GHADIR KHUM
SERIAL GHADIR KHUM 3 (Penunjukkan Ali sebagai pewaris nabi)
Keutamaan (Afdhaliyyah) secara istilah atau yang dimaksud dalam tulisan ini ialah “memiliki keunggulan khusus yang diberikan oleh Allah (thawab) karena yang bersangkutan telah melakukan banyak sekali perbuatan baik”
Setiap Muslim yakin bahwa “Keutamaan” ini tidak bisa ditentukan oleh diri kita sendiri dan tidak ada cara lain untuk mengetahui atau menentukan bahwa seseorang itu memiliki keutamaan atau tidak melainkan hanya dengan melihat dan merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Al-Ghazali, seorang ulama besar di kalangan Ahlussunnah menulis sebagai berikut:
“Hakikat dari keutamaan (afdhaliyyah) itu ialah sesuatu yang berasal dari Allah; dan itu tidak bisa diketahui melainkan oleh Rasulullah sendiri”
(jadi karena hanya Rasulullah yang tahu, maka hanya Rasulullah-lah yang bisa memberikan kita penjelasan tentang orang yang memiliki keutamaan itu—red)
Kebanyakan dari saudara kita dari kalangan Ahlussunnah percaya bahwa manusia yang paling utama atau manusia yang memiliki keutamaan itu bisa diurutkan mulai dari khalifah yang empat. Jadi setelah Rasulullah maka manusia yang paling utama itu ialah Abu Bakar karena ia khalifah pertama setelah Nabi wafat. Lalu yang kedua ialah Umar dan Umar dianggap lebih mulia daripada Utsman. Lalu Utsman karena ia dianggap lebih mulia daripada Ali. Dan begitu seterusnya………………
Akan tetapi sayangnya keyakinan ini sama sekali tidak berdasarkan bukti yang kuat dan bahkan tidak setiap Sunni percaya pada hal yang sama. Kaum Sunni (Ahlussunnah) sekarang ini banyak dari mereka yang tidak memiliki keyakinan seperti ini. Di zaman Rasulullah, kita lihat ada beberapa sahabat Nabi yang utama seperti Salman al-Farisi, lalu Abu Dzar al-Ghifari, Miqdad al-Kindi, Ammar bin Yasir, Khabbab bin al-Aratt, Jabir bin Abdillah al-Ansari, Hudzhaifah bin al-Yaman, Abu Sa’id al-Khudri, Zayd bin Arqam dan beberapa lagi yang lainnya percaya dan yakin bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling utama dibandingkan sahabat-sahabat lainnya (selain karena pada kenyataannya ia memang seorang anggota Ahlul Bayt Nabi—red). (Lihat: Ibn Abdil Barr: al-Isti’ab, volume 2, halaman 470)
Ahmad bin Hanbal pernah ditanya pada suatu ketika oleh anaknya sendiri tentang siapakah manusia yang paling utama setelah Nabi.
Ahmad bin Hanbal menjawab: “Abu Bakar dan Umar dan Utsman.”
Anaknya lalu bertanya lagi, “Bagaimana dengan Ali bin Abi Thalib?”
Ahmad bin Hanbal menjawab, “Ia dari Ahlul Bayt. Tidak ada seorangpun yang bisa menyamai keutamaannya.” (Lihat al-Qunduzi: Yanabi’u l-mawaddah, halaman 253)
Ubaydullah Amritsari menulis dalam kitabnya yang terkenal yaitu Arjahu l-matalib: “Karena keutamaan (afdhaliyyah) itu ialah memiliki keunggulan sifat yang diberikan oleh Allah (thawab), maka untuk mengetahuinya kita harus merujuk kepada hadits nabi…………dan apabila ada banyak hadits yang bertentangan satu sama lainnya maka hadits-hadits yang shahih-lah yang harus kita ambil; dan hadits yang lebih kuat harus diutamakan daripada hadits yang lemah.”
Al-Allamah bin Abdil Barr pernah menulis dalam kitabnya yang berjudul Al-Isti’ab (Lihat: Ibn Abdi l-Barr:al-Isti’ab, volume 3, halaman 1115) mengenai hadits yang menceritakan tentang keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Al-Allamah bin Abdil Barr menulis sebagai berikut:
“Imam Ahmad bin Hanbal, al-Qadi Ismail bin Ishaq, Imam Ahmad bin Ali bin Shu’ayb an-Nasa’I, dan al-Hafiz Abu Ali an-Naysaburi (Lihat: Ibn Hajar al-Haytami: Sawa’iqu ‘l-muhriqah, halaman 72; Ibn Hajar al-‘Asqalani: Fathu’l-bari, volume 8, halaman 71) semuanya mengatakan: ‘Tidak banyak hadits lain yang memiliki rantai sanad dan perawi yang kuat dan baik selain hadits-hadits yang menceritakan tentang keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib”
“Lebih jauh lagi apabila kita melihat keutamaan khusus yang dimiliki Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib dan berpikir tentang bagaimana ia mendapatkan itu semua sehingga ia dikaruniai keutamaan yang banyak dari Allah ta’ala, maka mau tidak mau kita harus mengakui bahwa DIA adalah MANUSIA YANG PALING UTAMA SETELAH NABI” (Lihat: Amritsari, Arjahu ‘l-matalib, halaman 112)
Yang menulis tulisan di atas adalah seorang Sunni dan ia telah menuliskan tentang hal ini dalam bab ke-3, halaman 103—516 dalam buku atau kitab yang telah disebutkan sebelumnya dalam tulisan ini.
Kami selaku penulis tidak bisa menuliskan daftar ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang berkenaan dengan hal ini karena saking banyaknya dan saking susahnya untuk mengutamakan yang satu dengan yang lain. Cukuplah di sini kami sebutkan bahwa ada paling tidak 86 ayat Al-Qur’an yang menunjukkan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib; sementara untuk hadits-hadits yang berkenaan dengan hal ini banyak sekali dan tidak bisa dihitung dengan jari saking banyaknya.
Ini dengan jelas menunjukkan kepada kita (bahkan kepada orang yang awam sekalipun) bahwa Imam Ali itu adalah MANUSIA YANG PALING UTAMA SETELAH RASULULLAH SAAW.
SERIAL GHADIR KHUM 2 (Seorang Imam itu haruslah terjaga dari dosa; konsep “Ishmah” atau kema’shuman)
Mari kita lihat apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an tentang Ahlul Bayt Nabi atau keluarga Nabi yang berdasarkan garis darah Nabi.
Menurut Al-Qur’an, orang-orang berikut ini terjaga dari dosa atau tidak memiliki dosa sama sekali. Orang-orang yang dimaksud ialah Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Ayat pensucian yang mengenai diri mereka ialah ayat berikut ini:
“ إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا….”
Telah disepakati bersama secara ijma bahwa keempat nama di atas (termasuk Rasulullah tentunya) adalah orang-orang yang dimaksud dengan “Ahlul Bayt” atau keluarga Nabi dan mereka semua ma’shum atau terpelihara dari berbuat dosa baik dosa kecil apalagi dosa besar.
Dalam ayat itu (QS. Al-Ahzab: 33) kalimat sebelum dan sesudah ayat itu ditujukan untuk para isteri nabi dan kata ganti yang dipakai adalah kata ganti FEMINIM; sedangkan untuk ayat pensucian di atas, kata ganti yang dipakai ialah kata ganti MASKULIN. Alasan mengapa ayat ini ditempatkan di tengah-tengah atau diapit dua kalimat yang berkata ganti FEMINIM sudah bisa kita tebak sebelumnya. Terlalu mudah untuk mencari alasannya. Mari kita dengarkan saja apa yang dikatakan oleh seorang ulama terkenal yang bernama Allamah Puya yang menuliskan sebuah footnote no. 1857 untuk terjemahan Al-Qur’an yang ditulis oleh S. V. Mir Ahmed Ali. Allamah Puya menulis:
“Mengapa ayat yang berkenaan dengan kesucian keluarga Ahlul Bayt ini diletakkan di sini dan dalama konteks ini memerlukan penjelasan yang sederhana. Ayat ini sebenarnya merupakan ayat yang terpisah secara sendirinya akan tetapi diletakkan di sini seolah-olah ayat ini berhubungan dengan para isteri Nabi. Lokasi atau tempat ayat ini—apabila kita selidiki dengan seksama—maka akan jelaslah bahwa penempatan ayat ini memiliki arti yang sangat penting dan memiliki tujuan yang penting. Ketika di awal ayat, kalimat yang digunakan menggunakan kata ganti FEMINIM, kemudian mengalami perubahan kata ganti di tengah-tengah ayat ini dari kata ganti FEMINIM ke kata ganti MASKULIN. Ketika ayat ini menceritakan tentang para isteri Nabi, kata ganti yang digunakan ialah kata ganti FEMINIM. Ketika menceritakan tentang sekumpulan orang yang terdiri dari laki-laki dan wanita, maka kata ganti yang digunakan ialah kata ganti MASKULIN. Perubahan kata ganti secara tata bahasa menggambarkan secara jelas bahwa kalimat ini merupakan kalimat yang khusus untuk sekelompok orang yang khusus (yaitu anggota keluarga Ahlul Bayt—red) yang bukan kelompok orang yang disebut sebelumnya (para isteri Nabi—red). Dan ayat ini diletakkan di sini untuk menunjukkan KEDUDUKAN AHLUL BAYT dibandingkan dengan KEDUDUKAN PARA ISTERI NABI. ‘Amr bin Abi Salamah yang dibesarkan oleh Rasulullah pernah berkata:
“Ketika ayat ini turun, Rasulullah sedang berada di rumahnya Ummu Salamah. Tepat ketika ayat ini turun: “……….. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya….” Rasulullah mengumpulkan puterinya Fathimah, kemudian kedua putera Fathimah yaitu Hasan dan Husein, serta suaminya Fathimah yaitu Ali. Rasulullah menutupi mereka semuanya termasuk dirinya sendiri dengan sebuah mantel (KISA) dan kemudian berkata: “Ya, Allah! Inilah keluargaku! Bersihkanlah mereka dari segala kotoran dan dosa; bersihkanlah mereka dengan pensucian sebersih-bersihnya.” Ummu Salamah, salah seorang isteri Rasulullah yang shalehah—yang sedang melihat peristiwa menakjubkan ini—dengan segenap kerendahan hati datang kepada Nabi sambil berkata, “Ya, Rasulullah! Bolehkah aku bergabung dengan kalian semua?” Kemudian Rasulullah menjawab, “Tidak. Tetaplah engkau di tempatmu. Walaupun begitu, engkau tetap berada pada kebaikan.” (Lihat: Holy Qur’an, terjemahan bahasa Inggris oleh S. V. Mir Ahmed Ali, footnote no. 1857, halaman 1261).
