KAJAO LALIDDONG
Kajao Laliddong lahir pada masa pemerintahan Wé Benrigau, Raja Bone ke IV dan diperkirakan meninggal di Kampung Laliddong pada masa pemerintahan La Inca, Raja Bone ke VIII. Dikenal sebagai seorang cendikiawan, negarawan, dan diplomat ulung yang buah pikirannya menjadi konsep pangadereng yang kemudian bermetamorposis menjadi pola dasar pemerintahan kerajaan di negeri-negeri Bugis dan Makassar pada umumnya, khususnya Kerajaan Bone. Pangadereng ini pula menjadi prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Kajao Laliddong yang semasa kecilnya bernama La Méllong adalah pabbicara –Penasihat, Pemimpin Masyarakat dan Duta Keliling Kerajaan Bone pada masa pemerintahan La Uliyo Bote’é dan Tenri Rawe Bongkangé. Kedua raja inilah yang banyak menggali buah pikirannya. La Méllong juga dianggap sebagai seorang negarawan yang mempunyai pemikiran jauh ke depan.
::Nama Laliddong::
Hingga kini, asal usul kata Laliddong belum berhasil diungkap oleh sejarawan tanah air. Dalam perbendaharaan bahasa Bugis, maupun rumpunnya, tidak ditemukan kata yang dapat mengarahkan kita kepada kata laliddong. Lontara yang menjadi bahan baku utama dalam mempelajari sejarah Bugis-Makassar, pula tak menunjukkan adanya kata laliddong selain nama La Méllong sendiri –Kajao Laliddong. Sejumlah sumber yang kompeten dalam bidang bahasa Bugis juga tidak tahu arti kata laliddong. Belum ada kesimpulan dari mana asal-usul, kapan digunakan,bagaimana proses pembentukan kata/istilah, dan siapa yang lebih dahulu menggunakan kata laliddong tersebut. Apakah nama laliddong itu lebih dahulu ada atau setelah Kajao Laliddong menetap di sana hingga akhir hayatnya. Begitupun, apakah Kajao Laliddong lahir di Desa Laliddong masih perlu diperdebatkan, sebagaimana akan kita lihat sejumlah masalah yang menyertainya nanti.
Dalam buku Asmat Riadi L., Kajao La Liddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, hal. 9-10 disebutkan bahwa, budayawan di Kabupaten Bone memperkirankan kata laliddong itu terbentuk dari dua kemungkinan. Kedua pendapat tersebut mengacu pada kemungkinan pergeseran ucapan/bunyi, seperti, konon, kata siengkang yang berarti “muncul secara bersamaan” yang selanjutnya menjadi Sengkang –Ibu Kota Kabupaten Wajo. Demikian pula kata sinjai, Kabupaten Sinjai, berasal dari Bahasa Makassar yang berarti “sama banyak”. Wallahu a’lam.
Pendapat pertama mengatakan, laliddong berasal dari kata laleng dongi yang pada aksara lontara ditulis la-le-do-ngi, yang berarti jalan yang biasa dilewati burung pipit. Analisa ini didasarkan pada kondisi alam kampung Laliddong yang dikelilingi oleh daerah persawahan yang pada musim padi sedang menguning. …. dst. Kampung kecil itu, menjadi satu-satunya tempat yang selalu dilewati apabila burung tersebut dikejar oleh penjaga sawah.
Pendapat kedua, berasal dari kata lellang dongi yang berarti berburu burung pipit. Penulisan dalam aksara lontara akan terbaca le-la-do-ngi. Karena pergeseran ucapan berubah menjadi lellung dongi.
