Breaking News

Pemahaman Tasawuf yang Digunakan Rabi’ah al-Adawiyah


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم – السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Pada masa itu, yang berkuasa di Basrah adalah Bani Umayyah. Hidup mewah mulai meracuni masyarakat terutama di kalangan istana. Melihat kondisi demikian, kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban untuk menyerukan pada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam kemewahan. Sejak saat itu, kehidupan zuhud mulai menyebar luas di kalangan masyarakat.
Menurut at-Taftazani, karakteristik asketisme (zuhud) islam pada abad pertama dan kedua hijriah adalah sebagai berikut:
  1. Asketisisme ini didasarkan ide menjauhi hal-hal dunia demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka.
  2. Asketisisme ini bercorak praktis dan para pendirinya tidak menaruh pendirian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas asketisismenya itu.
  3. Motivasi asketisisme ini adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan yang sungguh-sungguh.
Demikianlah perkembangan tasawuf pada masa Rabi’ah al-Adawiyah yang sedikit banyak mempengaruhi kehidupan sufi Rabi’ah al-Adawiyah.
Rabi’ah al-Adawiyah semula adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan oleh tuannya. Dalam kehidupan selanjutnya ia bisa memusatkan perhatiannya dalam beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan duniawi. Dia menyenangi hidup dalam kemiskinan, dan menolak bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya, dia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi kepada Tuhan. Rabi’ah al-Adawiyah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan mendambakan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Rabi’ah dikenal sebagai sufi yang mengembangkan paham tentang mahabbah (cinta). Baginya Tuhan adalah zat yang dicintai dan rasa cintanya yang mendalam hanya kepada Tuhan. Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya pada Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuat dia bersedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan zat yang sangat dicintainya, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Menurut beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf, misalnya R.A. Nicholson bahwa pentingnya kedudukan Rabi’ah al-Adawiyah di dalam konsep tasawuf adalah dikarenakan dia menandai konsep zuhud dengan corak lain dari konsep zuhud Hasan al-Basri yang ditandai dengan corak rasa takut dan harapan. Rabi’ah al-Adawiyah melengkapinya dengan corak baru, yaitu cinta yang menjadi sarana manusia dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan. Cinta yang suci murni, tidaklah mengharapkan apa-apa dan cinta murni kepada Tuhan itulah puncak Tasawuf Rabi’ah. Di antara ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang konsep zuhud yang dimotivasi cinta adalah:
“Wahai Tuhan! Apapun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku. Berikanlah semuanya kepada musuh-musuhMu. Dan apapun yang Engkau akan berikan kepadaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”
Tampak jelas bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam lirik syairnya:
“Kujadikan Engkau teman dalam berbincang dalam kalbu.
Tubuhkupun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku.”
Cinta dibaginya atas dua tingkat. Pertama cinta karena kerinduan. Dirindui sebab Dia memang puncak segala keindahan, sehingga tidak ada lagi yang lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya, melainkan Tuhan, Allah, Rabbi!. Yang kedua yaitu keinginan dibukakan baginya hijab, selubung, yang membatas di antara dirinya dengan Dia. Itulah tujuannya, yaitu melihat Dia (musyahadah). Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci orang lain.
Sebuah contoh menceritakan tentang cahaya dengan kerinduan hati yang terbakar semata-mata ditempati oleh ketakutan kehilangan Allah, tampak dalam dialog sebagai berikut. Ia ditanya:
“Apakah Anda cinta setan, wahai Rabi’ah, ataukah membencinya?”
Dijawab Rabi’ah, “Cintaku yang begitu besar kepada Allah, sepenuhnya melarangku untuk membenci setan”
Parapenanya masih memaksanya, dan terus mengajukan pertanyaan:
“Apakah Anda cinta Nabi dan kedamaian atas beliau?”
Dan Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, aku sangat mencintainya. Tetapi cintaku kepada Sang Pencipta telah terisi penuh dan mencegahku dari cinta terhadap makhluk.”
Kata-kata ini tidak pernah dimaksudkan sebagai ketidakimanan terhadap Nabi. Jawaban itu dimaksudkan bahwa tidak ada ruang yang tersisa dalam hatinya untuk mencintai sesuatu dengan tulus kecuali Allah. Dalam bukunya The Rainks Of The Saints, al-Manawi berkata:
“Dalam doa-doanya, Rabi’ah menyerahkan dirinya seribu kali siang dan malam dan ketika ditanya, “Apakah yang Anda cari dengan semua ini?” Ia menjawab, ‘Aku tidak mencari pengajaran. Aku mengerjakan semuanya barangkali Allah dan Nabi berkenan, dan menyampaikan kabar kepada Nabi-nabi lainnya, ‘Lihat, ada seorang perempuan dari ummatku dan inilah karyanya’.”
Oleh karena itu, Rabi’ah ingin mencintai Nabi, damai bersamanya, ia berharap semua perempuan merasa dimuliakan dengan apa yang dilakukannya. Ia mencintai Nabi dan berharap berjumpa dengan beliau pada Hari Pembalasan.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran pria-pria salih, dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milikNya. Aku hidup dalam naungan firmanNya. Akad nikah mesti diminta darinya, bukan dariku”

No comments