Tan Malaka Sang Patjar Merah wafat di tangan saudara sebangsanya sendiri sebagai tumbal Revolusi Indonesia#MELAWANLUPA
Hari ini, 65 tahun lalu Tan Malaka ditembak mati tentara
Setelah ditahan selama dua setengah tahun lamanya, Tan Malaka akhirnya dibebaskan dari penjara oleh pemerintahan Soekarno pada 16 September 1948 atas desakan sejumlah pihak. Setelah bebas Tan Malaka langsung mendirikan Partai Murba pada 7 November.
Tujuan pendirian Partai Murba salah satunya untuk menegakkan kemerdekaan 100 persen bagi Indonesia. Tan Malaka lantas kembali menunjukkan sikap anti kompromi dengan penjajah Belanda.
Saat Belanda kembali melancarkan agresinya, Tan Malaka mengutuk keras sikap Presiden Soekarno dan Wapres Moh Hatta yang menolak ikut perang gerilya. Menurut Tan, Soekarno-Hatta lebih memilih menyerahkan diri kepada Belanda untuk ditahan ketimbang ikut perang gerilya.
Dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah', Tan Malaka meninggalkan Yogyakarta pada 12 November 1948 menuju Kediri dengan kawalan Laskar Rakyat Jawa Barat.
Tan Malaka memutuskan melakukan perang gerilya bersama pengikutnya. Keputusannya itu sejalan dengan sikap Panglima Soedirman yang memilih bergerilya ketimbang menyerah kepada Belanda. Di Kediri, Tan Malaka diberi kesempatan untuk berpidato melalui saluran radio. Tan Malaka lantas tinggal di sebuah desa bernama Belimbing dengan pengawalan Sabaruddin dan anak buahnya. Dari desa yang disebutnya sebagai markas 'Murba Terpendam' itu, Tan Malaka melontarkan kritik kerasnya kepada Soekarno-Hatta-Amir Sjarifoeddin-Sjahrir.
Tan menyebut keempat tokoh itu sebagai borjuis kecil yang bertanggungjawab atas kebijakan yang mereka buat. Mereka mengabaikan suara rakyat dan Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan melakukan perundingan terhadap penjajah. Mereka lebih percaya kepada janji-janji Belanda ketimbang kekuatan rakyat. Padahal perjanjian Linggarjati dan Renvile, adalah cara Belanda untuk menancapkan kembali kekuasaannya di tanah air.
"Ia mengakui apa sadja jang dipaksakan oleh Belanda kepada mereka. Sekali boneka tetap boneka," kata Tan Malaka dalam 'Markas Murba Terpendam.'
Menurut Tan, setelah revolusi selesai, empat orang itu harus dibawa ke depan Mahkamah Revolusi untuk mempertanggungjawabkan semua sikap dan tindakan mereka dalam menyelenggarakan bentuk dan isi Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tak hanya Soekarno dkk yang dikritik pedas Tan. Tentara pun tak luput dari kritikannya. Tan mengritik TNI di Kediri karena tak mempertahankan Kediri dari serangan Belanda. Saat itu Belanda hanya menyerang Kediri dengan satu batalion dan Letkol Soerachmad, komandan TNI di sekitar Kediri memiliki tujuh batalion tapi memilih kabur.
"25 Desember 1948 tiba-tiba tentara Belanda masuk Kediri. Tanpa memberi perlawanan sedikit pun kesatuan-kesatuan TNI lari kocar-kacir," kata Tan Malaka dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4' Karya Harry A Poeze.
Dalam sebuah pertemuan, Tan Malaka menyatakan kepemimpinan Soekarno-Hatta telah selesai karena lebih memilih menyerahkan diri kepada Belanda ketimbang melawan dengan ikut bergerilya. Tan pun menyatakan dirinya sebagai pemimpin revolusi yang baru menggantikan Soekarno-Hatta. Hal itu sesuai dengan testamen politik yang diberikan Soekarno kepadanya. Inti testamen itu Tan Malaka bersama tiga orang lainnya adalah pengganti Soekarno-Hatta jika ada suatu hal buruk menimpa. Tan Malaka juga mengangkat Sabaroedin sebagai panglima besar bersama dengan Mayor Jonosewojo. Namun Jonosewojo belakangan membelot dan melaporkan hal itu kepada Soerahmad.
Kritik pedas dan pernyataan Tan Malaka adalah pemimpin revolusi yang baru membuat Letkol Soerachmad marah besar. Letkol Soerachmad lantas memberi perintah penangkapan terhadap Tan Malaka dan Sabaroedin pada 13 Februari 1949. Keputusan itu juga disetujui oleh Soengkono.
Tujuan pendirian Partai Murba salah satunya untuk menegakkan kemerdekaan 100 persen bagi Indonesia. Tan Malaka lantas kembali menunjukkan sikap anti kompromi dengan penjajah Belanda.
Saat Belanda kembali melancarkan agresinya, Tan Malaka mengutuk keras sikap Presiden Soekarno dan Wapres Moh Hatta yang menolak ikut perang gerilya. Menurut Tan, Soekarno-Hatta lebih memilih menyerahkan diri kepada Belanda untuk ditahan ketimbang ikut perang gerilya.
Dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah', Tan Malaka meninggalkan Yogyakarta pada 12 November 1948 menuju Kediri dengan kawalan Laskar Rakyat Jawa Barat.
Tan Malaka memutuskan melakukan perang gerilya bersama pengikutnya. Keputusannya itu sejalan dengan sikap Panglima Soedirman yang memilih bergerilya ketimbang menyerah kepada Belanda. Di Kediri, Tan Malaka diberi kesempatan untuk berpidato melalui saluran radio. Tan Malaka lantas tinggal di sebuah desa bernama Belimbing dengan pengawalan Sabaruddin dan anak buahnya. Dari desa yang disebutnya sebagai markas 'Murba Terpendam' itu, Tan Malaka melontarkan kritik kerasnya kepada Soekarno-Hatta-Amir Sjarifoeddin-Sjahrir.
Tan menyebut keempat tokoh itu sebagai borjuis kecil yang bertanggungjawab atas kebijakan yang mereka buat. Mereka mengabaikan suara rakyat dan Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan melakukan perundingan terhadap penjajah. Mereka lebih percaya kepada janji-janji Belanda ketimbang kekuatan rakyat. Padahal perjanjian Linggarjati dan Renvile, adalah cara Belanda untuk menancapkan kembali kekuasaannya di tanah air.
"Ia mengakui apa sadja jang dipaksakan oleh Belanda kepada mereka. Sekali boneka tetap boneka," kata Tan Malaka dalam 'Markas Murba Terpendam.'
Menurut Tan, setelah revolusi selesai, empat orang itu harus dibawa ke depan Mahkamah Revolusi untuk mempertanggungjawabkan semua sikap dan tindakan mereka dalam menyelenggarakan bentuk dan isi Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tak hanya Soekarno dkk yang dikritik pedas Tan. Tentara pun tak luput dari kritikannya. Tan mengritik TNI di Kediri karena tak mempertahankan Kediri dari serangan Belanda. Saat itu Belanda hanya menyerang Kediri dengan satu batalion dan Letkol Soerachmad, komandan TNI di sekitar Kediri memiliki tujuh batalion tapi memilih kabur.
"25 Desember 1948 tiba-tiba tentara Belanda masuk Kediri. Tanpa memberi perlawanan sedikit pun kesatuan-kesatuan TNI lari kocar-kacir," kata Tan Malaka dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4' Karya Harry A Poeze.
Dalam sebuah pertemuan, Tan Malaka menyatakan kepemimpinan Soekarno-Hatta telah selesai karena lebih memilih menyerahkan diri kepada Belanda ketimbang melawan dengan ikut bergerilya. Tan pun menyatakan dirinya sebagai pemimpin revolusi yang baru menggantikan Soekarno-Hatta. Hal itu sesuai dengan testamen politik yang diberikan Soekarno kepadanya. Inti testamen itu Tan Malaka bersama tiga orang lainnya adalah pengganti Soekarno-Hatta jika ada suatu hal buruk menimpa. Tan Malaka juga mengangkat Sabaroedin sebagai panglima besar bersama dengan Mayor Jonosewojo. Namun Jonosewojo belakangan membelot dan melaporkan hal itu kepada Soerahmad.
Kritik pedas dan pernyataan Tan Malaka adalah pemimpin revolusi yang baru membuat Letkol Soerachmad marah besar. Letkol Soerachmad lantas memberi perintah penangkapan terhadap Tan Malaka dan Sabaroedin pada 13 Februari 1949. Keputusan itu juga disetujui oleh Soengkono.
Tan Malaka dan pasukan yang mengawalnya kemudian ditangkap pasukan
Macan Merah di Desa Belimbing pada 19 Februari 1949. Mereka lantas
dibawa ke desa Sawahan. Namun, pasukan Macan Merah kocar kacir karena
mendengar suara tembakan. Mereka mengira Belanda sudah dekat. Mereka
akhirnya kabur dan meninghalkan Tan Malaka dk. Padahal tembakan itu berasal dari pasukan Sabaroedin yang tengah mencari Tan Malaka.
Singkat cerita, Tan Malaka
dan Sabaroedin akhirnya bertemu di Gunung Wilis, setelah sempat terjadi
salah paham yang berakibat terpencarnya pasukan. Sabaroedin lantas
memerintahkan anak buahnya untuk membawa Tan Malaka
ke Trenggelek, dengan harapan di sana TRIP akan menemukan tempat yang
aman.Namun untuk sampai ke tujuan, harus melewati wilayah yang menjadi
basis loyalis tentara Soerachmad.
Tan Malaka dan Sabaroedin pun berpisah ke tempat tujuan yang berbeda. Nahas bagi Tan Malaka.
Bapak Republik Indonesia itu ditangkap Letda Sukotjo dan anak buah di
Desa Selopanggung. Saat penangkapan terjadi, para pengawal kabur
meninggalkan Tan Malaka
yang saat itu kakinya tengah terluka dan kesulitan untuk berjalan.
Sukotjo lantas memerintahkan anak buahnya, Suradi Tekebek untuk menembak
mati Tan Malaka pada 21 Februari.
"Setelah terjadi pembunuhan terhadap Tan Malaka, Hatta
memberhentikan Soengkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan
Soerachmad sebagai Komandan Brigade karena kesembronoan mengatasi
kelompok Tan Malaka," demikian dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejara.'
Hingga kini belum ada kepastian soal di mana Sang Revolusioner
dimakamkan. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan Harry Poeze
yakin Tan Malaka dimakamkan di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Alhasil, pada 12 November 2009 lokasi yang diduga makam Tan Malaka itu dibongkar. Hingga kini tes DNA atas kerangka di dalam makam masih belum membawa hasil.
Demikianlah nasib Tan Malaka. Sang Patjar Merah wafat di tangan saudara sebangsanya sendiri sebagai tumbal Revolusi Indonesia.
Alhasil, pada 12 November 2009 lokasi yang diduga makam Tan Malaka itu dibongkar. Hingga kini tes DNA atas kerangka di dalam makam masih belum membawa hasil.
Demikianlah nasib Tan Malaka. Sang Patjar Merah wafat di tangan saudara sebangsanya sendiri sebagai tumbal Revolusi Indonesia.
=====
Tragis, seumur hidup berjuang, Tan Malaka tak ikut Proklamasi RI
Selama puluhan tahun Tan Malaka memimpikan Indonesia merdeka. Meski berada di luar negeri karena dibuang oleh Belanda, Tan Malaka tak henti-hentinya memikirkan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pemikiran dan ide perjuangannya ditulisnya menjadi artikel dan kemudian dibaca para aktivis pergerakan kemerdekaan di tanah air. 'Naar de Republiek Indonesia alias 'Menuju Republik Indonesia' yang ditulis Tan pada 1925 dan Massa Aksi yang ditulis pada 1926, menjadi salah satu rujukan aktivis kemerdekaan di tanah air saat itu.
Karenanya, tak heran nama Tan Malaka sangat terkenal dan menjadi idola para aktivis kemerdekaan saat itu. Meski pada Agustus 1945, Tan Malaka telah berada di Jakarta, nyatanya 'Bapak Republik Indonesia' itu tak terlibat secara langsung dalam Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Kenyataan itu menjadi penyesalan mendalam bagi Tan Malaka.
"Rupanja sedjarah Proklamasi 17 Agustus tiada mengizinkan saja tjampur tangan; hanja mengizinkan tjampur djiwa sadja. Ini sangat saja sesalkan! Tetapi sedjarah tiada mempedulikan penjesalan seseorang manusia, ataupun segolongan manusia," kata Tan Malaka dalam bigrafinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid III.'
Absen dalam Proklamasi Kemerdekaan RI bukanlah kemauan Tan Malaka. Sang Patjar Merah sesungguhnya telah bolak balik dari Banten-Jakarta untuk menghadiri rapat pemuda yang membahas soal kemerdekaan. Tan Malaka yang saat itu menyamar dengan nama Ilyas Hussein didaulat sebagai wakil pemuda Banten.
Dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia' Karya Harry A Poeze dituliskan, masa lalu Tan Malaka yang panjang sebagai orang buangan dan terus menerus dalam bayang-bayang penangkapan polisi rahasia negara imperialis, membuatnya amat berhati-hati. Tan tak mudah mempercayai orang karena mata-mata musuh yang mencarinya ada di mana-mana.
