Penyerangan Rumah Fatimah AS Membuktikan Abubakar cs Mustahil Dijamin Surga ! Akhirnya Kutemukan Kebenaran
|
syiah, mereka bukan mencaci maki sahabat tetapi lebih
kepada memberikan penjelasan secara lebih proposional antara sahabat
nabi : mana yang jujur dan mana yang tidak/kurang jujur…
Apakah Islam melarang mengkritisi orang yang bersalah?
Dalil Naqli Dan Aqli Adanya Penyerangan Rumah Fatimah AS
|

لا تحزن ان الله معنا
Janganlah kamu takut karena Allah bersama kita.
Janganlah kamu takut karena Allah berada dikelompok kita.
Janganlah kamu takut karena Allah yang menjadi pendukung kita.
Janganlah kamu takut karena Allah yang menjadi penolong kita.
Janganlah kamu takut karena Allah swt yang menjadi pembela kita.
Janganlah kamu takut karena Allah swt yang menjadi penunjuk kita.
Syiah juga menghormati sahabat. Tetapi sahabat yang mana, apakah
semua sahabat tanpa terkecuali, hatta sahabat yang saling membunuh
(padahal membunuh sesama muslim adalah haram dalam Islam)? Itu letak
perbedaan antara anda dengan kami.
Ini bukti bahwa anda tidak memahami relasi antara tawalli (mahabbah)
dan tabarri (bughd). Syiah tidak pernah menyatakan ungkapan seperti:
“Sahabat sayyidina Ammar Yasir radhiyallahu anhu telah dibunuh oleh
sahabat Muawiyah ”.
Karena mustahil dalam peristiwa pembunuhan itu keduanya benar. Syiah
akan meneliti kasusnya dan menyatakan siapa yang benar dan siapa yang
salah. Yang salah harus dilepastangani (tabarri) dan yang benar harus
ditiru (tawalli). Ini berbeda dengan konsep “kebaikan (’udul) semua
sahabat” yang diyakini oleh Ahlusunnah secara umum. Sehingga dari situ
mereka akan terpaksa membenarkan dua sahabat dalam kasus saling caci,
saling fitnah, bahkan saling bunuh.
Saya hanya ingin mengajak berpikir, agar kita kritis dalam menghadapi hal-hal semacam itu, apalagi pembohongan atas nabi
Sebuah syubhat yang kerap ditudingkan kelompok wahabi
adalah syubhat yang berkaitan erat dengan para ahlul bait yang lima,
baik terhadap imam Ali, Fatimah sa, imam Hasan dan Husain.
Pada kesempatan ini mari kita urai terkait syubhat yang
ditujukan pada kelompok syiah atau sunni. Syubhat yang berkaitan
langsung dengan empat orang ahlul bait Nabi Muhammad saaw, syubhat kasus
penyerangan rumah Fatimah sa.
Dalam syubhat itu dipertanyakan bagaimana mungkin Ali bin
Abi Thalib sang Haidar, sang jagoan dimedan laga membiarkan non mahram
menyerang istrinya, menyerang rumahnya, padahal sebagai seorang muslim
maka Ali bin Abi Thalib harus melakukan jihad pembelaan diri?
Disini dalam syubhat ini ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan:
Pertama, Ali as itu seorang pemberani.
Kedua, dalam syubhat ini digambarkan Ali itu tidak mau
melakukan pembelaan diri. Beliau membiarkan keluarganya diserang oleh
orang-orang yang disebut sebagai sahabat-sahabat Nabi Muhammad saaw.
Beliau diam sama sekali tanpa melakukan perlawanan apalagi mengangkat
pedang.
Ketiga, membela diri dan keluarga adalah salah satu kewajiban seorang muslim.
Keempat, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan karena
untuk keberanian Imam Ali as tidak ada sedikitpun keraguan, karena orang
arab sendiri ketika ada keluarganya mati di medan laga dan yang
membunuh adalah Ali maka mereka akan bangga, sebab tidak ada seorang
musuh pun yang selamat ketika berperang melawan Ali as.
Kelima, jadi dengan syubhat diatas diangkat tujuan untuk
menolak bahwa sebenarnya tidak pernah terjadi penyerangan terhadap rumah
Fatimah sa.
Sesungguhnya syubhat ini tidak hanya datang dari kalangan
wahabi yang memang gemar sekali mencipta fitnah untuk menyerang syiah,
tapi juga dikalangan interen syiah sendiri. Namun ada perbedaan diantara
keduanya walau syubhat isinya sama. Ketika syubhat itu ditanyakan
interen syiah tujuannya untuk mengetahui apa hikmat dan tujuan dari Imam
Ali mengapa melakukan seperti itu jika memang itu beliau lakukan.
Mengingat prilaku seorang imam jaman jelas hal itu pasti berdasarkan
pada pemikiran dan pertimbangan yang luas. Sedang ketika syubhat ini
dilayangkan kelompok takfiri tujuannya lain, tujuan mereka tidak lain
adalah untuk mengingkari kejadian pemakaman sayidah Fatimah sa yang
dilakukan secara rahasia, sehingga manusia terutama umat Islam tidak
perlu bingung dengan pertanyaan dimanakah tempat Fatimah sa dimakamkan?
Seperti kita tahu, ketika ada yang menanyakan dimana makam
Fatimah sa maka otomatis dia akan sampai pada pertanyaan mengapa sampai
makam beliau tidak diketahui, mengapa beliau mewasiatkan untuk
dimakamkan dimalam hari, mengapa Abu Bakar bin Kuhafah dan Umar bin
Khatab tidak diberitahu untuk datang mengiring kepergian jenazah Fatimah
sa dst sampai pada pertanyaan alasan apa yang membuat sayidah Fatimah
sa melakukan tindakan tersebut.
