Abdul Kahar Muzakkar, Ironi Sang Patriot
“Tiga
butir peluru bren Kopka Sadeli mengachiri pengatjauannja selama 15
tahun di, Sutiga butir peluru bren Kopka Sadeli mengachiri
pengatjauannja selama 15 tahun di Sulawesi Selatan dan Tenggara”
Kita
sering termangu, mendengar kiprah dan karya para tokoh pejuang. Entah
karena mengagungkan prestasi dan jejak juangnya atau karena peran
besarnya terhadap Indonesia. Kali ini, mari kita susuri sejenak
sekelumit langkah dari perjalanan seorang pejuang yang kemudian dianggap
pemberontak. Kisah nyata seorang pemberani yang mencari sebuah
kebahagiaan dalam pahitnya penderitaan. Pejuang yang terlupa hingga kini
atau bahkan tak dianggap.
Sosoknya
dikenal memiliki siasat berpetualang, tipu muslihat, sekaligus daya
pikat yang tinggi. Di tahun 1950-an, ia berjaya ketika menjadi pengawal
Soekarno dalam menghadapi Jepang dengan hanya berbekal sebilah golok.
Tetapi, patriot ini kemudian mengubah haluan perjuangannya dengan
memberontak. Apakah sebab dibalik itu? Boleh jadi ia memberontak, atau
ia merasa dikhianati habis-habisan. Satu hal yang tidak boleh dilupa,
ia adalah satu-satunya patriot penggagas negara federalisme Islam.
Sebuah diskursus yang muncul kembali di pangung politik saat terjadi
reformasi Mei 1998.
Adalah Abdul
Kahar Muzakkar, pahlawan yang kini hilang dalam kenangan. Lelaki yang
pernah mengabdi untuk negara. Hingga kini, namanya tidak tercantum
sebagai pahlawan. Dalam buku sejarah umum, kita dikenalkan kepada
sosoknya sebagai pemberontak. Hingga kini kematiannya tetap menjadi
misteri. Jasadnya tidak pernah diketahui, makamnya pun tak terlacak. Ia
lahir sebagai anak Sulawesi. Sebagai keturunan Bugis-Makassar, Abdul
Kahar Muzakkar dapat dibilang berdarah “panas”. Sosok yang kokoh, tak
gentar dalam menjalani kehidupan. Ia adalah pejuang dan pemberontak
yang menjunjung tinggi prinsip dan nilai-nilai Islam.
Hidup dan Karir Kahar
Kahar
Muzakkar dilahirkan pada 24 Maret 1921, di daerah terpencil bernama
Kampung Lanipa, Ponrang, Sulawesi Selatan. Masa kecilnya seperti pada
umumnya anak-anak di Nusantara.Yang membedakan, sejak kecil jiwa
pemberontakannya sudah muncul. Pantang takluk dan harus selalu menang
dalam perkelahian. Ia dikenal dengan nama kecil Ladomeng karena
kegemarannya bermain domino. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga
petani yang cukup mampu dan tergolong aristokrasi rendah. Ketika
beranjak remaja, ia merantau. Setelah tamat sekolah rakyat pada 1938,
Kahar dikirim orangtuanya ke Solo. Tempat yang ia datangi adalah
perguruan Mualimin Muhammadiyah untuk memahami dan mengasah ilmu agama
Islam. Disini pula ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul
Wathon, organisasi otonom yang mempunyai visi dan mengemban misi
Muhammadiyah dalam pendidikan.
Di
sekolah ini ia bertemu KH Sulaeman Habib, Mufti Besar Republik
Persatuan Islam Indonesia (RPII). Beliaulah yang mengusulkan penambahan
nama Kahar menjadi Abdul Kahar Muzakkar, diilhami oleh Abdul Kahar
Muzakkir, salah seorang panitia sembilan BPUPKI. Namun, Kahar tak
berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah menikahi Siti Walinah,
seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya pada tahun 1941.
Perjuangan Melawan Penguasa Pertama
Di
Sulawesi Selatan kota Luwu, Kahar bekerja di Nippon Dahopo, instansi
bentukan Jepang. Saat itu Jepang sudah mulai melebarkan sayap
jajahannya di Sulawesi. Selama beberapa lama berada di tanah
kelahirannya, ia memberontak.
Ia
mengalami bentrokan dengan kepala-kepala adat setempat. Sikap Kahar
yang membenci sistem feodal yang berlaku di Sulawesi Selatan menjadi
alasan. Bahkan, ia menganjurkan agar sistem aristokrasi dihapuskan.