Apalagi saat itu fasis Jepang telah mendapat informasi soal keberadaan Tan Malaka di Jawa. Sementara, orang yang mengaku-ngaku sebagai Tan Malaka alias Tan Malaka palsu saat itu banyak beredar. Hal itu semakin membuat Tan Malaka berhati-hati dan menutup rapat-rapat identitas aslinya.
Di Jakarta Tan Malaka mengenal dan bertemu dengan para tokoh pemuda radikal seperti Soekarni, Chaerul Saleh dan BM Diah. Tan mempelajari semangat dan sifat para pemuda itu. Intinya para pemuda tak sepakat dengan golongan tua, yakni Soekarno-Moh Hatta dkk terkait kemerdekaan RI dengan campur tangan Jepang.
Bagi mereka, kemerdekaan Indonesia harus lepas dari bau Jepang. Dalam pertemuan dengan Soekarni dkk, Tan Malaka memaparkan soal ide-ide, wawasan dan pemikirannya. Hal itu membuat para pemuda terkagum-kagum sekaligus bertanya-tanya siapa sebenarnya Ilyas Hussein itu. Tak mungkin seorang pekerja biasa di tambang romusha, Bayah, Banten, memiliki pengetahuan yang begitu luar biasa.
Soekarni yang sesungguhnya adalah pengemar Tan Malaka, bahkan menilai apa yang dibicarakan, pemikiran dan analisis politik Ilyas Hussein sama dengan semua isi buku Tan Malaka. Karena itu dia ragu kepada Hussein. Soekarni takut kalau-kalau Hussein adalah adalah seorang agen atau mata-mata Jepang yang hendak merusak perjuangan kemerdekaan para pemuda.
Pada 14 Agustus 1945, Tan Malaka datang ke rumah Soekarni. Saat itu Soekarni amat sibuk dan banyak pemuda yang keluar masuk rumahnya. Tan tak mengetahui apa yang tengah dipersiapkan Soekarni. Saat berbicang, Tan mengeluarkan analisisnya soal konstalasi dunia saat itu dan kemerdekaan Indonesia sudah dekat. Soekarni amat terkesima atas analisis Tan. Usai berbincang, Soekarni lantas pergi dan meminta Tan tinggal di asrama belakang rumahnya.
Belakangan diketahui Soekarni dkk rupanya tengah mempersiapkan penjemputan paksa terhadap Soekarno-Hatta menuju Rengasdengklok untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Waktu djauh malam sdr Soekarni pulang sebentar. Tetapi sesudah itu saja tiada melihat mukanja lagi sampai lebih kurang satu setengah bulan sesudahnya Proklamasi. Dengan putusnja perhubungan dengan sdr Soekarni dan Chaerul Saleh djustru satu hari sebelum Proklamasi sampai satu setengah bulan sesudahnja Proklamasi maka putuslah pula perhubungan saja dengan cara pemuda jang kiranja sepaham dengan saja," kata Tan Malaka.
Beberapa bulan kemudian, akhirnya Soekarni dkk mengetahui Ilyas Hussein adalah Tan Malaka, orang yang menjadi idola mereka. Tan dan Soekarni dkk lantas berkolaborasi dalam revolusi Indonesia salah satunya membentuk Persatuan Perjuangan (PP) yang menjadi oposisi pemerintahan Sjahrier.
Seperti kata Tan, sejarah rupanya tak mengizinkannya campur tangan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pemikiran dan ide perjuangannya ditulisnya menjadi artikel dan kemudian dibaca para aktivis pergerakan kemerdekaan di tanah air. 'Naar de Republiek Indonesia alias 'Menuju Republik Indonesia' yang ditulis Tan pada 1925 dan Massa Aksi yang ditulis pada 1926, menjadi salah satu rujukan aktivis kemerdekaan di tanah air saat itu.
Karenanya, tak heran nama Tan Malaka sangat terkenal dan menjadi idola para aktivis kemerdekaan saat itu. Meski pada Agustus 1945, Tan Malaka telah berada di Jakarta, nyatanya 'Bapak Republik Indonesia' itu tak terlibat secara langsung dalam Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Kenyataan itu menjadi penyesalan mendalam bagi Tan Malaka.
"Rupanja sedjarah Proklamasi 17 Agustus tiada mengizinkan saja tjampur tangan; hanja mengizinkan tjampur djiwa sadja. Ini sangat saja sesalkan! Tetapi sedjarah tiada mempedulikan penjesalan seseorang manusia, ataupun segolongan manusia," kata Tan Malaka dalam bigrafinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid III.'
Absen dalam Proklamasi Kemerdekaan RI bukanlah kemauan Tan Malaka. Sang Patjar Merah sesungguhnya telah bolak balik dari Banten-Jakarta untuk menghadiri rapat pemuda yang membahas soal kemerdekaan. Tan Malaka yang saat itu menyamar dengan nama Ilyas Hussein didaulat sebagai wakil pemuda Banten.
Dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia' Karya Harry A Poeze dituliskan, masa lalu Tan Malaka yang panjang sebagai orang buangan dan terus menerus dalam bayang-bayang penangkapan polisi rahasia negara imperialis, membuatnya amat berhati-hati. Tan tak mudah mempercayai orang karena mata-mata musuh yang mencarinya ada di mana-mana.
Apalagi saat itu fasis Jepang telah mendapat informasi soal keberadaan Tan Malaka di Jawa. Sementara, orang yang mengaku-ngaku sebagai Tan Malaka alias Tan Malaka palsu saat itu banyak beredar. Hal itu semakin membuat Tan Malaka berhati-hati dan menutup rapat-rapat identitas aslinya.
Di Jakarta Tan Malaka mengenal dan bertemu dengan para tokoh pemuda radikal seperti Soekarni, Chaerul Saleh dan BM Diah. Tan mempelajari semangat dan sifat para pemuda itu. Intinya para pemuda tak sepakat dengan golongan tua, yakni Soekarno-Moh Hatta dkk terkait kemerdekaan RI dengan campur tangan Jepang.
Bagi mereka, kemerdekaan Indonesia harus lepas dari bau Jepang. Dalam pertemuan dengan Soekarni dkk, Tan Malaka memaparkan soal ide-ide, wawasan dan pemikirannya. Hal itu membuat para pemuda terkagum-kagum sekaligus bertanya-tanya siapa sebenarnya Ilyas Hussein itu. Tak mungkin seorang pekerja biasa di tambang romusha, Bayah, Banten, memiliki pengetahuan yang begitu luar biasa.
Soekarni yang sesungguhnya adalah pengemar Tan Malaka, bahkan menilai apa yang dibicarakan, pemikiran dan analisis politik Ilyas Hussein sama dengan semua isi buku Tan Malaka. Karena itu dia ragu kepada Hussein. Soekarni takut kalau-kalau Hussein adalah adalah seorang agen atau mata-mata Jepang yang hendak merusak perjuangan kemerdekaan para pemuda.
Pada 14 Agustus 1945, Tan Malaka datang ke rumah Soekarni. Saat itu Soekarni amat sibuk dan banyak pemuda yang keluar masuk rumahnya. Tan tak mengetahui apa yang tengah dipersiapkan Soekarni. Saat berbicang, Tan mengeluarkan analisisnya soal konstalasi dunia saat itu dan kemerdekaan Indonesia sudah dekat. Soekarni amat terkesima atas analisis Tan. Usai berbincang, Soekarni lantas pergi dan meminta Tan tinggal di asrama belakang rumahnya.
Belakangan diketahui Soekarni dkk rupanya tengah mempersiapkan penjemputan paksa terhadap Soekarno-Hatta menuju Rengasdengklok untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Waktu djauh malam sdr Soekarni pulang sebentar. Tetapi sesudah itu saja tiada melihat mukanja lagi sampai lebih kurang satu setengah bulan sesudahnya Proklamasi. Dengan putusnja perhubungan dengan sdr Soekarni dan Chaerul Saleh djustru satu hari sebelum Proklamasi sampai satu setengah bulan sesudahnja Proklamasi maka putuslah pula perhubungan saja dengan cara pemuda jang kiranja sepaham dengan saja," kata Tan Malaka.
Beberapa bulan kemudian, akhirnya Soekarni dkk mengetahui Ilyas Hussein adalah Tan Malaka, orang yang menjadi idola mereka. Tan dan Soekarni dkk lantas berkolaborasi dalam revolusi Indonesia salah satunya membentuk Persatuan Perjuangan (PP) yang menjadi oposisi pemerintahan Sjahrier.
Seperti kata Tan, sejarah rupanya tak mengizinkannya campur tangan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945.
========
©2014 merdeka.com/imam mubarok
(alm) Tolu (87) salah satu saksi yang melihat penangkapan Tan Malaka dan prosesi eksekusi yang dilakukan oleh Tentara Republik Indonesia (TRI). Tolu berdiri di tanda pada sebuah pohon yang bertulis "Di sini Tempat Hilangnya Datuk Ibrahim Tan Malaka."
(alm) Tolu (87) salah satu saksi yang melihat penangkapan Tan Malaka dan prosesi eksekusi yang dilakukan oleh Tentara Republik Indonesia (TRI). Tolu berdiri di tanda pada sebuah pohon yang bertulis "Di sini Tempat Hilangnya Datuk Ibrahim Tan Malaka."
Kisah Tan Malaka dapat surat wasiat Soekarno buat jadi presiden
Saat itu, Bung Karno mendapat informasi soal keberadaan Tan Malaka di Jakarta. Bung Karno lantas menugaskan sekretaris pribadinya, Sajoeti Melik untuk mencari Tan Malaka dan mempertemukannya dengan Bung Karno .
Dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia' Karya Harry A Poeze pertemuan antara Tan Malaka dengan Bung Karno terjadi pada 9 September. Pertemuan itu terjadi di rumah kediaman dokter pribadi Soekarno , dr Soeharto , di Jalan Kramat Raya No 82, Jakarta.
Pertemuan itu digelar secara rahasia. Sebab, saat itu polisi rahasia Jepang, Kempetai, sudah mengetahui jejak rekam Tan Malaka sebagai seorang pejuang. Bung Karno lantas meminta dr Soeharto merahasiakan pertemuan itu.
Kepada dr Soeharto , Tan Malaka juga mengaku sebagai Abdul Razak dari Kalimantan. Saking rahasianya, pertemuan bahkan digelar dalam kondisi gelap. Lampu penerangan di kamar pertemuan sengaja dipadamkan.
Pertemuan antara Bapak Republik Indonesia dengan sang Proklamator pun berlangsung. Bung Karno menanyakan sejumlah hal mengenai pemikiran Tan Malaka dalam buku-bukunya seperti Massa Aksi, yang sangat berpengaruh pada pemikiran politik Soekarno . Tan Malaka pun menjawabnya dengan lugas.
Dalam pembicaraan itu Tan Malaka lebih banyak bicara menerangkan soal nasib Revolusi Indonesia. Sementara Bung Karno mendengarkan 'khutbah' dari sang revolusioner. Tan menjelaskan kepada Bung Karno agar pemerintahan dipindahkan ke pedalaman. Orang-orang Belanda dan Inggris harus segera dipulangkan dan Jakarta harus dijadikan medan pertempuran melawan pasukan Sekutu yang telah menang Perang Dunia II.
Bung Karno tencengang. Gagasan Jakarta harus menjadi medan pertempuran merupakan hal baru baginya. Saking terpesona dan kagumnya, Bung Karno lantas membuat pernyataan Tan Malaka adalah penggantinya kelak.
"Kalau saja tiada berdaja lagi, maka kelak pimpinan revolusi akan saja serahkan kepada saudara ( Tan Malaka )," kata Bung Karno .
Keduanya kemudian kembali menggelar pertemuan rahasia untuk kali kedua di rumah pemimpin Barisan Pelopor, Moewardi di Jalan Mampang, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Bung Karno kembali mengulangi janjinya menunjuk Tan Malaka sebagai penggantinya jika sekutu menangkapnya atau sesuatu hal buruk menimpanya.
Tan Malaka tak terlalu menghiraukan janji Bung Karno . Tan menilai pernyataan itu hanyalah sebagai bentuk penghormatan dari Bung Karno kepada dirinya.
"Usul memimpin revolusi tadi saya saya anggap sebagai satu kehormatan saja dan sebagai tanda kepercayaan dan penghargaan Bung Karno kepada saya belaka. Teristimewa pula sebagai suatu tanda nyata bahwa di masa lampau, benar ada suatu ikatan jiwa dan paham antara Bung Karno dan saya walaupun kami hidup berjauhan," kata Tan Malaka .
Meski tak menyeriusi janji Soekarno , Tan Malaka menceritakan hal itu kepada Soebardjo. Soebardjo lantas meminta Bung Karno menuliskan janjinya itu dalam sebuah pernyataan di atas kertas alias testamen politik. Sebab, saat itu desas desus Soekarno-Hatta bakal 'diambil' Sekutu karena telah bekerjasama dengan Jepang semakin ramai terdengar. Sementara Sekutu dikabarkan akan segera mendarat di Indonesia. Hal itu menuai kegelisahan. Harus ada pengganti Soekarno-Hatta.
Soekarno akhirnya sepakat membuat testamen politik pada 30 September 1945. Saat itu Tan berada di rumah Soebardjo dan tengah berbincang dengan Tan Malaka , Iwa serta Gatot. Bung Karno dan Soebardjo lantas menemui Hatta untuk meminta persetujuan atas testamen politik itu. Namun, Hatta menolak.
