Ahlulbait adalah Ahlul kisa yang suci dan wajib dipedomani
Kedudukan Hadis “Ali Khalifah Setelah Nabi SAW”
Imam Ali AS memiliki kemuliaan yang tinggi dalam Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kedudukan Imam Ali AS di sisi Rasulullah SAW sama seperti kedudukan Nabi Harun AS di sisi Nabi Musa AS.
Seharusnya kita sebagai umat Islam menerima dengan baik keutamaan Imam
Ali AS dan mengecam sikap-sikap yang menurunkan atau meragukan keutamaan
Beliau. Berikut akan kami sajikan hadis keutamaan Imam Ali AS yang
mungkin memicu keraguan dari sebagian orang.
Al Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan sebagai berikut
ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang
berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah
dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang
berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama
seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang
Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.
.
.
Kedudukan Hadis
Syaikh Al Albani dalam kitabnya Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah hal 520 hadis no 1188 memberikan penilaian bahwa hadis ini sanadnya hasan, dimana Beliau menyatakan bahwa semua perawinya tsiqat. Hadis
ini telah diriwayatkan oleh para perawi Bukhari Muslim kecuali Abi Balj
yang dinilai shaduq sehingga Syaikh Al Albani menyatakan hadis tersebut
hasan. Setelah kami melakukan penelitian lebih lanjut maka kami temukan
bahwa hadis ini adalah hadis Shahih dan Yahya bin Sulaim Abi Balj adalah perawi tsiqat. Berikut analisis terhadap para perawinya.
.
.
Analisis Perawi Hadis
Muhammad bin Al Mutsanna
Muhammad bin Al Mutsanna Abu Musa Al Bashri adalah seorang Hafiz yang tsiqat. Hadisnya telah dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim serta Ashabus Sunan. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Daruquthni, Al Khatib dan Ibnu Hajar. Dalam At Tahdzib juz 9 no 698 disebutkan
Muhammad bin Al Mutsanna Abu Musa Al Bashri adalah seorang Hafiz yang tsiqat. Hadisnya telah dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim serta Ashabus Sunan. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Daruquthni, Al Khatib dan Ibnu Hajar. Dalam At Tahdzib juz 9 no 698 disebutkan
قال عبد الله بن أحمد عن بن معين ثقة وقال أبو سعد الهروي سألت الذهلي عنه فقال حجة وقال صالح بن محمد صدوق اللهجة
Abdullah bin Ahmad berkata dari Ibnu Ma’in “tsiqah” dan Abu Sa’ad
Al Harawi bertanya kepada Adz Dzahili yang berkata “hujjah” dan Shalih
bin Muhammad berkata “shaduq hujjah”.
وقال أبو حاتم صالح الحديث صدوق
Abu Hatim berkata “ hadisnya baik, shaduq (jujur)”
Ibnu Syahin memasukkan Muhammad bin Al Mutsanna dalam kitabnya Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1278. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit dalam Taqrib At Tahdzib 2/129. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 5134 juga menyatakan Muhammad bin Al Mutsanna tsiqat.
.
.
.
Yahya bin Hamad
Yahya bin Hamad Al Bashri adalah seorang perawi tsiqat yang dijadikan hujjah oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dalam Nasikh Wa Mansukh, Trimidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 338
Yahya bin Hamad Al Bashri adalah seorang perawi tsiqat yang dijadikan hujjah oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dalam Nasikh Wa Mansukh, Trimidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 338
قال بن سعد كان ثقة كثير الحديث وقال أبو حاتم ثقة وذكره بن حبان في الثقات
Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat dan memiliki banyak hadis”. Abu Hatim
berkata “tsiqat” dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat.
Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqat no 1971 menyatakan Yahya bin Hamad tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/300 menyatakan ia tsiqat. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6158 juga menyatakannya tsiqat.
.
.
.
Abu Awanah
Abu Awanah atau Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri adalah
perawi yang dijadikan hujjah oleh Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan, Ia
telah meriwayatkan hadis dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dan telah
meriwayatkan darinya Yahya bin Hamad. Abu Awanah telah dinyatakan tsiqah
oleh Al Ajli, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Ibnu Ma’in dan yang lainnya. Al
Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqah no 1937 berkata
وضاح أبو عوانة بصرى ثقة مولى يزيد بن عطاء الواسطي
Wadhdhah Abu Awanah orang Bashrah yang tsiqat mawla Yazid bin Atha’ Al Wasithi
Ibnu Syahin memasukkan namanya dalam Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1508 dan berkata
قال يحيى بن معين أبو عوانة ثقة واسمه الوضاح
Yahya bin Ma’in berkata “Abu Awanah tsiqat namanya adalah Wadhdhah”
Dalam At Tahdzib juz 11 no 204 disebutkan bahwa Abu Hatim, Abu Zar’ah Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan Abu Awanah tsiqat, Ibnu Kharrasy menyatakan ia shaduq dan Yaqub bin Abi Syaibah menyatakan Abu Awanah seorang Hafiz yang tsabit dan shalih. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/283 menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit dan Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6049 juga menyatakan ia tsiqah.
.
.
.
Yahya bin Sulaim Abi Balj
Yahya bin Sulaim adalah perawi Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Beliau dikenal dengan kunniyah Abu Balj dan ada pula yang menyebutnya Yahya bin Abi Sulaim. Beliau telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Daruquthni. Dalam At Tahdzib juz 12 no 184 Ibnu Hajar menyebutkan
Yahya bin Sulaim adalah perawi Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Beliau dikenal dengan kunniyah Abu Balj dan ada pula yang menyebutnya Yahya bin Abi Sulaim. Beliau telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Daruquthni. Dalam At Tahdzib juz 12 no 184 Ibnu Hajar menyebutkan
وقال بن معين وابن سعد والنسائي والدارقطني ثقة وقال البخاري فيه نظر وقال أبو حاتم صالح الحديث لا بأس به
Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia
tsiqat. Bukhari berkata “perlu diteliti lagi” dan Abu Hatim berkata
“hadisnya baik dan tidak ada masalah dengannya”.
Yaqub bin Sufyan Al Fasawi dalam Ma’rifat Wa Tarikh 3/106 menyebutkan tentang Abu Balj
قال يعقوب بن سفيان أبي بلج كوفي لا بأس به
Yaqub bin Sufyan berkata “Abi Balj Al Kufi tidak ada masalah dengannya”
Pernyataan Bukhari “fihi nazhar (perlu diteliti lagi)” terhadap Yahya bin Sulaim Abi Balj tidaklah benar. Kami telah menelusuri karya-karya Bukhari seperti Tarikh As Shaghir dan Tarikh Al Kabir ternyata tidak ada keterangan bahwa Bukhari menyatakan Abu Balj dengan sebutan “fihi nazhar”. Selain itu, Bukhari sendiri tidak memasukkan Abu Balj dalam kitabnya Adh Dhua’fa As Shaghir yang berarti Bukhari tidak menganggapnya cacat. Bukhari menyebutkan biografi Yahya bin Abi Sulaim Abu Balj dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996 dan beliau menyebutkan
يحيى بن أبي سليم قال إسحاق نا سويد بن عبد العزيز وهو كوفي ويقال واسطي أبو بلج الفزاري روى عنه الثوري وهشيم ويقال يحيى بن أبي الأسود وقال سهل بن حماد نا شعبة قال نا أبو بلج يحيى بن أبي سليم
Yahya bin Abi Sulaim, Ishaq berkata telah menceritakan kepada
kami Suwaid bin Abdul Aziz “dia orang Kufah dan dikatakan juga orang
Wasith Abu Balj Al Fazari, telah meriwayatkan darinya Tsawri dan Hasym,
ada yang mengatakan Yahya bin Abil Aswad”. Sahl bin Hamad berkata telah
menceritakan kepada kami Syu’bah yang berkata telah menceritakan kepada
kami Abu Balj Yahya bin Abi Sulaim.
Dalam biografi Abu Balj yang disebutkan Bukhari tidak ada pernyataan Bukhari yang menyebutnya cacat apalagi dengan sebutan fihi nazhar bahkan dari keterangan Bukhari dapat diketahui bahwa Syu’bah telah meriwayatkan dari Yahya bin Abu Sulaim Abu Balj. Hal ini berarti Syu’bah menganggap Abu Balj sebagai tsiqah karena telah sangat dikenal bahwa Syu’bah tidak meriwayatkan kecuali dari para perawi tsiqah. Oleh karena itu tidak diragukan lagi kalau Abu Balj seorang yang tsiqat.