Awal dari perjuangannya dimulai ketika ia mengecam keras sikap Kerajaan
Luwu yang kooperatif dan “Pak Toeroet” (nurut) dengan datangnya Jepang
ke ranah Sulawesi. Kerajaan Luwu berang. Padahal, mayoritas pemuda
Sulawesi kala itu percaya dan tunduk dengan iming-iming Jepang sebagai
pembebas dari Timur. Kahar menepis dengan perkasa. Menurutnya, segala
tindak tanduk Jepang adalah omong kosong belaka. Hanyalah bentuk
kehancuran bertopeng cahaya.
Ia
tangguh akan pendiriannya untuk mengusir Jepang dari tanah kelahirannya
itu. Akibat penentangannya tersebut, Kerajaan Luwu bertindak licik
dengan menuduhnya mencuri. Kemudian ia diganjar hukuman atas tuduhan
menghina kerajaan dan mencuri. Hukuman yang diterimanya sangat berat.
Ia diganjar vonis adat ri paoppangi tana, hukuman yang mengharuskannya
keluar dari tanah kelahirannya, bumi tercintanya.
Untuk
kedua kalinya, pada Mei 1943, Kahar meninggalkan kampung halaman. Ia
kembali ke Solo. Mencari kehidupan baru. Itulah periode yang membuatnya
harus terus berjuang dan memberontak atas segala penindasan wilayah,
ekonomi, dan politik Indonesia oleh Jepang. Ia memutuskan untuk terjun
total dalam kancah perjuangan kemerdekaan.
Perjuangan di Jawa
Kemudian,
ia mendirikan toko Usaha Semangat Muda. Dalam perkembangannya, toko
itu digunakan sebagai pusat dan markas gerakan perjuangan. Tempat
dimana ia membuat strategi pemberontakan dan mengumpulkan para pemuda.
Setelah
proklamasi 17 Agustus 1945, ia pergi ke Jakarta. Di Ibu Kota, Kahar
mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (Gepis), yang kemudian
berubah menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS). Di
organisasi itu Kaharmenjabat sebagai Sekretaris. Ternyata ia seorang
administrator dan orator yang berbakat dengan daya tariknya yang besar.
Sikapnya menimbulkan kekaguman kawan-kawan dan kabar itu pun menyebar
luas.
Pada Desember 1945, beberapa
pemuda menemui Kahar dan meminta untuk membantu dalam usaha pembebasan
800 pemuda yang ditahan di Nusakambangan. Aksinya berhasil, dan 800
pemuda tersebutlah yang menjadi cikal bakal laskar andalan yang
dibentuknya dan dinamakan Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) .
Dalam
perjalanan hidupnya, Kahar bergabung dengan Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI). Karir Kahar mengalami kemajuan pesat. Ia aktif
mengikuti berbagai pertempuran penting untuk mempertahankan
kemerdekaan. Ia dipercaya menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik
Indonesia-Sulawesi dan merupakan orang Bugis-Makassar pertama yang
berpangkat letnan kolonel (letkol). Perjalanan karirnya menyurut ketika
pasukan di luar Jawa direorganisasi menjadi satu brigade, dan Kahar
tidak terpilih sebagai pemimpin. Yang ditunjuk adalah Letkol J.F.
Warouw. Sedangkan Kahar hanya dipilih sebagai wakil komandan.
Konflik dengan APRI
Di
tahun 1952, setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di
Sulawesi Selatan, Kahar menuntut KGSS menjadi formasi resimen. Ia
menghendaki pasukannnya yang terdiri dari 10 batalyon itu dimasukkan ke
dalam APRI kemudian menjadi Brigade Hasanuddin di bawah
kepemimpinannya.
Kolonel Kawilarang,
Panglima saat itu menolak mentah-mentah. Kahar sangat kecewa dan
kemudian ia meletakkan pangkat letkolnya di depan Kawilarang. Analisis
Anhar Gonggong (2001), sejarawan dari Universitas Indonesia,
kegagalan-kegagalan tersebut membuat Kahar merasa gagal mengembalikan
harga dirinya sebagai orang Bugis-Makassar.
Kelanjutan
dari kekecewaan tersebut, ia berikut KGSS memutuskan bergabung dengan
gerakan DI/TII Kartosoewirjo pada 20 Agustus 1952. Pada tanggal 7
Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari
Negara Islam Indonesia. Ia diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII.