Seorang ulama Ahlu Sunnah yang terkenal yang bernama Maulana Wahidu’z-Zaman pernah menulis tafsir Al-Qur’an dan juga menulis kitab terkenal berjudul Anwaru ‘l-lughah (kamus Al-Qur’an dan Hadits) dan keduanya adalah rujukan yang cukup dikenal luas. Ia menulis dalam tafsir Qur’an-nya mengenai ayat ini. Ia menulis sebagai berikut:
“Ada kalangan yang mengatakan bahwa ayat ini tentang keluarga Nabi yang masih memiliki hubungan darah dengan Nabi yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Para ahli tafsir itu mengatakan bahwa hadits-hadits shahih yang tersambung kepada Nabi (tidak terputus) mendukung pernyataan ini dengan kuatnya karena ketika Rasulullah sendiri menyatakan bahwa keluarganya itu hanyalah ini, maka menerima pernyataan Rasulullah itu dan meyakininya sebagai kebenaran adalah wajib hukumnya. Dan salah satu bukti lain lagi yang juga cukup kuat yang mendukung para ahli tafsir itu ialah kata ganti yang digunakan sebelum dan sesudah ayat ini semuanya adalah kata ganti FEMINIM, sementara untuk ayat ini digunakan kata ganti MASKULIN…….” (Lihat: Wahidu’z-ZAman: Tafsir Wahidi (di catatan pinggir dari terjemahan Qur’an yang ditulis oleh penulis yang sama), paragraph 22,footnote no. 7, halaman 549).
SERIAL GHADIR KHUM 3 (Penunjukkan Ali sebagai pewaris nabi)
Setelah kita membahas tentang “Keutamaan” atau afdhaliyyahdan “Kesucian atau Keterjagaan dari dosa (kema’shuman)” atauishmah, sekarang kita akan membahas tentang masalah yang juga sama pentingnya yaitu “Penunjukkan” oleh Allah.
Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah telah menyatakan secara tegas dan gamblang bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang kelak akan menggantikan posisinya untuk memimpin umat ini menuju kesempurnaan akhlak. Ali akan menjadi penerusnya, ahli warisnya dan khalifahnya.
Perlu disimak bahwa penunjukkan atau deklarasi pengangkatan pertama terjadi pada masa-masa awal Muhammad bin Abdullah menjadi Nabi akhir zaman. Pernyataan bahwa Ali akan menggantikan kedudukannya dilakukan pada acara jamuan makan malam di rumah Rasulullah.
Ketika ayat berikut ini diturunkan:
Rasulullah menyuruh Ali untuk mempersiapkan makanan dan kemudian mengundang karib kerabat dari Abdul Mutthalib supaya Rasulullah bisa menyampaikan perkataan dari Allah. Setelah acara jamuan makan malam selesai, maka Rasulullah berkehendak untuk berbicara kepada mereka tentang masalah ini akan tetapi Abu Lahab memotong pembicaraan dengan berkata: “Sesungguhnya, ia ingin mempengaruhi kita semua dengan perkataannya.” Demi mendengar itu maka mereka semua serempak pergi meninggalkan rumah Rasulullah.
Di hari yang lain, Rasulullah mengundang kembali mereka untuk perjamuan makan yang sama. Setelah mereka selesai makan Rasulullah segera berkata di hadapan mereka:
“Wahai anak-anak keturunan Abdul Muthalib. Aku telah membawakan kebaikan kepada kalian dan segera menyusul kebaikan yang lain. Aku telah ditunjuk oleh Allah untuk menyeru kalian kepadaNya. Oleh karena itu, aku bertanya kepada kalian: ‘Siapakah diantara kalian yang bersedia mengurus urusan ini semua bersamaku dan menjadi saudaraku, serta menjadi penerus dan khalifahku setelahku?’”
Tidak ada satupun orang yang menjawab pertanyaan Rasulullah itu kecuali Ali yang masih kecil dan termasuk orang termuda yang hadir pada acara perjamuan itu. Rasulullah kemudian menepuk-nepuk leher Ali dan kemudian berkata:
“Wahai umatku! Ini Ali saudaraku, penerusku, dan khalifah setelahku untuk kalian. Dengarkanlah dia dan patuhilah dia”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(Lihat:
- Ibnu ‘l-Athir; al-Kamil; volume 5, halaman 62—63
- al-Baghawi; at-Tafsir, volume 4, halaman 127
- al-Bayhaqi; Dala’ilu ‘n-nubuwwah; volume 1, halaman 428—430
- as-Suyuthi; ad-Durru ‘l-mantsur; volume 5, halaman 97
- al-Muttaqi’ al-Hindi; Kanzul Ummal; volume 15; halaman 100, 113, 115—157)
- Abu ‘l-Fida; al-Mukhtasar; volume 1; halaman 116—117
- at-Tabari; at-Tarikh; volume 1; halaman 171—173
- Carlyle, T; On Heroes, Hero Worship and the Heroic in History; halaman 54
- Gibbon, E; The Decline and Fall of the Roman Empire; volume 3; halaman 94
- Davenport, J; An Apology for Muhammad and the Koran; halaman 21
- Irving, W; Mahommet and His Successors; halaman 45
- Untuk lebih jelas dan rinci lagi bisa dirujuk dalam (Amini; al-Ghadir; volume 2; halaman 278—289)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sangat menarik untuk disimak di sini ialah dalam tarikh at-Tabari (Edisi Leiden; tahun 1879 Masehi atau tahun 1173 Hijriyyah) ada kalimat dari Rasulullah yang berbunyi: WASIYYI WA KHALIFATI atau berarti “PENERUSKU DAN KHALIFAHKU”; akan tetapi dalam edisi CAIRO yang ditulis tahun 1963 (yang konon katanya telah dicek ulang dengan menggunakan edisi Leiden yang sudah disebutkan sebelumnya) kata-kata yang sangat bersejarah ini dihilangkan dengan kata-kata yang sama sekali tidak memiliki arti yaitu KHADZA WA KHADZA” (atau berarti BEGINI DAN BEGITU)!
Sangat menyedihkan dan memprihatinkan sekali melihat dunia akademisi keIslaman mengorbankan kejujurannya dan integritasnya hanya untuk sesuatu tujuan politis dan ekonomis! Betapa dunia ilmiah dalam dunia Islam telah mereka korbankan gara-gara fanatisme yang sempit!
SERIAL GHADIR KHUM 4 (Ayat Penunjukkan Ali sebagai pewaris nabi)
Setelah kita membahas tentang penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah penerus Nabi pada saat Imam Ali masih belia sekali, sekarang kita akan membahas tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengingatkan kita bahwa khalifah yang hak setelah Nabi wafat adalah Ali bin Abi Thalib dan bukan yang lain. Semua ayat dan hadits ini mengingatkan kaum Muslimin bahwa pemimpin yang harus mereka ikuti sepeninggal Nabi ialah Imam Ali.
Salah satu dari ayat yang paling penting kita ingat ialah:
إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا الذين يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (Al-Maidah: 55)
Para ulama baik itu dari kalangan Ahlussunnah maupun Syi’ah memiliki penafsiran yang sepakat bahwa ayat ini memang ditujukan untuk menghormati Imam Ali. Ayat itu dengan jelas menunjukkan bahwa ada 3 pemimpin yang merupakan pemimpin kaum beriman yaitu yang pertama ialah ALLAH; yang kedua ialah RASULULLAH; dan yang ketiga ialah IMAM ALI (dengan sebelas Imam yang datang setelahnya)
Abu Dzar al-Ghifari (salah satu sahabat nabi yang mulia dan utama) pada suatu hari sedang shalat bersama Rasulullah ketika pada waktu itu datanglah seorang pengemis meminta-minta di mesjid Nabi. Tidak ada satupun yang merespon kedatangannya dan tidak ada satu orangpun yang mau memberikan sedekah padanya. Pengemis itu menengadahkan tangannya ke langit seraya memohon, “Ya, Allah! Saksikanlah aku datang ke mesjid NabiMu dan tidak ada satu orangpun yang mau memberiku sedekah.” Ali pada waktu itu sedang dalam keadaan ruku dan mendengar perkataan pengemis ini. Ali memberikan isyarat dengan kelingkingnya yang padanya ada sebuah cincin. Pengemis itu mendekati Ali dan kemudian mengambil cincin itu. Kejadian ini terjadi ketika Rasulullah ada di tempat kejadian itu dan ia menengadah ke langit seraya berdo’a:
“Ya, Allah! Saudaraku Musa telah berdo’a kepadaMu untuk membukakan dadanya dan memberikannya kemudahan dalam pekerjaannya; ia juga memohon agar lidahnya tidak terasa kelu ketika berdakwah sehingga setiap orang bisa memahami perkataannya; ia juga berdo’a agar saudaranya (Harun) dijadikan wakilnya untuk mempermudah pekerjaannya. Ya, Allah! Engkau berkata kepada Musa, “Kami akan menguatkan kedua tanganmu dengan saudaramu untuk menguatkan tulang punggungmu. Sekarang tidak ada satu orangpun yang bisa membahayakan diri kalian berdua!”