Hatta menawarkan ada empat pengganti dari empat aliran jika dirinya dan Soekarno ditangkap Sekutu atau hal buruk menimpa mereka. Empat orang dari empat aliran itu antara lainl; Tan Malaka dari aliran paling kiri, Sjahrir dari aliran kiri tengah, Wongsonegoro wakil kanan dan golongan feodal, serta Soekiman dari Islam.
Pertemuan kembali digelar keesokan harinya, 1 Oktober 1945, di rumah Soebardjo. Namun, Sjahrir, Wongsonegoro, dan Dr Sukiman tak hadir. Testamen akhirnya disepakati. Namun, Dr Sukiman yang saat itu sulit dihubungi akhirnya digantikan oleh Iwa Kusumasumantri. Alasannya, Iwa adalah teman dekat Dr Sukiman di Masyumi.
Naskah testamen diketik oleh Soebardjo dan ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta. Soebardjo mendapat tugas memberikan testamen kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Namun belakangan diketahui testamen itu tak diberikan Soebardjo kepada keduanya.
Tan Malaka lantas pergi meninggalkan Jakarta untuk keliling Jawa sesuai usul Hatta. Hal itu dilakukan agar Tan bisa memperkenalkan dirinya kepada rakyat. Namun di perjalanan, Tan banyak menemui testamen politik palsu beredar. Dalam testamen itu hanya disebut Tan Malaka sebagai calon pengganti Soekarno . Tan sendiri tak tahu siapa orang yang melakukannya.
Sejak Tan Malaka wafat ditembak pasukan Letda Sukotjo pada 21 Februari 1949, testamen tersebut tak lagi menjadi pembicaraan. Testamen itu kemudian dihancurkan Bung Karno dengan cara dirobek-robek dan dibakar pada 1964 disaksikan oleh Aidit, SK Trimurti, dan Syamsu Harya Udaya, tokoh Partai Murba yang menyimpan testamen itu.
======
Sukoto (78) teman Tolu juga salah satu saksi detik-detik kematian Tan Malaka di Selopanggung
==========
Tan Malaka ditangkap pada pertengahan Maret 1946 usai menghadiri Kongres Persatuan Perjuangan (PP) ke-4 di Madiun. Saat itu seorang pemuda dari kelompok Prapatan yang juga seorang wartawan yakni Aboe Bakar Loebis mengungkapkan kegundahannya atas kondisi politik saat itu ke Perdana Menteri Sjahrir.
Pemuda yang kagum kepada Sjahrir itu berpandangan haluan perjuangan Tan Malaka yang tak mengenal kompromi dan heroik amat menyentuh rasa patriotisme. Namun, tidak rasional dan realistis. Sementara, Sjahrir mengaku sangat sukar berhadapan dengan agitasi di dalam negeri yang sangat hebat.
Atas curhat Sjahrir itu, Aboe Bakar Loebis menilai, Tan Malaka harus disingkirkan atau ditahan. Setelah berbicara dengan kerabatnya di Yogyakarta, Soebadio, keduanya lantas menemui Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjarifuddin di tempat terpisah. Dua menteri itu lantas mengambil keputusan agar Tan Malaka dan para pemimpin PP segera ditangkap.
Saat itu Amir dan Soedarsono memberikan Aboe Bakar Loebis dan Soebadio surat perintah tertulis penangkapan Tan Malaka dkk. Keduanya ditugasi untuk melakukan penangkapan.
Rencana penangkapan terhadap Tan juga diketahui dan disetujui oleh Presiden Soekarno . Soekarno yang saat itu berada di Yogyakarta telah diberitahu soal rencana itu.
"Dari Soekarno , Loebis dan Slamet diberi uang RP 100.000 untuk biaya berlindung, dan sekretaris Soekarno meminjamkan mobilnya," demikian ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I' Karya Harry A Poeze.
Keduanya lantas berangkat menuju Madiun. Dengan bermodal surat perintah dari dua menteri, mereka meminta bantuan polisi dan TRI setempat untuk menangkap Tan Malaka dan para pengikutnya. Namun, permintaan itu ditolak. Keduanya lantas meminta bantuan kepada Ormas Pesindo. Loebis meminta Pesindo menutup akses keluar kota agar Tan Malaka dan pengikutnya di PP tak bisa keluar Madiun.
Bantuan dari Polisi Tentara (PT) Madiun juga diperolehnya. Saat itu Komandan PT Madiun, Mayor Soenadi adalah bekas teman Loebis di sekolah. PT juga menempatkan di akses transportasi massal seperti kereta. Alhasil, setelah Kongres PP berakhir, para pemimpinnya yang hendak pulang ke kota asal berhasil ditangkap antara lain; Moh Yamin, Abikoesno Tjokrosoedjoso. Tapi Tan Malaka dan Soekarni belum juga tertangkap.
Tan Malaka yang telah mendapat laporan penangkapan itu meminta para pemuda memeriksa jalan menuju Magetan yang tak dijaga. Tapi semuanya sia-sia. Pesindo dan PT ternyata telah menjaga semua akses jalan.
Dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid' Tan mengatakan sebenarnya bisa saja dirinya meloloskan diri meski Madiun telah dikepung Pesindo dan PT. Sebab, dalam pelarian di luar negeri, meloloskan diri dari kejaran musuh adalah hal yang biasa baginya. Namun, Tan memilih menghadapi secara kesatria. Sebab, saat itu ramai isu tak sedap mengenai dirinya. Tan disebut hanya bisa mengritik pemerintah dan akan lari jika ada masalah.
Singkat cerita, Tan Malaka akhirnya dipertemukan dengan Loebis di rumah penguasa daerah, Soesanto. Saat itu Tan dijanjikan akan dipertemukan dengan Bung Karno. Namun, hal itu dibantah oleh Loebis. Ia hanya menjamin keselamatan Tan Malaka tapi tak bisa menjamin mempertemukan dengan Soekarno .
Tan Malaka dan pengikutnya seperti Soekarni lantas dibawa menuju Yogyakarta seperti dijanjikan untuk bertemu Soekarno . Mereka berangkat dengan iring-iringan enam mobil yang dikawal ketat.
Namun, setibanya di Kadi Polo, Solo rombongan hanya tinggal dua mobil saja. Sisanya ada yang mengalami kerusakan dan pecah ban. Tan Malaka dkk lantas dipersilakan masuk ke sebuah rumah yang banyak berisi senjata api di dalamnya. Soekarni lantas diminta masuk ke dalam sebuah kamar. Setelah itu kamar langsung dikunci dari luar.
"Saya memprotes kepada kepala pengantar PT Madiun dan memperingatkan perlakuan ini adalah melanggar perjanjian kami di Madiun. Dengan suara terharu kepala pengantar PT Madiun menjawab bahwa dia hanya melakukan perintah saja dari PT Solo," kata Tan Malaka .
Tan lantas meminta dihubungkan dengan PT Solo. Permintaan itu dijanjikan akan dipenuhi. Tan lantas diminta menunggu di dalam kamar. Setelah Tan masuk ke dalam, kamar itu juga ikut dikunci dari luar.
Di sebelah kamarnya ternyata telah dikurung lebih dulu Moh Yamin dan di sebelah kamar Yamin ada Abikusno. Tan Malaka dan pengikutnya kemudian beberapa kali dipindahkan penahanannya ke sejumlah tempat. Tan baru dibebaskan pada September 1948.
======
Dalam buku Soerachmad prajurit pejuang, Tan Malaka adalah orang yang cerdik dengan julukan 'Trotskyist'. Buktinya Mayor Sabaruddin ditugaskan untuk mengawal Tan Malaka oleh Kolonel Soengkono dapat dipengaruhinya, salah satunya memberikan kebebasan pada Tan Malaka untuk menyampaikan pengumuman di radio bahwa Presiden Republik Indonesia adalah Tan Malaka pasca-Soekarno Hatta ditangkap Belanda.
Peristiwa itu terjadi bersamaan agresi militer ke-2 Belanda memasuki wilayah Kota Kediri. Peristiwa itu terjadi ketika Tan Malaka bersama pasukan Sabaroedin berada di wilayah Gringging Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri. Di dekat daerah itu pula markas Divisi I/ Gubernur militer Jawa Timur di bawah panglima Devisi. Kolonel Soengkono dengan kompi 'deckingnya', Kompi Macan Kerah dengan Komandan Kapten Sampoerno.
"Sebelum ditangkap atas perintah Kolonel Soengkono, Tan Malaka pernah menginap di rumah bapak saya ketika itu bapak saya adalah kepala desa di daerah Gringging," kata (alm) dr Karman dokter yang praktik di Jl Hayam Wuruk Kota Kediri pada merdeka.com tahun 2011 lalu.
Selain mengumumkan bahwa dirinya adalah Presiden RI, Tan Malaka juga mengangkat Sabaroedin sebagai panglima besar. Sebelumnya Tan Malaka pernah menawari Mayor Jonosewojo, namun ditolak.
Pidato Tan Malaka yang menyatakan bahwa dirinya adalah Presiden RI membuat Letkol Soerachmad marah besar dan memangil Letnan I Seokadji Hendrotomo yang pada waktu itu adalah komandan kompi 'decking' Komando Brigade S/KMD Kediri untuk menangkap Tan Malaka dan Sabaroedin.
Dengan secepat kilat kompi Soekadji Hendrotomo berhasil menangkap Tan Malaka dan Kompi Macan Kerah berhasil menangkap Sabroedin. Saat penangkapan itu pasukan Belanda menggempur wilayah Kediri dan Markas Devis I yang dipimpin Kolonel Soengkono. Tan Malaka berhasil ditangkap dibawa ke jurusan selatan di daerah Mojo oleh Kompi Soekadji Hendrotomo tepatnya di daerah Petok.
Tan Malaka dieksekusi bersama para pengawalnya Kapten Dimin, Ali dan Teguh di daerah Petok Mojo. Keterangan Soerachmad dalam bukunya berbalik 90 derajat dengan penelusuran yang dilakukan merdeka.com dengan peneliti sejarah Tan Malaka, Harry A Poeze sejak 2007 lalu.
Harry A Poeze yang yang juga mantan Kepala Penerbit KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) yang menjelaskan berdasarkan riset yang dilakukannya terkait kematian Tan Malaka, menyebutkan Tan dibunuh di Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 oleh Brigade Sikatan atas perintah Letkol Soerachmad .
Rekontruksi awal penelusuran ini adalah ketika merdeka.com bertemu dengan Syamsuri (50) mantan Kepala Desa Selopanggung (1990-1998). Atas jasa Syamsuri itulah merdeka.com diajak bertemu dengan Tolu (87) (sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu banyak memberikan keterangan tentang tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.
"Kala itu saya masih berumur sekitar 10 tahun. Saya tinggal bersama kakek saya, Mbah Yasir namannya. Rumah kakek saya itulah yang ditempati pasukan TRI yang melarikan diri dari kejaran Belanda," katanya sambil menikmati rokoknya. Ditambahkan Tolu, dari para anggota TRI tersebut dia masih ingat nama-nama pentolannya.
"Mereka adalah priyayi yang berpakaian bagus, berpendidikan, membawa senjata, membawa buku dan juga mesin ketik. Mereka antara lain Letkol Soerachmad, Letnan Dua Soekotjo, Soengkono, Sakur, Djojo dan Dayat. Merekalah para komandan yang membawahi kurang lebih 50 pasukan yang saat itu berjuang melawan Belanda," imbuhnya.
Saat Tolu menyebut nama Soekotjo, Soerachmad,dan juga Soengkono, penulis pun teringat akan nama itu yakni sama persis dengan riset Harry A Poeze yang menyatakan Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949 oleh Brigade S atas perintah Letkol Soerachmad. Eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda kedua itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat.
Penangkapan hingga penembakan mati Tan Malaka oleh Briagade S atas perintah petinggi militer di Jawa Timur menilai seruan Tan Malaka terkait penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas.
Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje Nganjuk dan akhirnya dieksekusi di Selopanggung Kediri. Tentang Tan Malaka sendiri, Tolu saksi sejarah yang masih hidup mengaku antara ingat dan tidak. Untuk mengembalikan memori ingatannya, penulis mencoba mencoba membukakan gambar wajah Tan Malaka. Dari situlah kemudian dia kembali teringat.
"Orang ini adalah orang yang menjadi tawanan TRI, dia diamankan khusus. Waktu itu yang menjaga adalah di bawah pengawasan Pak Dayat langsung. Entah bagaimana ceritanya ketika itu setelah ditawan saya mengetahui dia meninggal yakni tepatnya sebelum akhirnya pasukan TRI meninggalkan desa kami sekitar awal tahun 1949," jelasnya.
Soal di mana lokasi tawanan itu meninggal dunia dan kemudian dikuburkan, Tolu terdiam. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia keluar rumah dan menunjukkan pohon petai di depan bekas rumah kakeknya Yasir yang kini sudah rata dengan tanah.
"Di sanalah Tan Malaka hilang, itu yang hanya saya tahu, ini juga saya katakan pada orang Belanda Harry A Poeze yang datang menemui saya tiga belas tahun lalu. Kemudian oleh Harry tempat tersebut disuruh menandai dengan tulisan 'Di sinilah tempat hilangnya Datuk Ibrahim/Tan Malaka," katanya.
"Setelah Pak Dayat menyembunyikan tawanannya yang akhirnya tewas, yang saya duga adalah Sutan Ibrahim. Kemudian pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung setelah setahun bersembunyi. Sebelum meninggalkan desa kami pasukan membakar berkas yang dibawa. Seingat saya ada ratusan buku yang dibakar saat itu. Bahkan sangking banyaknya buku itu tidak habis terbakar selama satu minggu," kata Tolu.