.
.
.
Amr bin Maimun
Amr bin Maimun Al Audi adalah seorang tabiin yang tsiqah termasuk Al Mukhadramun menemui masa jahiliyah tetapi tidak bertemu dengan Nabi SAW. Ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqah no 1412 berkata
Amr bin Maimun Al Audi adalah seorang tabiin yang tsiqah termasuk Al Mukhadramun menemui masa jahiliyah tetapi tidak bertemu dengan Nabi SAW. Ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqah no 1412 berkata
عمرو بن ميمون الأودي كوفي تابعي ثقة
Amr bin Maimun Al Audi Tabiin kufah yang tsiqat.
Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib juz 8 no 181 bahwa
selain Al Ajli, Amr bin Maimun juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in,
Nasa’i dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/747 mengatakan kalau Amr bin Maimun adalah mukhadramun yang dikenal tsiqat.
.
.
.
Kesimpulan
Hadis di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Dimana semua perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim kecuali Yahya bin Sulaim Abi Balj dan dia adalah perawi yang tidak diragukan ketsiqahannya. Oleh karena itu hadis tersebut sanadnya Shahih.
Hadis di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Dimana semua perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim kecuali Yahya bin Sulaim Abi Balj dan dia adalah perawi yang tidak diragukan ketsiqahannya. Oleh karena itu hadis tersebut sanadnya Shahih.
.
.
Catatan :
- Semoga Hadis ini bisa didiskusikan dengan sebijak mungkin tanpa hujatan dan tuduhan
- Kepada seseorang, silakan dibaca hadiah saya yang tertunda
Ahlul Bait adalah orang-orang yang mendapat keistimewaan dan
keutamaan serta kedudukan tinggi dari Allah SWT. Dimana Allah telah
membersihkan dosa-dosa mereka serta mensucikan mereka sesuci-sucinya.
Allah berfirman :
انما يريد الله ليذهب عنكم الرجس اهل البيت ويطهركم تطهيرا
( الاحزاب ؛ ٣٣ )
“Sesungguhnya Allah hendak menghapus segala noda dan kotoran
(dosa) dari kalian Ahlul Bait dan hendak mensucikan kalian
sesuci-sucinya” (Al-Ahzab-33)
Kemudian para ulama sepakat bahwa Ahlul Kisa’, selain Rasulullah SAW yaitu Imam Ali, Siti Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husin adalah termasuk Ahlul Bait. Dimana saat itu Rasulullah bersabda:
Kemudian para ulama sepakat bahwa Ahlul Kisa’, selain Rasulullah SAW yaitu Imam Ali, Siti Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husin adalah termasuk Ahlul Bait. Dimana saat itu Rasulullah bersabda:
اللهم هؤلاء اهل بيتى
“ Yaa Allah mereka adalah Ahlul Baitku”.
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Turmudzi
dari Ummi Salamah, bahwa setelah turun Ayatuttathir, Rasulullah menutup
kain Kisa’nya (sorbannya) diatas Ali, Fatimah, Hasan dan Husin, seraya
berkata :
اللهم هؤلاء اهل بيتى فاذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا
( رواه مسلم والترمذى واحمد والحاكم )
“Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku, maka hapuskanlah dari mereka dosa dan sucikan mereka sesuci-sucinya”.
(HR. Muslim, Turmudzi, Ahmad dll )
(HR. Muslim, Turmudzi, Ahmad dll )
Sebuah hadist yang terkenal, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di
dalam kitab sahihnya, dari Zeid bin Arqom sebagai berikut : “Pada suatu
hari Rasulullah berkhotbah di satu tempat yang ada sumber airnya yang
dikenal dengan nama Khumman yang terletak antara kota Mekkah dan
Madinah. Setelah beliau bertahmid dan memuji Allah serta memberikan
wejangan beliaupun bersabda :
اما بعد :الا ايها الناس ، انما انا بشر يوشك ان يأتى رسول ربى فأجيب وانا تارك
فيكم ثقلين ،اولها كتاب الله فيه الهدى والنور، فخذوا بكتاب الله واستمسكوا، فحث
على كتاب الله ورغب فيه,ثم قال: واهل بيتى ، اذكركم الله فى اهل بيتى, اذكركم الله
فى اهل بيتى ،اذكركم الله فى اهل بيتى , فقال له حصين : ومن اهل بيته يازيد ؟
اليس نساؤه من اهل بيته ؟ قال نساؤه من اهل بيته ،ولكن اهل بيته من حرم الصدقة
بعده ،قال : ومن هم ؟ قال :هم ال على وال عقيل وال جعفر وال عباس .
قال : كل هؤلاء حرم الصدقة ؟ قال : نعم.
( رواه مسلم واحمد والحاكم والدارمى وابن حبان والبزاروالطبرانى )
Amma ba’du : “Hai orang-orang sesungguhnya aku
adalah manusia, aku merasa akan datang utusan Tuhanku dan aku
menyambutnya, aku meninggalkan pada kalian dua bekal (pegangan), yang
pertama Kitabullah (Al-Qur’an), didalamnya terdapat petunjuk dan
cahaya,. Ambillah (terimalah) Kitabullah dan berpegang-teguhlah padanya.
“Setelah Rasulullah menekankan Kitabullah, kemudian berkata lebih
lanjut. Dan Ahlul Baitku, kuingatkan kalian kepada Allah mengenai Ahlu
Baitku, kuingatkan kalian kepada Allah mengenai Ahli Baitku, kuingatkan
kalian kepada Allah mengenai Ahli Baitku”.
Kemudian sahabat Khushoin bertanya : “ Siapa saja Ahlul Baitnya hai Zaid ? Apakah istri-istrinya termasuk juga Ahlul Bait?, maka dijawab, “istri-istrinya juga termasuk Ahlul Bait. Ahlu Baitnya adalah mereka yang diharamkan menerima shodaqoh”.
Lalu Khusoin bertanya lagi : “ Siapa saja mereka ?” Lalu dijawab: “Mereka itu keluarga Ali, keluarga Agil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas.” Penanya bertanya lagi : “Semua itu diharamkan menerima shodaqoh ?” Dijawab : “Ya”.
( H Muslim, Ahmad, Al Hakim, Ad Darini, Ibnu Hibban,
Al Bazzar dan At Thobaroni )
Kemudian sahabat Khushoin bertanya : “ Siapa saja Ahlul Baitnya hai Zaid ? Apakah istri-istrinya termasuk juga Ahlul Bait?, maka dijawab, “istri-istrinya juga termasuk Ahlul Bait. Ahlu Baitnya adalah mereka yang diharamkan menerima shodaqoh”.
Lalu Khusoin bertanya lagi : “ Siapa saja mereka ?” Lalu dijawab: “Mereka itu keluarga Ali, keluarga Agil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas.” Penanya bertanya lagi : “Semua itu diharamkan menerima shodaqoh ?” Dijawab : “Ya”.
( H Muslim, Ahmad, Al Hakim, Ad Darini, Ibnu Hibban,
Al Bazzar dan At Thobaroni )
Kemudian diakhir hadist tersebut juga menerangkan bahwa
yang dimaksud dengan Ahlul Bait adalah mereka yang diharamkan menerima
shodaqoh. Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Agil, keluarga Ja’far dan
keluarga Abbas. Hal tersebut juga dikuatkan oleh hadist yang lain,
dimana Rasulullah bersabda:
انا ال محمد لا تحل لنا الصدقة
( رواه البخارى )
“ Kami keluarga Muhammad, tidak dihalalkan bagi kami pemberian shodaqoh”.
( HR. Bukhori )
( HR. Bukhori )
Berdasarkan dalil-dalil dari ayat-ayat Qur’an dan Hadith Rasulullah
SAWA – kebanyakan kitab tafsir dan Hadith menjelaskan bahawa yang
dimaksudkan dengan Ahlul Bayt Rasulullah SAWA ialah lima orang iaitu
Rasulullah SAWA, Ali, Fatimah, Hassan dan Husayn. Riwayat al-Tarmidzi
dari Ummu Salamah menyatakan bahawa ayat:
“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kotoran dari kalian, Ahlul Bayt dan menyucikan kalian dengan sebersih-bersihnya (Quran:33:33)” turun untuk Rasulullah SAWA di rumahku ketika aku sedang duduk di sebelah pintu, aku bertanya: ” Ya Rasulullah, bukankah aku juga dari Ahlul Baytmu, beliau mejawab: engkau berada dalam kebaikan, engkau dari isteri-isteriku. Ketika itu Rasulullah SAWA di rumah bersama Ali, Fatimah, Hassan dan Husayn.Kemudian beliau memasukkan mereka di bawah serban beliau seraya bersabda: ” Ya Allah,merekalah Ahlul Baytku, maka hilangkan kotoran dari mereka dan sucikanlah mreka sesuci-sucinya.”
