Breaking News

Bukan Cinta Biasa

ROMEO-JULIET DAN LAYLA-MAJNUN:
BUKAN KISAH PERCINTAAN BIASA


Sumber: https://lingkaranangkanol.wordpress.com/2011/03/28/romeo-juliet-dan-layla-majnun-analisis-kedekatan/ 

“Apakah arti sebuah nama?”
Apakah yang disebut Montague? 
Ia bukan tangan, apalagi kaki
Bukan lengan, bukan wajah, bukan pula segala macam bagian tubuh manusia.

Percayakah Anda bahwa penulis drama Romeo-Juliet, William Shakespeare, ternyata tidak nyata? Beberapa sumber menyatakan bahwa nama Shakespeare berasal dari kata “Syekh Pir” (Guru). Drama Romeo-Juliet sendiri secara umum ditafsirkan sebagai kisah percintaan yang tak terwujud. Seorang pemuda dari keluarga Montague bernama Romeo Montague bertemu dan jatuh cinta pada Juliet Capulet. Kedua keluarga (Montague dan Capulet) bermusuhan. Dengan demikian, Romeo dan Juliet tidak bisa berhubungan. Kehidupan pasangan yang dimabuk asmara itu semakin rusak ketka Romeo memiliki “dosa asal” membunuh seorang Capulet. Dikisahkan, Mercutio sahabat Romeo dihabisi sepupu Juliet, Tybalt. Romeo membalas tindakan tersebut dengan membunuh Tybalt. Kejadian ini tentu saja menjad cacat tersendiri dalam percintaan mereka. Sementara itu, Juliet juga hendak dinikahkan dengan orang lain, Paris. Juliet berkonsultasi kepada Friar Laurence. Sang Friar mengusulkan rencana agar Juliet berpura-pura mati dengan meminum racun yang diolah sedemikian rupa. Juliet memang akan “mati”, tapi sebenarnya ia hanya pingsan atau tidur sementara waktu. Dengan demikian, Juliet akan dimakamkan. Saat itulah nanti Romeo akan menjemputnya; akan membawa Juliet pergi. Naas bagi Romeo, ia sama sekali tidak mengetahui rencana Friar Laurence karena surat yang dikirimkan Friar gagal sampai. Ia buru-buru mendatangi makam dengan membawa racun yang dibelinya dari The Apothecary, melihat Juliet yang “mati”, berkelahi dengan Paris hingga Paris mati. Melihat sang kekasih sudah “mendahuluinya”, Romeo menangis dan memutuskan bunuh diri. Ketika Juliet tersadar dan mendapati Romeo mati, ia bunuh diri pula.
Banyak yang berpendapat bahwa kisah Romeo and Juliet ditulis Shakespeare untuk menunjukkan betapa buruknya feodalisme; mengurung cinta yang merupakan kebebasan hakiki manusia. Kematian Romeo dan Juliet yang tragis menggambarkan bahwa ketika kehidupan sudah dipenuhi sekat-sekat, perseteruan antar manusia, kehidupan tersebut tidak mampu lagi menampung mimpi. Bunuh dirinya Romeo kemudian Juliet adalah bentuk pencarian mimpi tersebut, atau dalam kata lain, “jika cinta memang tidak bisa terjangkau; maka buatlah segalanya benar-benar tidak terjangkau”.
Dalam artikel “Romeo and Juliet dan The Peony Pavilion: Sebuah Telaah Sastra Bandingan” karya Li Hui-lin, Sun Yun-bo, Ren Zhao-ying, dan Li Gui-li, dijelaskan bahwa ketika Shakespeare menulis Romeo and Juliet, Eropa tengah memasuki zaman Ressaisance. Pada saat itu, tatanan ekonomi dan sosial yang lama mulai berganti. Gereja Katolik, sebagai otoritas tertinggi Barat saat itu, diserang habis-habisan oleh Reformasi Gereja; yang membuka kedok Gereja dalam memperjualbelikan pahala dan dosa. Sementara itu, orang-orang Eropa tengah melakukan penjelajahan dunia demi membuka cakrawala perdagangan yang lebih luas; yang kemudian berimplikasi pada kolonialisme pada benua-benua Afrika, Asia, dan Amerika. Di lain pihak, pengagungan Tuhan dan akhirat (hidup sesudah mati) berubah menjadi pengagungan manusia dan kepuasan hidup duniawi. Shakespeare dengan jitu membuat Romeo dan Juliet menjadi oposisi terhadap pandangan masyarakat baru ini; sekaligus oposisi pula terhadap pandangan feodalisme yang berkausa di Eropa sebelumnya. Kematian Romeo dan Juliet adalah pemberontakan kepada tatanan. Romeo dan Juliet seolah melontarkan pertanyaan, “manusia yang berhasil lepas dari sistem yang lama dan mulai terjebak sistem yang baru, bisakah kalian seperti kami yang tidak terkungkung apa pun? Ketika kungkungan terhadap kami meluas, kami merusaknya; merusak diri kami pun tak masalah karena cinta tidak boleh terkungkung”.