Lalu kemana tawanan Dayat yang kemudian mati itu dikubur setalah pasukan TRI meninggalkan desa? "Saya tidak tahu itu sebab saat itu kami orang desa hanyalah orang suruhan dan hanya bisa membantu yang bisa kami Bantu. Misal mengantarkan surat, membuat makanan dan menjaga kerahasiaan keberadaan para anggota TRI ini dari musuh," tambahnya.
Menurut Tolu tawanan yang tewas terbunuh itu tentunya tidak akan dikubur jauh dari desanya. Kemudian dia teringat akan kuburan Mbah Selopanggung orang yang dipercaya kali pertama membabat hutan dan menghuni Desa Selopanggung dan memberikan nama Selopanggung yang berada di dekat batu besar yang tepat berada di belakang rumahnya.
"Kira-kira 50 meter dari lokasi batu besar yang oleh warga setempat diyakini sebagai tempat wingit atau angker ada makam Mbah Selopanggung. Ada dua pohon kamboja tua satu diyakini warga merupakan nisan makam Mbah Selopanggung. Dan ada satu lagi yang usianya dibawah pohon kamboja yang ada di makam Mbah Selopanggung, mungkin itulah makamnya," ungkapnya.
Karena usianya yang lanjut dan kesulitan jalan, akhirnya Tolu meminta tolong kepada Syamsuri mantan Kepala Desa Selopanggung dan Solikin tokoh pemuda setempat untuk mengantarkan penulis ke makam yang dimaksud. Setelah melakukan perjalanan melalui jalan batu terjal yang turun naik di kaki Gunung Wilis kurang lebih 500 meter, penulis sendiri pernah mendampingi Poeze bersama dua keluarga Tan Malaka yakni Zulfikar Kamarudin dan HM Ibarsyah Ishak, SH yang juga Government Relation Pusat Tamadun Melayu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
"Meskipun agak berbau mistis ada dugaan kuat sebelum dikuburkan ke pemakaman yang berada di Ledokan berdekatan dengan makam Mbah Selopanggung yang membuka desa ini, Tan Malaka dikuburkan di lokasi ini,dugaan kami ini kuat, sebab ini juga dalam rangka untuk menghilangkan jejak oleh Pasukan Brigade S," ujar Poeze.
Lokasi yang dimaksudkan Poeze tersebut tepat ditimur lokasi dimana berkas-berkas yang dibawa pasukan Brigade S dibakar selama satu minggu tidak habis sebelum akhirnya pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung.
Disinggung tentang lokasi Tan Malaka yang tewas dan dibunuh di pinggir Sungai Brantas Desa Petok Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri Poeze mambantah keras. "Yang tewas dan dimakamkan di sana itu bukan Tan Malaka tetapi anak buahnya yang berjumlah tiga orang. Dugaan kuat kami Tan Malaka berada di Desa Selopanggung," katanya.
======
==========================================
Tan Malaka merupakan pahlawan nasional yang kenyang akan pengalaman perjuangan. Salah satu pengalaman terbesarnya adalah saat ia menjadi orang buangan di luar negeri.
Untuk menghindari kejaran dan penangkapan polisi rahasia negara imperialis, Tan Malaka harus berpindah-pindah dari negara yang satu ke negara yang lain. Salah satu tempat yang pernah didatanginya adalah Singapura.
Di negeri yang terkenal akan patung singa putihnya itu Tan Malaka menjadi saksi sejarah kejamnya tentara Jepang kepada penduduk saat menguasai Singapura pada 1942. Tan Malaka yang saat itu bekerja sebagai guru bahasa Inggris dan ilmu pengetahuan di salah satu sekolah menyaksikan tentara Jepang menyiksa bahkan memperkosa kaum tersebut.
Kabar menyerahnya Inggris kepada Jepang di Singapura hanya kesenangan sesaat. Sejak dikuasai negeri matahari terbit itu, kekejaman lebih parah malah terjadi. Menurut Tan, waktu dikuasai Jepang, banyak orang tidak bersalah disiksa di mana-mana.
"Orang ditampari, kalau tiada jongkok melalui Hei-tai-san (prajurit Jepang), ditampari kalau tak mau memanjatkan buah kelapa," kata Tan dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara'.
Sementara, kaum wanita diperkosa oleh para tentara Jepang yang terkenal gila seks. Bahkan, tak segan para tentara kejam itu juga merampas harta penduduk.
"Buat Hei-tai-san yang ingin perempuan orang diperkosa orang dipaksa memukul ini atau itu. Sepeda, arloji, pulpen dan barang-barang emas orang dirampas dan lain-lain, sebagai tak putus-putusnya berhari-hari," jelasnya.
Kurang dari seminggu berkuasa, daerah tempat tinggal Tan mendapat suatu perintah tidak masuk akal. Semua masyarakat disuruh keluar dari kediamannya dan berkumpul di tanah lapang. Rumah mereka pun tidak ada yang boleh dikunci bahkan lemarinya pun juga demikian.
Menurut Tan, ketika berjalan menuju lapangan, para penduduk dipaksa melalui jalan yang sudah ditentukan para Hei-tai-san. Bila ada yang coba melanggar, mereka tak segan menembak dan memenggalnya.
Kurang lebih 50 ribu orang berkumpul di tempat yang sudah ditentukan. Tempat itu tiap penjuru dijaga ketat oleh tentara Inggris dan kempai Jepang. Tan melihat salah seorang I.S Inggris, yang dicurigai mantan komunis yang pernah diasingkan dan ditahan.
Tan yang kala itu bersama murid-muridnya, berhasil selamat dari pemeriksaan pintu masuk. Namun, beberapa orang lain ada yang tertahan hingga tak kembali.
"Ada di antara kenalan saja, sebagai guru dan wartawan revolusioner, yang termasuk golongan yang ditahan di lain lapangan, tak pulang lagi untuk selama-lamanya. Mereka dipekerjakan memperbaiki atau menambah benteng dengan tidak diizinkan berhenti atau sediki diberi makan. Banyak pula yang dijemur ayau disiksa sampai mati," ungkapnya.
Sedangkan, kata Tan, bagi mereka yang lolos pemeriksaan, dijemur di bawah teriknya matahari juga guyuran hujan selama 4 hari 4 malam. Tidak ada yang diizinkan sekadar untuk minum ataupun makan. Akibatnya, banyak pula dari mereka yang akhirnya tewas kelaparan, kehausan dan ketakutan.
Tan mendapat kabar burung, bahwa rencana awal para tentara Jepang ialah memusnahkan 60 ribu orang Tionghoa dengan mitraliur. Namun, rupanya hal itu batal lantaran masih ada petinggi militer Jepang 'anak dewa' yang masih punya hati kemanusiaan dan mencegah aksi biadab itu.
Namun, aksi biadab itu rupanya sudah terjadi. Di daerah Saremban, rupanya sudah 2.000 pemuda-pemudi Tionghoa dimetraliur hingga habis.
====================================
Pernyataan itu diucapkan Tan Malaka kepada polisi rahasia Belanda, Viesbeen, saat diinterview di kantor polisi Hong Kong pada Desember 1932. Saat itu Tan Malaka tengah dalam penahanan polisi Hong Kong setelah tertangkap di Koowlon oleh dua orang polisi rahasia Inggris.
Namun pernyataan Tan Malaka itu justru menjadi bahan tertawaan Viesbeen. Jika ditelisik, pernyataan Tan Malaka itu ada benarnya.
Meski Tan telah wafat ditembak pasukan Letda Sukotjo pada 1949, pemikiran dan sejarah Tan Malaka hingga kini tetap hidup. Meski di era Orde Baru nama Tan Malaka seperti disingkirkan dari sejarah, pasca-reformasi, Tan Malaka kembali 'hidup' melalui pemikiran-pemikirannya.
Pemikiran-pemikiran Tan Malaka yang dibukukan ramai dijual di toko-toko buku. Para aktivis sejak dulu bahkan menjadikan pemikiran Tan Malaka sebagai sumber wajib yang harus diulas dan dipelajari.
Namun demikian, bukan berarti semua pihak menyukai Tan Malaka . Semasa hidupnya (1894-1949), pahlawan nasional itu kerap tak disukai. Tak hanya oleh negara imperialis, oleh bangsanya sendiri pun Tan Malaka kerap dimusuhi.
Sikap anti-komprominya kepada penjajah soal cita-cita kemerdekaan Indonesia secara 100 persen membuat Soekarno dkk tak sehaluan dengannya. Tan menolak dialog dengan penjajah jika kemerdekaan Indonesia belum diakui 100 persen, sementara Soekarno lebih memilih jalan dialog dan negosiasi dengan penjajah.
Kini, setelah puluhan tahun tiada, Tan Malaka tetap ada yang tidak menyukai. Paham komunis yang dianut menjadi alasan Tan Malaka ditolak. Maklum saja, komunis di Indonesia langsung diidentikan dengan PKI yang dituding memberontak dan membunuh para jenderal TNI AD pada 1965. Komunis di Indonesia juga kerap diidentikan sebagai atheis.
Jika dilihat dari fakta sejarah, Tan Malaka pernah menjadi ketua PKI pada 1921. Namun perbedaan haluan dan pemikiran justru membuat Tan Malaka justru pecah kongsi dan dimusuhi oleh para tokoh PKI lainnya. Musso bahkan pernah bersumpah untuk menggantung Tan Malaka . Tan Malaka lantas mendirikan Partai Rakyat Indonesia (Pari) pada 1927 di Bangkok dan pada 1948 mendirikan Partai Murba.
Beberapa waktu lalu, acara bedah buku dan diskusi Tan Malaka di sejumlah kota mendapat penolakan. Di Surabaya, penolakan dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), sementara di Semarang ditolak Ormas Pemuda Pancasila (PP).
Di Semarang diskusi masih bisa berlangsung meski tempat penyelenggaraan yang awalnya direncanakan di luar kampus, harus dipindahkan ke Universitas Diponegoro pada Senin (17/2). Sementara, di Surabaya, diskusi batal digelar. Sebabnya, massa FPI menduduki depan lokasi yang akan dijadikan tempat diskusi yakni, C20 Library, Jalan Dr Cipto, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (7/2).
Meski Tan Malaka adalah pahlawan nasional, FPI tak peduli. Menurut FPI, gelar pahlawan bagi Tan Malaka adalah versi dari PKI. Padahal, gelar pahlawan nasional diberikan langsung oleh Presiden Soekarno pada 1963.
"Itu kan versinya PKI. Tan Malaka itu kan pahlawannya orang-orang PKI, Tan Malaka itu kan tokoh Marxis," kata Ketua Bagian Nahi Mungkar FPI Jawa Timur KH Dhofir di depan Gedung C20 Library.
Sikap FPI amat kontras dengan kelompok Islam di tahun 1946. Saat itu, Laskar Hisbullah dan Masyumi ramai-ramai pasang badan untuk Tan Malaka .
Seperti ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I' Karya Harry A Poeze, saat itu, kondisi kota Madiun begitu mencekam. Pesindo yang berada di bawah Amir Sjarifuddin dengan senjata lengkap menjaga akses keluar kota Madiun. Hal yang sama juga dilakukan Polisi Tentara (PT). Khawatir akan keselamatan Tan Malaka , salah seorang tokoh Masyumi, Wali Al-Fatah lantas mendatangi penguasa daerah alias Residen Madiun, Susanto Tirtoprojo.
Wali Al-Fatah mengadukan kondisi tersebut. Ia berjanji akan membawa Tan Malaka kepada Susanto jika keselamatan Tan dijamin.
Wali Al-Fatah lantas bertemu dengan Aboe Bakar Loebis dan Soebadio, orang yang mendapat mandat dari Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjarifuddin untuk menangkap Tan Malaka dan pengikutnya. Wali Al-Fatah lantas menanyakan alasan rencana penangkapan Tan Malaka .
Namun, tak ada jawaban jelas dari Loebis. Ia juga menanyakan apakah Tan Malaka akan dipertemukan dengan Soekarno, tapi Loebis mengaku tak menerima perintah itu. Wali Al-Fatah lantas menemui Tan Malaka dan menceritakan perjanjiannya dengan Residen Madiun, Susanto Tirtoprojo, yakni akan mempertemukan Tan Malaka dengan Soekarno untuk berunding.
"Di rumahnya Tn Susanto Tirtoprojo yang masa itu menjabat pangkat Residen di Madiun dan tadi paginya memperkenalkan diri sendiri kepada saya di alun-alun, maka wakil PT berkata kepada saya; tuan akan diantarkan ke Jogja dengan wujud hendak berunding dengan Presiden," kata Tan Malaka dalam biografi 'Dari Penjara ke Penjara.'
Wali Al-Fatah mengajukan kepada Soekarno agar keselamatan Tan Malaka dijamin. Namun, setibanya di Solo, Tan Malaka dan pengikutnya justru ditahan di sebuah rumah. Mereka tak dibawa untuk berunding dengan Soekarno. Oleh PT Solo mereka ditahan sesuai surat perintah penahanan dari Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjariefuddin. Sejumlah pemimpin Masyumi protes atas penahanan Tan Malaka dan pengikutnya.
Mohammad Saleh pimpinan Masyumi dan Laskar Rakyat Yogya, H Mukti dan Dr Sukiman, atas nama Masyumi beberapa kali mengunjungi Soekarno untuk menanyakan soal penahanan Tan Malaka . Mereka juga meminta Soekarno membebaskan Tan Malaka dan pengikutnya.