Muslim dalam Sahihnya meriwayatkan dalam Kitab Fada’il Sahabat bab
Fada’il Ahlul Bayt Nabi SAWA, berkata Aisyah bahawa telah keluar
Rasulullah SAWA pada suatu hari dengan memakai mard marhal daripada bulu
berwarna hitam, kemudian datang Hassan bin Ali lalu dimasukkannya ke
dalamnya, kemudian datang Husayn lalu dimasukkannya ke dalamnya,
kemudian datang Fatimah dan dimasukkan dia ke dalamnya dan akhir sekali
datang Ali dan dimasukkan ke dalamnya, lalu beliau SAWA membaca ayat
Quran:33:33, yang bermaksud:
" Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kalian dari kekotoran dan menyucikan kalian dengan sebersih-bersihnya."
Dalam tafsir Al-Dur Al-Mantsur, Jalaluddin al-Suyuti menyebut dua
puluh sanad hadith dengan jalan yang beragam, yang semuanya menunjukkan
bahawa yang dimaksudkan dengan Ahlul Bayt di dalam ayat di atas adalah
lima orang seperti di atas.
Para isteri Nabi SAWA tidak termasuk dalam Ahlul Bayt dalam
pengertian yang khusus seperti maksud dan kehendak ayat di atas. Riwayat
dari Muslim dari Zaid bin Arqam bahawa:
Pada suatu hari Rasul berpidato di hadapan kami dekat suatu danau bernama Khum di antara Mekah dan Madinah, setelah memuji Allah, beliau mulai menasihati kami dan bersabda yang bermaskud: " Wahai manusia.....ketahuilah bahawa aku meninggalkan pada kalian dua benda yang sangat berharga, Kitabullah yang mengandung cahaya dan bimbingan, maka ambillah Kitabullah dan berpeganglah padanya....beliau meneruskan: " Dan Ahlul Baytku, aku memperingatkan kalian tentang Ahlul Baytku, Aku memperingatkan kalian tentang Ahlul Baytku, aku memperingatkan kalian tentang Ahlul Baytku...."
Perawi hadith bertanya kepada Zaid bin Arqam,”
Siapakah Ahlul Bayt Rasul, adakah isteri-isteri beliau termasuk Ahlul Baytnya?”
Zaid menjawab,” Tidak, demi Allah, seorang isteri hidup bersama
suaminya untuk beberapa waktu dan ketika dicerai ia kembali kepada
kaumnya sendiri.”
Kesimpulannya seperti yang diungkapkan oleh Syed Syarafuddin
al-Musawi dalam bukunya al-Kalimah al-Gharra’ fi Tafdhil al-Zahra’ wal
Aqilah al-Wahy bahawa tidak diragukan lagi Ahlul Bayt yang dinyatakan
oleh ayat di atas adalah lima orang bergelar ” Ashab al-Kisa.” Kenyataan
ini cukup untuk menyimpulkan bahawa mereka adalah makhluk yang paling
mulia dibandingkan seluruh entiti yang mendiami bumi dan langit. Selain
dari Rasulullah SAWA, Ali sepupu Nabi yang dinyatakan dalam
al-Qur’an(seperti yang dinyatakan dalam Hadith al-Manzillah) sama
kedudukannya seperti kedudukan Nabi (Nabi Harun di sisi Nabi Musa),
Fatimah al-Zahra merupakan darah daging Nabi yang Nabi SAWA menyatakan
bahawa Allah akan marah kerana kemarahannya serta akan rela kerana
kerelaannya dan dua buah hati Nabi SAWA di dunia serta cucu kandungnya,
al-Hassan dan al-Husayn yang terbunuh syahid dan kelak akan menjadi
penghulu pemuda disyurga, berdasarkan dalil yang kukuh dan tidak
terbantah
.
Antara Khalifah dan Imamah
Hamid Enayat menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan politik
Ahl al-Sunnah, yakni Khalifah, ijma’ dan bay’ah. Ketiga konsep kunci
untuk pandangan politik Syi’ah, yakni, imamah, wilayat, dan ‘ishmah.
Ijma’ dan bay’ah diterima juga dalam Syi’ah walaupun dalam arti yang
terbatas. Wilayah dan ‘ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan
dari imamah. Karena itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat
disimpulkan hanya pada perbedaan konsep imamah dan khilafah yang dianut
Syi’ah.
Al-Syahrastani membedakan di antara kedua madzhab ini dalam hal
kepemimpinan politik. Ahl al-Sunnah menetapkan pemimpin melalui
kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-ikhtiyar). Sementara itu, Syi’ah menetapkan pemimpin lewat keterangan agama (nash) dan penunjukan (ta’yin).
Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah (450 H) dan Abu Ya’la dalam
Al-Ahkam al-Sulthaniyah (458 H) semuanya menulis, “Kepemimpinan
ditetapkan dengan dua cara: pertama, pemilihan Ahl al-Hal wa al-’Aqd;
dan kedua, penunjukan imam sebelumnya” (Perlu dicatat di sini bahwa
penulis-penulis di atas adalah ulama ahl al-Sunnah, tetapi anehnya
menyebut kepemimpinan dengan istilah imamah).
Ahl al-Sunnah berpegang pada ketentuan syura sebagai landasan
kepemimpinan dan menunjuk QS. al-Syura 38 dan Ali Imran 164 sebagai
dalil. Jadi karena pemimpin adalah hasil syura, pemimpin tidak perlu
ditunjuk oleh nash. Umat boleh memiliki (ikhtiyar) pemimpin yang
disepakatinya (ittifaq) Dalam kenyataan, Ahl al-Sunnah tidak mempunyai
konsepsi yang jelas tentang ketentuan-ketentuan syura, siapa yang
memilih, dan berapa jumlah orang yang sepakat.
Menurut Al-Mawardi, syura, boleh dilakukan dalam jumlah terbatas dan
ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang. Pengangkatan Abu Bakar
dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu ‘Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin
Hudhair, Basyir bin Sa’ad, dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula
Umar mempercayakan Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk
memilih satu di antaranya sebagai khalifah. Ini pendapat fuqaha Bashrah.
Menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu diantara mereka
disepakati oleh dua orang yang lain. Bukankah aqad nikah sah dengan dua
saksi dan satu wali? Kata kelompok yang lain, syura dan ittifaq cukup
dilakukan oleh seorang saja (sic!), seperti ketika ‘Abbas mendatangi Ali
untuk membai’atnya. Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyah 6-7;
dikutip lagi dari Al-Askari, 1406:147.
Akhirnya, menurut Ahl al-Sunnah, pemimpin bahkan dapat disahkan tidak lewat ittifaq tetapi lewatal-ghalabah (kemenangan
perang). Empat imam madzhab Ahl al-Sunnah sepakat bahwa pemimpin sah
dengan salah satu di antara empat cara (al-Yahfufi, 1406: 234-256),
yaitu: (1) sistem syura yang terbatas (seperti pemilihan Abu Bakar); (2)
sistem istikhlaf (penunjukan pengganti seperti yang dilakukan Abu Bakar
terhadap ‘Umar; (3) sistem syura dari dewan formatur yang ditunjuk
khalifah sebelumnya (seperti pengangkatan Utsman bin Affan); (4) sistem
al-ghalabah bi al-saif (penaklukan dengan kekuatan militer seperti yang
dilakukan Mu’awiyah)
Syi’ah berpendapat bahwa imamah hanya sah bila ditegaskan dalam nash.