Terkait Penyerangan rumah dan syahâdah Fatimah Zahra sa
kami akan mengutip beberapa matan dari kitab-kitab Ahlusunnah sehingga
menjadi jelas bahwa masalah penyerangan kediaman Hadhrat Fatimah Zahra
Sa merupakan sebuah peristiwa sejarah faktual serta bukan sebuah mitos
dan legenda!! Meski pada masa para khalifah terjadi sensor besar-besaran
terhadap penulisan keutamaan dan derajat (para maksum); akan tetapi
kaidah menyatakan bahwa “hakikat (kebenaran) adalah penjaga sesuatu.”
Hakikat sejarah ini tetap hidup dan terjaga dalam kitab-kitab sejarah
dan hadis. Di sini kami akan mengutip beberapa referensi dengan
memperhatikan urutan masa semenjak abad-abad pertama hingga masa kini.
1. Ibnu Abi Syaibah dan kitab “Al-Musannif”
Abu Bakar bin Abi Syaibah (159-235 H) pengarang kitab al-Mushannif dengan sanad sahih menukil demikian:
“Tatkala orang-orang memberikan baiat kepada Abu Bakar, Ali
dan Zubair berada di rumah Fatimah berbincang-bincang dan melakukan
musyawarah. Hal ini terdengar oleh Umar bin Khattab. Ia pergi ke rumah
Fatimah dan berkata, “Wahai putri Rasulullah, ayahmu merupakan orang
yang paling terkasih bagi kami dan setelah Rasulullah adalah engkau.
Namun demi Allah! Kecintaan ini tidak akan menjadi penghalang. Apabila
orang-orang berkumpul di rumahmu maka Aku akan perintahkan supaya
rumahmu dibakar. Umar bin Khattab menyampaikan ucapan ini dan keluar.
Tatkala Ali As dan Zubair kembali ke rumah, putri Rasulullah Saw
menyampaikan hal ini kepada Ali As dan Zubair: Umar datang kepadaku dan
bersumpah apabila kalian kembali berkumpul maka ia akan membakar rumah
ini. Demi Allah! Apa yang ia sumpahkan akan dilakukannya![1]
2. Baladzuri dan kitab “Ansab al-Asyrâf”
Ahmad bin Yahya Jabir Baghdadi Baladzuri (wafat 270)
penulis masyhur dan sejarawan terkemuka, mengutip peristiwa sejarah ini
dalam kitab “Ansab al-Asyrâf” sebagaimana yang telah disebutkan.
Abu Bakar mencari Ali As untuk mengambil baiat darinya,
namun Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Kemudian Umar bergerak
disertai dengan alat untuk membakar dan kemudian bertemu dengan
Fatima di depan rumah. Fatimah berkata, “Wahai putra Khattab! Saya
melihat kau ingin membakar rumahku? Umar berkata, “Iya. Perbuatan ini
akan membantu pekerjaan yang untuknya ayahmu diutus.”[2]
3. Ibnu Qutaibah dan kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah”
Sejarawan kawakan Abdullah bin Muslim bin Qutaibah
Dainawari (216-276) yang merupakan salah seorang tokoh dalam sastra dan
penulis kawakan dalam bidang sejarah Islam, penulis kitab “Ta’wil
Mukhtalaf al-Hadits” dan “Adab al-Kitab” dan sebagainya. Dalam kitab
“Al-Imamah wa al-Siyasah” ia menulis sebagai berikut:
“Abu Bakar mencari orang-orang yang menghindar untuk
memberikan baiat kepadanya dan berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib.
Kemudian ia mengutus Umar untuk mendatangi mereka. Ia datang ke rumah
Ali As dan tatkala ia berteriak untuk meminta mereka keluar namun
orang-orang dalam rumah tidak mau keluar. Melihat hal ini Umar meminta
supaya kayu bakar dikumpulkan dan berkata, “Demi Allah yang jiwa Umar di
tangan-Nya! Apakah kalian akan keluar atau aku akan membakar rumah
(ini).” Seseorang berkata kepada Umar, “Wahai Aba Hafs (julukan Umar)
dalam rumah ini ada Fatimah, putri Rasulullah.” Umar menjawab:
“Sekalipun.”!![3]
Ibnu Qutaibah sebagai kelanjutan kisah ini, menulis lebih
mengerikan, “Umar disertai sekelompok orang mendatangi rumah Fatimah. Ia
mengetuk rumah. Tatkala Fatimah mendengar suara mereka, berteriak
keras: “Duhai Rasulullah! Selepasmu alangkah besarnya musibah yang
ditimpakan putra Khattab dan putra Abi Quhafah kepada kami.” Tatkala
orang-orang yang menyertai Umar mendengar suara dan jerit tangis
Fatimah, maka mereka memutuskan untuk kembali namun Umar tinggal
disertai sekelompok orang dan menyeret Ali keluar rumah dan membawanya
ke hadapan Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Berbaiatlah.” Ali berkata,
“Apabila Aku tidak memberikan baiat lantas apa yang akan terjadi?”