“Ya, Allah! Aku ini Muhammad dan Engkau telah memberiku keutamaan. Bukalah hatiku dan mudahkanlah pekerjaanku dan pilihlah dari keluargaku yaitu Ali sebagai wakilku untuk menguatkan tulang punggungku.” Rasulullah belum sampai selesai berdo’a ketika Jibril membawakan sebuah kabar gembira baginya (yaitu ayat di atas: QS. Al-Maidah: 55).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
LIHAT:
- at Tabari; at-Tafsir; volume 6; halaman 186
- as-Suyuti; ad-Durrul Mantsur; volume 2; halaman 293—294
- ar-Razi; at-Tafsirul Kabir; volume 12; halaman 26
- az-Zamakhshari; at-Tafsir (al-Kashshaf); volume 1; halaman 694
- al-Jassas; Ahkamul Qur’an; volume 2, halaman 542—543
- al-Khazin; at-Tafsir; volume 2, halaman 68
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini hanya memberikan gambaran singkat dan tidak cukup untuk menuliskan semua referensi yang dari setiap hadits yang jumlahnya banyak sekali (ada sekitar ratusan hadits; jadi untuk menuliskannya lengkap dengan daftar sanad dan daftar pustakanya diperlukan ruang yang jauh lebih luas dari sekedar tulisan dalam blog). Ayat ini (AL-QUR’AN) ditambah dengan do’a Nabi (AL-HADITS) masing-masing memiliki kekuatan sendiri sebagai hujah dan apabila digabungkan menjadi kekuatan hujah yang jauh lebih dasyhat lagi. Hujah-hujah ini menunjukkan bahwa Ali sejak awal memang dirancang untuk menjadi Pemimpin bagi kaum beriman sepeninggal Nabi dimana hanya orang-orang berimanlah yang mau mengakui dan berwilayah kepada Imam Ali sepeninggal Nabi.
SERIAL GHADIR KHUM 5 (Deklarasi di Ghadir Khum; Penunjukkan Imam Ali sebagai pemimpin kaum Muslimin)
Semua perkataan Rasulullah yang telah secara eksplisit menunjukkan bahwa Ali akan menjadi penerus dan penjaga risalah Islam yang sudah kita bahas dalam tulisan yang lalu (LIHAT: Serial Ghadir Khumsebelumnya) adalah merupakan prelude atau mukadimah dari deklarasi Ghadir Khum yang agung. Rasulullah seolah-olah telah mempersiapkan sebelumnya pengangkatan Imam Ali yang akan diumumkan pada hari dan tempat yang sangat khusus.
Peristiwa Ghadir Khum ini telah disepakati (memang terjadi) oleh para sejarahwan dan ulama baik dari kalangan Ahlussunnah maupun Syi’ah. Di sini kami akan menunjukkan apa saja persiapan yang dilakukan oleh Rasulullah sebelum Rasulullah mendeklarasikan Ali sebagai khalifah sepeninggalnya. Khalifah yang akan memimpin umat Islam menuju kesempurnaan akhlak.
Ghadir Khum itu adalah sebuah tempat yang berlokasi di Juhfa antara Mekah dan Madinah. Ketika Rasulullah sedang dalam perjalanan pulang setelah melaksanakan haji Wada, Jibril membawakan sebuah pesan atau berita yang sangat penting dari Allah Ta’ala:
يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس إن الله لا يهدي القوم الكافرين
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”(QS. Al-Maidah: 67)
Rasulullah menghentikan perjalanannya seketika dan memerintahkan semua orang yang telah mendahului kafilah Rasulullah agar kembali dan berkumpul bersama Rasulullah. Rasulullah juga memerintahkan agar mereka menunggu orang-orang yang belum sampai ke tempat itu. Ketika setiap karavan telah berkumpul; ketika setiap orang hadir di tempat itu, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk membuat mimbar sederhana dari sadel unta yang ditumpuk—tumpuk. Kemudian duri-duri dari pohon akasia disingkirkan agar tidak melukai orang-orang yang hadir di sana. Rasulullah kemudian naik ke mimbar itu (agar bisa dilihat setiap orang yang hadir di sana) dan mulai memberikan khutbah yang panjang (yang dicatat oleh para penulis Rasulullah).
Hari sangat panas membakar pada waktu itu. Orang-orang yang hadir sampai harus memanjangkan pakaiannya untuk melindungi kaki mereka dan juga kepala mereka dari sengatan matahari gurun yang tiada ampun. Rasulullah memulai dakwahnya sebagai berikut:
“Wahai Manusia! Ketahuilah bahwa Jibril telah datang kepadaku beberapa kali membawakan perintah dari Tuhan yang maha pengampun agar aku berhenti di tempat ini dan memberitahu setiap manusia, baik yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, bahwa Ali, putera dari Abu Thalib, adalah saudaraku dan washy-ku (pemegang wasiat ku), dan khalifah sepeninggalku, dan Imam setelahku. Kedudukan dia terhadapku seperti kedudukan Harun terhadap Musa, hanya tidak ada lagi Nabi setelahku. Dan ia adalah pemimpin kalian setelah Allah dan RasulNya.”
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah mengangkatnya menjadi Imam dan pemimpin kalian. Ketaatan kepadanya diwajibkan baik bagi Muhajirun maupun Anshar dan bagi mereka yang mengikuti dalam kemuliaan; juga bagi para penduduk kota dan kaum pengembara (nomad); orang Arab maupun ‘Ajam (non-Arab); orang merdeka maupun hamba sahaya; yang muda maupun yang tua; yang besar maupun yang kecil; yang putih maupun yang hitam. Perintahnya haruslah kalian patuhi; kata-katanya bersifat mengikat; dan anjurannya adalah kewajiban untuk ditaati oleh mereka yang percaya bahwa Tuhan itu Esa. Terkutuklah orang-orang yang membangkang perintahnya dan diberkahilah orang-orang yang setia mengikutinya; dan mereka yang beriman kepada dia adalah termasuk orang-orang yang takwa”
“Wahai manusia! Ini adalah terakhir kalinya aku berdiri di hadapan kalian dalam sebuah majelis. Oleh karena itu, dengarlah aku dan patuhilah aku dan berserah dirilah kepada perintah Tuhanmu. Sesungguhnya Allah, Dia adalah pemimpin dan Tuhanmu; dan setelahNya adalah RasulNya, Muhammad, yang sedang berbicara kepada kalian. Dia adalah pemimpin kalian; kemudian setelahku adalah Ali. Dialah pemimpin kalian dan Imam kalian sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah kepada kalian untuk dipatuhi. Dan setelahnya ada Imamah yang akan berlangsung melalui keturunanku dan akan lahir darinya hingga hari dimana kalian akan bertemu dengan Allah dan RasulNya”
“Wahai manusia! Bacalah Al-Qur’an dan pahamilah ayat-ayatnya; renungkanlah ayat-ayat yang terang dan jangan pertentangkan ayat yang membingungkan. Karena, demi Allah, tidak ada seorangpun (selain Rasulullah—red) yang mampu menjelaskan dengan benar dan terang apa yang terkandung di dalamnya baik itu maknanya maupun perintahnya kecuali orang ini (sambil memegang tangan Imam Ali) yang tangannya saya angkat di hadapan kalian. Dan aku berkata kepada kalian bahwa BARANGSIAPA YANG MEJANDIKANKU PEMIMPINNYA, MAKA ALI ADALAH PEMIMPINNYA; dan ia adalah Ali putera Abu Thalib, saudaraku dan WASHY-ku; dan WILAYAH-nya (ketaatan kepadanya dan kecintaan kepadanya) adalah kewajiban yang telah diamanatkan oleh Allah yang maha kuat dan maha tinggi.”
Nama-nama Imam yang lain juga disebutkan dalam pidato ini dan hadits-hadits yang menyebutkan nama-nama Imam itu juga ada dan menunjukkan tingkat presisi yang sangat tepat. Misalnya sebuah hadits yang menggambarkan Rasulullah sedang menyapa Husein bin Ali bin Abi Thalib dengan sapaan sebagai berikut:
“Engkau adalah seorang Imam, putera dari seorang Imam, saudara dari seorang Imam, dan sembilan orang dari keturunanmu akan menjadi seorang Imam yang shaleh; yang kesembilan dari mereka akan menjadi al-Qaim (ia yang akan bangkit)”.
LIHAT:
- Al-Qunduzi: Yanabi’ul Mawaddah; halaman 168
- Amritsari: Arjahul matalib; halaman 448
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak perlu kecerdasan yang tinggi untuk memahami betapa pentingnya masalah suksesi kepemimpinan ini dalam Islam dengan landasan pemikiran bahwa apabila Rasulullah tidak pernah menunjuk seorang pemimpin setelahnya maka umat akan kebingungan dan akan terjadi pergesekan horisontal memperebutkan kekuasaan, yang pada akhirnya akan menjadi sebuah cacat sejarah yang memalukan (walau ini memang akhirnya terjadi—red).
Rasulullah mempersiapkan segala sesuatunya—atas perintah Allah—agar proses pelantikan ini berjalan dengan baik. Bisa kita bayangkan beliau menaiki mimbar di tengah terik matahari yang menyengat untuk melangsungkan prosesi ini. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pelantikan ini sangat penting. Atau maha penting.
Pertama-tama, Rasulullah memberitahu kepada khalayak bahwa beliau hendak wafat dalam waktu yang sangat dekat. Kemudian beliau meminta mereka untuk menyaksikan bahwa tugas kenabiannya telah selesai. Kemudian beliau bertanya kepada mereka:
“Apakah aku memiliki hak terhadap kalian melebihi hak kalian terhadap diri kalian?”
Setiap yang hadir menjawab bahwa Rasulullah memang memiliki hak lebih terhadap diri mereka daripada mereka terhadap dirinya sendiri.