Layla dan Majnun
Kisah Layla dan Majnun secara garis besar mirip dengan Romeo-Juliet. Dikisahkan, seorang pemuda bernama Qays begitu tergila-gila kepada Layla, seorang gadis dari keluarga terhormat. Keduanya bersekolah di tempat yang sama. Keduanya saling jatuh cinta. Semakin hari, kobaran cinta itu memakin membara. Sekolah tidak lagi menjadi tempat mencari ilmu, tetapi menjadi tempat persuaan sepasang kekasih. Tentu saja bagi keluarga Layla hal ini adalah aib. Pada zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis yang semuda Layla diburu seseorang. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarang Layla pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar. Begitu Layla tidak ada, Qays merasa kehilangan. Ia mencari Layla kesana kemari dan mulai menciptakan sajak-sajak cinta. Sejak saat itulah Qays dipanggil dengan sebutan “Majnun”.
Layla diungsikan ke rumah, dipingit berhari-hari. Tapi, Majnun pantang menyerah. Ia berhasil mendirikan gubuk tempatnya mencuri kesempatan melihat Layla. Ketika penjagaan rumah Layla begitu ketat, bersama teman-temannya Majnun menerobos masuk. Bertemulah keduanya setelah sekian lama terpisah. Tak sepatah kata pun terucap, tapi pandangan mata dan gerak tubuh mereka menandakan cinta yang menggebu-gebu. Begitu para pengawal mengetahui Majnun datang, mereka berusaha mengepung kamar Layla. Beruntunglah Majnun kabur terlebih dahulu meski artinya kembali berpisah lagi dari sang kekasih hati.
Keterpisahan Majnun dengan Layla semakin menjadi ketika ayah Layla dan ayah Majnun sama-sama menginginkan perpisahan keduanya. Ayah Majnun sempat menawarkan berbagai gadis cantik, tapi Majnun bergeming. Ayah Layla bahkan pada akhirnya, mirip dengan yang terjadi pada Juliet, menikahkan Layla. Sang gadis tetap saja tidak mau menyerahkan cinta kepada orang lain; hanya kepada Majnun saja cinta Layla diberikan.
Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu. Kerinduan sepasang kekasih itu membuncah hebat; dan semakin membara meskipun jarak memautkan. Bahkan, karena jarak inilah justru cinta Majnun dan Layla semakin kekal. Akhirnya, Layla meninggal dalam kerinduannya pada Majnun. Sementara itu, Majnun yang sudah diusir dari masyarakatnya, mendengar kabar kematian Layla. Dengan tubuh lemah, ia memaksakan diri ke makam Layla. Sama seperti Romeo yang mati di altar, di atas peti Juliet, Majnun juga mengembuskan nafas terakhir di makam Layla. Kelak, setahun kemudian, ketika keluarga Layla mengunjungi makam Layla, betapa terkejutnya mereka melihat sosok mayat Majnun yang keadaannya masih begitu segar; tidak membusuk.
Konon, tak lama sesudah peristiwa tersebut, ada seorang Sufi yang bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkan Majnun di sisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?” Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik oleh Allah, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang? Layla harus menderita ketika menikah dengan orang lain, bukan dengan Majnun. Begitu pikiran ini terlintas dalam benak sang sufi, Allah pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri; tidak mengumbarnya pada orang lain. Layla menikmati setiap bahagia dan derita cintanya.”
Kesamaan Pola dalam Kisah Romeo-Juliet dan Layla-Majnun
Baik Romeo-Juliet maupun Layla-Majnun sering hanya dianggap sebagai kisah sepasang kekasih patah hati. Mereka tidak bisa bersatu di dunia, kemudian memilih bersatu di akhirat dengan kematian. Keduanya sama-sama tidak diizinkan bersama oleh orang tua masing-masing. Jika Romeo dan Juliet mesti berpisah karena permusuhan Montague dan Capulet, Layla dan Majnun terpaksa berpisah demi mempertahankan kehormatan keluarga masing-masing.
Dikisahkan, ayah Majnun adalah seorang kepala suku. Sebelum kelahiran Majnun (saat itu masih bernama Qays), ayah dan ibunya sempat berputus asa karena belum mempunyai anak. Begitu mereka berdua sujud pada sebuah malam kepada Allah semata, beberapa saat kemudian istri sang kepala suku hamil. Yang peru dicatat, sang kepala suku berdoa kepada Allah sebagai berikut, “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”. Kelak, jika kita menggunakan perspektif yang benar, kita akan menyadari bahwa Allah mengabulkan semua doa sang kepala suku. Anaknya, Qays Si Majnun akan menjadi pemuda kebanggan Allah meskipun bagi umat manusia ia sangat tergila-gila dengan cinta.
Sementara itu, ayah Layla jelas memiliki aib yang besar di masyarakat ketika anak gadisnya yang semestinya bersekolah dengan benar, justru jatuh cinta kepada Qays. Artinya, Layla tidak bisa memuaskan keinginan sang ayah agar bersekolah saja. Kita bisa melihat bahwa dalam hal ini, Layla dan Qays melawan konstruksi sosial yang ada, sama seperti Romeo dan Juliet. Mereka jatuh cinta di sekolah; sesuatu yang memalukan saat itu. Tapi, jika dikembalikan, mengapa jatuh cinta di sekolah harus dianggap aib? Siapakah yang menciptakan aturan demikian? Bukankah yang menciptakan kerumitan semacam itu hanyalah manusia? Bukankah Layla dan Majnun hanyalah korban adat yang kaku, yang tidak menoleransi apa pun di luar diri adat tersebut? Padahal, adat dibuat oleh manusia.
Seharusnya, manusialah yang mengendalikan adat, bukan sebaliknya. Selama adat masih sesuai dengan kebaikan (yang sifatnya universal); adat itu layak dipertahankan. Tapi, ketika adat justru melahirkan kejahatan (membuat orang gagal jatuh cinta jelas termasuk kejahatan terbesar), sudah seharusnya manusia menghancurkan adat tersebut. Kenyataannya, tidak demikian. Adat (dalam masyarakat sekarang bisa diperluas sebagai undang-undang, dasar negara, hukum, dan sebagainya) seolah menjadi senjata ampuh untuk membungkam orang-orang yang menentangnya. Contoh sepele, seseorang yang tidak mau mendaftarkan diri sebagai PNS atau tidak mau bekerja di kantor, akan diolok-olok atau dipojokkan masyarakat karena masyarakat berpikir pendek: semua yang bekerja seharusnya memiliki kantor; berada di bawah sebuah instansi resmi. Dari hal ini saja, kita bisa melihat bahwa sebenarnya masyarakat kita terbiasa dengan hidup diperbudak; disuruh orang lain; yang penting mendapatkan hasil. Maka, siapa pun yang tidak mau diperbudak, yang menemukan cara lain dari sistem yang dianggap sudah “sistematis” ini, dianggap sebagai bukan bagian dari masyarakat atau dianggap rendah. Sama seperti Qays dan Layla. Mereka hanya jatuh cinta pada masa sekolah; tidak ada perbuatan lain yang jahat, misalnya mereka membunuh atau mencederai orang lain. Tapi, hukuman atas jatuh cinta ternyata lebih hebat daripada hukuman atas kesalahan yang senyatanya.
Sikap pantang menyerah Qays yang mencipta sajak dan mencari Layla hingga menyusup ke dalam rumah Layla jelas menunjukkan pemberontakannya atas aturan tolol dalam adat mereka. Ketika ayah Qays Si Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk menutupi “aib” keluarga Layla dan keluarganya sendiri dengan melamar Layla untuk Qays. Dengan sebuah kafilah penuh harta, sang kepala suku menjumpai Ayah Layla. Hal pertama yang dikatakan ayah Qays si Majnun adalah “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu Cinta dan Kekayaan. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu. Aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan.”.
Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qays dan bukan aku tak percaya kepadamu. Sebagai kepala suku, tentu engkau sangat mulia dan terhormat. Tapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku aneh Majnun. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti juga hidup bersama hewan-hewan menjauhi orang banyak. Katakan, jika engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?” Mendengar jawaban Ayah Layla, Ayah Qays terdiam dan dalam hati membenarkan pendapatnya.
Memang, setelah Layla tidak masuk sekolah, Qays yang dimabuk asmara, benar-benar dalam keadaan “gila”. Qays tidak bisa menemukan kekasih hatinya. Maka, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mengungkapkan perasaannya; menumpahkan kerinduan. Jadilah Qays tidak hanya mencipta sajak, tetapi juga melakukan tindakan-tindakan melawan adat setempat. Qays berpakaian compang-camping, mendirikan gubuk di tempat terpencil yang memungkinkannya melihat rumah Layla, dan berteman dengan binatang. Qays juga lebih menghormati siapa pun karena ia menganggap siapa pun seolah merepresentasikan Layla. Jika ia berbuat baik dengan orang lain, Qays berharap demikian pula yang terjadi pada Layla.
Dengan pernyataan ayah Layla dan kesetujuan ayah Qays, Layla dan Qays secara adat “resmi berpisah”. Tapi, apalah arti adat? Kegilaannya semakin hebat. Cintanya pun demikian. Kita mengenal bahwa jika cinta biasa dipisahkan, cinta tersebut akan lenyap. Tapi, cinta yang luar biasa justru akan terlatih dan semakin menguat jika terpisahkan. Tidak perlu jauh-jauh. Buktinya ada pada Adam dan Hawa. Keputusan Allah menjadikan mereka sebagai khalifah bumi, kemudian menurunkan mereka karena memakan buah khuldi, bukankah menyiratkan perpisahan Adam dan Hawa dari pusat cinta mereka, Allah? Padahal, Allah sendiri yang menyatakan bahwa ketika manusia disempurnakan kejadiannya, saat itulah Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia. Ingatlah pula sabda Nabi, “Allah menciptakan Adam dengan bentuk-Nya” atau bisa dipahami “Allah menciptakan Adam (manusia) dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri”. Sebagaimana dijelaskan bahwa segala sesuatu yang berpasangan selalu mendekatkan diri kepada yang “sejenis”, demikian pula yang seharusnya terjadi pada Adam dan Hawa. Seharusnya, mereka tetap berada di surga. Tapi, Allah sudah menetapkan bahwa Adam dan Hawa harus turun ke bumi, menjadi khalifah. Adam mengambil risiko terpisah dari Allah. Ia memilih terjerembab dalam permainan tipuan buah khuldi ala iblis. Tujuannya adalah membuktikan cinta kepada Allah. Dengan berada di bumi, Adam memang hanya memiliki dua kemungkinan.
Pertama, ia akan melupakan Allah jika ia hanya manusia biasa yang tidak mengenal cinta. Jika Adam memilih bertindak demikian, tentu ia bukan sesuatu yang layak dibanggakan Allah seperti yang difirmankan dalam Q.S. 2:30. Bukankah ketika Allah berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, para malaikat membantah Allah dengan berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih? Kami memuji Engkau dan mensucikan Engkau!”. Para malaikat melakukan ibadah ini karena mereka berada dalam kedekatan pada Allah. Selain itu, pengetahuan mereka juga sangat terbatas. Mendengar bantahan malaikat, Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Jika Adam langsung melupakan Allah dan terjerumus pada kehidupan dunia, jelas Adam tidak memiliki kualitas yang diketahui Allah, tapi tidak diketahui malaikat, yaitu kualitas cinta tadi.
Kedua, tentu saja berkebalikan dengan yang pertama, Adam akan menjadi sosok yang tahan ujian. Ia tidak hanya membuktikan cinta dalam keadaan biasa, tetapi juga mempertahankan cinta ketika memiliki jarak yang begitu jauh dari Allah. Sementara manusia biasa kadang berselingkuh ketika berada dalam jarak jauh dari pasangannya, ketika seakan pasangannya tidak mampu melihat, Adam tidak melakukan tindakan rendahan tersebut. Orang-orang yang berselingkuh karena jarak jauh menunjukkan bahwa mereka hanya mencintai diri sendiri saja. Ketika dirinya membutuhkan cinta, ia mencari cinta terdekat yang bisa melampiaskan perasaannya. Tapi, orang yang setia, tidak perlu embel-embel jarak semacam itu. Orang yang setia jelas memiliki cinta kepada pasangan yang jauh lebih besar daripada cinta kepada diri sendiri. Bagaimana tidak? Ketika ada peluang berselingkuh, ketika jarak begitu membentang, ia sadar bahwa jika ia melakukan perselingkuhan, yang terjadi adalah luka hati bagi sang kekasih. Orang yang tega membiarkan kekasihnya terluka karena tindakannya sendiri jelas tidak bisa dikategorikan sebagai pencinta. Adam membuktikan bahwa ia sangat setia kepada Allah. Ia menerima semua tanggungan: Adam pernah diremehkan malaikat, ditolak untuk disujudi Iblis, dihasut Iblis agar memakan buah khuldi, lalu ditambah diturunkan ke dunia. Itulah harga yang harus ditanggung oleh pecinta sejati. Meskipun dunia diciptakan untuk menjadi penggoda Adam, ia sama sekali tidak goyah. Tujuannya adalah Allah semata. Kita bisa merekam perjuangan Adam ini dengan singkat melalui sajak “Genesis” berikut.