Orang-orang berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, kami akan
memenggal kepalamu.”[4]
Tentu saja penggalan sejarah ini sangat berat dan pahit
bagi mereka yang mencintai syaikhain (dua orang syaikh, Abu Bakar dan
Umar). Karena itu, mereka meragukan kitab ini sebagai karya Ibnu
Qutaibah. Padahal Ibnu Abil Hadid, guru sejarah ternama, memandang bahwa
kitab ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan senantiasa menukil hal-hal
di atas. Namun amat disayangkan kitab ini telah mengalami distorsi dan
sebagian hal telah dihapus tatkala dicetak sementara hal yang sama
disebutkan dalam Syarh Nahj al-Balâghah karya Ibnu Abil Hadid.
Zarkili menegaskan bahwa kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah”
ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan mengimbuhkan bahwa sebagian
memiliki pendapat terkait dengan masalah ini. Artinya keraguan dan
sangsi disandarkan kepada orang lain bukan kepada mereka, sebagaimana
Ilyas Sarkis[5] memandang bahwa kitab ini merupakan salah satu karya Ibnu Qutaibah.
4. Thabari dan kitab “Târikh”
Muhammad bin Jarir Thabari (W 310 H) dalam Târikh-nya peristiwa penyerangan ke rumah wahyu menjelaskan demikian:
Umar bin Khattab mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib
sementara sekelompok orang-orang Muhajir berkumpul di tempat itu. Umar
berkata kepada mereka: “Demi Allah! Saya akan membakar rumah ini kecuali
kalian keluar untuk memberikan baiat.” Zubair keluar dari rumah sembari
membawa pedang terhunus, tiba-tiba kakinya terjungkal dan pedangnya
terjatuh. Dalam kondisi ini, orang lain menyerangnya dan mengambil
pedang darinya.[6]
Penggalan sejarah ini merupakan sebuah indikator bahwa
pengambilan baiat dilakukan dengan intimidasi dan ancaman. Seberapa
nilai baiat semacam ini? Kami persilahkan Anda untuk menjawabnya
sendiri.
5. Ibnu Abdurabih dan kitab “Al-‘Aqd al-Farid”
Syihabuddin Ahmad yang lebih dikenal dengan Ibnu Abdurabih
Andalusi (463 H) penulis kitab al-Aqd al-Farid dalam kitabnya menulis
sebuah pembahasan rinci terkait dengan sejarah Saqifah dengan judul
“Orang-orang yang menentang baiat kepada Abu Bakar.” Berikut tulisannya,
“Ali, Abbas dan Zubair duduk di rumah Fatimah dimana Abu Bakar mengutus
Umar bin Khattab untuk mengeluarkan mereka dari rumah Fatimah. Ia
berkata kepadanya, “Apabila mereka tidak keluar, maka berperanglah
dengan mereka! Dan ketika itu, Umar bin Khattab bergerak menuju ke rumah
Fatimah dengan membawa api untuk membakar rumah tersebut. Dalam kondisi
seperti ini, ia berjumpa dengan Fatimah. Putri Rasulullah Saw berkata,
“Wahai putra Khattab! Kau datang untuk membakar (rumah) kami. Ia
menjawab: “Iya. Kecuali kalian memasuki apa yang telah dimasuki umat![7]
Kiranya kami cukupkan sampai di sini penggalan kisah
tentang adanya keinginan untuk menyerang rumah Fatimah. Sekarang mari
kita mengulas pembahasan kedua kita yang menunjukkan alasan adanya niat
untuk menyerang ini.
Apakah penyerangan itu benar-benar terjadi?
Di sini ucapan-ucapan kelompok yang hanya menyinggung niat
buruk khalifah dan para pendukungnya berakhir sampai di sini saja.
Sebuah kelompok yang tidak ingin atau tidak mampu menyuguhkan laporan
tragedi yang terjadi dengan jelas, sementara sebagian kelompok
menyinggung inti tragedi yaitu penyerangan terhadap rumah dan
sebagainya, sehingga tersingkap kedok yang sebenarnya meski pada
tingkatan tertentu. Di sini kami akan menyebutkan beberapa referensi
terkait dengan penyerangan dan penodaan kehormatan (pada bagian ini juga
dalam mengutip beberapa literatur dan referensi ghalibnya dengan
memperhatikan urutan masa penulis atau sejarawan):
1. Abu Ubaid dan kitab “Al-Amwâl”
Abu Ubaid Qasim bin Salam (W 224 H) dalam kitabnya
“Al-Amwâl” yang menjadi sandaran para juris Islam menukil: “Abdurrahman
bin Auf berkata, “Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang
tengah sakit. Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya
berharap kiranya saya tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya
lakukan. Demikian juga saya berharap saya bertanya tiga hal kepada
Rasulullah Saw. Adapun tiga hal yang telah saya lakukan dan saya
berharap kiranya saya tidak melakukannya adalah: “Kiranya saya tidak
menodai kehormatan rumah Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski
pintunya tertutup untuk (siap-siap) perang.”[8]
Abu Ubaid tatkala sampai pada redaksi ini, tatkala sampai
pada redaksi ini, alih-alih menulis “Lam aksyif baita Fatima wa
taraktuhu…” Ia malah menulis, “kadza..kadza..” dan menambahkan bahwa
saya tidak ingin menyebutkannya!