Kemudian Rasulullah melanjutkan:
“Barangsiapa yang menjadikan diriku pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya.”
Kemudian Rasulullah memanjatkan do’a untuk memberikan berkah kepada Ali:
“Ya, Allah! Cintailah mereka yang mencintai Ali, dan jadikanlah musuhMu orang-orang yang memusuhi Ali; berilah pertolongan kepada dia yang mau menolong Ali dan tinggalkan dia yang meninggalkan Ali.”
Ketika upacara pelantikan itu selesai, maka turunlah ayat al-Qur’an berikut ini:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“ Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3)
Wahyu yang turun langsung dihadapan khalayak ramai ini dengan jelas menunjukkan bahwa karena pengangkatan Imam Ali menjadi seorang Imam maka agama ini menjadi lengkap sempurna; kenikmatan juga telah dicukupkan; dan keridhoan Allah telah digenapkan; serta agama Islam telah diridhoi oleh Allah.
Setelah turunnya ayat ini serempak orang-orang mengucapkan selamat kepada Ali bin Abi Thalib di hadapan Rasulullah. Orang-orang begitu padat berduyun-duyun seolah-olah sedang merayakan hari raya semuanya menuju ke satu titik dimana Rasulullah dan Ali berada.
Beberapa pujangga mulai menuliskan syair-syair dan puisinya untuk mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Banyak sekali orang yang menuliskan atau mengingat peristiwa bersejarah ini lekat-lekat dan sebagiannya tertulis dalam hadits-hadits yang nanti akan kita bicarakan kemudian.
SERIAL GHADIR KHUM 6 (Hadits tentang perisitiwa Ghadir Khum itu sangat kuat dan mutawatir)
BERIKUT INI SENGAJA DIAMBIL LANGSUNG DARI KHASANAH ILMU AHLUSSUNNAH (diambil dari kitab-kitab yang ditulis dan digunakan oleh saudara-saudara kita dari kalangan Ahlussunnah). Berikut adalah petikan khutbah Rasulullah yang sangat legendaris itu:
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang amat berharga yaitu (1) Kitabullah dan (2) Ahlul Baytku (wa Ittrati) yang merupakan anggota-anggota keluargaku. Mereka tidak akan berpisah satu sama lainnya hingga mereka menemuiku di dekat telaga Kautsar (sebuah telaga di surga). Sesungguhnya Allah adalah pemimpinku dan Aku ini pemimpin dari setiap orang beriman.”
Kemudian Rasulullah memegang tangan Imam Ali dan berkata:
“Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya.”
Kedua hadits di atas biasanya masing-masing memiliki nama julukan. Hadits yang pertama dijuluki hadits ats-Tsaqalayn (dua perkara yang berharga); sedangkan hadits yang lainnya disebut dengan hadits wilayah (kepemimpinan). Kedua hadits itu baik secara terpisah maupun secara kesatuan dalam hadits yang sama dengan redaksi yang lebih panjang keduanya diriwayatkan oleh banyak sekali ahli hadits. Ada ratusan orang jumlahnya dan terlalu naif apabila hadits itu diabaikan begitu saja.
Nawwab Siddiq Hasan Khan dari Bhopal, India, berkata:
“al-Hakim Abu Said berkata bahwa hadits “dua perkara yang berharga” itu dan hadits “barangsiapa menjadikanku pemimpin, maka Ali juga pemimpinnya” itu keduanya adalah hadits mutawatir (atau diriwayatkan secara tak terputus oleh banyak sekali orang sehingga takkan mungkin diragukan lagi kesahihannya), karena sejumlah besar para sahabat Nabi masing-masing meriwayatkan hadits-hadits ini. Begitu banyaknya hadits ini sehingga Muhammad ibn Jarir (seorang ulama ahlussunnah—red) saja menuliskan kedua hadits tersebut di atas dengan melalui 75 rantai sanad yang berbeda! Dan bahkan hebatnya lagi ia malah harus membuat sebuah buku khusus tentang hadits-hadits itu yang ia berijudulKITABUL WILAYAH.”
“al-Hafidz adh-Dhahabi (juga seorang ulama ahlussunnah) juga menulis sebuah buku yang detail sekali tentang sanad dari kedua hadits itu dan pada akhirnya ia memberikan fatwa tentang mutawatir-nya hadits itu”“Abul Abbas ibn Uqbah telah meriwayatkan hadits tetang peristiwa Ghadir Khum melalui 150 rantai sanad dan kemudian ia menulis buku tentang itu dengan sangat rinci sekali”(LIHAT: Siddiq Hasan Khan: Manhajul Wusul, halaman 13)
Beberapa penulis yang fanatis buta mencoba untuk melemparkan keraguan terhadap kesahihan dari peristiwa Ghadir Khum ini akan tetapi mereka menemui kegagalan sama sekali. Ingatlah sekali lagi bahwa hadits-hadits ini mutawatir dan sesuatu yang disepakati oleh banyak orang takkan mungkin dirusak oleh beberapa gelintir orang yang penuh kedengkian.
Al-Allamah Al-Amini—seorang ulama terkenal—menulis sebuah kitab yang juga sama terkenalnya yaitual-Ghadir. Dalam kitab itu ia menuliskan sebanyak 110 sahabat ternama Rasulullah (lengkap dengan kitab-kita referensi yang ia rujuk) yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut di atas. Belum pernah ada hadits yang memiliki rantai sanad yang sangat kuat sekuat hadits-hadits tentang pelantikan Imam Ali di Ghadir Khum sehingga tidak mungkin lagi ada peluang untuk meragukan hadits tersebut kecuali kalau ada motif buruk dari orang yang meragukannya.
Sebagai contoh saja di sini kami akan menyebutkan nama-nama para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tentang pelantikan Imam Ali. Kami akan menuliskan para sahabat yang namanya dimulai dari huruf Alif saja (namanya akan dituliskan sebelum tahun meninggalnya):
- Abu Layla al-Ansari, meninggal tahun 37H
- Abu Zaynab ibn Auf al-Ansari
- Abu Fadalah al-Ansari, meninggal tahun 38H
- Abu Qudamah al-Ansari
- Abu Amrah ibn Amr ibn Muhassin al-Ansari
- Abul Haytham ibn at-Tayyihan, meninggal tahun 37H
- Abu Rafi al-Qibti, hamba sahaya Rasulullah
- Abuu Dhuwayb Khuwaylid (atau Khalid) ibn Khalid al-Hudhali
- Usamah ibn Zayd ibn Haritsah, meninggal tahun 54H
- Ubayd ibn Ka’ab al-Ansari, meninggal tahun 30 atau 32
- As’ad ibn Zurarah al-Ansari
- Asma binti Umays
- Ummu Salamah, isteri Rasulullah
- Ummu Hani binti Abi Thalib
- Abu Hamzah Anas ibn Malik al-Ansari
- Abu Bakar ibn Abi Quhafah
- Abu Hurayrah
(LIHAT: al-Amini: al-Ghadir, volume 1, halaman 14—18)
Dan ada kurang lebih 84 tabi’in (murid-murid yang belajar pada para sahabat Rasulullah) yang meriwayatkan hadits-hadits ini dari jalur para sahabat yang sebagian namanya dituliskan di atas. Di sini kami akan tuliskan contohnya. Nama-nama tabi’in yang diambil di sini yang namanya dimulai dari Alif:
- Abu Rashid al-Hubrani ash-Shami
- Abu Salamah ibn Abdir-rahmah ibn Auf
- Abu Sulayman al-Mu’adhin
- Abu Salih as-Samman, Dhakwan al-Madani
- Abu Unfuwanah al-Mazini
- Abu ‘Abdir-rahman al-Kindi
- Abul Qasim, Asbagh ibn Nutabah at-Tamimi
- Abu Layla al-Kindi
- Iyas ibn Nudhayr
(LIHAT: al-Amini: al-Ghadir, volume 1, halaman 14—18)
Para ahli hadits telah mencatat hadits-hadits ini dalam kitab-kitab mereka selama berabad-abad dan pada setiap jaman. Sebagai contoh di sini kami akan menuliskan nama-nama para penulis dan ulama yang telah meriwayatkan hadits ini pada abad kedua Hijriah:
- Abu Muhammad, ‘Amr ibn Dinar al-Jumahi al-Makki, meniggal tahu 115H atau 116H
- Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaydillah al-Qurashi az-Zuhri, meninggal tahun 124
- Abdurrahman ibn Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr at-Taymi al-Madani, wafat tahun 126H
