirnya terdengar oleh We Tenriabeng. Setelah mengetahui permasalahannya, maka We Tenriabeng pun berkeputusan untuk menghalangi maksud sang raja yang notabene adalah saudara kembarnya sendiri. Caranya adalah mengirim inang pengasuhnya sebagai utusannya menghadap Sawerigading. Pada utusannya itu, ia mengirimkan bukti hubungan darah mereka, yang berupa gelang, cincin, dan sehelai rambut. Dan untuk menggantinya, ia mengusulkan saudara kembarnya tersebut untuk meminang saja saudara sepupu mereka bernama I We Cudaiq yang berdiam di negeri Cina. Kecantikan I We Cudaiq tidak kalah dari Tenriabeng. Perbedaannya hanyalah pada warna kulit. Jika We Tenriabeng berkulit putih kekuning-kuningan, maka I We Cudaiq berkulit putih berkilau-kilauan.
Dengan adanya bukti hubungan kekerabatan itu, akhirnya Sawerigading mau percaya dan berkeputusan untuk pergi ke negeri Cina untuk meminang I We Cudaiq yang molek tersebut.
Sawerigading pun berlayar selama berbulan-bulan menuju negeri Cina. Ia beberapa kali berperang di laut karena dihadang oleh berbagai musuh yang tidak memberinya jalan. Akhirnya Sawerigading sampai di negeri Cina. Namun di negeri Cina Sawerigading mendapat penolakan dari Puteri Cina. Maka terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Sawerigading dengan pasukan Ale Cina. Sanggupkah Sawerigading mengalahkan pasukan Ale Cina lalu mempersunting I We Cudaiq? Baca selengkapnya dalam novel La Galigo, diterbitkan oleh Diva Press Yogyakarta Januari 2012.
Tentang Dul Abdul Rahman.
Sastrawan dan peneliti budaya. Ia menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan pada 1993. Pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (1993-1998), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (2001-2002), Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2004-2009). Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.
Ratusan tulisannya berupa karya sastra dan kritik sastra dimuat koran lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia. Karya-karyanya dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa untuk meraih gelar sarjana dan pascasarjana, di Indonesia maupun Malaysia.
Buku-buku sastranyat:
1. Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009);
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010);
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010);
5. Sabda Laut (Novel. Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010).
6. Sarifah (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2011)
7. La Galigo (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2012)
8. Dewi Padi dan Kucing Kesayangannya (Novel, Diva Press Yogyakarta, segera terbit)
No comments
Post a Comment