GENESIS

Adam tak pernah terusir …
Malaikat merapat berjajar belajar memahami hakikat cintamu
yang tertuang dalam rahasia penciptaan Adam sang nihil
“Bersujudlah padanya seperti kau bersujud padaku.
Akulah cinta di seberang cinta!”

Tetapi mengapa salah satu yang angkuh
menolak dan memalingkan muka?
“Tuhan engkau menciptakanku
dari api sedang dia dari tanah hitam.”

(Tuhan berkata pada Iblis)
“Apakah engkau hanya melihat Adam dalam wujud terlihat
Lihatlah di balik tanah itu tersembunyi jutaan rahasiaku.
Dusta apa lagi yang sedang kaurancang
makhluk dungu pemuja berhala!”

(Tuhan berkata pada Adam)
“Meski kelak engkau mengunyah buah salah
Engkau tak pernah melanggar hukumku
Kuturunkan kau ke bumi sebagai pemimpin
yang mengajarkan cinta ke seluruh penjuru alam semesta”

“Tuhan, kami adalah tempat dosa dan kejahatan berpulang.
Kuberjalan di dunia demi cinta yang belum terlihat
Dan bila tiba waktu kembali akan kulewati tujuh langit
menujumu melebihi segala makhluk yang pernah Kaucipta”


Allah meletakkan Adam di bumi sebagai khalifah dengan tujuan menampakkan cinta Allah kepada seluruh makhluk. Ketika tubuh Adam mati, tanggung jawab menampakkan cinta tersebut beralih kepada keturunannya. Bukan sebuah kebetulan jika Nabi Muhammad saw., keturunan Adam yang paling unggul, kemudian menjadi suri teladan bagi siapa pun yang ada di alam semesta ini, baik yang kasat mata maupun tidak. Lalu, ketika tiba waktu kembali, ketika manusia dikumpulkan pada Hari Kebangkitan lalu dibalas atas segala perbuatannya di dunia, ingatlah posisi spesial manusia. Hanya manusialah (mereka yang masuk surga) yang mendapatkan kesempatan melihat Allah, kenikmatan terbesar di Akhirat. Dengan demikian, Adam dan keturunannya membuktikan bahwa mereka memag melebihi semua makhluk yang pernah diciptakan Allah.
Kembali kepada keberjarakan yang menghiasai kisah Qays dan Layla, bukankah perburuan Qays terhadap Layla menunjukkan pola yang sama dengan keberadaan Adam di dunia? Bukankah kebiasaan “gila” Qays untuk menjadi bahan olok-olokan masyarakat identik dengan keadaan Adam yang sempat diragukan malaikat dan ditolak oleh Iblis? Dengan demikian, kita sudah sepantasnya curiga dengan kisah Layla-Majnun. Pasti ada apa-apa dalam kisah ini. Setidaknya, kisah ini senafas dengan keadaan manusia di dunia.
Lalu, bagaimana dengan Romeo dan Juliet? Apakah kedua tokoh ini tenggelam begitu saja dengan kisah Layla-Majnun? Romeo dan Juliet dapat dikatakan menjadi adaptasi paling tepat atas kisah Layla-Majnun di tanah Barat yang belum terlalu mengenal Islam. Kalau Anda membaca buku Dahsyatnya Energi Sabar, pengadaptasian sebuah karya dalam kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan asal karya tersebut bukanlah hal baru. Misalnya, di tanah Jawa muncul Serat Dewa Ruci, kisah tentang pencarian air kehidupan oleh Bima hingga bertemu seorang dewa yang ukurannya sangat kecil bernama Dewa Ruci yang sebenarnya adalah representasi Tuhan. Cerita ini diadaptasi dari kisah pertemuan Nabi Khidr dan Sunan Kalijaga; yang menunjukkan transmisi pengetahuan agama yang dilakukan Nabi Khidr (representasi Arab, pusat Islam, dekat dengan Nabi Muhammad saw.) kepada Sunan Kalijaga sebagai representasi orang Jawa, yang dalam kisah tersebut menjadi sasaran dakwah Islam. Kisah Nabi Khidr dan Sunan Kalijaga sendiri bukan kisah babon (kisah utama). Kisah ini bisa dilacak berasal dari Alquran, tepatnya Q.S. 18:60—82, yaitu kisah pengajaran yang dilakukan oleh Nabi Khidr kepada Nabi Musa. Saat itu, Nabi Musa menganggap dirinya sebagai manusia tercerdas. Tapi, ketika berhadapan dengan Nabi Khidr, Nabi Musa benar-benar menjadi orang yang “bodoh” karena tidak bisa sabar menghadapi tiga kasus yang diujikan Nabi Khidr. Sebuah “kebetulan” jika kita menyadari bahwa Sunan Kalijaga adalah Wali Songo (penyebar Islam di Jawa) yang paling cerdas, mirip dengan Nabi Musa. Sementara itu, Bima yang mencari air kehidupan adalah sosok paling berani dalam Pandawa. Kesimpulan dari penjabaran perbandingan Serat Dewaruci, kisah Nabi Khidr-Sunan Kalijaga, dan Nabi Khidr-Musa, ternyata sebuah kisah yang dimasukkan ke dalam kebudayaan berbeda, tidak harus sama persis. Ada perubahan-perubahan tertentu yang disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Demikian pula dengan kisah Layla-Majnun ke dalam Romeo-Juliet yang ada di Eropa.
Sekilas, tidak ada nilai-nilai Islami dalam Romeo dan Juliet. Tapi, sebenarnya kedua kisah nyaris sama persis. Misalnya, pengejaran Romeo kepada Juliet yang terlalu mirip dengan Qays pada Layla, hubungan dua keluarga yang sama-sama tegang dan tidak memungkinkan pernikahan sepasang kekasih tersebut, pilihan orang tua tokoh utama perempuan (Layla, Juliet) untuk menikahkan sang puteri, kematian tokoh utama perempuan lebih dahulu daripada tokoh utama lelaki (meski Juliet pura-pura mati, Romeo tetap menganggapnya mati), dan terakhir keputusan tokoh utama untuk mati menyusul kekasihnya, seolah-olah menandakan bahwa dalam kedua kisah tersebut hanya nama dan setting yang berubah. Polanya terlalu sama. Lalu, jika Romeo-Juliet dan Layla-Majnun sama, bagaimana kita mengetahui ada pesan rahasia di dalam kedua kisah tersebut; pesan yang berkaitan dengan Cinta?