- Bakr ibn Sawadah ibn Thumamah, Abu Thumamah al-Basri, meninggal tahun 128H
- ‘Abdullah ibn Abi Najih, Yasar ath-Thaqafi, Abu Yasar al-Makki, meninggal tahun 131H
- al-Hafiz Mughirah ibn Muqassim, Abu Hisham ad-Dabbi al-Kufi, meninggal tahun 133H
- Abu Abdirrrahim Khalid ibn Zayd al-Jumahi al-Misri, meninggal tahun 139H
- Hasan ibn al-Hakam an-Nakha’I al-Kufi, meninggal tahun 140H
- Idris ibn Yazid, Abu Abdillah al-Awdi al-Kufi,
- Yahya ibn Said ibn Hayyan at-Taymi al-Kufi
- al-Hafiz ‘Abdul Malik ibn Abi Sulayman al-Arzami al-Kufi, meninggal tahun 145H
- Awf ibn Abi Jamilah al' Abdi al-Hajari al-Basri, meninggal tahun 146H
- Ubaydullah ibn Umar ibn Hafs ibn Asim ibn Umar ibn al-Khattab al ‘Adawi al-Madani, meninggal tahun 147H
- Nu’aym ibn al-Hakim al-Madayini, meninggal tahun 148H
- Thalhah ibn Yahya ibn Thalhah ibn Ubaydillah at-Taymi al-Kufi, meninggal tahun 148H
- Abu Muhammad Kathir ibn Zayd al-Aslami, meninggal tahun 150H
- al-Hafiz Muhammad ibn Ishaq al-Madani, meninggal tahun 151 atau 152H
- al-Hafiz Mu’ammar ibn Rashid, Abu ‘Urwah al-Azdi al-Basri, meninggal tahun 153 atau 154H
- al-Hafiz Mis’ar ibn Kidam ibn Zahir al-Hilali ar-Rawasi al-Kufi, meninggal tahun 153 atau 155H
- Abu Isa Hakam ibn Aban al-‘Adani, meninggal tahun 154 atau 155H
- Abdullah ibn Shawdhab al-Balkhi al-Basri, meninggal tahun 157H
- al-Hafiz Shu’bah ibn al-Hajjaj, Abu Bistam al-Wasiti, meninggal tahun 160H
- al-Hafiz Abul ‘Ala, Kamil ibn al-‘Ala at-Tamimi al-Kufi, meninggal tahun 160H
- al-Hafiz Sufyan ibn Sa’id ath-Thawri, Abu ‘Abdillah al-Kufi, meninggal tahun 161H
- al-Hafiz Israil ibn Yunus ibn Abi Ishaq as-Sabi’i Abu Yusuf al-Kufi, meninggal tahun 162H
- Ja’far ibn Ziyad al-Kufi al-Ahmar, meninggal tahun 165 atau 167H
- Muslim ibn Salim an-Nahdi, Abu Farwah al-Kufi
- al-Hafiz Qays ibn ar-Rabi, Abu Muhammad al-Asadi al-Kufi, meninggal tahun 165H,
- al-Hafiz Hammad ibn Salamah, Abu Salamah al-Basri, meninggal tahun 167H
- al-Hafiz ‘Abdullah ibn Lahi’ah, Abu ‘Abdir-Rahman al-Misri, meninggal tahun 174H
- al-Hafiz Abu ‘Uwanah al-Waddah ibn ‘Abdillah al-Yashkuri al-Wasiti al-Bazzaz, meninggal tahun 175 atau 176H
- al-Qadi Sharik ibn ‘Abdillah Abu ‘Abdillah, Abu ‘Abdillah an-Nakhai al-Kufi, meninggal tahun 177H
- al-Hafiz ‘Abdullah (atu Ubaydullah) ibn Ubaydur-Rahman (atau Abdurrahman) al-Kufi, Abu Abdir-Rahmanal-Ashja’I, meninggal tahun 182H
- Nuh ibn Qays, Abu Rawh al-Huddani al-Basri, meninggal tahun 183H
- al-Muttalib ibn Ziyad ibn Abi Zuhayr al-Kufi, Abu Talib, meninggal tahun 185H
- al-Qadi Hassan ibn Ibrahim al-‘Anazi, Abu Hashim, meninggal tahun 186H
- al-Hafiz Jarir ibn ‘Abdil- Hamid, Abu Abdillah ad-Dabbi al-Kufi ar-Razi, meninggal tahun 188H
- al-Fadl ibn Musa, Abu Abdillah al-Marwazi as-Sinani, meninggal tahun 192H
- al-Hafiz Muhammad ibn Ja’far al-Madani al-Basri, meninggal tahun 193H
- al-Hafiz Isma’il ibn ‘Uliyyah, Abu Bishr ibn Ibrahim al-Asadi, meninggal tahun 193H
- al-Hafiz Muhammad ibn Ibrahim, Abu Amr ibn Abi Adiyy as-Sulami al-Basri, meninggal tahun 194H
- al-Hafiz Muhammad ibn Khazim, Abu Mu’awiyyah at-Tamimi ad-Darir, meninggal tahun 195H
- al-Hafiz Muhammad ibn Fudayl, Abu Abdir-Rahman al-Kufi, meninggal tahun 195H
- al-Hafiz al-Wakil ibn al-Jarrah ar-Ru’asi al-Kufi, meninggal tahun 196H
- al-Hafiz Sufyan ibn Uyaynah, Abu Muhammad al-Hilali al-Kufi, meninggal tahun 198H
- al-Hafiz ‘Abdullah ibn Numayr, Abu Hisham al-Hamdani al-Kharifi, meninggal tahun 199H
- al-Hafiz Hanash ibn al-Harith ibn Laqit an-Nakha’I al-Kufi
- Abu Muhammad Musa ibn Ya’qub az-Zama’I al-Madani
- al-‘Ala ibn Salim al-‘Attar al-Kufi
- al-Azraq ibn Ali ibn Muslim al-Hanafi, Abul-Jahm al-Kufi
- Hani ibn Ayyub al-Hanafi al-Kufi
- Fudayl ibn Marzuq al-Agharr ar-Ru’asi al-Kufi, meninggal tahun 160H
- Abu Hamzah Sa’d ibn Ubaydah as-Sulami al-Kufi
- Musa ibn Muslim al-Hizami ash-Shaybani, Abu Isa al-Kufi at-Tahhan (Musa as-Saghir)
- Ya’qub ibn Jafar ibn Abi Katsir al-Ansari al-Madani
- Utsman ibn Sa’d ibn Murrah al-Qurashi, Abu ‘Abdillah (Abu ‘Ali) al-Kufi
(LIHAT: al-Amini; al-Ghadir, volume 1, halaman 73—81)
Hadits-hadits ini secara terus menerus diriwayatkan oleh begitu banyak perawi (ruwat) pada setiap masa hingga rantaian perawi ini membuat hadits-hadits itu sangat mutawatir. Di antara para ulama dan penulis yang telah meriwayatkan hadits-hadits ini paling tidak kita cukup mengambil salah satunya yaitu al-‘Allamah al-Amini yang telah menuliskan dan mengurutkan sebanyak 360 nama ulama yang ia ambil pada abad ke-14 saja.
(LIHAT: al-Amini; al-Ghadir, volume 1, halaman 73—151)
Ada beberapa kalangan yang mencoba-coba untuk menimbulkan keraguan atas para sanad (asnad) dari hadits-hadits ini. Karena setiap santri yang meneliti hadits tahu bahwa apabila suatu hadits itu dikatakan mutawatir, maka tidak perlu lagi melihat sanad dari hadits tersebut karena sanda yang satu akan menguatkan sanad yang lain. Akan tetapi untuk memperlihatkan kepada anda betapa dangkalnya tuduhan yang mereka lemparkan itu, maka kami akan memberikan sebuah uraian dari beberapa ulama terkenal pada masa lampau dan itu akan kita bahas pada SERIAL GHADIR KHUM 7.
SERIAL GHADIR KHUM 7 (Sanad dari Hadits tentang perisitiwa Ghadir Khum)
Menyambung tulisan sebelumnya tentang para sahabat yang menjadi saksi sejarah yang melaporkan peristiwa Al-Ghadir Khum, di sini saya tuliskan tentang pendapat beberapa perawi dari kalangan Ahlussunnah terhadap hadits-hadits itu.
- al-Hafidz Abu Isa at-Thirmidzi (meninggal tahun 279H) telah berkata (dalam kitabnya Sahih—yang termasuk salah satu darias-Sihah as-Sittah) tentang hadits-hadits ini sebagai berikut: “Hadits-hadits itu baik (Hasan) dan benar (Shahih)” (LIHAT: at-Thirmidzi, as-Sahih, volume 2, halaman 298).
- al-Hafidz Abu Ja’far at-Tahawi (meninggal tahun 321H) telah berkata dalam kitabnya Musykilu ‘l-athar bahwa: “Hadits ini sahihmenurut para periwayatnya (asnad) dan tak ada seorangpun yang pernah berkata berlawanan dengan para periwayat hadits itu (maksudnya: tidak ada yang menentang kesahihan hadits itu—red). (LIHAT: at-Tahawi: Musykilu ‘l-athar, volume 2, halaman 308).
- Abu Abdillah al-Hakim an-Naysaburi (meninggal tahun 405H) telah meriwayatkan hadits ini lewat beberapa jalur rantai sanad dalam kitabnya yang terkenal yaitu al-Mustadrak (haditsnya seringkali kita sebut sebagai hadits riwayat Hakim). Ia menuliskan dalam kitabnya itu bahwa hadits-hadits tentang Al-Ghadir Khum itu sahih (LIHAT: al-Hakim, al-Mustadrak, volume 3, halaman 109—110)
- Abu Muhammad Ahmad ibn Muhammad al-Asimi telah berkata: “Hadits-hadits ini diterima oleh ummat dan hadits-hadits tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.” (LIHAT: Al-Amini: al-Ghadir, volume 1, halaman 295)
Berikut ini akan saya tuliskan beberapa nama penulis hadits yang menuliskan hadits-hadits tentang peristiwa Al-Ghadir Khum yang semuanya menyatakan bahwa hadits-hadits tentang peristiwa Al-Ghadir Khum itu nyata adanya dan sahih serta tak mungkin atau mustahil ditolak keberadaannya.