Awal aru baginya untuk melaksanakan apa yang dicita-citakannya. Gerakan
ini mendapat perhatian rakyat. Banyak yang setuju, bahkan banyak yang
mencela. Hebatnya, gerakan ini berhasil mengajak sebagian anggota TNI
untuk melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi
Selatan.
Tujuan
utama gerakan ini adalah untuk melawan pemerintahan Soekarno, sosok
yang dianggapnya mengecewakannya dan sebagai wujud ketidakpuasannya
terhadap cara pemerintah merasionalisasi para gerilyawan dari masa
revolusi kedalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia.
Dalam
hidupnya, Kahar memang harus menelan pil pahit kekecewaannya. Bahkan
ia dikecewakan oleh APRI, setelah begitu lama berbakti. Kahar tidak
dijadikan pemimpin bahkan tidak diikutkan dalam operasi-operasi
pemulihan ketenteraman di Sulawesi Selatan.
Akibat kekecewaannya tersebut, bersama
dengan pasukan gerilyawan yang setia di bawah komandonya, ia masuk
hutan menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah pusat. Ia menyatakan
perang melawan apa yang disebutnya kezaliman dan pengkhianatan. Dan,
konflik yang terjadi merupakan sikap perlawanan melelahkan dan
membutuhkan periode yang cukup panjang.
Barbara
Sillars Harvey (1989), pengamat politik dari Monash University,
menilai gerakan Kahar Muzakar bermula dari adanya perasaan diperlakukan
tidak adil oleh pemerintah Pusat. Merasa tidak dihargai dan
seakan-akan nasibnya ditentukan secara tidak adil oleh orang-orang yang
kurang memahami aspirasi daerah. Karena pusat didominasi orang Jawa
dan Minahasa, maka sentimen perasaan itu mengalami distorsi menjadi
sentimen kesukuan.
Lewis
Coser (1913-2003), seorang sosiolog mengatakan bahwa konflik
infra-struktur merupakan representasi dari friksi suprastruktur. Dalam
hal ini, perlawanan serta pemberontakan dan upaya disintegrasi yang
dilakukan oleh Kahar Muzakar dan berideologi Islam, dapat dilihat dari
konteks sejarah politiknya. Karena, Indonesia sebagai negara-bangsa
yang terdiri dari berbagai macam perbedaan, kultur, adat, budaya, dan
sistem sosial, mengakibatkan proses demokrasi yang ada tidak berjalan
dengan mulus. Lebih lanjut, Coser melihat konflik sebagai mekanisme
perubahan sosial dan penyesuaian yang dapat memberi peran positif atau
fungsi positif dalam masyarakat. Mungkin, pemberontakan Kahar ini telah
menjadi tauladan bagi rakyat Sulawesi Selatan. Perlawanan yang menjadi
cerita sendiri di kalangan masyarakat Sulawesi.
Kahar
memang orang yang dihormati di masa itu. Perjuangannya juga banyak
mendapat dukungan. Sikapnya bergabung dengan DI/TII, membuat Kahar
menjadi sosok yang idealis untuk membentuk negara Islam. Tetapi, Kahar
sendiri tidak selamanya setuju dengan paham Kartosoewirjo yang
menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan di bawah payung Islam.
Ia cenderung membuat Indonesia sebagai negara federal sehingga asas
Islam tak perlu diterapkan di seluruh wilayah Negara. Pada tahun 1962,
ia memecahkan diri dari Kartosoewirjo dan mendirikan Republik Persatuan
Islam Indonesia (RPII) di Sulawesi Selatan.
Perpecahan dengan Kartosoewirjo
Pada
awalnya, Kahar sangat tertarik ketika ditawari Kartosoewirjo menjadi
pimpinan Tentara Islam Indonesia di Sulawesi Selatan. Apalagi, jalur
yang ditempuh Kartosoewirjo membawa nama Islam, ideologi yang juga
diusungnya.
Namun,
ia sadar berbagai hal menghalanginya dalam setiap tindakan sebagai
panglima negara Islam. Alasannya, dalam pasukannya terdapat
kelompok-kelompok non Muslim yang dipengaruhi ide-ide komunis.
Sehingga, ia menyatakan kepada Kartosoewirjo untuk tidak dapat
sepenuhnya mengabdikan diri ke DI/TII. Seiring perjalanannya menjadi
panglima, ia merasa resah. Ia tidak dapat menerima konsep-konsep
radikal Kartosoewirjo yang ingin “mengislamkan Indonesia”. Kahar sangat
kritis dalam memandang hal ini.