Namun kapan saja Abu Ubaid berdasarkan fanatisme mazhab
atau alasan lainnya menolak untuk menukil kebenaran dan hakikat ini;
namun para peneliti kitab al-Amwâl menulis pada catatan kaki: Redaksi
kalimatnya telah dihapus dan disebutkan pada kitab “Mizân al-I’tidâl”
(sebagaimana yang telah dijelaskan). Di samping itu, Thabarani dalam
“Mu’jam” dan Ibnu Abdurrabih dalam “Aqd al-Farid” dan lainnya
menyebutkan redaksi kalimat yang telah dihapus itu. (Perhatikan
baik-baik)
2. Thabarani dan kitab “Mu’jam al-Kabir”
Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Thabarani (260-360 H)
dimana Dzahabi bercerita tentangnya dalam Mizân al-I’tidâl: Ia adalah
seorang yang dapat dipercaya.[9] Dalam
kitab al-Mu’jam al-Kabir yang berulang kali telah dicetak, terkait
dengan Abu Bakar, khutbah-khutbah dan wafatnya, Thabarani menyebutkan:
“Abu Bakar sebelum wafatnya ia berharap dapat melakukan beberapa hal.
Kiranya saya tidak melakukan tiga hal. Kiranya saya melakukan tiga hal.
Kiranya saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah. Ihwal tiga perkara
yang dilakukan dan berharap kiranya tidak dilakukannya, Abu Bakar
menuturkan, “Saya berharap saya tidak melakukan penodaan atas kehormatan
rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja![10] Redaksi-redaksi ini dengan baik menunjukkan bahwa ancaman Umar itu terlaksana.
3. Ibnu Abdurrabih dan “Aqd al-Farid”
Ibnu Abdurrabih Andalusi (W 463 H) penulis kitab “Aqd
al-Farid” dalam kitabnya menukil dari Abdurrahman bin Auf: ““Aku datang
ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah
berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya berharap kiranya saya tidak
melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Salah satu dari tiga
hal tersebut adalah. Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah
dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap)
perang.”[11] Dan juga nama-nama dan ucapan-ucapan orang-orang yang menukil ucapan khalifah ini akan disebutkan bagian mendatang.
4. Nazzham dan “Al-Wâfi bi al-Wafâyât”
Ibrahim bin Sayyar Nazzham Muktalizi (160-231) yang
lantaran keindahan tulisannya dalam puisi dan prosa sehingga ia dikenal
sebagai Nazzham. Dalam beberapa kitab menukil tragedi pasca hadirnya
beberapa orang di rumah Fatimah sa. Ia berkata, “Umar, pada hari
pengambilan baiat untuk Abu Bakar, memukul perut Fatimah dan ia
keguguran seorang putra yang diberi nama Muhsin yang ada dalam
rahimnya.”[12] (Perhatikan baik-baik)
5. Mubarrad dan kitab “Kâmil”
Muhammad bin Yazid bin Abdulakbar Baghdadi (210-285),
seorang sastrawan, penulis terkenal dan pemilik karya-karya terkemuka,
dalam kitab “Al-Kâmil”-nya, mengutip kisah harapan-harapan khalifah dari
Abdurrahman bin Auf. Ia menyebutkan, “Saya berharap kiranya saya tidak
menyerang rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja pintunya (meski)
tertutup untuk (siap-siap) perang.”[13]
6. Mas’udi dan “Murûj al-Dzahab”
Mas’udi (W 325 H) dalam Murûj al-Dzahab menulis: “Tatkala
Abu Bakar menjelang wafatnya berkata demikian, “Tiga hal yang saya
lakukan dan berharap kiranya saya tidak melakukannya. Salah satunya
adalah: Saya berharap kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah
Fatimah. Hal ini banyak (kali) ia sebutkan.”[14]
Mas’udi meski ia memiliki kecendrungan yang baik kepada
Ahlulbait namun sayang ia menghindar untuk mengungkap ucapan khalifah
dan menyampaikannya dengan bahasa kiasan. Akan tetapi Tuhan mengetahui
dan hamba-hamba Tuhan juga secara global mengetahui hal ini!
7. Ibnu Abi Daram dalam Mizân al-I’tidâl
Ahmad bin Muhammad yang dikenal sebagai “Ibnu Abi Daram”
ahli hadis Kufa (W 357 H), adalah seseorang yang dikatakan oleh Muhammad
bin Ahmad bin Himad Kufah: “Ia adalah orang yang menghabiskan seluruh
hidupnya di jalan lurus.”
Dengan memperhatikan martabat ini, ia menukil bahwa di
hadapannya berita ini dibacakan, “Umar menendang Fatimah dan ia
keguguran seorang putra bernama Muhsin yang ada dalam rahimnya
8. Abdulfatah Abdulmaqshud dan kitab “Al-Imâm Ali”
Ia menyebutkan dua hal terkait dengan penyerangan ke rumah
wahyu dan kita hanya menukil satu darinya: “Demi (Dzat) yang jiwa Umar
berada di tangan-Nya. Apakah kalian keluar atau aku akan membakar rumah
ini (berikut penghuninya). Sebagian orang yang takut (kepada Allah) dan
menjaga kedudukan Rasulullah Saw dari akibat perbuatan ini, mereka
berkata: “Aba Hafs, Fatimah dalam rumah ini.” Tanpa takut, Umar
berteriak: “Sekalipun!! Ia mendekat, mengetuk pintu, kemudian menggedor
pintu dengan tangan dan kaki untuk masuk ke dalam rumah secara paksa.
Ali As muncul.. pekik jeritan suara Zahra kedengaran di dekat tempat
masuk pintu rumah… suara ini adalah suara meminta pertolongan..”[16]
satu hadis lainnya dari “Maqatil Ibnu ‘Athiyyah” dalam
kitab al-Imâmah wa al-Siyâsah (Meski masih banyak yang belum diungkap di
sini!)