Para penulis hadits itu diantaranya ialah:
- Abu Abdillah al-Mahamili al-Baghdadai dalam kitabnya AMALI
- Ibn Abdi ‘l-Barr al-Qurtubi dalam kitabnya AL-ISTI’AB
- Ibnu ‘l-Maghazili asy-Syafi’i dalam kitabnya AL-MANAQIB
- Abu Hamid Ghazzali dalam kitabnya SIRRU ‘l-ALAMAYN
- Abu ‘l-Faraj ibn al-Jawzi dalam kitabnya AL-MANAQIB
- Sibt ibn al-Jawzi dalam kitabnya TADZKIRAT KHAWASSI ‘L-UMMAH
- Ibn Abi ‘l-Hadid al-Mu’tazili dalma kitabnya SHARH NAHJUL BALAGHAH
- Abu Abdillah al-Ganji asy-Syafi’i dalam kitabnya KIFAYATUL-TALIB
- Abu ‘l-Makarim ‘Alaud-Din as-Simnani dalam kitabnya AL-URWATU ‘L-WUTSQA
- Ibn Hajar al Asqalani dalam kitabnya TAHDHIBU ‘L-TAHDHIB
- Ibn Katsir ad-DImasyqi dalam kitabnya TARIKH
- Jalaluddin as-Suyuthi
- Al-Qastalani dalam kitabnya AL-MAWAHIBU ‘L-LADUNNIYYAH
- Ibnu Hajar al-Makki dalam kitabnya AS-SAWA’IQU ‘-MUHRIQAH
- Abdu ‘l-Haqq ad-Dihlawi dalam kitabnya SHARHU ‘L-MISHKAT
- DAN MASIH BANYAK LAGI YANG TIDAK MUNGKIN DITULISKAN DALAM TULISAN SINGKAT INI
Patut dan layak serta perlu untuk dituliskan disini bahwa semua penulis hadits yang disebutkan di atas ialah kesemuanya berasal dari golongan AHLUSUNNAH. Mereka adalah orang-orang yang terpandang di kalangan saudara kita dari Ahlussunnah (Sunni). Dan di kalangan Ahlussunnah sebuah hadits itu dikatakan shahih apabila hadits tersebut melalui sebuah rantai sanad yang tak terputus yang terdiri dari orang-orang yang adil (Adl) terpercaya atau dianggap bisa dipercaya (Tsiqat); selain itu juga mereka harus memiliki ingatan (Dhab) yang kuat dan tidak pernah melakukan tindak asusila atau jahat dan tidak gila (LIHAT: Subhi as-Salih, Ulumu l’-hadits wa mustalahatuh, halaman 145)
Apabila semua karakter itu ada pada setiap orang yang ada pada rantai sanad sebuah hadits, maka hadits itu akan dipercaya dan dianggap sahih. Sedangkan apabila ada seorang sanad atau dua orang sanad yang tidak memiliki ingatan yang kuat, maka hadits itu akan digolongkan kedalam hadits yanghasan (baik). Saja. (LIHAT: ibid)
Jadi apabila para ulama Ahlussunnah berkata bahwa hadits al-Ghadir itu shahih maka itu artinya mereka secara tidak langsung menyebutkan bahwa para perawi atau pelapor hadits itu sebagai orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur adanya; mereka tidak memiliki cela secara asusila; mereka tidak pernah melakukan perbuatan jahat pada masanya sekaligus juga mereka memiliki ingatan yang kuat untuk merekam hadits yang sahih itu. Dan hadits-hadits yang mereka tuliskan tentu saja memiliki kedudukan yang shahih dan baik serta bisa dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin.
SERIAL GHADIR KHUM 8 (Arti kata “MAULA” pada hadits al-Ghadir Khum)
Karena kaum Ahlussunnah tidak bisa menolak keabsahan dari hadits al-Ghadir Khum, maka sebagian dari mereka mencari cara lain untuk mengesampingkan pentingnya hadits tersebut dengan menyimpangkan makna kata Maula yang ada dalam hadits tersebut.
Mereka menerjemahkan kata Maula itu dengan kata Teman. Jadi kalau kata Teman itu dimasukkan kedalam hadits tersebut, maka bunyi hadits itu menjadi:
“BARANGSIAPA YANG MENJADIKAN DIRIKU SEBAGAI ‘TEMAN’, MAKA ALI AKAN MENJADI ‘TEMAN’-NYA”
Padahal sebelumnya hadits itu berbunyi:
“BARANGSIAPA YANG MENJADIKAN DIRIKU SEBAGAI ‘PEMIMPIN’. MAKA ALI AKAN MENJADI ‘PEMIMPIN’-NYA”
Kebetulan kata MAULA itu bisa diterjemahkan sebagai PEMIMPIN maupun TEMAN.
Akan tetapi masalahnya ialah tidak ada seorangpun yang hadir di wadi Ghadir itu yang menangkap kata-kata Rasulullah itu dan mengartikan MAULA dengan kata TEMAN. Hassan Ibn Tsabit misalnya. Ia adalah seorang penyair yang bekerja pada Rasulullah. Ia menggubah sebuah syair atau puisi yang mengabadikan apa yang terjadi di Ghadir Khum pada waktu itu. Ia membacakan puisinya itu di depan khalayak yang hadir pada hari itu di Ghadir Khum.
FAQOLA LAHU QUM YAA ‘ALI FA INNANII
RODHIYTUKA MIN BA’DI IMAAMAN WA HADII
Rasulullah kemudian berkata kepada Ali:
“Berdirilah engkau, ya Ali! Karena aku ridho untuk menjadikanmu Imam dan Petunjuk bagi umat sepeninggalku!”
Umar bin Khattab yang juga hadir pada hari itu di tempat itu mendekat kepada Ali dan kemudian memberikan ucapan selamat kepada Ali seraya berkata:
“Selamat, selamat, ya putera Abu Thalib. Pagi ini engkau telah menjadi MAULA bagi setiap orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan.”
----------------------------------------------------------------------------------
LIHAT rujukan berikut ini :
- al-Khatib at-Tabrizi: Mishkatu ‘l-masabih, halaman 557
- Mir Khwand: Habibu ‘s-siyar, volume 1, pt 3, halaman 144
- at-Tabari: al-Wilayah, ar-Razi: at-Tafsiru ‘l-kabir, volume 12, halaman 49—50
- Ahmad: al-Musnad, volume 4, halaman 281
- Ibn Abi Shaybah: al-Musannah;
- Abu Ya’la: al-Musnad
- Ahmad ibn ‘Uqbah: al-Wilayah, dan masih banyak lagi (anda bisa juga lihat dalam kitab al-Ghadirtulisan dari al-Amini, volume 1, halaman 270—283 untuk referensi lebih lengkapnya)
-----------------------------------------------------------------------------------
Kembali kepada pembahasan tentang kata MAULA. Kalau seandainya kata MAULA itu diartikan dengan kata TEMAN maka akan timbul banyak sekali pertanyaan yang susah untuk dijawab seperti misalnya:
- Mengapa Umar mengucapkan “SELAMAT” kepada Ali karena Ali telah diangkat menjadi TEMAN bagi setiap kaum Muslimin sebagaimana kaum Muslimin telah menjadikan Rasulullah sebagai TEMAN?
- Apakah Ali telah menjadi MUSUH kaum Muslimin sehingga Rasulullah mengadakan upacara seperti itu yang disaksikan lebih dari seratus ribu orang di sebuah padang pasir yang terik bukan kepalang?
- Umar bin Khattab berkata: “Selamat, selamat, ya putera Abu Thalib. Pagi ini engkau telah menjadi MAULA bagi setiap orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan.” seolah-olah Ali sebelumnya bukanlah TEMAN bagi kaum Muslimin. Mengapa Umar berkata seperti itu kalau memang kata MAULA itu diartikan dengan kata TEMAN?
Imam Ali bin Abi Thalib sendiri pada suatu kesempatan menulis sebuah surat kepada Mu’awiyyah. Di dalam surat itu tertulis kata-kata:
“DAN RASULULLAH TELAH MEMBERIKU KEKUASAAN ATAS DIRI KALIAN PADA HARI GHADIR KHUM.”
(LIHAT: al-Amini: al-Ghadir, volume 1, halaman 340)
-----------------------------------------------------------------------------------
Dan masih banyak lagi para sahabat Rasulullah yang seringkali menggunakan kata MAULA dalam puisi-puisi yang mereka ciptakan untuk menggambarkan peristiwa Ghadir Khum dengan arti kata sebagai PEMIMPIN dan bukan sebagai TEMAN.
Banyak sekali para penafsir al-Qur’an, para ahli tata bahasa Arab, dan para ahli sastra Arab yang menerjemahkan kata MAULA dengan arti SESEORANG YANG DIBERIKAN KEKUASAAN. Sebagian kecil dari mereka itu saya akan tuliskan di bawah ini sebagai contoh. Dan anda bisa melihat rujukannya sekaligus sebagai daftar pustaka yang akan memperkuat hujjah kita:
- Ibn Abbas (dalam kitab TAFSIR, pada catatan pinggir dari ad-Durru ‘l-mantsur, volume 5, halaman 355)
- al-Kalbi (seperti dikutip dalam kitab AT-TAFSIRU ‘L-KABIR-nya ar-Razi, volume 29, halaman 227
- al-Alusi (dalam kitab RUHUL-IMANI, volume 27, halaman 178)
- al-Farra (Lihat ar-Razi, ibid; dan al-Alusi, ibid)
- Abu Ubaydah Mu’ammar ibn Muthanna al-Basri (Lihat ar-Razi, ibid; dan asy-Syarif al-Jurjani,SHARHUL-MAWAQIF, volume 3, halaman 271)
- al-Akhfash al-Ausath (dalam NIHAYATUL ‘UQUL)
- al-Bukhari (dalam AS-SAHIH, volume 7, halaman 240)
- Ibn Qutaybah (dalam AL-QURTAYN, volume 2, halaman 164)
- Abu ‘l-Abbas Tha’lab (dalam SHARHU ‘S-SAB’AH AL-MU’ALLAQAH dari Az-Zuzani)
- at-Tabari (dalam TAFSIR-nya, volume 9, halaman 117)
- al-Wahidi (dalam AL-WASIT)
- ats-Tsa’labi (dalam AL-KASHF WAL BAYAN)
- az-Zamakhshari (dalam AL-KASHSHAF, volume 2, halaman 435)
- al-Baydawi (dalam TAFSIR-nya, volume 2, halaman 497)
- an-Nasafi (dalam TAFSIR-nya, volume 4, halaman 229)
- al-Khazin al-Baghdadi (dalam TAFSIR-nya, volume 4, halaman 229)
- Muhibbud-Din Afandi (dalam TANZILUL-AYAT)
UNTUK LEBIH LENGKAPNYA BISA DILIHAT DALAM:
AL-GHADIR, tulisan Al-Amini, halaman 344—350
SERIAL GHADIR KHUM 9 (Arti kata “MAULA” dalam konteks kalimat pada hadits al-Ghadir Khum)
Melanjutkan pembicaraan kita tentang arti kata MAULA pada pembahasan yang lalu (Lihat: SERIAL GHADIR KHUM 8 (Arti kata “MAULA” pada hadits al-Ghadir Khum)), sekarang kita akan telaah kata MAULA itu dalam konteks kalimatnya.