Mereka beryakinan bahwa Rasulullah Saw menunjuk pengganti-pengganti
sesudahnya untuk memimpin umat Islam. “Sejak pertama kali ia mengajak
orang pada Islam,” kata Al-Askari (1406:202). “Ia telah memikirkan dan
merencanakan pelanjutnya … untuk menegakkan masyarakat Islam.” Sayyid
Muhammad Husayn Tabatabai (t.t.: 39) menulis: From the Shi’ite point
of view it appears as unlikely that the leader of a movement, during
the first days of his activity, should introduce to strangers one of his
associates as his successor and deputy, but not introduce him to his
completely loyal and devout aides and friends. Nor does it appear likely
that such a leader should accept someone as his deputy and successor
and introduce him to others as such, but then throughout his life and
religious call deprive his deputy of his duties as deputy, disregard the
respect due to his position as successor, and refuse to make any
distinctions. Walhasil, menurut Syi’ah, ada nash-nash yang jelas
dari Rasulullah Saw yang menunjukkan Ali sebagai penggantinya dan
sebelas orang imam dari keturunannya. [3]
Karena imam itu ditunjuk oleh nash, maka tentu imam adalah orang yang
terbaik, bahkan terpelihara dari dosa. Ini melahirkan kontroversi al-fadhil dan al-mafdhul. Al-Hilli (dalam Al-Hasan, 1396: 27) menulis:
Imam mesti yang paling utama dari rakyatnya. Madzhab Imamiyah sepakat
tentang hal itu. Al-Jumhur (yakni, Ahl al-Sunnah) membolehkan
mendahulukan al-mafdhul di atas al-fadhil. Dengan begitu mereka menyalahi akal dan nash al-Kitab. Akan menganggap tidak baik mendahulukan al-mafdhul dan menghinakan al-fadhil.
Al-Qur’an menentang hal itu dengan berkata, “Apakah orang yang memberi
petunjuk kepada yang benar lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak
dapat memberi petunjuk, bahkan harus diberi petunjuk. Bagaimana kalian
menetapkan keputusan?”
Karena Syi’ah menetapkan al-fadhil dan Ahl al-Sunnah membolehkan al-mafdhul sebagai
imam, terjadilah kontroversi berikutnya. Syi’ah melarang dan Ahl
al-Sunnah mengharuskan pentaatan pada penguasa yang zalim. Al-Nawawi
berkata dalam Syarh Muslim-nya, “Berkata jumhur ahl al-Sunnah dari
kalangan fuqaha, mahaddtsin, dan mutakallimun bahwa imam tidak boleh
dimakzulkan karena kefasikan, dan kezhaliman, atau pelanggaran hak. Ia
tidak boleh diturunkan dan tidak boleh orang keluar menentangnya. Wajib
bagi rakyat menasihati dan memperingatkannya.” Sebelum itu ia menulis
(Syarh Muslim 12: 229), “Keluar memerangi mereka haram berdasarkan ijma’
kaum muslimin, walaupun mereka fasik dan zalim. Sudah jelas sekali
hadits-hadits yang menunjukkan pengertian yang saya sebut. Ahl al-Sunnah
ijma’ bahwa sulthan tidak boleh dimakzulkan karena kefasikan.”
Kontroversi selanjutnya adalah tindakan untuk menjawab pertanyaan
manakah yang lebih utama, penguasa muslim yang zhalim atau penguasa
kafir yang adil. Ahl al-Sunnah memilih yang pertama, dan Syi’ah
mengikuti yang kedua. Syaikh Jawad Mughniyah (1406: 26) berpendapat,
“Ketika Syi’ah menegaskan bahwa khilafah adalah hak ilahi bagi Ali dan
keturunannya, mereka telah bersikap ekstrem dalam toleransinya terhadap
penguasa yang adil. Mereka mengutamakan non-muslim jika ia adil daripada
seorang penguasa Muslim yang zhalim. Ibn Thawus yang masyhur
menegaskan, kafir yang adil lebih baik dari Muslim yang zhalim.
Kontroversi lain –yang justru sangat esensial– adalah hubungan antara
kepemimpinan relegius dengan kepemimpinan politis. Bagi orang Syi’ah,
pada kata imamah (yang secara khusus berarti kepemimpinan ruhaniah) juga
terkandung makna wilayah (secara khusus berarti kepemimpinan politis).
Dengan demikian, ahl al-bayt –di samping memegang hak kepemimpinan
politis– juga menjadi rujukan dalam masalah-masalah keagamaan. Orang
Syi’ah sering mendefinisikan diri mereka sebagai madzhab ahl al-bayt.
Sementara itu, sejak berakhirnya Khulafa al-Rasyidun, ahl al-Sunnah
memisahkan kedua kepemimpinan itu. Pada bidang religius, misalnya, orang
mengikuti Imam Malik, dan pada bidang politis, mereka mengikuti
khalifah al-Manshur. Secara politis, ahl al-Sunnah berpegang pada kaidah
yang diberikan Ibn Umar pada waktu ada pertikaian antara Ali dan para
penentangnya, Nahnu ma’a man ghalab” (Kami bersama orang yang berkuasa).
Dari perbedaan pengangkatan pemimpin (ikhtiyar atau ta’yin),
perbedaan kualifikasi pemimpin (al-fadhil atau al-mafdhul), perbedaan
preferensi penguasa (kafir yang adil atau muslim yang zhalim), dan
perbedaan dalam memandang hubungan kekuasaan politis dengan kekuasaan
religius (digabungkan atau dipisahkan), lahirlah skisme politik besar
Islam yang berlangsung sampai kini.
Mengapa terjadi perbedaan itu, padahal kedua madzhab ini lahir dari
Islam yang sama dan pengikut Nabi Saw yang sama? Ada beberapa teori yang
menjawab pertanyaan ini. Kita hanya akan mengulas dua teori saja: teori
sosioantropologis Bangsa Arab dan teori pendekatan doktrinal.
Teori Sosio-Antropologis Bangsa Arab
Teori ini dikemukakan oleh Nicholson (1969), Wellhausen (1927),
Goldziher (1967), dan secara terperinci dijelaskan kembali oleh Jafri
(1967). Tidak mungkin dalam makalah ini, saya menguraikan teori ini
secara lengkap. Secara singkat, teori ini berpijak pada dua asumsi: (1)
Bangsa Arab adalah bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan;
kesetiaan pada suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi
sangat penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan
terdiri dari dua subkultur, yaitu subkultur Arab Selatan dan subkultur
Arab Tengah-Utara.
Asumsi pertama menunjukkan bahwa status sosial seseorang sangat
ditentukan oleh status marganya. Setiap anggota marga bangga dalam
menghitung-hitung prestasi nenek moyangnya. Karena itu, kehormatan
seseorang dalam bahasa Arab disebut hasab (dari akar kata hasiba yang
berarti menghitung). Orang Arab percaya bahwa selain karateristik
fisikal, karakteristik perilaku juga herediter. Menarik untuk dicatat
bahwa khalq (karakteristik fisik) dan khuluq (perilaku) ditulis sama dalam bahasa Arab.
Perilaku yang menjadi tradisi suatu kabilah, dan menjadi kebanggaan
anggota kabilah, lazim disebut Sunnah. Di antara sunnah yang paling
dihargai adalah mengurus dan memelihara tempat-tempat suci. Bagi bangsa
Arab, khususnya Arab Selatan, pengurusan rumah suci (bayt) dan
kehormatan (hasab) tidak dapat dipisahkan. Karena itu, sejak zaman
jahiliyah orang Arab tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan
temporal dan kepemimpinan sakral.
Ka’bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab. Kabilah
yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara Ka’bah disebut
sebagai “keluarga al-bayt” atau ahl al-bayt. Sejak awal, kepemimpinan
Arab dipegang oleh keturunan Qushayy. Dalam pertentangan memperebutkan
kedudukan ahl al-bayt, Bani Hasyim menang dan menyisihkan lawannya dari
Bani Abd al-Syams. Karena itu Bani Hasyim dikenal bangsa Arab sebagai
Ahl al-Bayt. Pada masa Abu Thalib, Bani Abd al-Syams perlahan-lahan
muncul sebagai kekuatan politik dan bani Hasyim mulai melemah. Ketika
keturunan Umayyah merasakan ada angin baru yang menguntungkan mereka,
muncullah Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Muthalib. Ia mengembalikan
lagi wibawa kepemimpinan Bani Hasyim sebagai Ahl al-Bayt. Nabi Saw
menyadari betul aspek-aspek kultural dari kepemimpinan ahl al-bayt. Tema
ahl al-bayt memiliki appeal yang kuat bagi bangsa Arab.
Kepemimpinan ahl al-bayt menggabungkan dimensi temporal dan sakral
sekaligus. Bani Umayyah tentu tidak rela dengan return of power dari Bani Hasyim. Perlawanan terhadap Islam, karena itu, datang paling banyak dari Bani Umayyah.