Ia menulis dalam kitab ini sebagai berikut:
“Tatkala Abu Bakar mengambil baiat dari orang-orang dengan ancaman, pedang dan paksaan, Umar, mengirim Qunfudz dan sekelompok orang ke rumah Ali dan Fatimah sa dan Umar mengumpulkan kayu bakar dan membakar pintu rumah…”[17]
Ibnu Zanjawaih di dalam al-Amwal, Ibnu Qutaibah Dainuri di
dalam kitab al-Imamah Was-Siyasah, Thabari di dalam kitab Tarikhnya,
Ibnu Abd Rabbah di dalam kitab al-ʽAqdul Farid, Masʽudi di dalam kitab
Muruj al-Zahab, Thabari di dalam kitab al-Muʽjam al-Kabir, Muqaddasi di
dalam kitab al-Ahadis al-Mukhtarah, Shamsuddin Zahabi di dalam kitab
Tarikh al-Islam dan banyak lagi… telah menukilkan Pengakuan Abu Bakar
dengan sedikit perbedaan teks. Kami ingin bawakan di sini matan dari
kitab al-Amwal ibnu Zanjawaih yang merupakan salah satu tokoh Ahlusunnah
kurun ke-tiga:
أنا
حميد أنا عثمان بن صالح، حدثني الليث بن سعد بن عبد الرحمن الفهمي، حدثني
علوان، عن صالح بن كيسان، عن حميد بن عبد الرحمن بن عوف، أن أباه عبد
الرحمن بن عوف، دخل على أبي بكر الصديق رحمة الله عليه في مرضه الذي قبض
فيه … فقال [أبو بكر] : « أجل إني لا آسى من الدنيا إلا على ثَلاثٍ
فَعَلْتُهُنَّ وَدِدْتُ أَنِّي تَرَكْتُهُنَّ، وثلاث تركتهن وددت أني
فعلتهن، وثلاث وددت أني سألت عنهن رسول الله (ص)، أما اللاتي وددت أني
تركتهن، فوددت أني لم أَكُنْ كَشَفْتُ بيتَ فاطِمَةَ عن شيء، وإن كانوا قد
أَغْلَقُوا على الحرب… .
Telah
menceritakan kepada kami Hamid, telah menceritakan kepada kami Usman
bin Shalih, telah menceritakan kepada kami al-Lays bin Saʽd bin Abdul
Rahman al-Fahmi, telah menceritakan kepada kami ʽUlwan, daripada shalih
bin Kaysan, daripada Hamid bin Abdul Rahman bin ʽAuf, sesungguhnya
ayahnya Abdul Rahman bin ʽAuf bertemu dengan Abu Bakar ketika sedang
sakit yang bakal membawa kematiannya…. Maka Abu Bakar berkata:
Aku
menyesal terhadap tiga perkara yang telah ku lakukan, aku suka sekali
sekiranya tidak melaksanakannya. Salah satunya ialah serangan terhadap
rumah Fathimah Az-Zahra. Aku suka sekali kalau tidak merusak rumah
Fathimah untuk membongkar apapun sekalipun aku…[18-19]
Sekarang
jelas bahwa tidak ada jalan lagi untuk mengingkari kejadian penyerangan
rumah Fatimah sa.Dan ketentuannya barangsiapa mengakui bahwa
penyerangan ini terjadi dan dilakukan khalifah waktu itu maka harus
percaya bahwa Sayidah Fatimah telah marah kepada mereka, dan ini
berlanjut hingga wafat beliau, sehingga beliau tidak mengijinkan dua
syaikh tadi untuk datang kepemakaman beliau.
Permasalahan selanjutnya, apakah benar Imam Ali as hanya berdiam diri?
keheroan seseorang tidak hanya dilihat dari perlawanan
fisik saja, dalam membela kebenaran. jika begitu, maka anda akan
terpaksa akan malas mendengar kisah para nabi yang terbunuh karena
dianiaya tanpa perlawanan, seperti nabi Yahya. Perlawanan fisik tidak
meniscayakan keberanian. Banyak kasus perlawanan fisik yang berartikan
kekonyolan, karena tanpa melihat sikon yang ada. Maslahat adalah salah
pertimbangan dari sikon tersebut. Imam Ali diam, bukan berarti tidak
berani. Tetapi beliau melihat maslahat umat Muhammad. Jika beliau
memaksakan untuk melawan fisik maka beliau tergolong melawan maslahat
dan masuk kategori konyol. Anda sudah tahu keberanian Ali di hadapan
yang jelas-jelas musuh Islam kan?
Tapi Ali bersedia mengalah ketika berhadapan dengan
orang-orang yang zahirnya saudaranya seiman dan seakidah, demi
kmaslahatan umat Muhammad secara umum. Ali mengalah untuk menang. Jika
anda ingin melihat betapa beratnya Ali menahan derita (mengalah) ketika
ia dizalimi, silahkan baca khotbah ketiga beliau di Nahjul Balaghah yang
dijkenal dengan klhutbah syiqsyiqiyah. Buku itu juga direkomendasikan
oleh para ulama sunni seperti Muhammad Abduh dan ibnu Abdul Hadid
sendiri
sebelum menjawab pertanyaan ini mari kita Tanya, pada masa Nabi Muhammad masih hidup dimana banyak orang munafik dan musyrik yang ada disekitar beliau, banyak para pemeluk agama Islam diserang dan dibunuh namun nabi tidak dating mengangkat pedang melakukan pembelaan, apakah dengan semua kenyataan ini kita akan berkata bahwa Nabi Muhammad saw itu pengecut, nauzubillah minzalik, jelas kita tidak akan berbuat lancang mengatakan hal demikian ini.
dalam
hal ini sebenarnya Imam Ali as tidak hanya berdiam diri, beliau
melakukan perlawanan, walau perlawanan beliau tidak dengan menyabetkan
pedang sehingga para penyerang harus bergelimang darah. Perlawanan
dengan sebuah tujuan yang akan kami jelaskan nantinya.