Mari kita teliti arti kata yang mana yang bisa kita simpulkan dari sebuah hadits apabila kata yang sama itu memiliki arti yang berbeda-beda. Arti yang manakah yang akan kita ambil apabila sebuah kata itu memiliki lebih dari satu arti dengan konteks kalimat yang berbeda.
Apabila sebuah kata itu memiliki lebih dari satu makna, maka untuk melihat arti konotasi yang sebenarnya itu kita harus membuat sebuah asosiasi (qarinah) dan melihat konteks kalimat dimana kata itu digunakan. Ada petunjuk-petunjuk yang sangat kuat dalam hadits ini yang menggiring kita kepada satu pemahaman yang sama tentang arti kata MAULA yang hanya bisa diterjemahkan dengan padanan kata PEMIMPIN. Berikut adalah petunjuk-petunjuk yang bisa kita pakai:
PERTAMA: PERTANYAAN YANG DILEMPARKAN OLEH RASULULLAH SEBELUM DEKLARASI PENGANGKATAN ALI BIN ABI THALIB MENJADI IMAM KAUM MUSLIMIN.Rasulullah bertanya: “Alastu Awliya bikum min anfusikum?” “Bukankah aku ini memiliki kuasa terhadap diri kalian daripada kalian terhadap diri kalian?” Ketika yang hadir menjawab, “Ya! Tentu saja”, kemudian Rasulullah melanjutkan: “Man kuntu mawlahu fahadza ‘Ali mawlahu”, “Barangsiapa yang menjadikan diriku sebagai penguasanya (maula), maka Ali adalah penguasanya (maula)!” Tanpa bisa diragukan lagi bahwa arti kata dari MAULA pada kalimat sebelumnya, memiliki kaitan yang erat dengan arti kata MAULA pada kalimat berikutnya. Kata kuasa dengan kata penguasa itu ada kaitan yang erat sekali. Pertanyaan Rasulullah yang mendahului pernyataan Rasulullah itu ada kaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Ada paling tidak 64 orang pakar hadits dari kalangan Ahlussunnah yang telah mengutip PERTANYAAN RASULULLAH yang mendahului PERNYATAANNYA, diantara mereka ada Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Majah, an-Nasai, dan Tirmidzi (LIHAT: al-Amini, al-Ghadir, halaman 370—371)
KEDUA: “DO’A YANG DIPANJATKAN OLEH RASULULLAH TEPAT SETELAH PENGANGKATAN IMAM ALI BIN ABI THALIB. “Allahumma waali man walaahu; ‘aadin man ‘aadahu; wanshuru man sharahu; wakhdhul man khadhalahu” “Ya, Allah! Cintailah dia yang mencintai ‘Ali; dan jadikanlah musuhmu yang menjadikan ‘Ali musuhnya; dan tolonglah dia yang menolong ‘Ali dan tinggalkanlah dia yang meninggalkan ‘Ali!” Do’a ini menunjukkan bahwa ‘Ali, pada hari itu, diberikan sebuah TANGGUNG JAWAB YANG SANGAT BERAT sehingga apabila tanggung jawab itu dilaksanakan akan membuat orang-orang memusuhinya (dan tanggung jawab yang dimaksud ialah tanggung jawab ketika ia menjadi seorang PEMIMPIN dan bukan seorang TEMAN—lihat diskusi sebelumnya). Lihat lagi do’a Rasulullah di atas. Dalam do’a itu jelas Rasulullah menyiratkan bahwa ketika ‘Ali melaksanakan tanggung jawab itu. ‘Ali membutuhkan para penolong atau pembantu atau pengikut. Apakah penolong, pembantu, atau pengikut itu diperlukan dalam sebuah PERTEMANAN?
KETIGA: SEBELUM DEKLARASI GHADIR KHUM PADA HARI YANG BERSEJARAH ITU, RASULULLAH BERKATA: “TAMPAKNYA JELAS SEKALI AKU AKAN DIPANGGIL (OLEH ALLAH) DAN AKU AKAN MENJAWAB PANGGILAN ITU” Pernyataan itu jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah memberitakan akan wafatnya sendiri dan beliau sedang merencanakan sesuatu sepeninggalnya agar umatnya tidak cerai berai sepeninggalnya. Rasulullah jelas sekali membuat rencana penunjukkan pemimpin sepeninggalnya untuk mengurus kaum Muslimin. Jadi sangat tidak masuk akal apabila ia mengumumkan Ali sebagai TEMAN kaum Muslimin padahal konteks sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah mengucapkan kalimat-kalimat itu berbarengan dengan berita tentang wafatnya yang akan datang segera.
KEEMPAT: PARA SAHABAT MENGUCAPKAN SELAMAT KEPADA ‘ALI DAN MENGEKSPRESIKAN KEBAHAGIAANNYA. Lihat pembahasan yang dulu ketika para sahabat mengucapkan selamat kepada ‘Ali termasuk Umar bin Khattab sekalipun. Apakah ucapan itu diberikan kepada orang yang dijadikan seorang TEMAN? Yang pantas diberi ucapan selamat ialah penunjukkan ‘Ali sebagai pemimpin daripada sebagai teman.
KELIMA: KESEMPATAN, TEMPAT DAN WAKTU DARI TERJADINYA KEJADIAN ITU.Bayangkan Rasulullah menangguhkan perjalanan pulangnya di sebuah gurun tandus yang panas menyengat di tengah hari bolong. Bayangkan Rasulullah menunggu dulu para sahabat yang ketinggalan agar menyusul dan sahabat yang telah berangkat lebih dulu agar kembali supaya semuanya bisa bergabung di Ghadir Khum. Bayangkan seluruh sahabat yang berhaji pada waktu itu yang jumlahnya sekitar 100,000 orang semuanya bergabung untuk menyaksikan peristiwa akbar itu. Mereka terpanggang panasnya gurun Arabia pada siang hari; duduk di tempat yang penuh dengan tumbuhan berduri dan pasirnya menyengat bagai api. Mereka kemudian membuat mimbar untuk Nabi dengan menumpuk-numpuk pelana unta agar nantinya Rasulullah bisa berkhutbah di sana dengan disaksikan seratus ribu pasang mata hingga tempat terjauh darinya.
Rasulullah kemudian memberikan khutbah terakhirnya di sana. Patutkah Rasulullah (dengan mempertimbangkan kesempatan, tempat, dan waktu yang sedemikian ekstrimnya) mengumpulkan para sahabat hanya untuk mengucapkan kalimat: “Barangsiapa yang menganggapku sebagai TEMAN; maka jadikanlah Ali sebagai TEMANNYA”. Pesan ini sungguh terlalu sepele dibandingkan dengan kondisi ekstrim yang dijadikan tempat dan waktu bersejarah yang disaksikan seratus ribu orang!!!!!
Kalau Rasulullah ingin agar orang-orang mencintai Ali dan menganggap Ali sebagai TEMANNYA, maka Rasulullah tidak akan mengumpulkan orang-orang sedemikian banyak di suatu tempat. Malahan orang-orang akan bertanya-tanya: Ada apakah gerangan dengan Ali karena menurut mereka pribadi adalah pribadi tanpa cela jadi hanya orang-orang jahatlah yang membencinya dan tidak mau berteman dengannya.
Kalau misalnya saja ada percekcokan antara Ali dengan beberapa sahabat tertentu (seperti yang dikhayalkan oleh saudara kita dari Ahlussunnah) yang oleh karenanya (menurut mereka) Ali harus didamaikan dengan para sahabat yang bersitegang dengannya, maka Rasulullah tidak akan mengumpulkan para sahabat sedemikian banyak yang hampir semuanya tidak punya masalah dengan Ali. Cukup Rasulullah mengumpulkan saja orang-orang yang bersitegang itu dan itu jauh lebih baik dan lebih bijak karena tidak menularkan masalah itu ke semua orang yang tidak mengetahui masalahnya. Karena sumbernya itu hanya khayalan, maka tidak mudah untuk mempertahankannya.
Mustahil Rasulullah mengumpulkan sedemikian banyak sahabat untuk mengucapkan kalimat: “BARANGSIAPA YANG MENGANGGAPKU SEBAGAI TEMAN, MAKA JADIKANLAH ALI SEBAGAI TEMANNYA”. Ini terlalu musykil dan mengada-ada.
Adalah pantas dan layak Rasulullah mengumpulkan sedemikian banyak sahabat untuk membuat deklarasi bersejarah sambil mengucapkan kalimat: “BARANGSIAPA YANG MENGANGGAPKU SEBAGAI PEMIMPIN, MAKA JADIKANLAH ALI SEBAGAI PEMIMPINNYA”. Ini masuk akal dan sangat pas dengan konteks sejarah dan semua laporan berupa hadits mendukung dan selaras dengannya.
SERIAL GHADIR KHUM 10/Tamat (Ali di mata Nabi dan hadits-hadits lain tentang keutamaan Ali)
Banyak sekali hadits yang menunjukkan keutamaan dan keunggulan Ali dibandingkan para sahabat lain dari Rasulullah. Tidak mungkin untuk menyebutkan semuanya dalam ruang yang sangat sempit seperti blog ini. Akan tetapi ada beberapa hadits dan riwayat yang mungkin kita bisa ketengahkan di sini. PeristiwaMubahalah mungkin adalah contoh klasik yang bisa kita ketengahkan di sini.
Pada suatu kesempatan ada 14 utusan yang beragama Nasrani yang berasal dari Najran datang untuk menemui Nabi. Ketika mereka bertemu dengan Nabi mereka segera mengemukakan sebuah pertanyaan:
“Apa pendapatmu tentang Yesus Kristus?”