Qays dan Ishak
Kita bisa memulai dari pembedahan bagian awal kisah Layla-Majnun. Qays mirip sekali dengan Ishak. Ia adalah keturunan yang sangat dinanti-nantikan oleh orang tuanya, kepala suku Bani Umar. Sementara itu, Ishak lahir di usia Ibrahim yang sudah sangat uzur. Peristiwa menjelang kelahiran Qays dan Ishak pun mirip. Dalam Q.S. 11:69—74 dan 15:51—58, Nabi Ibrahim dan Siti Sarah didatangi malaikat yang menyampaikan kabar gembira tentang akan lahirnya Ishak. Pada Q.S. 11:71—72, yang tidak percaya dengan ucapan malaikat adalah Siti Sarah.



“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Yakub.”



Istrinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”


Sementara itu, dalam Q.S. 15:54, yang terkejut dengan pernyataan malaikat bahwa Ibrahim akan berputra adalah Ibrahim. Ia begitu gembira sekaligus setengah tidak percaya memperoleh keberuntungan diberi titipan anak oleh Allah.



Berkata Ibrahim: “Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?”

Sementara itu, menjelang kelahiran Qays, meski tanpa bantuan malaikat, sang kepala suku Bani Umar dan istrinya sama-sama berusaha melakukan berbagai cara demi mendapatkan anak. Bahkan, meski obat dan ramuan tabib terkenal sudah dicoba, tapi tidak ada hasilnya. Ketika berada dalam keputusasaan itulah sang istri menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Allah. Sang kepala suku menjawab, “kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi. Tak ada ruginya.”. Dalam kisah Layla-Majnun, kedua orang tua sama-sama putus pengharapan. Barulah ketika sang istri, yang akan mengandung anak, meminta kepada suaminya sekali lagi bersujud, Allah memperkenankan doa tersebut. Di sini yang bisa kita petik adalah pentingnya kesiapan seseorang yang akan menampung ujian. Sebelum istri kepala suku Bani Umar menyatakan kesiapannya dengan meminta suaminya bersujud, berserah diri, Allah belum mau mengabulkan doa mereka. Istri kepala suku tersebut tentu saja tetap bertujuan memiliki anak, tapi tindakannya bersama sang suami bersujud sama dengan keadaan Nabi Ibrahim dan Siti Sarah yang “meragukan pernyataan malaikat”. Pada satu sisi, mereka mengharapkan kehadiran seorang anak. Pada sisi lain, mereka juga tidak menuntut apa-apa karena menyadari tuanya usia yang nyaris tidak mungkin memiliki anak jika tanpa bantuan Allah.
Ishak dan Qays pun sama-sama membahagiakan orang tua mereka. Derajat Qays misalnya, digambarkan sebagai berikut. “Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.”. Sementara itu,


Qays dan Layla Sang Malam
Selanjutnya, Qays dikisahkan jatuh cinta kepada Layla di sekolah. Kita bisa memperhatikan bahwa nama Layla berarti “malam”. Keduanya jatuh cinta. Karena takut menjadi aib, Layla diungsikan keluarganya ke rumah. Sejak saat itu, Qays menjadi seorang gila sehingga dipanggil sebagai Majnun. Secara umum, Layla-Majnun bisa diterjemahkan sebagai Malam dan Si Gila. Kita bisa melacak bahwa orang-orang gila” yang memiliki keterkaitan dengan malam adalah para sufi. Dalam Pengantar Wisdom of The Idiots, Idries Shah menjelaskan bahwa para sufi sering memakai kata gila atau idiot untuk menyebut diri mereka sendiri. Alasannya mudah. Biasanya, orang-orang yang diakui umum sebagai orang bijaksana (atau dalam tataran tertentu disebut sebagai ulama atau ahli agama) sering mengaku memiliki kebijaksanaan sejati, padahal kebijaksanaan mereka tersebut tak lebih dari hasil pemikiran sempit yang cuma mengandalkan logika. Oleh para sufi, orang-orang “bijaksana” ini dianggap sebagai idiot yang memungkiri keberadaan Sang Cahaya Sejati, Allah. Maka, sebagai kebalikannya, para sufi menyebut diri sebagai idiot untuk menyindir sekaligus memberi pemahaman pada orang-orang “bijaksana” tadi. Lagipula, seorang sufi memang terbiasa menyatakan hal-hal yang dianggap idiot oleh orang “bijaksana” atau umat beragama. Misalnya, sufi terbiasa berkata sebagai berikut.

Jika seorang Muslim tahu apa itu sebuah berhala
Dia akan tahu bahwa ada agama dalam pemujaan terhadap berhala
Jika penyembah berhala tahu apa itu agama
Dia akan tahu di mana diri telah tersesat
Dia melihat tidak ada apa-apa di dalam berhala kecuali ciptaan yang nyata:
Inilah alasan mengapa di dalam hukum Islam, diri seseorang disebut kafir.
(Syabistari, Gulshari-i-Raz).

Hingga kolese dan menara telah runtuh
Karya suci kita ini tidak akan selesai.
Hingga keimanan menjadi pengingkaran, dan pengingkaran menjadi keyakinan
Di sana tidak akan ada Muslim sejati.
(Abu Said bin Abi al-Khair)

Apa yang dapat Aku kerjakan, wahai orang-orang Muslim?
Aku tidak dapat mengetahui diriku.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Majusi, bukan Muslim.
Bukan dari Timur, ataupun dari Barat
(Jalaluddin ar-Rumi, Diwan-i-Syams-i-Tabriz)