Sebelum
menjawab pertayaan diatas mari kita telusur berbagai kemungkinan ketika
Imam Ali mengangkat pedang dan membunuh semua orang yang menyerang
rumah beliau.
Ketika
Imam Ali mengangkat pedang maka beliau dan keluarga beliau akan dicap
sebagai pemberontak yang melakukan pemeberontakan kepada khalifah yang
“sah” sesuai pemilihan sepihak di Saqifah bani Saidah. Ketika hal ini
terjadi maka dengan mudah dan tanpa arti para musuh islam itu akan
menyerang Imam Ali as dan keluarga membunuh mereka tanpa ada bekas dan
arti bagi umat Islam, umat Islam hanya akan mengenang mereka sebagai
seorang pemberontak tidak lebih. Berbeda dengan kasus pengangkatan
pedang yang dilakukan Imam Husain as.
Ketika
Imam Ali as melakukan perlawanan pedang maka islam akan musnah, tidak
akan pernah terdengar adzan sehari-hari. Waktu itu musuh Islam menunggu
titik-titik lemah Islam dan peperangan saudara peperangan interen
ditengah umat Islam jelas akan melemahkan Islam yang memang baru
berdiri. Roma dan Persia jelas akan girang mendengar berita peperangan
intern ditengah umat Islam, dan jelas mereka akan mencari waktu tepat
untuk membumi hangus islam sampai keakar-akarnya. Bagaimana dengan tugas
Imam Ali as untuk menjaga Islam, mengembangkan Islam, mendakwahkan
Islam, apakah hal itu bisa terwujud jika beliau memulai peperangan
intern dalam Islam sendiri? Selain itu apa yang akan dilakukan para
munafikin, bukankah ketika ada peperangan didalam islam ini kesempatan
emas buat mereka, bagaimana dengan para Nabi Palsu, bukankah para nabi
Palsu akan berpesta dan berkata, nih lihatlah agama islam, penuh dengan
kekacauan, maka dari itu ikutilah aku, ikuti ajaranku.
Ketika
Imam Ali sampai meninggal dalam perlawanan maka tidak ada lagi yang
mengawasi pemerintahan Islam, dalam sejarah kita bisa membaca bahwa
walau bagaimana Imam Ali as tetap berperan dalam menjaga Islam, berulang
kali khalifah bertanya dan merujuk kepada beliau, sebuah pengakuan
secara tidak langsung bahwa mereka kalah ilmu dibanding Ali as. Ketika
Imam Ali as tidak ada maka islam yang ada adalah islam versi khulafa
yang tiga dimana dalam kasus pemilihan Imam Ali as untuk dipilih menjadi
khalifah menggantikan Umar, beliau menolak persyaratan untuk mengikuti
apa-apa yang sudah dilakukan dua khalifah pertama kedua, sebab itu tidak
sesuai dengan ajaran Nabi saw.
Kedua
perlu diketahui bahwa waktu itu Imam Ali as tidak memiliki jumlah
pendukung yang cukup, hanya sahabat setia pada wasiat nabi saja yang
mengikuti beliau hingga akhir, dan mereka sedang berkumpul dirumah Ali
as pada saat dilakukan penyerangan dan pembakaran pintu rumah Ali as.
Mungkin ada sahabat lain yang tidak ada disana tapi jumlahnya tidaklah
seberapa.
Ketiga,
apa yang dilakukan Imam Ali as dengan tidak mengangkat pedang dan
dengan melarang para sahabat setia beliau untuk tidak melakukan
perlawanan tidak jauh beda dengan tindakan Allah yang masih membiarkan
setan tetap ada dimuka bumi padahal setan itu membuat manusia sengsara,
menipu sehingga banyak manusia tidak menyembah Allah. Padahal Allah
kuasa dan Maha segala, jika Allah berkehendak maka setan dan iblis akan
binasa tanpa tersisa namun kenyataannya Allah tidak melakukan hal ini.
Apakah masih eksisnya setan dan iblis menunjukkan bahwa Allah itu
pengecut?
Keempat,
pada jaman Nabi banyak sahabat yang disiksa dan dibunuh kaum musyrik,
namun Nabi tidak mengangkat pedang dan melakukan peperangan pada mereka,
apakah hal itu berarti Nabi saw itu pengecut tidak berani?
Kelima,
ketika Imam Ali as melakukan perlawanan maka beliau akan dibilang telah
murtad dan layak dibunuh. Sebab telah melawan khalifah yang “sah”.
Keenam,
kondisi waktu itu sungguh kacau sehingga sahabat yang membunuh sahabat
lain lalu mezinai wanita itu dihitung sebagai sebuah ijtihad yang salah
dan itu mendapat pahala satu. Khalid bin al-Walid membunuh sahabat Malik
bin Nuwairah, petugas pengumpul zakat Nabi SAW hanya karena ingin
memiliki isteri Malik yang cantik jelita bernama Ummu Tamim.