Ketika Nabi hijrah ke Madinah, menemui suku Aws dan Khazraj yang
berasal dari Arab Selatan. Mereka adalah suku Arab yang memiliki
sensitivitas religius yang tinggi. Bila inskripsi pada monumen di Arab
Utara memuja keberanian dan kepahlawanan, inskripsi pada monumen Arab
Selatan menunjukkan perasaan syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Pada
suku-suku Arab Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau
senioritas; pada Arab Selatan, pemimpin dipilih berdasarkan kesucian
keturunan (hereditary sanctity).
Dari kedua subkultur inilah, berkembang skisme Sunnah-Syi’ah. Ahl
al-Sunnah, sejak Mu’awiyah merebut kekuasaan berupaya untuk menekan
konsepsi kepemimpinan ahl al-bayt. Karena secara doktrinal, Islam
menyuruh menghormati ahl al-bayt (yang sekarang didefinisikan lebih
terbatas lagi sebagai keturunan Rasulullah Saw), penguasa-penguasa yang
bukan ahl al-bayt tidak menafikan kehormatan itu. Yang tidak mereka
inginkan adalah gabungan antara kehormatan religius dengan kehormatan
politik. Inilah, misalnya, argumentasi yang dikemukakan Umar bin Khathab
kepada ‘Abbas ketika bertengkar masalah kepemimpinan ‘Ali, “Orang
banyak tidak menginginkan nubuwwah dan khalifah bergabung pada Bani
Hasyim” (Tarikh Thabari 1: 2769). Mungkin, karena itu pula, Ali pernah
memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah –yang sudah
dikuasai Bani Ummayah– ke Kufah. [4]
Teori Pendekatan Doktrinal
Sayyid Baqr Shadr (1982:73-96) mengemukakan apa yang kita sebut
sebagai teori pendekatan doktrinal. Saya akan menerjemahkan sebagian
argumentasi Shadr ini tanpa memberikan komentar sedikitpun: Bila kita
mengikuti periode permulaan dari kehidupan umat Islam di zaman Nabi Saw
kita temukan dua aliran utama yang berbeda, yang menyertai perkembangan
umat dalam permulaan eksperimen Islam, sejak dini. Keduanya hidup
bersama dalam lingkungan umat yang dilahirkan oleh Rasul sang pemimpin.
Perbedaan di antara kedua aliran ini telah menimbulkan perbedaan
doktrinal sesudah wafat Rasulullah Saw, memisahkan umat dua kelompok
besar. Salah satu kelompok berhasil berkuasa dan sanggup berkembang
sehingga mencakup mayoritas kaum muslimin. Kelompok yang lain tidak
berhasil memperoleh kekuasaan dan berkembang sebagai kelompok minoritas
menghadapi lingkungan Islam yang umum. Minoritas ini adalah Syi’ah.
Dua aliran utama yang menyertai pertumbuhan umat Islam di zaman Nabi sejak awal adalah:
(1) Aliran yang beriman sepenuhnya pada ta’abbud bi ‘l-din berhukum dan berserah mutlak pada nash-nash agama dalam seluruh bidang kehidupan.
(2) Aliran yang hanya merasa tunduk pada agama pada bidang-bidang
khusus seperti ibadah dan hal-hal yang ghaib. Aliran ini meyakini
kemungkinan ijtihad; membolehkan memalingkan nash agama pada
bidang-bidang kehidupan di luar bidang-bidang kehidupan di atas, sesuai
dengan kemaslahatan masyarakat, dengan peralihan atau perubahan.
Sahabat adalah kelompok Mukmin yang cemerlang; benih yang paling
utama pada saat pertumbuhan risalah, sehingga sejarah manusia tidak
pernah menyaksikan generasi aqidah yang lebih mulia, lebih suci, dan
tinggi dari generasi yang dilahirkan Rasulullah.
Walaupun demikian, karena harus tunduk pada adanya aliran yang luas
pada bidang kehidupan, para sahabat cenderung mendahulukan ijtihad untuk
memperkirakan dan memperoleh maslahat daripada ta’abbud secara harfiyah
pada nash-nash agama. Rasul telah bertahan berkali-kali menghadapi
aliran ini, sampai pada saat menjelang kematiannya (yang akan diuraikan
nanti). Di samping itu, ada juga sahabat yang bertahkim dan bertaslim
sepenuhnya pada nash-nash agama di semua bidang kehidupan.
Aliran kedua, aliran ijtihadi, tampaknya lebih menyebar di kalangan
kaum muslimin karena kecenderungan manusia untuk tunduk pada
kemaslahatan yang dapat dipahami dan diperkirakannya, serta meninggalkan
kecenderungan mengikuti kemaslahatan yang tidak dapat dipahami
tujuannya. Yang mengikuti aliran ini terdiri dari sahabat-sahabat besar.
Umar bin Khathab pernah melawan Rasulullah Saw dan berijtihad pada
banyak kejadian, yang bertentangan dengan nash, dengan meyakini bahwa
apa yang dilakukannya benar.
Pernah kedua aliran ini bertentangan di hadapan Rasul pada hari-hari
terakhir kehidupannya. Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Ibn
‘Abbas. Ia berkata: “Menjelang Rasulullah Saw wafat, di rumahnya ada
banyak orang, di antaranya Umar bin Khathab. Nabi berkata: Mari aku
tuliskan untuk kamu tulisan sehingga kamu tidak sesat sesudahnya.
Berkata Umar: Nabi Saw sedang dicengkram sakit. Di hadapan kalian ada
al-Qur’an.
Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Penghuni rumah itu pun bertikai.
Sebagian berkata: Dekatkan supaya Nabi menulis (wasiat) kitab sehingga
kamu tidak sesat sesudahnya. Sebagian lagi berkata seperti kata Umar.
Ketika sudah ramai perbincangan dan pertikaian di hadapan Nabi, ia
berkata: ”Pergilah kalian.” Peristiwa ini cukup menunjukkan dalamnya
pertikaian dan pertentangan di antara kedua aliran ini.
Skisme Intelektual
Dari kedua aliran ini kemudian berkembang aliran-aliran lainnya, yang
tidak mungkin semuanya dibahas di sini. Kebanyakan aliran-aliran itu
muncul sebagai hasil refleksi intelektual. Skisme intelektual (mungkin
malah tidak tepat disebut skisme) memang bisa menjadi solid, ketika para
politisi mulai masuk. Skisme ini dapat terjadi pada bidang ilmu kalam
atau bidang fiqh. Abu Zuhrah (1987) menyebut yang pertama ikhtilaf
‘aqaidi dan yang kedua ikhtilaf fiqhi. Saya tidak akan memperinci kedua
ikhtilaf ini, tetapi hanya akan menunjukkan penyebab timbulnya ikhtilaf
tersebut.
Sebab-sebab yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur’an dan al-Sunnah.
Banyak orang berpikir sederhana: pertikaian akan segera selesai bila
kita kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Pertikaian justru terjadi
ketika kaum Muslim berusaha memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam
kedua sumber tasyri’ ini terdapat kata-kata atau kalimat yang musytarak
(mengandung makna ganda), lafazh yang ‘am (berlaku umum) dan khash
(berlaku khusus), yang muthlaq dan yang muqayyad (bersyarat).
Lihatlah perbedaan pemahaman ayat tayamum ini. “Dan jika kamu sakit
atau sedang bepergian, atau jika salah seorang di antara kamu datang
dari jamban, atau setelah kamu menjamah wanita, atau kamu tak menemukan
air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, dan sapulah muka kamu dan
tangan kamu itu,” (al-Qur’an 5: 6). Kalimat ini dipahami Abu Hanifah
sebagai berikut: Orang yang tidak bepergian, tidak sakit, dan ada air,
tidak berlaku tayammum baginya, dan tidak wajib shalat. Ayat tersebut
hanya mewajibkan tayammum bila tidak ada air khusus pada yang sakit atau
musafir. Madzhab yang lain berpendapat bahwa syarat sah tayammum adalah
salah satu di antara tiga kondisi: tidak ada air, atau sakit, atau
bepergian. Apa yang dimaksud “air”? Kata madzhab Hanafi, air itu
termasuk air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air teh).
Kata madzhab yang lain, air mutlak saja. “Debu” meliputi pasir dan
tanah, kata Syafi’i; tanah saja, kata Hambali; tanah, pasir, batuan,
salju dan logam, kata Maliki; tanah, pasir, dan batuan, kata Hanafi dan
Hambali; sebagian wajah oleh Ja’fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah,
1960).
Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash yang
berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal Jabbariyah dan
Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar, ketika kita memasuki
pengkajian-pengkajian Islam yang lebih operasional seperti epistimologi
Islam, teologi Islam, dan sebagainya.
Sebab-Sebab yang Berkenaan dengan Sunnah
Masalah-masalah yang berkenaan dengan sunnah lebih musykil lagi.
Kemusykilan pertama terjadi ketika kita mengambil pelajaran dari hadits:
apakah yang diberitakan hadits itu Sunnah atau bukan. Manakah yang
sunnah, mengampuni para tawanan (seperti yang dilakukan Rasulullah Saw
pada Fath Makkah) atau membunuhnya (seperti yang dilakukan Nabi pada
perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat makan di bawah, menjilati
jari setelah makan, dan menggunakan siwak adalah sunnah; umat Islam yang
lainnya tidak beranggapan begitu.
Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak sampainya hadits. Hadits
dilaporkan oleh para sahabat, yang mempunyai lingkup pengalaman yang
berlainan bersama Rasulullah Saw. Ada yang menyertai Nabi hampir setiap
saat, dan ada yang berjumpa dengan Nabi sesaat saja. Umar melaporkan
bahwa mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia
mencambuki orang yang menangisi mayat. ‘Aisyah menolak hadits ‘Umar ini.
Ketika Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, ‘Aisyah berkata,
“Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn Umar). Ia
mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah lewat jenazah Yahudi
di depan Rasulullah Saw. Mereka menangisi jenazah itu. Nabi berkata,
kalian menangis, padahal ia sedang disiksa.” [5]
Sebab-sebab Berkenaan dengan Perbedaan Kaidah Ushul Fiqh
Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujunguya ada kata yang
mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu berlaku? Kepada semua
kalimat atau kepada kalimat yang terakhir. Yang pertama dipilih oleh
Syafi’i, Maliki, Hambali. Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang
berkenaan dengan tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah:
(1) “Deralah mereka 80 deraan,” (2) “Jangan terima kesaksian mereka
selama-lamanya,” dan (3) “Mereka itulah orang-orang fasik.” Istitsna
datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah deraan harus dihilangkan bila
orang taubat, apakah kesaksian penuduh dapat diterima bila orang itu
telah bertaubat? Semua madzhab –selain Hanafi– memilih rnenjawab “ya”
untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.
Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul Fiqh. Di
samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad yang tidak
disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan, qaul shahabat, dan
sebagainya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Saya ingin mengakhiri makalah ini dengan menuliskan kembali apa yang saya sampaikan pada tempat lain (Rahmat, 1986: 99-103).
1. Sepakat pada yang qath’i, siap berbeda pada yang dzhann-i: Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar.
Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muammalah yang disetujui bersama, apa pun madzhabnya. Kedua,
bertalian dengan cabang-cabang (furu’) dari pokok-pokok di atas yang
memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan Muslim lagi
bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama. Adalah kenyataan yang
menakjubkan walaupun sering lolos dari perhatian kita bahwa dalam bagian
pertama seluruh madzhab mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah
–semuanya percaya kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari
Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl al-Sunnah
dan Syi’ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku’ dan sujud, jumlah
shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang penting lainnya. Perbedaan
mulai terjadi pada rincian dari pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat
dimulai dengan takbir, mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam
takbir. Kita akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan
dalil-dalil qath’i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil zhanni. Pada
bagian yang kedua sepatutnya kita saling menghargai dan menggunakan
perbedaan pendapat untuk pengembangan wawasan tentang Islam.
2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip silaturahim:
Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang
zhanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat ukuran-ukuran naqli
dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya maksudkan, mencari dalil-dalil yang
paling kuat lewat kritik hadits (yang secara konvensional telah
disepakati oleh ulama ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur’an (kalau
berkenaan dengan penafsiran al-Qur’an). Ukuran aqli –yang saya
definisikan sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis
suatu proposisi– hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli.
Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat. Ini cara
untuk menghindarkan “terburu-buru” menangkap ruh dari suatu nash. Orang
yang menganggap bahwa setiap orang berhak ijtihad dan menafsirkan
al-Qur’an karena ruh ajaran Islam itu egalitarian, terjebak dalam
keterburu-buruan. Mencurigai hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada
keluarganya, betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan
prinsip egalitarian al-Qur’an [6] adalah mendahulukan kritik ‘aqli
daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan keberatan sementara
orang terhadap hadits-hadits tentang Imam Mahdi, misalnya. Memilih
pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi betapapun kuatnya,
pendapat itu tetap zhanni. Di tengah-tengah umat, keyakinan kita harus
diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan
mudharat.
Ini saya sebut prinsip silaturrahim. Ibnu Mas’ud berpendapat shalat
Dzuhur dan ‘Ashar di Mina harus di qashar. Ketika Utsman shalat empat
rakaat, Ibnu Mas’ud shalat juga empat rakaat. Ketika ditegur ia
menjawab, “Perselisihan itu semua jelek” (al-khilaf syarr kullah).
Ibnu Umar shalat empat rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah
(para ulama menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi
khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan kemaslahatan umat.
Imam Syafi’i tidak membaca qunut pada shalat Shubuh karena menghormati
makam Abu Hanifah yang tidak jauh dari situ.
Di Indonesia, banyak paham timbul –barangkali setelah melakukan
tarjih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham kita terlalu tinggi
sehingga kita cenderung eksklusivistis dan meninggalkan prinsip
silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung menerima informasi hanya lewat
sumber-sumber yang kita setujui dan menutup diri dari informasi yang
datang dari sumber lain. Ini mempertebal ketergantungan kepada paham
fiqh kita. Dan seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak
berujung.
3. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam: Membedakan mana
yang qath’i dan zhanni, mengkritik hadits, melakukan tarjih bukanlah
pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang.
Al-Qur’an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan,
“Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat.
Tidakkah kalian pikirkan itu?” (QS. al-Ra’d:16); “Tidak sama orang buta
dan orang yang melihat. Tidak sama kegelapan dan cahaya” (QS.
Fathir:19); “Katakan, apakah sama orang vang berpengetahuan dengan yang
tidak berpengetahuan” (QS. al-Zumar:9) “Allah mengangkat derajat orang
yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan” (QS. Al-Mujadilah: 11).
Mengizinkan setiap orang berijtihad –tanpa mempedulikan perbedaan mereka
dalam pengetahuan agama– dapat menimbulkan chaos. Seperti
sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan orang, seperti itu pula
beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu mengurangi perbedaan, karena ilmu
meletakkan konvensi-konvensi yang disetujui bersama, di samping membuat
kendala-kendala yang berbentuk kriteria. “Berijtihad” tanpa ilmu berarti
membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti anarki.
Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang pada
gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad sebetulnya secara
inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu.
Ijtihad memerlukan pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini
berarti, hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya.
CATATAN
1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah,
al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan hadits ini
dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid Murtadha al-Askari,
Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq, Beirut: Dar al-Turats al-Islami,
1974.
2) Al-Sayyid Murtadha al-’Askari menulis studi perbandingan antara
Sunnah dan Syi’ah dalam Ma’alim al-Madrasatain (Teheran: Al-Bi’tsah,
1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai madrasah al-khilafah dan Syi’ah
sebagai madrasah al-imamah.
3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam
kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih al-Bukhari,
Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah; Musnad Ahmad 5:89,
Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak al-Shahihain 4: 501; Kanz al-Ummal
6: 201.
4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab Selatan.
Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi’ah. Karena mereka berasal
dari kerajaan Saba, mereka kemudian dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu
banyaknya Sabaiyyah yang mendukung Syi’ah, sehingga Syi’ah sering
disebut sebagai Sabaiyyah.
5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz.
Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup banyak.
Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah), dan ibunya
(Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada bab yang berjudul:
Bab bolehnya menangisi mayit.
6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur’an, prinsip pewarisan
kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering ditegaskan.
Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30; 6:84; 27:16; 19:6. Kita
tidak bermaksud menunjukkan bahwa pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah
satu-satunya paham yang benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa
prinsip egalitarian hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada
dalil-dalil yang sahih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi.
Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma’alim at-Madrasatain, Teheran: Bittsah.
Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah, Dar al-Mu’alim
Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi’ah wa al-Hakimun, Beirut: Dar al-Jawad.
————-, 1982, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, tidak diketahui penerbitnya.
Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, Ulu al-Amr ‘inda Madzahib al-Islamiyah, dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran: Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah.
Durant, Will, 1950, The Story of Civilization, Vol. IV, New York: Simon and Schuster.
————-, 1953, The Story of Civilization, Vol. V. New York: Simon and Schuster.
Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies, London.
Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of Shi’a Islam. Beirut: American University.
Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs, Cambridge.
Rahmat, J., 1986, Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur’an dan Sejarah, dalam Haidar Bagir (ed.).Satu Islam, Sebuah Dilema, Bandung: Mizan.
Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah al-Najah.
Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi’a, Tidak diketahui penerbitnya.
Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Fikr
Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall, Trans. M. Weir. Calcutta
.
Pendapat Ulama Sunni Tentang 12 Pemimpin
BAGIAN I
Hadis 12 Pemimpin
روى جابر بن سَمُرة فقال: سمعتُ النبيّ صلّي الله عليه [وآله] وسلّم يقول: يكون اثنا عشر أميراً. فقال كلمةً لم أسمعها، فقال أبي: أنّه قال: كلّهم من قريش.
Jabir bin Samurah meriwayatkan, “Aku mendengar Nabi (saww) berkata” :”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.”[Sahih Bukhari (inggris), Hadits: 9.329, Kitabul Ahkam; Sahih al-Bukhari (arab) , 4:165, Kitabul Ahkam]
BAGIAN II
Pendapat Para Ulama Sunni
Ibn Arabi
…فعددنا بعد رسول الله صلّي الله عليه [وآله] وسلّم اثني عشر
أميرًا، فوجدنا أبابكر، عمر، عثمان، عليًّا، الحسن، معاوية، يزيد،
معاوية بن يزيد، مروان، عبد الملك بن مروان، الوليد، سليمان، عمر
بن عبد العزيز، يزيد بن عبدالملك ، مروان بن محمد بن مروان، السفّاح،…
وبعده سبعة وعشرون خليفة بن بني العبّاس. وإذا عددنا منهم اثني
عشر انتهي العدد بالصّورة إلي سليمان بن عبد الملك. وإذا عددناهم
بالمعني كان معنا منهم خمسة، الخلفاء الاربعة، وعمر بن عبد العزيز.
ولم أعلم للحديث معني. ابن العربيّ، «شرح سنن التّرمذيّ» 9: 68 ـ 69
Kami telah menghitung pemimpin (Amir-Amir) sesudah Nabi (sawa) ada dua belas. Kami temukan nama-nama mereka itu sebagai berikut: Abubakar, Umar, Usman, Ali, Hasan, Muawiyah, Yazid, Muawiyah bin Yazid, Marwan, Abdul Malik bin Marwan, Yazid bin Abdul Malik, Marwan bin Muhammad bin Marwan, As-Saffah… Sesudah ini ada lagi 27 khalifah Bani Abbas.
Jika kita perhitungkan 12 dari mereka, kita hanya sampai pada Sulaiman. Jika kita ambil apa yang tersurat saja, kita cuma mendapatkan 5 orang di antara mereka dan kepadanya kita tambahkan 4 ‘Khalifah Rasyidin’, dan Umar bin Abdul Aziz….
Saya tidak paham arti hadis ini. [Ibn Arabi, Syarh Sunan Tirmidzi, 9:68-69]
Qadi Iyad Al-Yahsubi
قال: إنّه قد ولي أكثر من هذا العدد. وقال: وهذا اعتراض باطل
لانّه صلّى الله عليه [وآله] وسلّم لم يقل: لايلي الاّ اثنا
عشرخليفة؛ وإنّما قال: يلي. وقد ولي هذا العدد، ولايضرّ كونه وُجد
بعدهم غيرهم. النوويّ: «شرح صحيح مسلم» 12: 201 ـ 202. ابن حجر
العسقلانيّ: «فتح الباري» 16: 339
Jumlah khalifah yang ada lebih dari itu. Adalah keliru untuk membatasinya hanya sampai angka dua belas. Nabi (saw) tidak mengatakan bahwa jumlahnya hanya dua belas dan bahwa tidak ada tambahan lagi. Maka mungkin saja jumlahnya lebih banyak lagi. [Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 12:201-202; Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari, 16:339]
Jalaludin as-Suyuti
إنّ المراد وجود اثني عشر خليفة في جميع مدّة الاسلام إلي يوم القيامه
يعملون بالحقّ وإن لم تتوال أيّامهم…وعلى هذا فقد وُجد من الاثني
عشر خليفة الخلفاء الاربعة، والحسن، ومعاوية، وابن الزّبير، وعمر بن
عبد العزيز، هؤلاء ثمانية. ويحتمل أن يُضمّ إليهم المهتدي من
العبّاسيّين، لانّه فيهم كعمر بن عبد العزيز في بني أُميّة. وكذلك
الطاهر لما اوتي من العدل، وبقي الاثنان المنتظران
أحدهما المهدي لانّه من آل بيت محمّد صلّي الله عليه [وآله]
وسلّم. السّيوطي: «تاريخ الخلفاء»: 12. ابن حجر الهيثميّ: الصّواعق
المحرقة: 19
Hanya ada dua belas Khalifah sampai hari kiamat. Dan mereka akan terus melangkah dalam kebenaran, meski mungkin kedatangan mereka tidak secara berurutan. Kita lihat bahwa dari yang dua belas itu, 4 adalah Khalifah Rasyidin, lalu Hasan, lalu Muawiyah, lalu Ibnu Zubair, dan akhirnya Umar bin Abdul Aziz. Semua ada 8. Masih sisa 4 lagi. Mungkin Mahdi, Bani Abbasiyah bisa dimasukkan ke dalamnya sebab dia seorang Bani Abbasiyah seperti Umar bin Abdul Aziz yang (berasal dari) Bani Umayyah. Dan Tahir Abbasi juga bisa dimasukkan sebab dia pemimpin yang adil. Jadi, masih dua lagi. Salah satu di antaranya adalah Mahdi, sebab ia berasal dari Ahlul Bait Nabi (as).” [Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Halaman 12; Ibn Hajar al-Haytami, Al-Sawa'iq al-Muhriqa Halaman 19]
Ibn Hajar al-’Asqalani
لم ألق أحدًا يقطع في هذا الحديث، يعني بشيء
معيّن؛ فانّ في وجودهم في عصر واحد يوجد عين الافتراق، فلايصحّ أن
يكون المراد. ابن حجر العسقلانيّ، «فتح الباري» 16: 338 ـ 341
Tidak seorang pun mengerti tentang hadis dari Sahih Bukhari ini.
Adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Imam-imam itu akan hadir sekaligus pada satu saat bersamaan. [Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:338-341]
Ibn al-Jawzi
وأوّل بني أُميّة يزيد بن معاوية، وآخرهم مروان الحمار. وعدّتهم ثلاثة عشر. ولايعدّ عثمان، و معاوية، ولا ابن الزّبير لكونهم صحابة.
فإذا أسقطناهم منهم مروان بن الحكم للاختلاف في صحبته، أو لانّه
كان متغلّبًا بعد أن اجتمع النّاسعلى عبد الله بن الزّبير صحّت العدّة…وعند
خروج الخلافة من بني أُميّة وقعت الفتن العظيمة والملاحم
الكثيرة حتّى استقرّت دولة بني العبّاس، فتغيّرت الاحوال عمّا
كانت عليه تغيّرًا بيّنًا. ابن الجوزيّ ، «كشف المشكل» ، نقلاً عن
ابن حجر العسقلانيّ في «فتح الباري» 16: 340، عن سبط ابن الجوزيّ.
Khalifah pertama Bani Umayyah adalah Yazid bin Muawiyah dan yang terakhir adalah Marwan Al-Himar. Total jumlahnya tiga belas. Usman, Muawiyah dan Ibnu Zubair tidak termasuk karena mereka tergolong Sahabat Nabi (s). Jika kita kecualikan (keluarkan) Marwan bin Hakam karena adanya kontroversi tentang statusnya sebagai Sahabat atau karena ia berkuasa padahal Abdullah bin Zubair memperoleh dukungan masyarakat, maka kita mendapatkan angka Dua Belas.… Ketika kekhalifahan muncul dari Bani Umayyah, terjadilah kekacauan yang besar sampai kukuhnya (kekuasaan) Bani Abbasiyah. Bagaimana pun, kondisi awal telah berubah total. [Ibn al-Jawzi, Kashf al-Mushkil, sebagaimana dikutip dalam Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:340 dari Sibt Ibn al-Jawzi]
Al-Nawawi
ويُحتمل أن المراد [بالائمّة الاثني عشر] مَنْ يُعَزُّ الإسلام في زمنه ويجتمع المسلمون عليه.