Ucapan-ucapan di atas, jika dipahami dari pola pikir yang pendek, tentu akan menghasilkan pendapat negatif. Umat beragama yang terbiasa membenci umat lain dan mengunggulkan agamanya akan berkata bahwa para sufi adalah orang-orang kafir. Jika tidak demikian, para sufi adalah orang sesat yang bertujuan untuk membuat umat Islam tidak beriman. Sementara itu, orang-orang yang mengaku membela toleransi agama akan beranggapan bahwa para sufi tengah mengajarkan agama-agama di dunia memiliki tipe yang sama. Kalau tidak demikian, para sufi dianggap tengah mengatasi perbedaan-perbedaan kultural yang menaungi semua agama. Padahal, para sufi tidak pernah berkata bahwa mereka berkiblat pada semua agama. Sufi-sufi tersebut menyatakan bahwa pada titik tertentu, ketika agama sudah diformalisasikan sedemikian rupa dan mengalami degradasi yang sangat jauh daripada saat pertama kali diciptakan, pengetahuan seorang umat beragama tidak mungkin menjangkau Allah. Pengetahuan yang disebabkan oleh fanatisme sempit dan kebencian hanyalah pengetahuan yang mengandalkan otak. Sementara itu, akal manusia yang hakiki akan mampu melewati pengetahuan semacam itu untuk menjangkau Allah. Biasanya, orang yang menggunakan akal hakiki ini akan bertindak yang berada di luar kebiasaan umat beragama (maksudnya, umat beragama yang pengetahuannya sudah terdegradasi) sehingga oleh kebanyakan orang ia dianggap kafir padahal oleh Allah ia dianggap sebagai muslim sejati.
Selanjutnya, perlu dipahami pula bahwa bukan sembarangan para sufi menggunakan istilah idiot atau gila. Huruf-huruf Arab memiliki numerisasi tertentu. Misalnya, huruf ba’ bernilai 2 dan huruf qaf bernilai 100. Huruf-huruf yang menyusun kata “wali” jumlahnya sama dengan huruf yang menyusun kata “balid” (idiot, bodoh), yang kemudian bisa dialihkan menjadi “gila”, yang secara bahasa disebut Majnun. Para sufi memang merupakan wali Allah di dunia yang tujuannya menjelaskan pengetahuan ilahi kepada umat manusia. Misalnya, perilaku sufi yang terkait dengan kegilaan, dapat ditangkap dalam kisah berikut.
Terdapat orang gila yang tidak ikut ambil bagian dalam jamaah salat. Di hari Jumat, dengan penuh kesulitan, orang-orang membujuknya untuk hadir.
Tetapi ketika sang Imam memulai, orang gila tersebut justru melenguh seperti lembu jantan.
Orang-orang menyangka bahwa ia hanya sedang kambuh lagi gilanya, tetapi pada saat yang sama ingin membantunya. Sesudah shalat mereka menegurnya:
“Apakah engkau tidak berpikir tentang Allah, engkau bersuara seperti seekor binatang di tengah-tengah salat jamaah?”
Si orang gila menjawab:
“Aku hanya melakukan apa yang dikerjakan Imam. Ketika ia telah menekankan, ia membeli seekor lembu, maka aku pun bersuara seperti seekor lembu!”
Ketika jawaban aneh ini disampaikan kepada sang Imam, ia mengakui:
“Ketika aku menyebut Allahu Akbar, aku sedang memikirkan pertanianku. Dan ketika sampai pada alhamdulillah, aku berpikir bahwa aku akan membeli seekor lembu. Pada saat itulah aku mendengar suara lenguhan.”

Terkadang, para sufi sering bermusuhan dengan mereka yang otaknya terbatas logika atau umat beragama yang mendaku-daku. Misalnya, dua orang sufi, Husayn bin Manshur al-Hallaj dan ‘Ayn al-Qudat, digantung oleh pemerintahan yang korup karena dianggap melecehkan Islam padahal pemerintahan tersebutlah yang melecehkan Islam. Sebenarnya orang-orang yang melawan para sufi tersebut sudah dijamin akan diperangi oleh Allah. seperti yang dijelaskan dalam hadis qudsi berikut.



Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. HambaKu tidak mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku sukai dari pada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan sunnat-sunnat sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku menjadi pandangan yang untuk mendengarnya, penglihatan yang untuk melihatnya, tangan yang untuk menamparnya dan kaki yang untuk berjalan olehnya. Jika ia memohon kepadaKu, niscaya Aku benar­-benat memberinya. Jika ia memohon kepadaKu, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Dan Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku iakukan seperti kebimbanganKu terhadap jiwa hambaKu yang beriman yang mana ia tidak senang mati sedang Aku tidak senang berbuat buruk terhadapnya“. (H.R. Bukhari)

Kita bisa melihat janji Allah dalam memerangi musuh para wali-Nya tersebut pada kehidupan Qays dalam Layla-Majnun. Pertama, perlu disadari bahwa Layla yang berarti “malam” ini menandakan hal lain. Layla tidak dilihat dari keadaannya yang semata-mata perempuan. Dalam berbagai kisah, para sufi sering menggambarkan Tuhan sebagai sosok perempuan. Artinya, bukan menyamakan Allah dengan makhluk. Bagi para sufi, manusia yang sudah memiliki kesadaran ibarat laki-laki yang mengejar perempuan, berburu pengetahuan tentang Tuhan dan Hari Akhir. Jadi, Layla yang perempuan ini menunjukkan keberadaan Allah. Coba kita bandingkan “perempuan” sebagai representasi Allah dalam kisah Layla-Majnun ini dengan bait puisi Ibnu Arabi dalam karya fenomenalnya, Tarjuman Al-Asywaq dan penjelasannya dalam sajak “Perempuan Idaman” berikut.
Jika aku membungkuk kepadanya sebagai kewajibanku
Sementara dia tidak pernah menanggapi penghormatanku
Bukankah aku hanya menimbulkan keluhan?
Wanita rupawan tidak pernah mengundang rasa kewajiban.
(Ibnu Arabi, Tarjuman Al-Asywaq)

PEREMPUAN IDAMAN

Jika aku bersujud kepadanya sebagai kewajiban
Sementara dia berpaling tak jua menanggapiku
Untuk apa beribadah yang menyisakan keluhan
Bahkan berdoa lebih mirip mengkhayal peluang

Peneliti agama berkomentar dari luar lapangan
Sewaktu-waktu memvonis kegagalan tak nyata
Umat beragama mengukir lelap di malam buta
Memaki yang menggugahnya menjelang subuh

Mereka sama-sama mengaku mencermati
Sejak kapankah agama perlu disembah?

Jangan beri dia nama karena hanya membatasinya
Begitu dia tampak, semua bebatuan akan terhanyut
Wanita rupawan tak pernah mengundang kewajiban
Perempuan idaman selalu bersembunyi di jantung

Apakah perempuan yang kami bicarakan
Sama seperti perempuan yang kauketahui?

Janganlah mengira ibadahmu dicatat dalam riwayat
Ada masanya dosa dan pahala usang tak terpakai
Wanita rupawan tak pernah mengundang kewajiban
Perempuan idaman selalu melegakan penghirupan

Perempuan idaman bukanlah sekadar barang mainan
Di kedalaman matanya kau beradu dengan kematian
Jika agama selalu menghasilkan kewajiban berkarat
Perempuan idaman selalu tersipu dikedipi jantung ini