Kedua pendapat di atas terasa sederhana untuk diterima. Sebab, pertama, kita tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai, kapan aksara lontara mulai dipakai dengan menggunakan tanda baca (vokal: i, u, é, o dan e). Hal ini penting untuk melihat perubahan penulisan laleng dongi atau lellang dongi menjadi lellung dongi yang kemudian berubah lagi menjadi laliddong. Sementara, dalam penulisan aksara lontara, pemakaian tanda baca akan sangat jelas mempengaruhi bunyi yang dihasilkan. Jadi kecil kemungkinan terjadinya pergeseran bunyi jika sejak awal aksara lontara sudah menggunakan tanda baca. Aksara arab pada awal perkembangannya juga tidak menggunakan harakat (tanda baca), namun pada masa Khalifah Umar bin Khattab tanda baca ini diperkenalkan sehingga pengucapannya dalam al-Quran tidak mengalami pergeseran sejak abad VII hingga sekarang. Bandingkan dengan sejarah Kerajaan Bone yang baru dimulai pada abad XIII.
Kemungkinan ketiga, yang lebih dapat diterima adalah bahwa kata laliddong berasal dari nama La Méllong sendiri –Kajao Laliddong. Tesisnya adalah Kerajaan Bone/Raja Bone memberikan hadiah kepada La Méllong berupa tanah atas jasa-jasanya yang letaknya disebelah selatan Saoraja (istana) untuk digarap oleh segenap keluarga dan handai taulannya.
::Masa Kecil::
Kajao Laliddong pada masa kecil bernama La Méllong. Lahir pada tahun 1507 di masa pemerintahan Raja Bone IV Wé Benrigau (1470-1510), dan wafat pada masa pemerinatahan Raja Bone VIII La Inca Matinroé ri Addénénna. Masa kecil hingga remajanya diperkirakan pada masa pemerintahan La Tenri Sukki Mappayungngé.
Semenjak kecil dalam diri La Méllong telah tampak adanya bakat-bakat istimewa untuk jadi ahli pikir yang cemerlang. Bakat istimewa itu kemudian tampak menjelang usia dewasa yang dilatarbelakangi oleh iklim yang bergolak, dimana pada masa itu Kerajaan Gowa telah menjadi sebuah kerajaan yang kuat di pesisir Pulau Sulawesi bagian selatan. Kerajaan-kerajaan merdeka satu demi satu ditaklukkan, baik secara damai maupun dengan senjata. Hanya Kerajaan Bone yang dapat mempertahankan diri ekspansi Kerajaan Gowa, akan tetapi seiring dengan waktu kerajaan Bone terkepung oleh kekuatan Kerajaan Gowa yang menyebabkan pemerintah dan rakyat Bone berada dalam situasi darurat.
Dalam keadaan demikian, pemerintah dan rakyat Bone terpanggil untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negerinya dan pada gilirannya dihimpun lah mereka dalam pusat-pusat latihan perlawanan dan salah satu tempat tersebut di sekitar istana raja sendiri dimana pemuda La Méllong menjalani gemblengan fisik dan mental.
Menurut catatan lontara, pada masa pemerintahan La Tenri Rawe Bongkangé, La Méllong to Suwallé alias Kajao Laliddong diangkat menjadi penasihat dan duta keliling Kerajaan Bone. Di sebutkan pula sebagai seorang ahli pikir, seorang negarawan dan diplomat ulung dari negara dan bangsanya.
Dalam perjanjian Caléppa (red. Ulu kanayya ri Caléppa) antara Gowa dan Bone (1565), Kajao Laliddong memainkan peranan penting. Juga dalam perjanjian persekutuan antara Bone, Wajo dan Soppéng yang lazim disebut Perjanjian LamumpatuE ri Timurung (1582) yang mempertemukan tiga raja, La Tenrirawe Bongkangé –Mangkau (Raja) Boné/Arungponé, La Mungkace Arung Wajo, La Mappaleppe –Datu Soppeng.
Ajaran-ajaran Kajao Laliddong termuat dalam berbagai lontara, diantaranya LATOA seperti yang dikutif di bawah ini:
Dalam dialog Kajao Laliddong dengan Arungponé; “aga tanranna namaraja tanaé” (apa tandanya apabila negara itu menanjak kejayaannya)?”