Rasulullah menjawab:
“Kalian sebaiknya istirahat dulu hari ini; besok kalian akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan kalian itu”
Keesokan harinya turunlah 3 buah ayat (QS. 3: 59—61):
إن مثل عيسى عند الله كمثل آدم خلقه من تراب ثم قال له كن فيكون
الحق من ربك فلا تكن من الممترين
فمن حآجك فيه من بعد ما جاءك من العلم فقل تعالوا ندع أبناءنا وأبناءكم ونساءنا ونساءكم وأنفسنا وأنفسكم ثم نبتهل فنجعل لعنة الله على الكاذبين
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Ketika orang-orang Nasrani itu tidak mau menerima firman Allah dan malah bersikeras untuk tetap pada keyakinan mereka yang salah maka Rasulullah mengajak mereka untuk ber-mubahalah.
Keesokan harinya orang-orang Nasrani itu keluar ke tanah lapang dan membentuk sebuah barisan di satu sisi. Kemudian Rasulullah juga keluar dengan membawa kedua cucunya yang tercinta. Husein di gendongnya dan Hasan dituntunnya. Di belakangnya berjalan dengan langkah pasti, puterinya—Fathimah—dan di belakang Fathimah ada Ali yang juga melangkah dengan pasti.
Demi melihat mereka berjalan beriringan seperti itu orang-orang Nasrani itu termanggu terpana dan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Demi melihat 5 orang suci itu, orang-orang Nasrani itu membatalkan rencananya untuk ber-mubahalah dan mereka mengajukan permohonan untuk damai dari Nabi.
Ayat tersebut di atas, menurut Jabir ibn Abdillah al-Ansari kata-kata: ANAK-ANAK KAMI itu mengacu tidak lain melainkan kepada HASAN DAN HUSEIN. Sementara kata-kata ISTRI-ISTRI KAMI itu diwakili oleh FATHIMAH dan DIRI KAMI mengacu kepada NABI DAN ALI. Jadi diri Ali dalam ayat Mubahalah ini disejajarkan dengan diri Nabi.
(LIHAT: al-Wahidi: Asbabun Nuzul, halaman 40; dan As-Suyuthi: Durrul Mantsur, volume 2, halaman 38)
Dengan ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kalau ada orang yang mengambil pemimpin lain berdasarkan keutamaan dan kemuliaan akhlak maka ia sudah seharusnya memilih Ali karena Ali dan Rasulullah memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda. Apabila ada orang yang melebihkan Ali atas Rasulullah maka itu berarti ia telah sesat karena Ali memiliki keutamaan dan kemuliaan di bawah Rasulullah akan tetapi tidak ada orang lain yang lebih utama setelah Rasulullah kecuali Ali-lah orangnya. Menganggap orang lain lebih utama daripada Ali sama saja dengan menganggap bahwa ia lebih utama dari Rasulullah.
Hadits-hadits lainnya
Setelah pelantikkan Ali di Ghadir Khum sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi bukti-bukti lainnya untuk membuktikan bahwa Ali adalah khalifah yang haq sepeninggal Rasulullah akan tetapi di sini saya akan menunjukkan beberapa buah hadits yang bisa diketengahkan untuk memperkuat kembali uraian yang sudah kita bahas di atas.
Dalam hadits “2 hal yang berharga” atau juga disebut dengan hadits “ats-Tsaqalayn” Rasulullah bersabda:
“Aku tinggalkan bersamamu dua perkara yang berharga yaitu Kitabullah dan Ahlul-Baytku. Apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya dan tidak meninggalkan salah satunya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya. Mereka berdua tidak akan berpisah dari satu sama lainnya hingga menemuiku di telaga Kautsar (telaga di surga nanti)”
(LIHAT: Hadits ats-Tsaqalayn ini adalah hadits yang sangat masyhur dan ada di hampir seluruh kitab hadits. Anda bisa melihat misalnya dalam
- at-Tirmidzi: as-Sahih, volume 2, halaman 308; atau di
- Ibnu ‘l-Athir: Usdu ‘l-ghabah, volume 2, halaman 12; dan atau di
- as-Suyuthi: Durru ‘l-mantsur, volume 6, halaman 7
- al-Muttaqi al-Hindi: Kanzul ummal (Hyderabab, 1312H), halaman 48)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kemudian ada juga hadits yang dinamakan dengan hadits al-manzilah. Kejadiannya seperti ini. Pada suatu ketika dalam peperangan Tabuk (yang terjadi pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah), Rasulullah meninggalkan Ali di kota Madinah untuk menggantikan kepemimpinannya.
Ali bertanya dengan sedih kepada Rasulullah, “Apakah engkau akan meninggalkanku sendirian di sini?”
Rasulullah menjawab, “Wahai Ali! Tidakkah engkau puas dengan kedudukanmu yang sangat mulia itu? Kedudukanmu itu sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa hanya tidak ada lagi Nabi setelahku”
Rasulullah berkata seperti itu sekaligus ingin menunjukkan bahwa Musa telah meninggalkan Harun dan menyuruh Harun untuk mengurus umat karena Musa harus bertemu Tuhan untuk mendapatkan perintah Tuhan (the Commandments). Di sini Rasulullah juga telah menitipkan umat kepada orang yang paling ia percayai yaitu Ali bin Abi Thalib. Rasulullah juga ingin mendidik umatnya pada waktu itu agar umatnya terbiasa dipimpin oleh pemimpin yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin sepeninggalnya.
(LIHAT: rujukan haditsnya adalah sebagai berikut:
- Ibnu Majah: as-Sunan, halaman 12
- Ahmad: al-Musnad, volume 1, halaman 174
- An-Nasai: al-Khasa’is, halaman 15—16
- at-Tahawi: Mushkilu ‘l-athar, volume 2, halaman 309
- al-Muhibb at-Tabari: Dhakhairu ‘l-uqba, halaman 63)
--------------------------------------------------------------------------------------------
Ada juga peristiwa lainnya yaitu peristiwa dimana Rasulullah harus menyampaikan wahyu yang baru diterimanya yaitu surrah al-Bara’ah (atau disebut juga dengan surrah at-Taubah) kepada penduduk kota Mekah. Pertama-tama Rasulullah menyuruh Abu Bakar untuk menyampaikan dan membacakan surat Al-Bara’ah kepada musyrikin kota Mekah akan tetapi kemudian Rasulullah menyuruh Ali untuk menyusul Abu Bakar dan mengambil surat Al-Bara’ah itu darinya dan kemudian membacakannya sendiri di kota Mekah. Abu Bakar terpaksa kembali ke kota Madinah dengan segenap perasaan gundah. Padahal Abu Bakar sudah berjalan sekitar setengah perjalanan menuju kota Mekah. Setibanya di Madinah Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah apakah ada wahyu lain yang datang yang memerintahkan untuk melarang Abu Bakar membacakan surat Al-Bara’ah itu. Rasulullah menjawab:
“Jibril datang kepadaku dan berkata bahwa tidak boleh ada satu orangpun yang menyampaikan wahyu dari Allah kecuali diriku atau orang yang berasal dari diriku.”
(LIHAT: rujukan berikut:
- as-Suyuthi: ad-Durrul Mantsur, volume 6, halaman 206
- at-Tabari: at-Tafsir, volume 10, halaman 47
- an-Nasai: al-Khasa”is, halaman 20
--------------------------------------------------------------------------------------------
Selain dari peristiwa-peristiwa tersebut di atas, Rasulullah juga seringkali dilaporkan mengekspresikan secara gamblang pemihakkannya kepada Ali yang memang sengaja didesain untuk menjadi pemimpin menggantikan dirinya kelak. Seringkali Rasulullah terlihat memuji-muji Ali seperti:
“Ali senantiasa beserta kebenaran; dan kebenaran senantiasa bersama Ali; kemanapun Ali berpaling, kesitulah kebenaran akan berpaling dengannya”
Dengan itu tidak diragukan lagi bahwa kekhalifahan akan jatuh ke tangan Ali karena hanya Ali-lah yang tak mungkin salah dalam memimpin seperti yang disebutkan oleh Rasulullah bahwa kebenaran akan selalu bersama Ali.
(LIHAT rujukannya:
- al-Khalil al-Khwarazmi: al-Manaqib, halaman 56
- al-Hammuyi: Fara’idu’s-simtayn, volume 1, halaman 176
- al-Khatib al-Baghdadi: Tarikh Baghdad, volume 14, halaman 321
----------------------------------------------------------------------------------------------
Masih ada satu lagi hadits yang bisa kita ketengahkan di sini untuk menutup serial Ghadir Khum ini. Hadits yang saya maksud ialah hadits “Cahaya Illahi” (atau juga dikenal dengan hadits An-Nuur). Sayyid ‘Ali Hamadani menulis dalam Mawaddatu ‘l-qurba, mengutip hadits yang disampaikan lewat Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah pernah bersabda:
“Aku dan Ali itu diciptakan dari satu cahaya yang sama (cahaya Illahi) sekitar 4000 tahun sebelum Adam diciptakan, dan ketika Adam diciptakan cahaya itu ditempatkan di sebuah tempat di tulang belakangnya (tulang belakang Adam). Begitulah kami turun dari satu orang ke orang lain menghuni tempat yang sama hingga kemudian berpisahdi tulang punggungnya Abdul Muttalib. Oleh karena itu, padaku ada Kenabian sementara pada Ali ada kekhalifahan (Imamah).”
Dalam kitab Riyadu ‘l-fada’il, kalimat terakhir diganti dengan kalimat: '”Kemudian padaku ada kenabian dan pada Ali ada wasy (kepemimpinan)”
(LIHAT rujukannya:
- Mafatihu ‘l-matalib, halaman 396
- al-Ganji: Kifayatu ‘t-talib, halaman 176
TAMAT

No comments
Post a Comment