Cerita ini diangkat berdasarkan apa yang dicatat oleh Tabari dalam
Tarikhnya ketika Umar berkata keras kepada Khalid :”Kamu telah membunuh
seorang Muslim kemudian kamu memperkosa isterinya. Demi Allah aku akan
merajam kamu dengan batu.”[20]
Dan
juga tercatat dalam al-Isabah bahwa Khalifah Abu Bakar tidak mengenakan
hukum hudud ke atas Khalid bin al-Walid yang telah membunuh Malik bin
Nuwairah dan kabilahnya. Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib
menuntut supaya Khalid dihukum rajam. [21]
Sebenarnya
mengapa Imam Ali as tidak melakukan perlawanan bersenjata tidak perlu
kita buktikan dengan nash dan riwayat, sesungguhnya dengan akal sehat
pun sudah bisa memahami mengapa beliau melakukan langkah itu, dari sisi
islam yang masih baru, islam yang masih rentan, jelas Imam tidak mungkin
bertindak gegabah dengan melakukan perlawanan bersenjata.
Alasan
mengapa Imam Ali as tidak melakukan perlawanan bersenjata adalah untuk
maslahat umat, untuk menjaga agar Islam tetap eksis, untuk menjaga islam
yang hakiki, sebuah tindakan yang sudah semestinya dilakukan seorang
imam umat. Dia melakukan segala hal dengan penuh pertimbangan. Tidak
hanya melihat dari satu sisi saja, yang diukur sebagai pengecut atau
penakut.
Wallahu ‘alam Bishshawwab
Footnote:
[1]. Ibnu Abi Saibah, al-Musannif, 8/572, Kitab al-Maghazi:
« انّه حین بویع لأبی بکر بعد رسول اللّه(صلى الله علیه وآله)
کان علی و الزبیر یدخلان على فاطمة بنت رسول اللّه، فیشاورونها و یرتجعون
فی أمرهم. فلما بلغ ذلک عمر بن الخطاب خرج حتى دخل على فاطمة، فقال: یا بنت
رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) و اللّه ما أحد أحبَّ إلینا من أبیک و ما
من أحد أحب إلینا بعد أبیک منک، و أیم اللّه ما ذاک بمانعی إن اجتمع هؤلاء
النفر عندک أن امرتهم أن یحرق علیهم البیت. قال: فلما خرج عمر جاؤوها،
فقالت:تعلمون انّ عمر قد جاءَنى، و قد حلف باللّه لئن عدتم لیُحرقنّ علیکم
البیت، و أیم اللّه لَیمضین لما حلف علیه.»
[2]. Ansab al-Asyrâf, 1/582, Dar Ma’arif, Kairo:
«انّ أبابکر أرسل إلى علىّ یرید البیعة فلم یبایع، فجاء عمر و
معه فتیلة! فتلقته فاطمة على الباب. فقالت فاطمة: یابن الخطاب، أتراک
محرقاً علىّ بابى؟ قال: نعم، و ذلک أقوى فیما جاء به أبوک…»
[3]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 12, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« انّ أبابکر رضی اللّه عنه تفقد قوماً تخلّقوا عن بیعته عند
علی کرم اللّه وجهه فبعث إلیهم عمر فجاء فناداهم و هم فی دار على، فأبوا أن
یخرجوا فدعا بالحطب و قال: والّذی نفس عمر بیده لتخرجن أو لاحرقنها على من
فیها، فقیل له: یا أبا حفص انّ فیها فاطمة فقال، و إن!! »
[4]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 13, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« ثمّ قام عمر فمشى معه جماعة حتى أتوا فاطمة فدقّوا الباب
فلمّا سمعت أصواتهم نادت بأعلى صوتها یا أبتاه رسول اللّه ماذا لقینا بعدک
من ابن الخطاب، و ابن أبی قحافة فلما سمع القوم صوتها و بکائها انصرفوا. و
بقی عمر و معه قوم فأخرجوا علیاً فمضوا به إلى أبی بکر فقالوا له بایع،
فقال: إن أنا لم أفعل فمه؟ فقالوا: إذاً و اللّه الّذى لا إله إلاّ هو نضرب
عنقک…!»
[5]. Mu’jam al-Mathbu’ât al-Arabiyah, 1/212.
[6]. Târikh Thabari, 2/443:
« أتى عمر بن الخطاب منزل علی و فیه طلحة و الزبیر و رجال من
المهاجرین، فقال و اللّه لاحرقن علیکم أو لتخرجنّ إلى البیعة، فخرج علیه
الزّبیر مصلتاً بالسیف فعثر فسقط السیف من یده، فوثبوا علیه فأخذوه.»
[7]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu Hilal:
.« فأمّا علی و العباس و الزبیر فقعدوا فی بیت فاطمة حتى بعثت
إلیهم أبوبکر، عمر بن الخطاب لیُخرجهم من بیت فاطمة و قال له: إن أبوا
فقاتِلهم، فاقبل بقبس من نار أن یُضرم علیهم الدار، فلقیته فاطمة فقال: یا
ابن الخطاب أجئت لتحرق دارنا؟! قال: نعم، أو تدخلوا فیما دخلت فیه
الأُمّة!»
[8]. Al-Amwâl,
Catatan Kaki 4, Nasyr Kulliyat Azhariyah, al-Amwal, hal. 144, Beirut
dan juga dinukil Ibnu Abdurrabih dalam Aqd al-Farid, 4/93:
« وددت انّی لم أکشف بیت فاطمة و ترکته و ان اغلق على الحرب»
[9]. Mizân al-I’tidâl, jil. 2, hal. 195.