Berkata Kajao Laliddong; “dua tanranna namaraja tanaé Arungponé, seuwani malempu namacca Arung Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.” (Dua tanda negara menjadi jaya Arungpone, pertama raja yang memerintah memiliki sifat jujur lagi pintar, kedua tidak bercerai-berai/bersatu). “Naiya tulaé pattaungeng Arungpone, sewwani narekko matanré cinnai Arung Mangkaué, maduanna naterini warangparang tomabbicaé, matellunna nakko sisala-salani taué ilalengpanua, tanranna toparo narekko maeloni baiccu tanamarajaé.” (adapun yang menyebabkan , apabila raja yang memirintah memiliki selera/keinginan yang tinggi melebihi kemampuannya,kedua apabila pejabat pemerintah menerima sogok, dan ketiga apabila apabila terjadi perselisihan di dalam negeri, tanda itu pula lah negara besar menjadi kecil.
Bertanya Kajao Laliddong kepada Arungpone: “Aga sio Arungponé muaseng tettaroi rebba alebbiremmu, pattokkongpulanai alebbireng mubakurié, ajana tatterré-terré tau tebbe’mu, ajana pada wenno pangampo warangparang mubakurié”. Kemudian dijawab sendiri oleh Kajao Laliddong: “Iya inanna warangparangngé tettaroéngngi tatterré-terré tau tebbenna, temmatinropi matanna Arung mapparentaé riesso-riwenni nawa-nawai adécéngenna tanana, natangngai olona monrinna gaué napogauI, maduanna maccapi pinru ada Arung Mangkaué, matellunna maccapi duppai ada Arung Mangkaué, maeppana tekkallupa surona poada ada tongeng.” (“Apa yang Arungpone maksud tidak akan membiarkan jatuhnya kemuliaanmu, menjaga dan menegakkan kemuliaan yang Arungpone miliki, tidak membiarkan rakyat bercerai berai, harta benda yang kamu miliki tidak seperti berondong jagung berhamburan.”) Kemudian dijawab sendiri oleh Kajao Laliddong: (Adapun yang mengemban harta itu Arungpone, yang tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai, tidak terpejam siang-malam mata raja (pejabat pemerintah) memikirkan kebaikan negerinya, mengkaji sebab dan akibat (baik-buruk) sebelum bertindak, kedua raja harus pandai menyusun dan mengungkapkan kata-kata, ketiga raja harus pandai memberi jawaban, keempat utusan/yang mewakilinya tidak lalai untuk senantiasa berkata benar.”)
Berkata lagi Kajao Laliddong: “engka tu matu narioloi dua wettu, iyanaritu wettu manu sibawa wettu pennyu. Naiya tanranna wettu manué itai kedona manu mabbitte sikomuatu mabbittena luppe’ni sala seddinna menré ri coppo bolaé natingkoko tongeng, na dé manu bali tingkokona, luppe’niro ri tanaé. Makkalejja’na ajéna ri tanaé rilellunna ri manu naewaé mallotténg denre”. Menurut Kajao Laliddong: “iyyatu denre manu mattingkokoé ricoppobolaé iyatu manu cau. Makkuaniro gaunna tomaseng engngi alena ajjoareng.”
::Referensi::
Prof. Andi Zaenal Abidin, SH; Masalah Tradisi dengan Pembangunan Nasional (1970: 12-13) mengangkat dari Lontara Dialog Raja Bone La Uliyo Bote’E dengan La Mellong
Mattulada, Latowa (1975, 1986)
Abdul Rasak Dg Patunru, Sejarah Gowa, YKSST, Makassar 1967: Perjanjian Caleppa ini diangkat dalam Lontara No: 121: ha; 76. YKSST
B.F. Mattes, Boeginesche Christomatie (1872)
::Nara Sumber::
Andi Mappasissi Petta Awangpone, Alm, Kepala Museum Lapawawoi, Watampone
Andi Muhammad Ali, Pensiunan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bone
Mappasere, Pensiunan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bone
Andi Lisa Fakhri, Pensiunan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bone
H. Mamuddin, Ketua Kelompok Tani to Cimae, Desa Kajao Laliddong, Kabupaten Bone
No comments
Post a Comment