"Tapi teranglah sudah bahwa mereka tidak mendapatkan hasil dan jawaban yang memuaskan," kata Tan Malaka .
===================================================
"Penelitian sudah jelas, siapa, kapan, di mana yang dilakukan oleh para peneliti. Pemeriksaan DNA oleh tim forensik juga sudah. Warga di sini ingin kepastian dari pemerintah," kata Zairi (50) mantan Kepala Desa Selopanggung, Jumat (21/2).
Zairi selama ini ikut serta membantu penelusuran tentang makam Tan Malaka . Zairi berharap pemerintah segera membangun monumen Tan Malaka di desanya.
Sebab, Tan Malaka merupakan pahlawan nasional. Gelar itu diberikan Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963.
"Siapapun beliau (golongan kiri atau bukan) adalah pahlawan nasional. Oleh karena itu kita masih ingat semboyan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya," tegas Zairi.
Tan Malaka ditangkap Letda Sukotjo dan anak buah di Desa Selopanggung. Saat penangkapan terjadi, para pengawal kabur meninggalkan Tan Malaka yang saat itu kakinya tengah terluka dan kesulitan untuk berjalan. Sukotjo lantas memerintahkan anak buahnya, Suradi Tekebek untuk menembak mati Tan Malaka pada 21 Februari 1949.
===================================================
Tan Malaka ditangkap polisi rahasia Inggris di Hong Kong pada 1932. Setelah berbulan-bulan Tan Malaka ditahan di penjara, polisi rahasia Inggris memutuskan membuangnya ke Shanghai.
Namun dalam perjalanan, Tan Malaka berhasil mengecoh polisi atau lebih tepatnya intel Inggris yang mengawasinya dan turun di pelabuhan Amoy. Tan sadar Inggris tak sebaik yang dikesankan.
Meski Inggris menolak menyerahkan Tan ke polisi Belanda saat di Hong Kong, bukan berarti hal itu didasarkan atas kebaikan negeri 'Richard the Lion Heart' itu. Undang-undang Inggris memang menyatakan akan melindungi politikus yang diburu jika berada di wilayah kekuasaannya.
Namun, Belanda adalah sahabat Inggris. Tan sadar dia akan kembali ditangkap jika sampai di Shanghai. Tan lantas melanjutkan perjalanannya di darat. Namun, penyakit yang sudah lama dideritanya kembali kambuh.
"Penyakit itu memangnya tiada keras, tiada pernah memaksa saya berbaring lebih dari satu hari. Tetapi cukup keras untuk mematahkan nafsu makan, apalagi nafsu membaca. Sedikit saja saya salah makan (banyak makan daging), maka pencernaan dan tidur terganggu. Akibatnya ialah pusing kepala dan sakit perut. Mudah sekali kemasukan angin. Demikianlah kelemahan badan itu terus menerus antara tahun 1925 dengan tahun 1935," kata Tan Malaka dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid II.'
Terapis dan suntikan yang diberikan oleh sejumlah dokter didikan Barat tak juga menyembuhkan penyakitnya. Padahal para dokter telah bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan modern dan ilmu bukti. Penyakit Tan justru berhasil disembuhkan oleh seorang tabib atau sensei Tionghoa.
"Kesehatan itu dikembalikan oleh seorang sensei yang tinggal lebih dari satu jam perjalanan dari Lwe melalui Desa So-Lao dan akhirnya mendaki dan menuruni sebuah bukit. Lupa saya nama desa itu, mungkin juga Chia-be. Saya sebutkan saja Chia-be," kata Tan.
Tan mengaku kerap mendengar kisah kemanjuran jamu dari tabib itu. Tan hanya ingat tabib itu nama keturunannya Se. Para pasien biasanya memanggil sang tabib dengan panggilan Sensei Choa dari Chia-be.
Saat itu Tan ingin sekali berobat ke Sensei Choa. Setelah melengkapi diri dengan pistol maka berangkatlah Tan ke Desa Chia-be dengan diantarkan oleh Tien-Jin, sahabat yang dikenalnya di perjalanan.
Setibanya di rumah Sensei Choa, Tan tak langsung ditanya soal penyakitnya. Hal itu bukanlah kebiasaan Sensei Choa ketika ada pasien yang datang ke rumahnya. Tan kemudian dijamu di ruang tamu dengan disuguhi teh panas. Mereka lantas berbincang-bincang atas peristiwa yang menarik perhatian kala itu.
Sang Sensei dengan gembira menceritakan soal sejarah hidupnya dalam mengobati pasien. Namun demikian, layaknya tabib China lainnya, Sensei Choa tetap menjaga rahasia ramuan obat-obatan dan ilmu kesehatan yang diperolehnya dari turun temurun itu.
"Tak boleh rahasia itu dibuka kepada yang bukan turunannya. Demikianlah kedukunan Tionghoa itu (kepintaran khususnya) tidak menjadi kepunyaan nasional, melainkan tinggal dimonopoli oleh tiap-tiap keluarga saja," kata Tan.
Sensei Choa tak perlu mempromosikan dirinya. Sebab tanpa itu pun namanya sudah terkenal padahal Sensei Choa tinggal di desa kecil. Banyak orang dari berbagai desa datang ke rumahnya untuk berobat.
Usai berbincang, Tan lantas diajak Sensei Choa ke ruang periksa. Ruangan itu dipenuhi oleh berbagai macam obat yang berasal dari ramuan tumbuh-tumbuhan herbal. Di kamar itu Tan diperiksa meski saat berbincang tadi Sensei secara tak disadari Tan telah memeriksanya.
Sensei pun bekerja. Nadi tangan, pelupuk mata, warna kuku dan warna lidah Tan tak lupa diperiksanya. Ia kemudian menuliskan diagnosanya itu ke sebuah kertas sambil menulis resep obat yang cocok.
"Sensei Choa mengatakan bahwa badan saya amat panas, singku chin diat. Istilah ini acapkali benar dipakai oleh dukun Tionghoa. Yang dimaksudkan badan panas ialah darah yang terlalu panas. Menurut kedukunan Tionghoa maka darah panas itu menyebabkan kuranya nafsu makan, kurang kuatnya pencernaan dan kurang nyenyaknya tidur. Sensei Tionghoa dalam hal ini berusaha mendinginkan darah itu," kata Tan.
Untuk mendinginkan darah, Tan diminta memakan bebek yang dimasak dengan obat. Tiap satu minggu Tan harus memakan satu bebek selama enam minggu. Kemudian memakan penyu yang hidup di dekat sawah.
Tan menuruti nasihat Sensei Choa. Tan memakan semua makanan dan obat yang diresepkan. Selang berapa lama, Tan merasakan perubahan pada badannya. Tan merasa lebih sehat dari sebelumnya. Kesehatannya tak lagi terganggu jika ia makan banyak daging. Tidurnya nyenyak, pusing, sakit perut dan mudah masuk angin tak lagi dialaminya.
Tan sangat menghargai jasa sang Sensei. Meski dunia pengobatan Tionghoa tak lepas dari banyak dongeng, Tan akhirnya mempercayai kehebatannya.
=============================================================
Tan Malaka menginjakkan kakinya kembali di tanah air setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Meski sudah berada di tanah air, Tan tetap menggunakan nama samaran guna menghindari intel Jepang dan negara imperialis.
Salah satu tempat yang sempat ditinggali Tan Malaka saat awal-awal kedatangannya kembali ke tanah air adalah Bayah, Banten. Tan tiba di kota itu Juni 1943. Saat itu Tan harus bekerja karena uang di kantongnya telah menipis.
Sementara untuk meminta bantuan kepada kaum pergerakan kemerdekaan saat itu Tan belum berani. Sebab, begitu lamanya dia berada di luar negeri sebagai orang buangan membuatnya 'buta' pada peta perpolitikan dan pergerakan di tanah air. Tan tak tahu yang mana teman dan mana lawan yang berkoloni dengan Jepang.
Di Bayah, Banten, Tan bekerja di bagian administrasi sebagai juru tulis para romusha. Di kemudian hari Tan diangkat menjadi kepala. Selain bekerja, Tan juga memberi berbagai pendidikan kepada para romusha di kota itu. Dalam hatinya, Tan sedih atas nasib yang menimpa saudara sebangsanya itu.
Karenanya romusha Bayah, Banten, menjadi salah satu kisah yang tak terlupakan bagi Tan. Bayah juga menjadi tempat pertemuan Tan Malaka dengan Soekarno untuk kali pertama. Namun saat itu Bung Karno tak mengetahui orang itu adalah Tan Malaka, tokoh yang pemikirannya banyak menjadi inspirasinya. Sebab, saat itu Tan menyamar dengan nama Ilyas Hussein.
Saat itu lokasi tempat kerja Tan Malaka mendapat kehormatan untuk dikunjungi oleh dua pemimpin besar yang saat itu namanya tengah bersinar dalam perjuangan rakyat Indonesia yakni Soekarno dan Moh Hatta. Berbagai persiapan pun dilakukan untuk menyambut keduanya.
Saat itu Tan mendapat tugas untuk menyambut Bung Karno dan Hatta di pintu gerbang dan mengantarkan ke ruang pertemuan. Tan juga ditugasi untuk membawakan makanan dan minuman kepada keduanya.
Dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara' Tan Malaka awalnya gembira bisa bertemu dengan Bung Karno dan Hatta. Sampai-sampai ia dipinjami temannya kemeja dan dasi karena pakaian yang dimilikinya penuh dengan tambalan dan dirasa kurang layak untuk digunakan bertemu dua tokoh itu.
Setelah sampai di ruang pertemuan, Bung Karno dan Bung Hatta lantas menyampaikan pidatonya masing-masing. Namun, pidato itu rupanya tak memuaskan hati Tan Malaka.
"Pidato itu tak berapa bedanya dengan berlusin-lusin yang diucapkannya di rapat raksasa dan radio... Sari isinya ialah cocok dengan kehendak Jepang penjajah: 'Kita mesti berbakti dulu kepada Jepang, saudara tua, yang sekarang berperang mati-matian menantang Sekutu yang jahanam itu. Setelah Sekutu kalah maka kita oleh 'saudara tua' akan diberi kemerdekaan..." kata Tan Malaka.
Usai keduanya berpidato, sang moderator Sukarjo Wiryopranoto, lantas membuka sesi tanya jawab. Peserta pertemuan diberi kesempatan untuk bertanya kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, pertanyaan dari beberapa peserta malah tak mendapat jawaban serius. Bahkan sang moderator sempat beberapa kali mengejek pertanyaan yang dilontarkan oleh para pekerja.
Tak terima atas hal itu, Tan Malaka yang saat itu tengah membawa makanan tiba-tiba langsung meletakkan nampan wadah untuk makanan. Dari posisi paling belakang peserta, Tan langsung mengajukan pertanyaan kepada Bung Karno.
"Kalau saya tiada salah bahwa kemenangan terakhir akan menjamin kemerdekaan Indonesia. Artinya itu kemenangan terakhir dahulu dan di belakangnya baru kemerdekaan Indonesia? Apakah tiada lebih cepat bahwa kemerdekaan Indonesia-lah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir," tanya Tan yang saat itu dikenal sebagai Ilyas Hussein.
Dengan sikap yang tak begitu mempedulikan, Bung Karno lantas berdiri dan memberi jawaban. Saat itu Bung Karno menjawab jika Indonesia diberikan kemerdekaan saat itu juga oleh Jepang, nantinya Indonesia akan terpaksa juga memperjuangkan kemerdekaan itu.
"Buktikanlah jasa kita lebih dahulu! Berhubung dengan banyaknya jasa kita itulah kelak Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada kita," demikian jawaban Bung Karno.
Merasa tak sehaluan dengan pemikiran Bung Karno soal kemerdekaan, Tan Malaka lantas kembali berbicara. Tan sadar perlunya perjuangan meski misalnya saat itu juga Indonesia telah merdeka. Namun, perjuangan kemerdekaan akan lebih semangat dilakukan jika bukan didasarkan atas janji pemberian pihak lain, melainkan atas usaha sendiri.
Menurut Tan Malaka, semangat untuk membela naik dengan adanya hak nyata yang sudah ada di tangan. Dengan ditetapkannya hari kemerdekaan Indonesia maka rakyat Indonesia akan berjuang mati-matian untuk membela dan mempertahankannya.
Usai Tan berhenti bicara, Bung Karno langsung berdiri sambil merapikan pakaian dan melihat kanan kiri. Seakan ingin menunjukkan siapa dirinya, Bung Karno lantas dengan lantang memberikan sebuah pernyataan yang intinya tetap pada pendiriannya.
"Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya (Soekarno) tiada akan terima," kata Bung Karno.
Tak puas dengan jawaban Bung Karno, Tan Malaka pun hendak kembali melontarkan pendapatnya. Namun keinginannya itu tak bisa terlaksana. Seorang pengawas pekerja melarangnya untuk kembali berbicara.
"Saya terpaksa tidak mengizinkan lagi tuan Hussein (Tan Malaka) untuk berbicara," kata pengawas itu.
Perbedaan pemikiran antara Tan Malaka dengan Bung Karno itu kemudian berlanjut hingga setelah proklamasi kemerdekaan. Namun saat itu Tan Malaka sudah membuka identitasnya. Bung Karno kukuh dengan pendiriannya untuk melakukan perundingan dengan Belanda, sementara Tan Malaka tak setuju. Tan memiliki prinsip kemerdekaan harus diraih 100 persen.