Kartosoewirjo
mengharapkan bentuk negara kesatuan yang dijalankan berdasarkan
syariat Islam. Ia menilai bahwa lebih dari 90 persen penduduk Indonesia
menganut Islam sehingga tidak ada ideologi lain yang mampu memayungi
Indonesia kecuali Islam. Kahar memiliki persepsi berbeda. Ia
mengharapkan bentuk negara federal Islam yang mengusung sistem
pemerintahan demokrasi sejati. Dalam pandangannya, pemerintahan
tersebut berbentuk presidential dengan presiden sebagai kepala negara
dibantu oleh menteri-menteri yang dipilih langsung oleh rakyat.
Sedangkan, ia mengharapkan pembentukan negara-negara bagian dengan
mengedepankan keadilan sosial. Ia sangat menghormati beragam agama dan
kepercayaan di Indonesia. Sehingga, dalam negara-negara bagian
mempunyai bentuk pemerintahan negara bagian sendiri. Tentu saja
berdasarkan ajaran agama dan peradabannya masing-masing, menurut
ketentuan yang dinyatakan dalam Undang Undang Dasar negara bagian
masing-masing. Dengan demikian menurutnya, masing-masing golongan suku
bangsa Indonesia akan hidup dalam lingkungan daerah negara bagiannya
dengan bebas merdeka. Tetapi tentu saja, masih dalam ikatan pemerintahan
demokratis Indonesia.
Itulah
perbedaan mendasar antara Kartosoewirjo dan Kahar Muzakkar dalam
rancah ideologi. Untuk itu, Kahar pernah mendesak untuk mempositifkan
dan mengkonkretkan bentuk kedaulatan negara bersendikan asas Alquran
dan Hadist. Namun, Kartosoewirjo menolak mentah-mentah. Hal itu
akhirnya membuat Kahar hengkang dari kelompok DI/TII dan akhirnya
mendeklarasikan RPII di tahun 1962.
Sebagai pemimpin, Kahar bersumpah untuk bertindak tegas, radikal, dan revolusioner. Ia juga ingin membersihkan Islam dari pengaruh Feodalisme. Dengan itu, ia meyakinkan rakyatnya bahwa gerakan Islam revolusioner di wilayah Indonesia Timur merupakan pejuang Islam yang paling depan.
Di
awal kepemimpinannya, feodalisme, fanatisme terhadap intepretasi ulama
dan mazhab merupakan hal yang harus dihapuskan. Menurutnya, tiga hal
tersebut adalah perusak kehidupan kesatuan masyarakat Islam. Baginya,
landasan pengaturan hidup bukan berasal dari tiga hal itu. Tetapi,
satu-satunya landasan adalah Alquran dan Hadist tanpa campur tangan
manusia.
Konsep Negara Demokrasi
Dalam
beberapa bukunya, Kahar Muzakkar menjelaskan dengan konkret bentuk dan
sistem pemerintahan yang menjadi cita-citanya. Misalnya, dalam buku
Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia (1960), ia mempertentangkan konsep
negara yang diusung Soekarno. Baginya, Soekarno telah gagal dalam
perjuangan kemerdekaan.
Dalam pandangannya, Soekarno tidak tegas dalam menetapkan dasar negara.Soekarno dinilai telah menipu bangsa Indonesia dengan keinginannya untuk membentuk “agama Pancasila”. Lebih lanjut, Kahar mengkritisasi demokrasi terpimpin yang diusung Soekarno. Sebagai pemimpin, Soekarno terlalu congkak membanggakan kekuasaannya sebagai pemimpin yang berkuasa atas kedaulatan rakyat. Padahal, ia sering mengucap pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Namun, dalam penilaian Kahar, dalam hal kedaulatan, rakyat “diperkosa” dan ditelan oleh kekuasaannya yang otoriter.
Soekarno
pun dicapnya sebagai komunis Karena Kahar menilai ia membela Partai
Komunis Indonesia (PKI). Itulah yang membuatnya patah hati. Padahal,
awalnya ia sangat terkagum-kagum dengan ideologi Pancasila yang
ditanamkan Soekarno.
Sebagai
niat baik, Kahar mengirimkan surat untuk Soekarno. Di dalam surat itu
Kahar menyatakan dirinya bersedia menyerah dan kembali ke pangkuan
republik dengan dua syarat. Pertama, Sukarno membubarkan PKI. Dan
kedua, Soekarno menetapkan Ketuhanan sebagai asas negara. Kahar ia
menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno.