النوويّ، «شرح صحيح مسلم» 12: 202 ـ 203
Ia bisa saja berarti bahwa kedua belas Imam berada dalam masa (periode) kejayaan Islam. Yakni ketika Islam (akan) menjadi dominan sebagai agama. Para Khalifah ini, dalam masa kekuasaan mereka, akan menyebabkan agama menjadi mulia.[Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim ,12:202-203]
Al-Bayhaqi
وقد وُجد هذا العدد (اثنا عشر) بالصفة المذكورة إلي وقت الوليد بن يزيد بن عبد الملك. ثمّ وقع الهرج والفتنة العظيمة…ثمّ
ظهر ملك العبّاسيّة…وإنّما يزيدون على العدد المذكور في الخبر إذا
تركت الصفة المذكورة فيه، أو عُدَّ منهم من كان بعد الهرج المذكور
فيه.
ابن كثير: «البداية والنّهاية» 6: 249؛ السّيوطيّ، «تاريخ الخلفاء»:11
Angka (dua belas) ini dihitung hingga periode Walid bin Abdul Malik. Sesudah ini, muncul kerusakan dan kekacauan. Lalu datang masa dinasti Abbasiyah. Laporan ini telah meningkatkan jumlah Imam-imam. Jika kita abaikan karakteristik mereka yang datang sesudah masa kacau-balau itu, maka angka tadi menjadi jauh lebih banyak.” [Ibn Katsir, Ta'rikh, 6:249; Al-Suyuti, Tarikh al-KhulafaHalaman 11]
Ibn Katsir
فهذا الّذي سلكه البيهقيّ، وقد وافقه عليه جماعة من أنّ المراد
بالخلفاء الاثني عشر المذكورين في هذا الحديث هم المتتابعون إلي
زمن الوليد بن يزيد بن عبد الملك الفاسق الّذي قدّمنا الحديث فيه بالذّمّ والوعيد، فانّه مسلك فيه نظر…فان اعتبرنا ولاية ابن الزبير قبل عبد الملك صاروا ستّة عشر، وعلى كلّ تقدير فهم اثنا عشر قبل عمر بن عبد العزيز. فهذا الّذي سلكه على هذا التّقدير يدخل في الاثني عشر يزيد بن معاوية، و يخرج منهم عمر بن عبد العزيز الّذي
أطبق الائمّة على شكره وعلى مدحه، وعدوّه من الخلفاء الرّاشدين،
وأجمع الناس قاطبة على عدله. ابن كثير، «البداية والنّهاية» 6: 249
ـ 250
Barang siapa mengikuti Bayhaqi dan setuju dengan pernyataannya bahwa kata ‘Jama’ah’ berarti Khalifah-khalifah yang datang secara tidak berurutan hingga masa Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang jahat dan sesat itu, maka berarti ia (orang itu) setuju dengan hadis yang kami kritik dan mengecualikan tokoh-tokoh tadi.
Dan jika kita menerima Kekhalifahan Ibnu Zubair sebelum Abdul Malik, jumlahnya menjadi enam belas. Padahal jumlah seluruhnya seharusnya dua belas sebelum Umar bin Abdul Aziz. Dalam perhitungan ini, Yazid bin Muawiyah termasuk di dalamnya sementara Umar bin Abdul Aziz tidak dimasukkan. Meski demikian, sudah menjadi pendapat umum bahwa para ulama menerima Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang Khalifah yang jujur dan adil. [Ibn Katsir, Ta'rikh, 6:249-250]
MEREKA BINGUNG ?
Kita perlu pendapat seorang ulama Sunni lain yang dapat mengklarifikasi siapa Dua Belas Penerus, Khalifah, para Amir atau Imam-imam sebenarnya.
Al-Dzahabi mengatakan dalam Tadzkirat al-Huffaz , jilid 4, halaman 298, dan Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam al-Durar al Kaminah, jilid 1, hal. 67, bahwa Shadrudin Ibrahim bin Muhammad bin al-Hamawayh al-Juwaini al-Syafi’i adalah seorang ahli Hadis yang mumpuni.
Lebih lengkap tentang Al-Juwaini, silahkan rujuk catatan Al-Muhadits Al-Juwaini Asy-Syafi’i (ra) dan Hadis Tentang Sayyidah Fathimah sa“
BAGIAN III
Al-Juwayni Asy-Syafi’i :
عن عبد الله بنعبّاس رضي الله عنه، عن النّبيّ صلّي الله عليه [وآله] وسلّم أنّه قال: أنا
سيّد المُرسَلين، وعليّ بن أبي طالب سيّدالوصيّين، وأنّ أوصيائي
بعدي اثنا عشر، أوّلهم عليّ بن أبي طالب، وآخرهم القائم.
dari Abdullah bin Abbas (ra) bahwa Nabi (sawa) mengatakan,”Saya adalah penghulu para Nabi dan Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin para penerus, dan sesudah saya akan ada dua belas penerus. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah al-Qaim.”
عن ابن عبّاس رضي الله عنه، عن النبيّ صلّي الله عليه [وآله] وسلّم أنّه قال: أنّ خلفائي وأوصيائيوححج الله على الخلق بعدي لاثنا عشر، أوّلهم أخي، وآخرهم وَلَدي. قيل: يا رسول الله، ومن أخوك؟ قال: عليّ بن أبيطالب. قيل: فمن وَلَدُكَ؟ قال: المهديّ الّذي
يملاها قسطًا وعدلاً كما مُلئت جورًا وظلمًا. والّذي بعثني بالحقّ
بشيرًا لو لم يبق من الدّنيا الاّ يوم واحد لطَوَّل الله ذلك اليوم
حتّي يخرج فيه ولدي المهدي، فينزلروح الله عيسى بن مريم فيُصلّي
خلفَهُ، وتُشرق الارض بنور ربّها، ويبلغ سلطانه المشرق والمغرب.
Dari Ibnu Abbas (r) bahwa Rasulullah (sawa) berkata: ”Sudah pasti bahwa washi-washiku dan Bukti (hujjah) Allah bagi makhluk sesudahku ada dua belas. Yang pertama di antara mereka adalah saudaraku dan yang terakhir adalah anak (cucu) ku.” Orang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah saudaramu itu?”. Beliau menjawab: “Ali bin Abi Thalib.” Lalu beliau ditanyai lagi: “ Dan siapakan anak (cucu) mu itu?” Nabi yang suci (sawa) menjawab: ”Al-Mahdi. Dia akan mengisi bumi dengan keadilan dan persamaan ketika ia (bumi) dipenuhi ketidakadilan dan tirani. Dan demi Yang Mengangatku sebagai pemberi peringatan dan memberiku kabar gembira, meski seandainya masa berputarnya dunia ini tinggal sehari saja, Allah SWT akan memperpanjang hari itu sampai diutusnya (anakku) Mahdi, kemudian ia akan disusul Ruhullah Isa bin Maryam (as) yang turun ke bumi dan berdoa di belakangnya (Mahdi). Dunia akan diterangi oleh sinarnya, dan kekuatannya akan mencapai hingga ke timur dan ke barat.”
رسول الله صلّي الله عليه [وآله] وسلّم أنّه قال: أنا، وعليّ، والحسن، والحسين، وتسعة من ولد الحسين مطهّرون معصومون. الجوينيّ، «فرائد السمطين» مؤسّسة المحموديّ للطّباعة والنشر، بيروت، 1978، ص
Rasulullah (sawa) mengatakan: ”Aku dan Ali dan Hasan dan Husain dan sembilan anak cucu Husain adalah yang disucikan (dari dosa) dan dalam kebenaran.” [Al-Juwaini, Fara'id al-Simthain, Mu'assassat al-Mahmudi li-Taba'ah, Beirut 1978, h. 160.]
Di antara semua mazhab Islam, hanya Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah
yang percaya pada individu-individu sebagai Dua Belas orang dari Ahlul
Bait Raulullah saww yang berhak sebagai Penerus Rasulullah saww.
No comments
Post a Comment