Perundingan hanya bisa dilakukan jika Belanda dan sekutunya mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen dan menarik pasukannya dari wilayah Indonesia. Jika hal itu tak terjadi, kemerdekaan dapat diraih dengan cara perang dengan strategi gerilya.
Kisah Tan Malaka ditangkap atas restu Rp 100 ribu dari Soekarno
Tan Malaka ditangkap pada pertengahan Maret 1946 usai menghadiri Kongres Persatuan Perjuangan (PP) ke-4 di Madiun. Saat itu seorang pemuda dari kelompok Prapatan yang juga seorang wartawan yakni Aboe Bakar Loebis mengungkapkan kegundahannya atas kondisi politik saat itu ke Perdana Menteri Sjahrir.
Pemuda yang kagum kepada Sjahrir itu berpandangan haluan perjuangan Tan Malaka yang tak mengenal kompromi dan heroik amat menyentuh rasa patriotisme. Namun, tidak rasional dan realistis. Sementara, Sjahrir mengaku sangat sukar berhadapan dengan agitasi di dalam negeri yang sangat hebat.
Atas curhat Sjahrir itu, Aboe Bakar Loebis menilai, Tan Malaka harus disingkirkan atau ditahan. Setelah berbicara dengan kerabatnya di Yogyakarta, Soebadio, keduanya lantas menemui Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjarifuddin di tempat terpisah. Dua menteri itu lantas mengambil keputusan agar Tan Malaka dan para pemimpin PP segera ditangkap.
Saat itu Amir dan Soedarsono memberikan Aboe Bakar Loebis dan Soebadio surat perintah tertulis penangkapan Tan Malaka dkk. Keduanya ditugasi untuk melakukan penangkapan.
Rencana penangkapan terhadap Tan juga diketahui dan disetujui oleh Presiden Soekarno . Soekarno yang saat itu berada di Yogyakarta telah diberitahu soal rencana itu.
"Dari Soekarno , Loebis dan Slamet diberi uang RP 100.000 untuk biaya berlindung, dan sekretaris Soekarno meminjamkan mobilnya," demikian ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I' Karya Harry A Poeze.
Keduanya lantas berangkat menuju Madiun. Dengan bermodal surat perintah dari dua menteri, mereka meminta bantuan polisi dan TRI setempat untuk menangkap Tan Malaka dan para pengikutnya. Namun, permintaan itu ditolak. Keduanya lantas meminta bantuan kepada Ormas Pesindo. Loebis meminta Pesindo menutup akses keluar kota agar Tan Malaka dan pengikutnya di PP tak bisa keluar Madiun.
Bantuan dari Polisi Tentara (PT) Madiun juga diperolehnya. Saat itu Komandan PT Madiun, Mayor Soenadi adalah bekas teman Loebis di sekolah. PT juga menempatkan di akses transportasi massal seperti kereta. Alhasil, setelah Kongres PP berakhir, para pemimpinnya yang hendak pulang ke kota asal berhasil ditangkap antara lain; Moh Yamin, Abikoesno Tjokrosoedjoso. Tapi Tan Malaka dan Soekarni belum juga tertangkap.
Tan Malaka yang telah mendapat laporan penangkapan itu meminta para pemuda memeriksa jalan menuju Magetan yang tak dijaga. Tapi semuanya sia-sia. Pesindo dan PT ternyata telah menjaga semua akses jalan.
Dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid' Tan mengatakan sebenarnya bisa saja dirinya meloloskan diri meski Madiun telah dikepung Pesindo dan PT. Sebab, dalam pelarian di luar negeri, meloloskan diri dari kejaran musuh adalah hal yang biasa baginya. Namun, Tan memilih menghadapi secara kesatria. Sebab, saat itu ramai isu tak sedap mengenai dirinya. Tan disebut hanya bisa mengritik pemerintah dan akan lari jika ada masalah.
Singkat cerita, Tan Malaka akhirnya dipertemukan dengan Loebis di rumah penguasa daerah, Soesanto. Saat itu Tan dijanjikan akan dipertemukan dengan Bung Karno. Namun, hal itu dibantah oleh Loebis. Ia hanya menjamin keselamatan Tan Malaka tapi tak bisa menjamin mempertemukan dengan Soekarno .
Tan Malaka dan pengikutnya seperti Soekarni lantas dibawa menuju Yogyakarta seperti dijanjikan untuk bertemu Soekarno . Mereka berangkat dengan iring-iringan enam mobil yang dikawal ketat.
Namun, setibanya di Kadi Polo, Solo rombongan hanya tinggal dua mobil saja. Sisanya ada yang mengalami kerusakan dan pecah ban. Tan Malaka dkk lantas dipersilakan masuk ke sebuah rumah yang banyak berisi senjata api di dalamnya. Soekarni lantas diminta masuk ke dalam sebuah kamar. Setelah itu kamar langsung dikunci dari luar.
"Saya memprotes kepada kepala pengantar PT Madiun dan memperingatkan perlakuan ini adalah melanggar perjanjian kami di Madiun. Dengan suara terharu kepala pengantar PT Madiun menjawab bahwa dia hanya melakukan perintah saja dari PT Solo," kata Tan Malaka .
Tan lantas meminta dihubungkan dengan PT Solo. Permintaan itu dijanjikan akan dipenuhi. Tan lantas diminta menunggu di dalam kamar. Setelah Tan masuk ke dalam, kamar itu juga ikut dikunci dari luar.
Di sebelah kamarnya ternyata telah dikurung lebih dulu Moh Yamin dan di sebelah kamar Yamin ada Abikusno. Tan Malaka dan pengikutnya kemudian beberapa kali dipindahkan penahanannya ke sejumlah tempat. Tan baru dibebaskan pada September 1948.
======
Misteri kematian Tan Malaka, antara Petok atau Selopanggung
Dalam buku Soerachmad prajurit pejuang, Tan Malaka adalah orang yang cerdik dengan julukan 'Trotskyist'. Buktinya Mayor Sabaruddin ditugaskan untuk mengawal Tan Malaka oleh Kolonel Soengkono dapat dipengaruhinya, salah satunya memberikan kebebasan pada Tan Malaka untuk menyampaikan pengumuman di radio bahwa Presiden Republik Indonesia adalah Tan Malaka pasca-Soekarno Hatta ditangkap Belanda.
Peristiwa itu terjadi bersamaan agresi militer ke-2 Belanda memasuki wilayah Kota Kediri. Peristiwa itu terjadi ketika Tan Malaka bersama pasukan Sabaroedin berada di wilayah Gringging Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri. Di dekat daerah itu pula markas Divisi I/ Gubernur militer Jawa Timur di bawah panglima Devisi. Kolonel Soengkono dengan kompi 'deckingnya', Kompi Macan Kerah dengan Komandan Kapten Sampoerno.
"Sebelum ditangkap atas perintah Kolonel Soengkono, Tan Malaka pernah menginap di rumah bapak saya ketika itu bapak saya adalah kepala desa di daerah Gringging," kata (alm) dr Karman dokter yang praktik di Jl Hayam Wuruk Kota Kediri pada merdeka.com tahun 2011 lalu.
Selain mengumumkan bahwa dirinya adalah Presiden RI, Tan Malaka juga mengangkat Sabaroedin sebagai panglima besar. Sebelumnya Tan Malaka pernah menawari Mayor Jonosewojo, namun ditolak.
Pidato Tan Malaka yang menyatakan bahwa dirinya adalah Presiden RI membuat Letkol Soerachmad marah besar dan memangil Letnan I Seokadji Hendrotomo yang pada waktu itu adalah komandan kompi 'decking' Komando Brigade S/KMD Kediri untuk menangkap Tan Malaka dan Sabaroedin.
Dengan secepat kilat kompi Soekadji Hendrotomo berhasil menangkap Tan Malaka dan Kompi Macan Kerah berhasil menangkap Sabroedin. Saat penangkapan itu pasukan Belanda menggempur wilayah Kediri dan Markas Devis I yang dipimpin Kolonel Soengkono. Tan Malaka berhasil ditangkap dibawa ke jurusan selatan di daerah Mojo oleh Kompi Soekadji Hendrotomo tepatnya di daerah Petok.
Tan Malaka dieksekusi bersama para pengawalnya Kapten Dimin, Ali dan Teguh di daerah Petok Mojo. Keterangan Soerachmad dalam bukunya berbalik 90 derajat dengan penelusuran yang dilakukan merdeka.com dengan peneliti sejarah Tan Malaka, Harry A Poeze sejak 2007 lalu.
Harry A Poeze yang yang juga mantan Kepala Penerbit KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) yang menjelaskan berdasarkan riset yang dilakukannya terkait kematian Tan Malaka, menyebutkan Tan dibunuh di Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 oleh Brigade Sikatan atas perintah Letkol Soerachmad .
Rekontruksi awal penelusuran ini adalah ketika merdeka.com bertemu dengan Syamsuri (50) mantan Kepala Desa Selopanggung (1990-1998). Atas jasa Syamsuri itulah merdeka.com diajak bertemu dengan Tolu (87) (sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu banyak memberikan keterangan tentang tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.
"Kala itu saya masih berumur sekitar 10 tahun. Saya tinggal bersama kakek saya, Mbah Yasir namannya. Rumah kakek saya itulah yang ditempati pasukan TRI yang melarikan diri dari kejaran Belanda," katanya sambil menikmati rokoknya. Ditambahkan Tolu, dari para anggota TRI tersebut dia masih ingat nama-nama pentolannya.
"Mereka adalah priyayi yang berpakaian bagus, berpendidikan, membawa senjata, membawa buku dan juga mesin ketik. Mereka antara lain Letkol Soerachmad, Letnan Dua Soekotjo, Soengkono, Sakur, Djojo dan Dayat. Merekalah para komandan yang membawahi kurang lebih 50 pasukan yang saat itu berjuang melawan Belanda," imbuhnya.
Saat Tolu menyebut nama Soekotjo, Soerachmad,dan juga Soengkono, penulis pun teringat akan nama itu yakni sama persis dengan riset Harry A Poeze yang menyatakan Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949 oleh Brigade S atas perintah Letkol Soerachmad. Eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda kedua itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat.
Penangkapan hingga penembakan mati Tan Malaka oleh Briagade S atas perintah petinggi militer di Jawa Timur menilai seruan Tan Malaka terkait penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas.
Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje Nganjuk dan akhirnya dieksekusi di Selopanggung Kediri. Tentang Tan Malaka sendiri, Tolu saksi sejarah yang masih hidup mengaku antara ingat dan tidak. Untuk mengembalikan memori ingatannya, penulis mencoba mencoba membukakan gambar wajah Tan Malaka. Dari situlah kemudian dia kembali teringat.
"Orang ini adalah orang yang menjadi tawanan TRI, dia diamankan khusus. Waktu itu yang menjaga adalah di bawah pengawasan Pak Dayat langsung. Entah bagaimana ceritanya ketika itu setelah ditawan saya mengetahui dia meninggal yakni tepatnya sebelum akhirnya pasukan TRI meninggalkan desa kami sekitar awal tahun 1949," jelasnya.
Soal di mana lokasi tawanan itu meninggal dunia dan kemudian dikuburkan, Tolu terdiam. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia keluar rumah dan menunjukkan pohon petai di depan bekas rumah kakeknya Yasir yang kini sudah rata dengan tanah.
"Di sanalah Tan Malaka hilang, itu yang hanya saya tahu, ini juga saya katakan pada orang Belanda Harry A Poeze yang datang menemui saya tiga belas tahun lalu. Kemudian oleh Harry tempat tersebut disuruh menandai dengan tulisan 'Di sinilah tempat hilangnya Datuk Ibrahim/Tan Malaka," katanya.
"Setelah Pak Dayat menyembunyikan tawanannya yang akhirnya tewas, yang saya duga adalah Sutan Ibrahim. Kemudian pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung setelah setahun bersembunyi. Sebelum meninggalkan desa kami pasukan membakar berkas yang dibawa. Seingat saya ada ratusan buku yang dibakar saat itu. Bahkan sangking banyaknya buku itu tidak habis terbakar selama satu minggu," kata Tolu.
Lalu kemana tawanan Dayat yang kemudian mati itu dikubur setalah pasukan TRI meninggalkan desa? "Saya tidak tahu itu sebab saat itu kami orang desa hanyalah orang suruhan dan hanya bisa membantu yang bisa kami Bantu. Misal mengantarkan surat, membuat makanan dan menjaga kerahasiaan keberadaan para anggota TRI ini dari musuh," tambahnya.
Menurut Tolu tawanan yang tewas terbunuh itu tentunya tidak akan dikubur jauh dari desanya. Kemudian dia teringat akan kuburan Mbah Selopanggung orang yang dipercaya kali pertama membabat hutan dan menghuni Desa Selopanggung dan memberikan nama Selopanggung yang berada di dekat batu besar yang tepat berada di belakang rumahnya.
"Kira-kira 50 meter dari lokasi batu besar yang oleh warga setempat diyakini sebagai tempat wingit atau angker ada makam Mbah Selopanggung. Ada dua pohon kamboja tua satu diyakini warga merupakan nisan makam Mbah Selopanggung. Dan ada satu lagi yang usianya dibawah pohon kamboja yang ada di makam Mbah Selopanggung, mungkin itulah makamnya," ungkapnya.