Ia
berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan
Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran. Hal itu tercermin
dari sepenggal surat yang dikirimnya dan ditolak oleh Soekarno.
“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Alquran….”
Dan,
bagaimanakah konsep negara demokrasi Kahar Muzakkar? Baginya,
demokrasi sejati digariskan Tuhan dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa
sebenarnya kedaulatan dan kekuasaan itu mutlak ada pada Tuhan.
Arti
kedaulatan dan arti kekuasaan atas segala segi hidup manusia, ialah
kedaulatan Hukum Tuhan atas kehidupan manusia. Sehingga, menurut Kahar,
tidak dibenarkan apabila seorang manusia menyatakan segala yang
terjadi atas kuasa, kehendak, dan kedaulatannya. Lebih lanjut,
menurutnya manusia (dalam hal ini rakyat) hanya ditakdirkan untuk
memegang amanah Sang Pencipta. Sehingga, rakyat membentuk segala badan
kekuasaan pemerintah, sistem perundang-undangan, dan rakyat dapat
memilih ataupun memecat pejabat pemerintah tanpa pandang bulu.
Seperti
yang telah dipaparkan di atas, menurut cita-cita Kahar, sistem
pemerintahan yang baik adalah sistem presidensial. Dan, ia ingin
pembagian yang adil untuk negara-negara bagian dalam hal pemerintahan.
Dan, tentu saja mengadopsi prinsip kerakyatan dalam batas kedaulatan
Hukum Tuhan dengan menetapkan segala sesuatunya dengan musyawarah
melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi, ia tidak menghendaki adanya
partai politik (parpol). Ia berpendapat bahwa parpol merupakan perusak
idealisme. Ia juga tidak menginginkan organisasi massa yang dapat
mempengaruhi hukum negara. Menurutnya, lebih baik apabila
lembaga-lembaga itu berada dalam sistem kenegaraan atau kemasyarakatan
yang langsung dilakukan pemerintah bersama badan pemusyawaratan rakyat.
Sebenarnya,
gagasan besar yang dapat kita pahami dari Kahar adalah bagaimana ia
menemukan konsep pembentukan negara federal. Menurutnya, terdapat tiga
jalan untuk membentuk negara federal. Pertama, menurut administrative
indeling sewaktu masa penjajahan Belanda dengan memasukkan daerah
tingkat provinsi di Jawa dan daerah residensi di luar Jawa menjadi
Negara bagian. Kedua, memasukkan suku-suku besar seperti Jawa, Madura,
Pasundan, Aceh, Minangkabau dan lainnya menjadi Negara bagian. Ketiga,
daerah-daerah suku bangsa yang kecil di luar Jawa, ditambah dengan
penduduk yang dimigrasikan dari pulau Jawa dapat disatukan menjadi
negara bagian. Pembagian tersebut menurut Kahar harus didasarkan pada
yuridis-historis batas daerah, sejarah hidup dan yang terpenting
keinginan bersama.
Itulah
pemikirannya yang kita dapat nilai sangat maju. Gagasan-gagasan dan
konsepnya dalam membentuk Negara dituangkan dalam 20 buku bertemakan
politik, Islam, dan ketatanegaraan. Buku-bukunya yang terkenal adalah
Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia
Menuju Persaudaraan Manusia, dan Tjatatan Bathin.
Patriot Dengan Keluarga Besar
Di
tengah kehidupannya sebagai pejuang yang “mengungsi” ke hutan, Kahar
memiliki kisah cinta yang terbilang banyak. Mungkin, pernikahan juga
menjadi bagian tak terlepaskan dari perjuangan seorang Kahar Muzakar.
Ia ternyata juga membutuhkan kasih sayang dan pendamping. Ia tetap
manusia biasa. Lelaki yang penuh hasrat untuk mencinta. Walaupun,
beberapa pernikahannya dilandasi kepentingan perjuangan. Secara
keseluruhan, Kahar tercatat memiliki sembilan istri (tentu saja tidak
sekaligus, karena Islam hanya membolehkan poligami dengan batasan
maksimal 4), dan 15 anak.
Fakta
sebenarnya, di balik paras yang keras, Kahar memiliki perhatian dan
cara menyayangi yang lembut. Sebutlah Susana Corry Van Stenus, yang
kerap dipanggil Corry. Istri kedua Kahar yang dinikahinya tahun 1947.