Tentu akan sangat janggal jika kita menafsirkan sajak-sajak di atas secara literal. Mana mungkin perempuan idaman tinggal di dalam jantung? Di sinilah kita bisa memahami bahwa maksud penggunaan perempuan, maksud Layla, adalah Allah yang selalu pasif jika dilihat dari sudut pandang dunia. Bukankah kita sama sekali tidak bisa melihat Allah? Dengan demikian, kita bisa menerima bahwa Qays yang tergila-gila pada Layla adalah penggambaran orang-orang terlatih yang mencintai Allah.
Perlu disimak pula bahwa ketika Laila tidak ada di ruang kelas sekolahnya, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil nama Layla. Qays menggubah syair untuk Layla dan membacakannya di jalan-jalan. Semua hal yang dibicarakan Qays selalu berkaitan dengan Layla. Ia juga tidak menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais, ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”. Di sinilah permulaan Qays disebut Majnun. Mudah saja menunjukkan bahwa Qays adalah tipe para sufi. Sepanjang sejarahnya, para sufi sangat dikenal sebagai penyair-penyair hebat yang melahirkan sajak-sajak istimewa. Meskipun bagi sebagian orang sajak-sajak tersebut dianggap sajak biasa, jika diperhatikan lebih detail, sajak para sufi menyampaikan rahasia pengetahuan ilahi. Misalnya, Fariduddin Attar dari Nishapur yang membuat sajak Musyawarah Para Burung. Sajak ini menjelaskan adanya tujuh tahapan yang harus dilalui umat beragama dalam mencapai Allah. Bisa disebutkan pula nama Jalaluddin Ar-Rumi yang menciptakan Masnawi, kumpulan sajaknya yang mencapai 6 jilid. Saking berkualitasnya isi Masnawi, sajak-sajak tersebut dikatakan sebagai Alqurannya orang Persia. Ada pula Abdurrahman Bedil dari Hindustan yang sajak-sajaknya seolah berasal dari planet lain. Jika merujuk pada sufi kontemporer, kita bisa melihatnya pada sosok Faiz M yang menjadi inspirator lirik-lirik lagu Ahmad Dhani yang berkaitan dengan Tuhan. Misalnya, lagu “Pangeran Cinta”, “Mistikus Cinta”, “Satu”, “Hidup ini Indah”, “Nonsens”, “Larut”, “Aku Bukan Siapa-Siapa”, “Dimensi”, hingga yang paling jelas “Jika Cinta Allah”.
Kedekatan Qays pada sufisme juga bisa dilihat dari atribut-atribut yang dipakainya dalam masa kegilaannya. Semisal, setelah ayah Layla menolak lamaran ayah Qays, sebenarnya ayah Qays mengirim Qays untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan membebaskan Qays dari cinta yang menghancurkan. Seperti halnya umat beragama yang mengkultuskan tempat suci, sang ayah ingin agar doa Qays dikabulkan dengan berharap Qays berdoa agar Allah menghilangkan Layla dari ingatan. Apa yang dilakukan Qays? Ia malah berdoa, “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja. Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.”.
Sementara itu, kita juga bisa menciptakan sebuah pengalaman luar biasa jika mampu menangkap maksud Nizami sang pengarang Layla-Majnun dengan meletakkan Layla dan Majnun di lingkungan sekolah. Perhatikanlah bahwa sekolah, tempat menimba ilmu agama, sebenarnya sama persis dengan agama. Pada masa Nabi Muhammad saw., Allah begitu dekat dengan agama yang dilambangkan dengan sekolah ini. Semua ibadah dan semua tingkah laku muslim diselaraskan agar mampu menjangkau Allah. Tapi, seiring dengan waktu, setelah Nabi Muhammad saw. dan para sahabat meninggal, tidak ada lagi yang mengetahui pengetahuan rahasia tentang Allah. Bahkan, ketika muncul orang seperti Qays, para sufi yang mendapatkan pengetahuan rahasia dari Allah, yang terjadi sungguh menyedihkan. Demi keberlangsungan sekolah, keberlangsungan tata-tertib agama, orang seperti Qays “diasingkan”. Padahal, saat itu Allah (yang direpresentasikan Layla) sudah tidak ada di dalam lingkup umat beragama biasa. Allah telah “disingkirkan” ke tempat tersembunyi yang direpresentasikan dengan rumah Layla. Tentu bukan berarti Allah bisa ditaklukkan oleh umat beragama. Perumpamaan ini hanya ditujukan bahwa umat beragama sudah menjadi terlalu angkuh dengan menghina orang-orang seperti Qays yang jatuh cinta berlebihan pada Layla. Padahal, ketika umat beragama berada dalam posisi dekat pada Allah (anak-anak sekolah pada Layla) mereka tidak bisa menjangkau pemahaman cinta Qays. Karena tidak paham, biasanya orang justru memperolok orang yang lebih paham. Apalagi jika yang tidak paham itu banyak jumlahnya. Kisah Nabi Khidr yang meminta semua orang menyimpan air yang sudah disampaikan di atas menunjukkan hal ini. Ketika orang yang memiliki air muncul ke dunia, ia justru dianggap aneh karena air bersihnya berbeda dengan air kotor yang biasa diminum kebanyakan umat manusia.
Kembali pada keadaan Qays, setelah ditinggalkan Layla, kehidupan Qays benar-benar hancur jika dilihat dari sudut pandang luar, sudut pandang umat beragama biasa. Setelah menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan masyarakat desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu kemana ia pergi. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal di reruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal di dalamnya. Sama seperti halnya para sufi yang memilih mengasingkan diri daripada dicerca atau difitnah umat beragama, jalan inilah yang dipilih oleh Qays. Ia bagaikan benda asing yang bergulir kencang di padang pasir, ditiup kian kemari. Baginya tidak masalah karena ia menyadari posisinya memang bukan di dunia, tapi di akhirat. Seberapa pun besarnya tiupan angin cobaan, jika seseorang sudah jatuh cinta kepada Allah, yang diniatkan tentu hanya hari persuaan, kematian. Oleh karena itu, wajar jika Nabi berkata, “kematian adalah hadiah terbesar bagi seorang muslim”. Ya, apa lagi yang dirindukan selain bersua dengan Allah
Lebih jauh, kita juga bisa melihat bagaimana Qays memakai pakaian yang compang-camping. Misalnya, deskripsi seorang pengembara tentang Qays adalah “seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal”. Dalam tradisi sufi, memakai baju berbulu domba atau menjahit pakaian compang-camping adalah sebuah hal yang sangat mudah ditemui. Ingatlah pula Nabi Muhammad saw. pernah diriwayatkan menjahit pakaian sederhana beliau sendiri. Tujuan menjahit pakaian ini bukanlah menjahit pakaian seperti biasanya, tetapi lebih menekankan pada keteraturan dalam menjalani hidup; meningkatkan kesadaran bahwa hidup seolah berulang setiap waktunya. Ada kalanya jahitan terkoyak, atau yang disebut nasib sial. Jika hal itu terjadi, yang dilakukan adalah menjahit kembali pakaian tersebut, atau “mengupayakan datangnya nasib baik” dalam versi umat beragama biasa. Pemakaian baju yang dijahit sendiri juga menekankan kepada para sufi agar mereka merasa senantiasa kurang. Dengan demikian, keadaan kurang mereka bisa diibaratkan dengan keadaan miskin ilmu sedangkan Allah Sang Pemberi Ilmu menjadi sosok yang Maha Kaya seperti yang dijelaskan dalam Q.S. 47:38.



“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” 
Dengan memahami bahwa Qays adalah representasi mereka yang mencari Allah, keadaan compang-campingnya jelas selaras dengan Q.S. 47:38 dan jelas mengadopsi pakaian kemiskinan yang digunakan sufi. Kita bisa membandingkan keadaan Qays ini dengan keadaan seorang sufi, Nuh Al-‘Ayyar dalam Kasyf Al-Mahjub berikut. “Aku (Nuh) memakai baju tambalan agar aku bisa menjadi seorang sufi dan menjauh dari dosa akibat rasa malu yang kurasakan terhadap Tuhan”. Demikian pula Qays. Ia memakai baju tambalan sebagai bentuk kecintaannya kepada Allah. Bukankah seharusnya jika seseorang benar-benar menyadari “kemiskinan ilmunya”, ia akan malu jika menghadap Allah dalam keadaan tidak compang-camping padahal dalam Q.S. 47:38 Allah menegaskan hanya Dialah yang Maha Kaya? Jika ada istilah “tidak ada yang menyerupai Allah”, maka para sufi memang benar-benar membuktikan ucapan tersebut dengan memiskinkan keadaan. Hanya orang yang dekat kepada Allah saja yang pantas memakai pakaian terbaik di dunia. Padahal, semua orang tidak boleh mengklaim kedekatan kepada Allah. Jika para sufi saja rela memakai baju compang-camping (dalam tataran tertentu bahkan hingga mengemis), tentu keadaan mereka yang mengaku jauh dari Allah ini sangat jauh lebih mulia daripada kita yang senantiasa mengaku dekat dengan Allah. Kesombongan apa yang kita miliki sehingga kita mengenakan pakaian mahal dan indah? Sudah sejauh apa hubungan kita kepada Allah sehingga kita boleh membanggakan diri? Dengan demikian, ternyata kisah cinta Qays dan Layla yang seakan mendayu-dayu dan hanya mengagungkan cinta ini menyimpan rahasia luar biasa bagi yang mau memahaminya.