[10]. Mu’jam Kabir Thabarani, 1/62, Hadis 34, Tahqiq Hamdi Abdulmajid Salafi:
« أمّا الثلاث اللائی وددت أنی لم أفعلهنّ، فوددت انّی لم أکن أکشف بیت فاطمة و ترکته. »
[11]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu al-Hilal:
« وودت انّی لم أکشف بیت فاطمة عن شی و إن کانوا اغلقوه على الحرب.»
[12]. Al-Wâfi bil Wafâyât, 6/17, No. 2444. Al-Milal wa al-Nihal, Syahrastani, 1/57, Dar al-Ma’rifah, Beirut. Dan pada terjemahan Nazzham silahkan lihat, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, 3/248-255.
« انّ عمر ضرب بطن فاطمة یوم البیعة حتى ألقت المحسن من بطنها.»
[13]. Syarh Nahj al-Balâghah, 2/46-47, Mesir:
« وددت انّی لم أکن کشفت عن بیت فاطمة و ترکته ولو أغلق على الحرب.»
[14]. Muruj al-Dzahab, 2/301, Dar Andalus, Beirut:
« فوددت انّی لم أکن فتشت بیت فاطمة و ذکر فی ذلک کلاماً کثیراً! »
[15]. Mizân al-I’tidâl, 3/459:
«انّ عمر رفس فاطمة حتى أسقطت بمحسن.»
[16]. Abdulfattah Abdulmaqshud, ‘Ali bin Abi Thalib, 4/276-277:
« و الّذی نفس عمر بیده، لیَخرجنَّ أو لأحرقنّها على من
فیها…! قالت له طائفة خافت اللّه، و رعت الرسول فی عقبه: یا أبا حفص، إنّ
فیها فاطمة…! فصاح لایبالى: و إن..! و اقترب و قرع الباب، ثمّ ضربه و
اقتحمه… و بداله علىّ… و رنّ حینذاک صوت الزهراء عند مدخل الدار… فان هى
الا طنین استغاثة…»
[17]. Maqatil ibn ‘Athiyyah, Kitâb al-Imâmah wa al-Khilâfah,
hal. 160-161, diterbitkan dengan kata pengantar Dr. Hamid Daud, dosen
Universitas ‘Ain al-Syams, Kairo, Cetakan Beirut, Muassasah al-Balagh:
« ان ابابکر بعد ما اخذ البیعة لنفسه من الناس بالارهاب و
السیف و القوّة ارسل عمر، و قنفذاً و جماعة الى دار علىّ و فاطمه(علیه
السلام) و جمع عمر الحطب على دار فاطمه و احرق باب الدار..»
IQuest! ()
[18]. Jawaban ini diadaptasi dan diringkas dari makalah Ayatullah Makarim Syirazi. Demikan juga Anda dapat mengklik tebyan.net untuk telaah lebih jauh.
[19] - Al-Kurasani,
Abu Ahmad Hamid bin Makhlad bin Qutaibah bin Abdullah al-maʽruf bi Ibnu
Zanjawaih (meninggal dunia pada tahun 251 Hijarah), al-Amwal, jilid 1
halaman 387. Abna Melayu
- Al-Dainuri, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Ibnu
Qutaibah (meninggal dunia pada tahun 276 Hijrah), Al-Imamah Was Siyasah,
jilid 1 halaman 21, tahqiq: Khalil al-Manshur, penerbit Dar Kutub
Al-ʽIlmiyyah, Beirut 1418 Hijrah – 1997 Miladi, tahqiq Shiri, jilid 1
halaman 36, tahqiq Zaini, jilid 1 halaman 24;
- Al-Thabari, Muhammad bin Jarir (meninggal dunia 310
Hijrah), Tarikh al-Thabari, jilid 2 halaman 353, penerbit Darul Kutub
al-ʽIlmiyyah, Beirut.
- Al-Andalusi, Ahmad bin Muhammad bin Abdul Rabbah
(meninggal dunia pada tahun 328 Hijrah), al-ʽAqdul Farid, Jilid 4
halaman 254, penerbit Dar Ihya al-Turats al-ʽArabi, Lubnan, cetakan
ke-tiga, 1420 Hijrah – 1999 Miladi.
- Al-Masʽudi, Abul Hasan Ali bin al-Husain bin Ali (meninggal dunia tahun 346 Hijrah), Muruj al-Dhahab, Jilid 1 halaman 290;
- Al-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qasim
(meninggal dunia pada tahun 360 Hijrah), al-Muʽjam al-Kabir, jilid 1
halaman 62 Hijrah), tahqiq Hamdi bin Abdul Majid al-Salafi, Penerbit
Maktabah al-Zahra, al-Maushul, cetakan ke-dua, 1404 Hijrah 1983 Miladi;
- al-ʽAshimi al-Makki, Abdul Malik bin Husain bin Abdul
Malik al-Shafiʽi (meninggal dunia pada tahun 1111 Hijrah), Samṭ al-nujūm
al-ʻawālī fī anbāʼ al-awāʼil wa-al-tawālī, jilid 2 halaman 465, tahqiq:
ʽAdil Ahmad Abdul Maujud – Ali Muhammad Muʽawwadh, penerbit Darul Kutub
al-ʽIlmiyyah, Beirut, 1419 Hijrah 1998 Miladi.
[20] [Al-Tabari,Tarikh ,IV, hlm.1928]
[21] [Ibn Hajr, al-Isabah , III, hlm.336]

No comments
Post a Comment