Karena usianya yang lanjut dan kesulitan jalan, akhirnya Tolu meminta tolong kepada Syamsuri mantan Kepala Desa Selopanggung dan Solikin tokoh pemuda setempat untuk mengantarkan penulis ke makam yang dimaksud. Setelah melakukan perjalanan melalui jalan batu terjal yang turun naik di kaki Gunung Wilis kurang lebih 500 meter, penulis sendiri pernah mendampingi Poeze bersama dua keluarga Tan Malaka yakni Zulfikar Kamarudin dan HM Ibarsyah Ishak, SH yang juga Government Relation Pusat Tamadun Melayu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
"Meskipun agak berbau mistis ada dugaan kuat sebelum dikuburkan ke pemakaman yang berada di Ledokan berdekatan dengan makam Mbah Selopanggung yang membuka desa ini, Tan Malaka dikuburkan di lokasi ini,dugaan kami ini kuat, sebab ini juga dalam rangka untuk menghilangkan jejak oleh Pasukan Brigade S," ujar Poeze.
Lokasi yang dimaksudkan Poeze tersebut tepat ditimur lokasi dimana berkas-berkas yang dibawa pasukan Brigade S dibakar selama satu minggu tidak habis sebelum akhirnya pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung.
Disinggung tentang lokasi Tan Malaka yang tewas dan dibunuh di pinggir Sungai Brantas Desa Petok Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri Poeze mambantah keras. "Yang tewas dan dimakamkan di sana itu bukan Tan Malaka tetapi anak buahnya yang berjumlah tiga orang. Dugaan kuat kami Tan Malaka berada di Desa Selopanggung," katanya.
======
©2014 merdeka.com/imam mubarok
Lokasi makam Tan Malaka di pemakaman umum Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Lokasi makam Tan Malaka di pemakaman umum Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
==========================================
Tan Malaka: Tentara Jepang keji, perkosa & siksa orang Singapura
Tan Malaka merupakan pahlawan nasional yang kenyang akan pengalaman perjuangan. Salah satu pengalaman terbesarnya adalah saat ia menjadi orang buangan di luar negeri.
Untuk menghindari kejaran dan penangkapan polisi rahasia negara imperialis, Tan Malaka harus berpindah-pindah dari negara yang satu ke negara yang lain. Salah satu tempat yang pernah didatanginya adalah Singapura.
Di negeri yang terkenal akan patung singa putihnya itu Tan Malaka menjadi saksi sejarah kejamnya tentara Jepang kepada penduduk saat menguasai Singapura pada 1942. Tan Malaka yang saat itu bekerja sebagai guru bahasa Inggris dan ilmu pengetahuan di salah satu sekolah menyaksikan tentara Jepang menyiksa bahkan memperkosa kaum tersebut.
Kabar menyerahnya Inggris kepada Jepang di Singapura hanya kesenangan sesaat. Sejak dikuasai negeri matahari terbit itu, kekejaman lebih parah malah terjadi. Menurut Tan, waktu dikuasai Jepang, banyak orang tidak bersalah disiksa di mana-mana.
"Orang ditampari, kalau tiada jongkok melalui Hei-tai-san (prajurit Jepang), ditampari kalau tak mau memanjatkan buah kelapa," kata Tan dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara'.
Sementara, kaum wanita diperkosa oleh para tentara Jepang yang terkenal gila seks. Bahkan, tak segan para tentara kejam itu juga merampas harta penduduk.
"Buat Hei-tai-san yang ingin perempuan orang diperkosa orang dipaksa memukul ini atau itu. Sepeda, arloji, pulpen dan barang-barang emas orang dirampas dan lain-lain, sebagai tak putus-putusnya berhari-hari," jelasnya.
Kurang dari seminggu berkuasa, daerah tempat tinggal Tan mendapat suatu perintah tidak masuk akal. Semua masyarakat disuruh keluar dari kediamannya dan berkumpul di tanah lapang. Rumah mereka pun tidak ada yang boleh dikunci bahkan lemarinya pun juga demikian.
Menurut Tan, ketika berjalan menuju lapangan, para penduduk dipaksa melalui jalan yang sudah ditentukan para Hei-tai-san. Bila ada yang coba melanggar, mereka tak segan menembak dan memenggalnya.
Kurang lebih 50 ribu orang berkumpul di tempat yang sudah ditentukan. Tempat itu tiap penjuru dijaga ketat oleh tentara Inggris dan kempai Jepang. Tan melihat salah seorang I.S Inggris, yang dicurigai mantan komunis yang pernah diasingkan dan ditahan.
Tan yang kala itu bersama murid-muridnya, berhasil selamat dari pemeriksaan pintu masuk. Namun, beberapa orang lain ada yang tertahan hingga tak kembali.
"Ada di antara kenalan saja, sebagai guru dan wartawan revolusioner, yang termasuk golongan yang ditahan di lain lapangan, tak pulang lagi untuk selama-lamanya. Mereka dipekerjakan memperbaiki atau menambah benteng dengan tidak diizinkan berhenti atau sediki diberi makan. Banyak pula yang dijemur ayau disiksa sampai mati," ungkapnya.
Sedangkan, kata Tan, bagi mereka yang lolos pemeriksaan, dijemur di bawah teriknya matahari juga guyuran hujan selama 4 hari 4 malam. Tidak ada yang diizinkan sekadar untuk minum ataupun makan. Akibatnya, banyak pula dari mereka yang akhirnya tewas kelaparan, kehausan dan ketakutan.
Tan mendapat kabar burung, bahwa rencana awal para tentara Jepang ialah memusnahkan 60 ribu orang Tionghoa dengan mitraliur. Namun, rupanya hal itu batal lantaran masih ada petinggi militer Jepang 'anak dewa' yang masih punya hati kemanusiaan dan mencegah aksi biadab itu.
Namun, aksi biadab itu rupanya sudah terjadi. Di daerah Saremban, rupanya sudah 2.000 pemuda-pemudi Tionghoa dimetraliur hingga habis.
====================================
Tan Malaka: Dari dalam kubur suara saya akan lebih keras
"Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi."Pernyataan itu diucapkan Tan Malaka kepada polisi rahasia Belanda, Viesbeen, saat diinterview di kantor polisi Hong Kong pada Desember 1932. Saat itu Tan Malaka tengah dalam penahanan polisi Hong Kong setelah tertangkap di Koowlon oleh dua orang polisi rahasia Inggris.
Namun pernyataan Tan Malaka itu justru menjadi bahan tertawaan Viesbeen. Jika ditelisik, pernyataan Tan Malaka itu ada benarnya.
Meski Tan telah wafat ditembak pasukan Letda Sukotjo pada 1949, pemikiran dan sejarah Tan Malaka hingga kini tetap hidup. Meski di era Orde Baru nama Tan Malaka seperti disingkirkan dari sejarah, pasca-reformasi, Tan Malaka kembali 'hidup' melalui pemikiran-pemikirannya.
Pemikiran-pemikiran Tan Malaka yang dibukukan ramai dijual di toko-toko buku. Para aktivis sejak dulu bahkan menjadikan pemikiran Tan Malaka sebagai sumber wajib yang harus diulas dan dipelajari.
Namun demikian, bukan berarti semua pihak menyukai Tan Malaka . Semasa hidupnya (1894-1949), pahlawan nasional itu kerap tak disukai. Tak hanya oleh negara imperialis, oleh bangsanya sendiri pun Tan Malaka kerap dimusuhi.
Sikap anti-komprominya kepada penjajah soal cita-cita kemerdekaan Indonesia secara 100 persen membuat Soekarno dkk tak sehaluan dengannya. Tan menolak dialog dengan penjajah jika kemerdekaan Indonesia belum diakui 100 persen, sementara Soekarno lebih memilih jalan dialog dan negosiasi dengan penjajah.
Kini, setelah puluhan tahun tiada, Tan Malaka tetap ada yang tidak menyukai. Paham komunis yang dianut menjadi alasan Tan Malaka ditolak. Maklum saja, komunis di Indonesia langsung diidentikan dengan PKI yang dituding memberontak dan membunuh para jenderal TNI AD pada 1965. Komunis di Indonesia juga kerap diidentikan sebagai atheis.
Jika dilihat dari fakta sejarah, Tan Malaka pernah menjadi ketua PKI pada 1921. Namun perbedaan haluan dan pemikiran justru membuat Tan Malaka justru pecah kongsi dan dimusuhi oleh para tokoh PKI lainnya. Musso bahkan pernah bersumpah untuk menggantung Tan Malaka . Tan Malaka lantas mendirikan Partai Rakyat Indonesia (Pari) pada 1927 di Bangkok dan pada 1948 mendirikan Partai Murba.
Beberapa waktu lalu, acara bedah buku dan diskusi Tan Malaka di sejumlah kota mendapat penolakan. Di Surabaya, penolakan dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), sementara di Semarang ditolak Ormas Pemuda Pancasila (PP).
Di Semarang diskusi masih bisa berlangsung meski tempat penyelenggaraan yang awalnya direncanakan di luar kampus, harus dipindahkan ke Universitas Diponegoro pada Senin (17/2). Sementara, di Surabaya, diskusi batal digelar. Sebabnya, massa FPI menduduki depan lokasi yang akan dijadikan tempat diskusi yakni, C20 Library, Jalan Dr Cipto, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (7/2).
Meski Tan Malaka adalah pahlawan nasional, FPI tak peduli. Menurut FPI, gelar pahlawan bagi Tan Malaka adalah versi dari PKI. Padahal, gelar pahlawan nasional diberikan langsung oleh Presiden Soekarno pada 1963.
"Itu kan versinya PKI. Tan Malaka itu kan pahlawannya orang-orang PKI, Tan Malaka itu kan tokoh Marxis," kata Ketua Bagian Nahi Mungkar FPI Jawa Timur KH Dhofir di depan Gedung C20 Library.
Sikap FPI amat kontras dengan kelompok Islam di tahun 1946. Saat itu, Laskar Hisbullah dan Masyumi ramai-ramai pasang badan untuk Tan Malaka .
Seperti ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I' Karya Harry A Poeze, saat itu, kondisi kota Madiun begitu mencekam. Pesindo yang berada di bawah Amir Sjarifuddin dengan senjata lengkap menjaga akses keluar kota Madiun. Hal yang sama juga dilakukan Polisi Tentara (PT). Khawatir akan keselamatan Tan Malaka , salah seorang tokoh Masyumi, Wali Al-Fatah lantas mendatangi penguasa daerah alias Residen Madiun, Susanto Tirtoprojo.
Wali Al-Fatah mengadukan kondisi tersebut. Ia berjanji akan membawa Tan Malaka kepada Susanto jika keselamatan Tan dijamin.
Wali Al-Fatah lantas bertemu dengan Aboe Bakar Loebis dan Soebadio, orang yang mendapat mandat dari Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjarifuddin untuk menangkap Tan Malaka dan pengikutnya. Wali Al-Fatah lantas menanyakan alasan rencana penangkapan Tan Malaka .
Namun, tak ada jawaban jelas dari Loebis. Ia juga menanyakan apakah Tan Malaka akan dipertemukan dengan Soekarno, tapi Loebis mengaku tak menerima perintah itu. Wali Al-Fatah lantas menemui Tan Malaka dan menceritakan perjanjiannya dengan Residen Madiun, Susanto Tirtoprojo, yakni akan mempertemukan Tan Malaka dengan Soekarno untuk berunding.
"Di rumahnya Tn Susanto Tirtoprojo yang masa itu menjabat pangkat Residen di Madiun dan tadi paginya memperkenalkan diri sendiri kepada saya di alun-alun, maka wakil PT berkata kepada saya; tuan akan diantarkan ke Jogja dengan wujud hendak berunding dengan Presiden," kata Tan Malaka dalam biografi 'Dari Penjara ke Penjara.'
Wali Al-Fatah mengajukan kepada Soekarno agar keselamatan Tan Malaka dijamin. Namun, setibanya di Solo, Tan Malaka dan pengikutnya justru ditahan di sebuah rumah. Mereka tak dibawa untuk berunding dengan Soekarno. Oleh PT Solo mereka ditahan sesuai surat perintah penahanan dari Mendagri Soedarsono dan Menhan Amir Sjariefuddin. Sejumlah pemimpin Masyumi protes atas penahanan Tan Malaka dan pengikutnya.
Mohammad Saleh pimpinan Masyumi dan Laskar Rakyat Yogya, H Mukti dan Dr Sukiman, atas nama Masyumi beberapa kali mengunjungi Soekarno untuk menanyakan soal penahanan Tan Malaka . Mereka juga meminta Soekarno membebaskan Tan Malaka dan pengikutnya.
"Tapi teranglah sudah bahwa mereka tidak mendapatkan hasil dan jawaban yang memuaskan," kata Tan Malaka .
===================================================
Warga Selopanggung minta pemerintah bangun monumen Tan Malaka
Warga Kediri mendesak Pemkab Kediri dan Kementerian Sosial serius mengenai makam pahlawan nasional Tan Malaka . Sebab, berdasarkan keterangan sejumlah saksi dan hasil penelitian sejarawan Belanda, Harry A Poeze, sudah dapat dipastikan makam Tan Malaka berada di Desa Selopanggung, Kediri."Penelitian sudah jelas, siapa, kapan, di mana yang dilakukan oleh para peneliti. Pemeriksaan DNA oleh tim forensik juga sudah. Warga di sini ingin kepastian dari pemerintah," kata Zairi (50) mantan Kepala Desa Selopanggung, Jumat (21/2).