Lebih jauh, kita bisa menganggap Layla benar-benar berarti “malam”. Qays yang tergila-gila kepadanya menandakan orang-orang terpilih, yang benar-benar mencintai Allah, yang mau terjaga pada malam buta sementara orang lain (umat beragama lain) lebih memilih untuk tidur. Coba bandingkan peristiwa orang gila yang mengejar Tuhan dalam malam hari ini dengan Q.S. 25:64 dan Q.S. 52:48—49 berikut.



Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (Q.S. 25:64)



Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri.” (Q.S. 52:48)



“dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar).” (Q.S. 52:49)

Perintah Allah agar manusia menegakkan salat pada malam hari, atau salat tahajjud, sebenarnya demi kepentingan manusia sendiri. Dalam buku Mari Kembali ke Masjid dijelaskan bahwa dini hari menjelang subuh, waktu yang disunnahkan bagi kita untuk salat tahajjud, merupakan salah satu tanda istimewa yang berkaitan dengan hari akhir. Malam hari adalah penanda alam kubur. Keadaan gelap gulitanya sama persis dengan keadaan alam kubur orang-orang yang terbiasa hidup dengan cara menyakiti orang lain selama di dunia. Selain itu, malam hari juga bisa menjadi penanda keadaan umat manusia menjelang kiamat. Dalam berbagai riwayat, Nabi Muhammad saw. menyatakan bahwa menjelang hari akhir, umat Islam memang banyak, tapi mereka lemah. Alquran hanya dibaca tanpa diketahui maknanya. Orang-orang bergantian mendirikan masjid, tapi mereka hanya ingin bersaing tentang kemegahan masjid di suatu tempat dibandingkan tempat lain. Keadaan umat yang semakin jauh dari keadaan umat Islam pada zaman Rasulullah menunjukkan terjadinya kehancuran- pemahaman Islam yang bertubi-tubi dari masa ke masa. Bisa dikatakan Islam sekarang tidak lebih daripada sekadar “macan ompong” yang hanya bisa menggertak sesaat, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tentu bukan salah agamanya jika keadaan sudah demikian. Umatlah yang bersalah karena mereka seharusnya mampu menjaga rahasia agama. Keadaan Islam yang lemah ini sangat tepat jika digambarkan sebagai malam gelap yang membutuhkan cahaya penerang. Lagipula, keadaan ini memang “syarat” demi terwujudnya Hari Kiamat. Tidak mungkin ada cahaya matahari yang menyegarkan kehidupan, mengembalikan langit biru, jika belum terjadi malam yang pekat.
Malam menjelang dini hari juga menjadi tanda penyingkapan Allah. Bukankah terdapat hadis, “Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi tsulutsullailil akhir…” (Allah itu turun ke langit yang paling dekat dengan bumi pada sepertiga malam terakhir)? Qays yang mengejar Layla jelas mengarah pada kedekatan Allah pada hambanya pada momen sepertiga akhir malam ini. Jika ditarik lagi ke dalam pemahaman tentang Hari Kiamat, subuh artinya kebangkitan manusia. Mereka yang terbiasa bangun pada dini hari menjelang subuh insya Allah akan mampu pula terjaga dalam kondisi mengingat Allah Yang Satu pada Hari Kebangkitan. Sebuah sajak dengan tegas menjelaskan pelatihan umat Islam dalam salat malam dan salat subuh ini, “Lihatlah di setiap subuh ke kemerahan ufuk barat sana. Bersiagalah sebelum pagi terakhir menjemputmu kembali.”. Jadi, jelaslah sudah. Pada titik luarnya, kisah Layla-Majnun mungkin hanya dibaca sebagai kisah lelaki yang mengejar perempuan; tetapi di dalamnya, kisah ini adalah kisah seorang pencari yang mengejar Tuhan sehingga memperoleh kebijaksanaan yang oleh orang lain dianggap gila.
Nah, setelah mengetahui “rahasia” di balik Layla-Majnun, bagaimana dengan Romeo dan Juliet? Kasusnya sama seperti Layla-Majnun. Kedua tokoh sama-sama tergila-gila. Bahkan, ketika Juliet mengetahui bahwa Romeo adalah anak keluarga Montague, dengan demikian ia tidak mungkin menikahi Romeo, Juliet sudah menyadari takdir apa yang terbentang di depan matanya. Sama persis dengan Layla-Majnun dan peristiwa menjelang turunnya Adam ke bumi, Romeo dan Juliet yang saling cinta ini mesti berlatih melewati keberjarakan hingga akhirnya sebuah peristiwa nyaris menamatkan mereka: ketika Juliet hendak dinikahkan dengan Paris, sama seperti Layla, dan sangat mirip ketika Adam memakan buah khuldi. Saat itu, seseorang harus merasakan derita berpisah dengan pasangannya; dan hal tersebut memang harus terjadi demi pembuktian cinta mereka.

Melihat ancaman pernikahan Juliet dengan Paris (sebenarnya Juliet dan Romeo sudah dinikahkan Friar Lawrence, tapi dilakukan secara rahasia karena permusuhan kedua keluarga), Friar Laurence menyarankan agar Juliet pura-pura menyetujui pernikahan yang diatur ayahnya. Ketika pagi hari menjelang pernikahan, Juliet harus minum ramuan yang akan membuatnya seolah-olah seperti sudah meninggal. Romeo yang tidak tahu apa-apa, berlari untuk menemui kekasihnya yang sudah tiada.
Setelah sekian hal yang mirip dengan Layla-Majnun, bagian yang paling dramatis tentu saja ketika Layla dan Juliet sama-sama meninggalkan kekasihnya terlebih dahulu. Meskipun Juliet hanya meninggal sementara, pada hakikatnya “tugas” Juliet adalah untuk menunjukkan betapa tidak bisa hidupnya Romeo tanpa dirinya. Romeo hanya ingin melihat Juliet yang senyatanya. Juliet yang mencintai dan dicintainya, tetapi tak bisa bertemu dalam hidup yang fana. Kasus yang sama menimpa Majnun. Ketika kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri, Majnun pun jatuh pingsan di tengah gurun sahara. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari. Saat sadar, Majnun dengan kondisi badan yang lemah, berangkat ke pemakaman Layla. Ia berkabung di kuburan Layla selama beberapa hari. Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan Majnun meletakkan kepalanya di kuburan Layla hingga meninggal dunia dengan tenang.
Pesan kedua kisah ini sama: tidak ada yang mampu menjangkau cinta yang senyatanya di dunia ini. Layla dan Juliet adalah lambang cinta tersebut, penanda Allah. Untuk menjangkau cinta, seseorang harus mati: harus menyerahkan diri tanpa perlawanan dan tanpa harapan seperti Romeo dan Majnun.
Ingatlah pula bahwa sebenarnya Romeo dan Juliet sudah menikah secara rahasia di bawah tangan Friar Laurence. Alasan dirahasiakannya pernikahan tersebut adalah demi kenyamanan keluarga; demi tidak adanya pelanggaran peraturan. Jika kita mendekati kisah ini dari sudut pandang sosiologi semata, memang yang terlihat hanya pemberontakan pada gejolak politik, sosial, dan ekonomi pada masa itu semata. Tapi, jika kita mampu melewati batas-batas sosiologis tersebut, kisah Romeo dan Juliet sama persis dengan peristiwa Allah dan Adam ketika menghadapi tuduhan malaikat bahwa Adam akan menciptakan kerusakan di bumi. Allah tidak langsung menjelaskan kemampuan Adam, Allah hanya berkata “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Mempertahankan rahasia (bahwa Adam lebih unggul daripada makhluk) ini memang “harus” dilakukan karena pada kenyataannya, sama seperti Nabi Khidr yang memberi tiga wejangan kesabaran kepada Nabi Musa, ada hal-hal yang hanya bisa dijelaskan seiring dengan berjalannya waktu. Jika hal-hal tersebut didedah pada waktu yang belum tepat, ketika kebenaran belum terbukti, kebenaran tersebut hanya akan menjadi sampah; tidak bernilai kebenaran. Seandainya Allah berkata bahwa Adam lebih hebat daripada malaikat karena memiliki cinta, Adam layak memimpin bumi karena di dalamnya ditiupkan ruh Allah, maka tidak akan ada peristiwa turunnya Adam ke bumi. Dengan demikian, tidak akan ada ruh manusia yang terjebak dalam tubuh. Tidak ada keturunan Adam yang akan masuk surga; ruh-ruh manusia yang melewati rintangan terjal berupa godaan dunia. Tidak ada malaikat yang melewati nasib seperti manusia karena malaikat tidak memiliki hawa nafsu. Bahkan, ketika malaikat Harut dan Marut meminta diturunkan ke bumi, menjadi manusia karena penasaran dengan alasan Allah memilih manusia, mereka gagal mengemban misi tersebut. Ketika anak Adam kelak masuk surga, di sanalah malaikat akan terkesima karena menyadari betapa unggulnya manusia daripada malaikat.
Demikian pula dengan pernikahan Romeo dan Juliet. Jika pernikahan rahasia tersebut diumumkan terlalu dini, yang terjadi justru pergolakan hebat. Bukan tidak mungkin pula yang terjadi justru lebih parah. Romeo dan Juliet tidak hanya akan dikejar oleh masing-masing keluarga, tetapi juga akan menyebabkan permusuhan keluarga Capulet dan Montague tidak berujung. Ketika Romeo dan Juliet meninggal, sama seperti yang terjadi pada malaikat yang akan mengakui keunggulan manusia, dengan intervensi Pangeran Verona dan tuturan ampuh Friar Laurence tentang perjuangan hebat antara Romeo dan Juliet, Keluarga Capulet dan Montague setuju mengakhiri permusuhan di antara mereka. Seandainya Romeo dan Juliet tidak meninggal dengan tragis demi cinta, tidak akan ada kata sepakat antara kedua keluarga. Seandainya Romeo berhasil menerima surat Friar Laurence bahwa Juliet hanya berpura-pura mati dan akhirnya mereka kabur, yang muncul justru permusuhan abadi. Lebih jauh, seandainya Adam tidak memakan buah khuldi, berkaitan dengan Romeo dan Juliet, tidak akan ada kisah kekaguman malaikat kepada manusia, sekaligus membuat mereka malu karena pernah berkata “mengapa Allah menciptakan orang yang akan melakukan kerusakan di bumi”.