Terhadap Corry, Kahar menyimpan perasaannya yang terdalam. Sebagai
istri Corry memang terlampau sabar dan baik. Ia rela menemani Kahar
hidup di hutan dan terasing dari peradaban luar. Bahkan, ia mengizinkan
Kahar menikah berkali-kali. Sepertinya Corry paham, maksud dan
kepentingan suaminya itu. Setelah istri pertama Kahar, Siti Walinah
diceraikan, Kahar menikahi Corry bermaksud mengislamkan dan mengajaknya
ikut berjuang. Siti Walinah ketika itu menolak berjuang di
Sulawesi.
Dalam perantauannya kemudian Kahar menikahi Siti Hami, saat itu Kahar
berusia 60 tahun. Kahar berharap istrinya ini dapat membantu membiayai
perjuangannya. Memang Siti Hami cukup kaya karena menjadi juragan Kopra
dengan kebunnya yang sangat luas.
Siti
Habibah, Istri Kahar lainnya, adalah janda panglimanya yang gugur
dalam pertempuran. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga bakti
panglimanya. Kahar juga pernah menikahi salah satu istrinya sebagai
simbol pendobrakannya pada nilai-nilai feodalisme. Di masa itu wanita
bangsawan hanya ingin menikah dengan pria bangsawan. Walau bukan
berasal dari kelompok bangsawan, Kahar sangat dihormati dan penuh daya
pikat, sehingga banyak wanita bangsawan menawarkan diri untuk dinikahi.
Wanita terakhir yang dinikahinya bernama Daya. Gadis 15 tahun
keturunan suku Marunene, suku yang biasa dijadikan budak oleh bangsawan
Bugis. Gadis itu dinikahinya atas dasar belas kasih.
Kematian Sang Panglima
Pemberontakan
Kahar berlangsung selama kurang lebih 15 tahun. Gerakan Kahar ini
memang menjadi rentetan historis yang dikenal masyarakat Sulawesi
Selatan, daerah yang menganut paham Islam syariah.Bagi masyarakat
Sulawesi Selatan, ia tetap pejuang. Ia terkenang dengan sikapnya yang
sederhana dan tegas dalam mengambil tindakan.
Perannya
untuk masyarakat Sulawesi, Kahar mampu mengedepankan penyelesaian
mufakat untuk pertentangan masyarakat dan sengketa kekerabatan.
Sehingga ia menjadi tokoh yang dihormati, dikagumi, sekaligus diminati
para kaum hawa.
Perjuangan
Kahar berakhir dalam Operasi Tumpas TNI. Kahar Muzakar tewas tanggal 3
Februari 1965. Ia ditembak mati Kopral Dua Sadeli, anggota Batalyon
Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Ia
tertembak tiga peluru pun terlontar menembus dada tepat pada waktu
06.05 WIB. Kematian Kahar menimbulkan kontroversi selama puluhan tahun.
Sebab, banyak anak buah dan pendukung Kahar yakin, yang ditembak oleh
Ili Sadeli bukanlah Kahar yang sebenarnya. Menurut mereka, Kahar
pemimpinnya, telah lenyap menyembunyikan diri. Kematiannya menjadi
misteri. Tidak ada bekas peninggalannya, bahkan makamnya pun tidak
ditemukan. Jenderal (Purn) M. Jusuf yang kala itu bertanggung jawab
akan misi ini pun menyembunyikan kematian pemimpin Islam ini hingga
akhir hayatnya.
Kini, Abdul Kahar Muzakkar hanya dianggap sebagai pemimpin yang keras, tendensius, radikal dan menghancurkan nama Islam. Padahal, yang patut dikagumi dari Kahar adalah sikap idealismenya untuk melawan sistem “bobrok” Soekarno kala itu.
Ia
rela melepaskan pangkat dan martabat untuk berjuang demi prinsipnya.
Ia bersikukuh tidak mau tunduk pada kekuasaan Soekarno hingga mati. Ini
adalah pelajaran berharga bagi kaum muda yang ingin menegakkan
idealisme.
*Sebagian orang bahkan percaya bahwa Abdul Kahar Muzakkar sebenarnya tidak meninggal pada tanggal 3 Februari 1965. Pada waktu itu beliau berhasil lolos dan menghilang, kemudian berganti nama menjadi Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah, Pengasuh Pondok Pesantren An Nadzir, Dumai, yang meninggal pada tanngal 5 Agustus 2006. Pemberontakan Abdul Kahar Muzakkar sendiri terkenal dengan Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1950-1965.
No comments
Post a Comment