Zairi selama ini ikut serta membantu penelusuran tentang makam Tan Malaka . Zairi berharap pemerintah segera membangun monumen Tan Malaka di desanya.
Sebab, Tan Malaka merupakan pahlawan nasional. Gelar itu diberikan Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963.
"Siapapun beliau (golongan kiri atau bukan) adalah pahlawan nasional. Oleh karena itu kita masih ingat semboyan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya," tegas Zairi.
Tan Malaka ditangkap Letda Sukotjo dan anak buah di Desa Selopanggung. Saat penangkapan terjadi, para pengawal kabur meninggalkan Tan Malaka yang saat itu kakinya tengah terluka dan kesulitan untuk berjalan. Sukotjo lantas memerintahkan anak buahnya, Suradi Tekebek untuk menembak mati Tan Malaka pada 21 Februari 1949.
===================================================
Tabib China lebih sakti obati Tan Malaka ketimbang dokter barat
Tan Malaka ditangkap polisi rahasia Inggris di Hong Kong pada 1932. Setelah berbulan-bulan Tan Malaka ditahan di penjara, polisi rahasia Inggris memutuskan membuangnya ke Shanghai.
Namun dalam perjalanan, Tan Malaka berhasil mengecoh polisi atau lebih tepatnya intel Inggris yang mengawasinya dan turun di pelabuhan Amoy. Tan sadar Inggris tak sebaik yang dikesankan.
Meski Inggris menolak menyerahkan Tan ke polisi Belanda saat di Hong Kong, bukan berarti hal itu didasarkan atas kebaikan negeri 'Richard the Lion Heart' itu. Undang-undang Inggris memang menyatakan akan melindungi politikus yang diburu jika berada di wilayah kekuasaannya.
Namun, Belanda adalah sahabat Inggris. Tan sadar dia akan kembali ditangkap jika sampai di Shanghai. Tan lantas melanjutkan perjalanannya di darat. Namun, penyakit yang sudah lama dideritanya kembali kambuh.
"Penyakit itu memangnya tiada keras, tiada pernah memaksa saya berbaring lebih dari satu hari. Tetapi cukup keras untuk mematahkan nafsu makan, apalagi nafsu membaca. Sedikit saja saya salah makan (banyak makan daging), maka pencernaan dan tidur terganggu. Akibatnya ialah pusing kepala dan sakit perut. Mudah sekali kemasukan angin. Demikianlah kelemahan badan itu terus menerus antara tahun 1925 dengan tahun 1935," kata Tan Malaka dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid II.'
Terapis dan suntikan yang diberikan oleh sejumlah dokter didikan Barat tak juga menyembuhkan penyakitnya. Padahal para dokter telah bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan modern dan ilmu bukti. Penyakit Tan justru berhasil disembuhkan oleh seorang tabib atau sensei Tionghoa.
"Kesehatan itu dikembalikan oleh seorang sensei yang tinggal lebih dari satu jam perjalanan dari Lwe melalui Desa So-Lao dan akhirnya mendaki dan menuruni sebuah bukit. Lupa saya nama desa itu, mungkin juga Chia-be. Saya sebutkan saja Chia-be," kata Tan.
Tan mengaku kerap mendengar kisah kemanjuran jamu dari tabib itu. Tan hanya ingat tabib itu nama keturunannya Se. Para pasien biasanya memanggil sang tabib dengan panggilan Sensei Choa dari Chia-be.
Saat itu Tan ingin sekali berobat ke Sensei Choa. Setelah melengkapi diri dengan pistol maka berangkatlah Tan ke Desa Chia-be dengan diantarkan oleh Tien-Jin, sahabat yang dikenalnya di perjalanan.
Setibanya di rumah Sensei Choa, Tan tak langsung ditanya soal penyakitnya. Hal itu bukanlah kebiasaan Sensei Choa ketika ada pasien yang datang ke rumahnya. Tan kemudian dijamu di ruang tamu dengan disuguhi teh panas. Mereka lantas berbincang-bincang atas peristiwa yang menarik perhatian kala itu.
Sang Sensei dengan gembira menceritakan soal sejarah hidupnya dalam mengobati pasien. Namun demikian, layaknya tabib China lainnya, Sensei Choa tetap menjaga rahasia ramuan obat-obatan dan ilmu kesehatan yang diperolehnya dari turun temurun itu.
"Tak boleh rahasia itu dibuka kepada yang bukan turunannya. Demikianlah kedukunan Tionghoa itu (kepintaran khususnya) tidak menjadi kepunyaan nasional, melainkan tinggal dimonopoli oleh tiap-tiap keluarga saja," kata Tan.
Sensei Choa tak perlu mempromosikan dirinya. Sebab tanpa itu pun namanya sudah terkenal padahal Sensei Choa tinggal di desa kecil. Banyak orang dari berbagai desa datang ke rumahnya untuk berobat.
Usai berbincang, Tan lantas diajak Sensei Choa ke ruang periksa. Ruangan itu dipenuhi oleh berbagai macam obat yang berasal dari ramuan tumbuh-tumbuhan herbal. Di kamar itu Tan diperiksa meski saat berbincang tadi Sensei secara tak disadari Tan telah memeriksanya.
Sensei pun bekerja. Nadi tangan, pelupuk mata, warna kuku dan warna lidah Tan tak lupa diperiksanya. Ia kemudian menuliskan diagnosanya itu ke sebuah kertas sambil menulis resep obat yang cocok.
"Sensei Choa mengatakan bahwa badan saya amat panas, singku chin diat. Istilah ini acapkali benar dipakai oleh dukun Tionghoa. Yang dimaksudkan badan panas ialah darah yang terlalu panas. Menurut kedukunan Tionghoa maka darah panas itu menyebabkan kuranya nafsu makan, kurang kuatnya pencernaan dan kurang nyenyaknya tidur. Sensei Tionghoa dalam hal ini berusaha mendinginkan darah itu," kata Tan.
Untuk mendinginkan darah, Tan diminta memakan bebek yang dimasak dengan obat. Tiap satu minggu Tan harus memakan satu bebek selama enam minggu. Kemudian memakan penyu yang hidup di dekat sawah.
Tan menuruti nasihat Sensei Choa. Tan memakan semua makanan dan obat yang diresepkan. Selang berapa lama, Tan merasakan perubahan pada badannya. Tan merasa lebih sehat dari sebelumnya. Kesehatannya tak lagi terganggu jika ia makan banyak daging. Tidurnya nyenyak, pusing, sakit perut dan mudah masuk angin tak lagi dialaminya.
Tan sangat menghargai jasa sang Sensei. Meski dunia pengobatan Tionghoa tak lepas dari banyak dongeng, Tan akhirnya mempercayai kehebatannya.
=============================================================
Cerita Tan Malaka mendebat Bung Karno soal kemerdekaan
Tan Malaka menginjakkan kakinya kembali di tanah air setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Meski sudah berada di tanah air, Tan tetap menggunakan nama samaran guna menghindari intel Jepang dan negara imperialis.
Salah satu tempat yang sempat ditinggali Tan Malaka saat awal-awal kedatangannya kembali ke tanah air adalah Bayah, Banten. Tan tiba di kota itu Juni 1943. Saat itu Tan harus bekerja karena uang di kantongnya telah menipis.
Sementara untuk meminta bantuan kepada kaum pergerakan kemerdekaan saat itu Tan belum berani. Sebab, begitu lamanya dia berada di luar negeri sebagai orang buangan membuatnya 'buta' pada peta perpolitikan dan pergerakan di tanah air. Tan tak tahu yang mana teman dan mana lawan yang berkoloni dengan Jepang.
Di Bayah, Banten, Tan bekerja di bagian administrasi sebagai juru tulis para romusha. Di kemudian hari Tan diangkat menjadi kepala. Selain bekerja, Tan juga memberi berbagai pendidikan kepada para romusha di kota itu. Dalam hatinya, Tan sedih atas nasib yang menimpa saudara sebangsanya itu.
Karenanya romusha Bayah, Banten, menjadi salah satu kisah yang tak terlupakan bagi Tan. Bayah juga menjadi tempat pertemuan Tan Malaka dengan Soekarno untuk kali pertama. Namun saat itu Bung Karno tak mengetahui orang itu adalah Tan Malaka, tokoh yang pemikirannya banyak menjadi inspirasinya. Sebab, saat itu Tan menyamar dengan nama Ilyas Hussein.
Saat itu lokasi tempat kerja Tan Malaka mendapat kehormatan untuk dikunjungi oleh dua pemimpin besar yang saat itu namanya tengah bersinar dalam perjuangan rakyat Indonesia yakni Soekarno dan Moh Hatta. Berbagai persiapan pun dilakukan untuk menyambut keduanya.
Saat itu Tan mendapat tugas untuk menyambut Bung Karno dan Hatta di pintu gerbang dan mengantarkan ke ruang pertemuan. Tan juga ditugasi untuk membawakan makanan dan minuman kepada keduanya.
Dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara' Tan Malaka awalnya gembira bisa bertemu dengan Bung Karno dan Hatta. Sampai-sampai ia dipinjami temannya kemeja dan dasi karena pakaian yang dimilikinya penuh dengan tambalan dan dirasa kurang layak untuk digunakan bertemu dua tokoh itu.
Setelah sampai di ruang pertemuan, Bung Karno dan Bung Hatta lantas menyampaikan pidatonya masing-masing. Namun, pidato itu rupanya tak memuaskan hati Tan Malaka.
"Pidato itu tak berapa bedanya dengan berlusin-lusin yang diucapkannya di rapat raksasa dan radio... Sari isinya ialah cocok dengan kehendak Jepang penjajah: 'Kita mesti berbakti dulu kepada Jepang, saudara tua, yang sekarang berperang mati-matian menantang Sekutu yang jahanam itu. Setelah Sekutu kalah maka kita oleh 'saudara tua' akan diberi kemerdekaan..." kata Tan Malaka.
Usai keduanya berpidato, sang moderator Sukarjo Wiryopranoto, lantas membuka sesi tanya jawab. Peserta pertemuan diberi kesempatan untuk bertanya kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, pertanyaan dari beberapa peserta malah tak mendapat jawaban serius. Bahkan sang moderator sempat beberapa kali mengejek pertanyaan yang dilontarkan oleh para pekerja.
Tak terima atas hal itu, Tan Malaka yang saat itu tengah membawa makanan tiba-tiba langsung meletakkan nampan wadah untuk makanan. Dari posisi paling belakang peserta, Tan langsung mengajukan pertanyaan kepada Bung Karno.
"Kalau saya tiada salah bahwa kemenangan terakhir akan menjamin kemerdekaan Indonesia. Artinya itu kemenangan terakhir dahulu dan di belakangnya baru kemerdekaan Indonesia? Apakah tiada lebih cepat bahwa kemerdekaan Indonesia-lah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir," tanya Tan yang saat itu dikenal sebagai Ilyas Hussein.
Dengan sikap yang tak begitu mempedulikan, Bung Karno lantas berdiri dan memberi jawaban. Saat itu Bung Karno menjawab jika Indonesia diberikan kemerdekaan saat itu juga oleh Jepang, nantinya Indonesia akan terpaksa juga memperjuangkan kemerdekaan itu.
"Buktikanlah jasa kita lebih dahulu! Berhubung dengan banyaknya jasa kita itulah kelak Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada kita," demikian jawaban Bung Karno.
Merasa tak sehaluan dengan pemikiran Bung Karno soal kemerdekaan, Tan Malaka lantas kembali berbicara. Tan sadar perlunya perjuangan meski misalnya saat itu juga Indonesia telah merdeka. Namun, perjuangan kemerdekaan akan lebih semangat dilakukan jika bukan didasarkan atas janji pemberian pihak lain, melainkan atas usaha sendiri.
Menurut Tan Malaka, semangat untuk membela naik dengan adanya hak nyata yang sudah ada di tangan. Dengan ditetapkannya hari kemerdekaan Indonesia maka rakyat Indonesia akan berjuang mati-matian untuk membela dan mempertahankannya.
Usai Tan berhenti bicara, Bung Karno langsung berdiri sambil merapikan pakaian dan melihat kanan kiri. Seakan ingin menunjukkan siapa dirinya, Bung Karno lantas dengan lantang memberikan sebuah pernyataan yang intinya tetap pada pendiriannya.
"Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya (Soekarno) tiada akan terima," kata Bung Karno.
Tak puas dengan jawaban Bung Karno, Tan Malaka pun hendak kembali melontarkan pendapatnya. Namun keinginannya itu tak bisa terlaksana. Seorang pengawas pekerja melarangnya untuk kembali berbicara.
"Saya terpaksa tidak mengizinkan lagi tuan Hussein (Tan Malaka) untuk berbicara," kata pengawas itu.
Perbedaan pemikiran antara Tan Malaka dengan Bung Karno itu kemudian berlanjut hingga setelah proklamasi kemerdekaan. Namun saat itu Tan Malaka sudah membuka identitasnya. Bung Karno kukuh dengan pendiriannya untuk melakukan perundingan dengan Belanda, sementara Tan Malaka tak setuju. Tan memiliki prinsip kemerdekaan harus diraih 100 persen.
Perundingan hanya bisa dilakukan jika Belanda dan sekutunya mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen dan menarik pasukannya dari wilayah Indonesia. Jika hal itu tak terjadi, kemerdekaan dapat diraih dengan cara perang dengan strategi gerilya.
No comments
Post a Comment