Simpul Cinta
Kita sudah membandingkan Romeo-Juliet dan Layla-Majnun dengan kisah Adam dan Hawa. Di sana-sini, terdapat kemiripan ketiga kisah tersebut. Yang perlu diperhatikan, kisah atau dongeng yang disampaikan sejak zaman tradisional bukan berarti tidak memiliki makna terdalam sama sekali. Ingatlah bahwa pada masa lalu, konsep agama begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang ruh akan mudah sekali ditemukan dalam kisah atau dongeng tersebut. Sementara itu, bagi kita, orang-orang modern yang seolah hanya mengetahui logika, kita terjebak pada kisah yang sekilas cuma mengumbar cinta tersebut. Pengetahuan kita begitu terbatas dan hal ini pernah disindir oleh Nabi. Terdapat riwayat sebagai berikut.
Nabi berkata, “akan tiba waktunya pengetahuan lenyap dari dunia.” Ziad berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin pengetahuan meninggalkan dunia sedangkan kami membaca Alquran dan mengajar nya kepada anak-anak kami, dan anak-anak kami berbuat demikian pula kepada keturunannya, dan demikian seterusnya hingga hari kiamat?”. Nabi Muhammad saw. berkata, “Wahai Ziad, kusangka kau adalah salah satu orang paling terpelajar di Madinah. Bukankah orang Yahudi dan orang Nasrani juga membaca Alkitab dan Injil (kitab suci), tapi pengetahuan mereka lenyap?”

Bukan sebuah kebetulan jika Nizami sang pencipta kisah Layla-Majnun dan Shakespeare (yang dicurigai hanyalah nama samaran) sang pencipta kisah Romeo-Juliet menggunakan kisah cinta tokoh-tokoh pemuda dan perawan untuk menyampaikan pesan tentang Cinta Allah kepada manusia; keunggulan ruh manusia. Sepanjang sejarah, para sufi biasa menggunakan puisi cinta untuk mengungkapkan betapa agungnya Allah. Biasanya, tema-tema yang disampaikan pun disesuaikan dengan kenyataan terpisahnya ruh manusia dari Allah.
Begitu banyak puisi patah hati yang digubah para sufi, tetapi kemudian mengalami degradasi pemahaman sehingga menjadi puisi cinta biasa. Misalnya, term “Pangeran Cinta” yang ada di dalam masyarakat sering disebut merujuk pada lelaki playboy yang memiliki banyak kekasih atau bisa menaklukkan semua perempuan. Padahal, term “Pangeran Cinta” berasal dari seorang sufi bernama Ibnu Al-Farid. Ialah yang bergelar “Pangeran Cinta”, orang yang begitu mabuk kepada Tuhan sehingga menciptakan sajak-sajak cinta luar biasa.
Demikian pula jika kita memahami karya-karya Kahlil Gibran atau Ibnu Arabi. Kita sering menggunakan karya Kahlil Gibran hanya untuk sekadar kesenangan profan, mengutipnya untuk menghibur pasangan yang berduka, atau meluluhkan hatinya. Padahal, jika dipelajari, konsep perempuan-lelaki dalam karya Gibran dan Ibnu Arabi sebenarnya hanya merujuk pada satu hal: Tuhan yang Maha Segalanya, yang terpisah dari dunia, dan manusia yang mengejar-Nya, yang berusaha mendekatkan diri dengan kematian. Tak salah jika Kahlil Gibran berkata, “apalah arti kematian selain melepaskan nafas dari pasang-surutnya”.
Dalam tahapan tertentu, seperti yang sudah dikupas, pertemuan Allah dan manusia dapat diibaratkan dengan pertemuan lelaki dan wanita. Jadi, jika sepanjang pernikahan kita selalu menjaga hubungan, membahagiakan pasangan, membuat anak-anak tersenyum ceria, insya Allah setelah kematian, kita juga akan dimudahkan dalam bersua dengan Allah. Pernikahan adalah tanda penyatuan lelaki-perempuan, kematian adalah tanda penyatuan manusia kepada Allah sebagai tempat bermula dan kembali. Dengungan cinta kepada Allah akan senantiasa terdengar jika dalam rumah tangga kita masih ada begitu banyak cinta kepada-Nya, begitu banyak kerelaan berkorban seorang suami kepada istri dan anak-anaknya.
Pada suatu titik, kita bisa merujuk ucapan Nabi Muhammad saw., “Jika saja dibolehkan untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan kuperintahkan agar para istri menyembah suami-suami mereka”. Dalam hal ini, bukan berarti Nabi menyamakan suami dengan Allah. Suami yang telah berkorban segalanya demi kehidupan keluarganya, sebenarnya merepresentasikan Allah dalam tataran tertentu. Allah juga begitu banyak berkorban kepada kita. Sekian juta kesalahan manusia di dunia, terjerat nafsu duniawi, akan dihapuskan Allah sepanjang orang tersebut masih memegang cinta; masih menjaga imannya kepada Allah. Suami yang mampu mengajak istrinya untuk mencintai Allah jelas akan mendapatkan anugerah besar dari Allah berupa cinta yang tak terhingga pula: kebahagiaan keluarga di dunia dan akhirat. Apa lagi yang kita butuhkan selain hal tersebut?

No comments