Breaking News

PUISI TASAWUF MODERN


Tasawuf (Islamic mysticism) dan sastra (adab) mempunyai keterkaitan
yang timbal-balik (mutualisma). Tasawuf memberikan corak ide tersendiri,
sekaligus bertanggung jawab atas warisan besar, berupa sastra baik dalam
bahasa Arab maupun bahasa Muslim lainnya. Corak ide tersebut adalah
pemujaan kepada Tuhan dan permintaan tolongNya, yang dituangkan oleh
para Sufi ke dalam rentetan puisi yang indah dan menyentuh hati.
Sedangkan peran sastra menyediakan perangkat untuk menyampaikan ideide
tersebut. Perangkat sastra itu merupakan genre-genre, baik dalam bentuk
puisi, prosa, maupun drama.
Genre sastra berupa puisi sering digunakan oleh para Sufi dalam
menuangkan pemikiran-pemikiran tasawufnya. Seperti Al-Hallaj menuangkan
pemikiran Hululnya melalui medium puisi, “saya adalah orang yang mencintai
dan orang yang mencintai adalah saya, kami adalah dua ruh yang
termanifestasikan dalam satu badan, jika kamu melihat kami, maka kamu
melihat dia, dan jika malihat dia, maka kamu melihat kami”. Para sufi
memang tidak menutup kemungkinan, adalah seorang penyair, namun
demikian seorang penyair belum tentu seorang sufi, karena mereka hanya
menggunakan ide-ide pemikiran tasawuf ke dalam karyanya.

Tasawuf sarat dengan tanda warisan puisi yang tidak dapat
dihilangkan. Para sufi tidak hanya menggunakan tema-tema puisi seperti
kekasih yang hilang, mabuk anggur, atau binasa (fana) cinta terhadap
kekasih sebagai ekspresi ide dan rasa yang tergantung dengan puisi. Namun
mereka memanfaatkannya untuk penghalusan tema, hasrat, emosi dan diksi
di dalam puisi, yang sebelumnya tema-tema itu di dalam tasawuf merupakan
aspek integral perasaan tasawuf.

Mutualisma tasawuf dan puisi terkait dengan keberadaan puisi Arab
lama. Permulaan puisi Arab lama atau puisi Arab klasik konvensional pra
Islam, sering juga disebut dengan qasidah mencakup beberapa unsur. Unsurunsur
tersebut adalah nasib (erotic introduction), madih (panegyric), hija
(defamation), fakhr (vainglory), ritha (elegy). Kritikus sastra abad
pertengahan menyatakan bahwa keterkaitan tasawuf dan puisi didasari oleh
tiga pokok utama, pertama nasib atau mengingat (dzikr, rememberance)
terhadap kekasih, kedua perjalanan (Contohnya: perjalanan haji), ketiga
kesombongan (Fakhr). Pokok utama yang pertama dapat dipahami
terbentuknya puisi tasawuf. Sebab, nasib memulai dengan mengingat kekasih
(atau sesuatu yang dicintai) hilang. Sedangkan, mengingat ditunjukkan
melalui simbol-simbol tertentu, seperti mengingat runtuhnya puing-puing
(dzikr al-atlal), imajinasi penyair kepada kekasih yang menghilang, dan
hubungan rahasia antara penyair dan kekasihnya6.
Mengingat (dzikr, rememberance) di dalam unsur nasib merupakan
sumber utama baik di dalam puisi itu sendiri, maupun di dalam tasawuf.
Nasib yang digambarkan, digunakan dan ditransformasikan ke dalam sastra
tasawuf memiliki unsur-unsur, pertama, pernyataan menyalahkan kekasih
yang hilang karena perubahan bentuk dan perasaan (ahwal) secara
berkelanjutan. Kedua, tingkatan (station,maqomat) perjalanan kekasih yang
menjauh dari penyair, ketiga, imajinasi kesenangan dan ketenangan
menimbulkan kenangan kepada kekasihnya di tempat reruntuhan
kampungnya yang terisolasi. Imajinasi itu mendasari hasil kerja seni,
sehingga gambaran kekasih seperti taman yang hilang.
Unsur-unsur di atas menggambarkan hubungan antara sastra (baca:
puisi) dan tasawuf. Station (maqomat) sebagai perjalanan kekasih ibarat
maqomat, perjalanan seorang sufi kepada Tuhan yang dicintai. Perubahan
dan keadaan kekasih ibarat perubahan “keanggunan” Tuhan dan perubahan
keadaan spiritual seorang sufi. Dzikr juga membimbing seorang penyair
menjauh dari kekasih, beralih dzikr yang membimbingnya ke jalan sufi (Sufi
way) melalui sang kekasih.
Dzikr menjadi sarana untuk menuju tujuan yang jauh di tempat yang
tinggi, sehingga terjadi apa yang disebut dengan ahwal dan merasa
kesenangan bersama Tuhan. Selanjutnya, memperoleh nasutNya dengan
harapan bahwa tujuan telah dekat dan memperoleh kebahagiaan. Dengan
keadaan seperti ini Tuhan terlihat berdzikir kepada mereka, seperti mereka
berdzikir kepadaNya. Jika tidak ada dzikirNya kepada mereka, mereka belum
memenuhi dzikir kepadaNya.
Seperti puisi mengenai dzikir di bawah ini.
IngatMu untukku adalah keindahan yang menjelma
Menjanjikanku anugerah dariMu
Bagaimana aku melupakanMu, wahai pemanjang harapan
Engkau selalu bersemayam di pelupuk mata
Puisi tasawuf (mystical poetry) muncul dari salah satu dari genre-genre
qasida, yaitu nasib. Kemudian puisi tasawuf ini mengalami perubahanperubahan
seiringa dengan pergantian masa. Perubahan itu ditunjukkan
setelah masa Islam, sehingga keberadaan puisi tasawuf tersebut menjadi
karya seni dari beberapa seni puisi Arab yang mempunyai kemandirian,
pertimbangan, dan pemahamannya sendiri11. Sebagai karya seni yang
mandiri, puisi tasawuf kaya dengan kiasan, tamsil atau perumpamaan,
sehingga memunculkan lesikografi simbol tersendiri dalam sejarah Islam12 .
Karya puisi mempunyai peran penting untuk menguatkan perasaan cinta
kepada Tuhan, bahkan sarana menuju keadaan ekstasi (syatahat)13
Dari tasawuf juga, muncul himpunan penyair yang mengekspresikan
Tuhan sebagai keindahan dan cinta yang mutlak yang tertuang di dalam
karyanya, dan tidak hanya memunculkan para ahli mistik. Misalnya, agama
Kristen mempunyai penyair mistik, John of The Cross yang setara dengan
Jalaluddin Rumi, Fariduddin Al-Attar dan penyair mistik lainnya14. Dengan
demikian tasawuf dan puisi mempunyai jalinan yang saling menguntungkan.
Di sisi lain, keterjalinan tersebut adalah penggunaan ekspresi ide-ide
yang mungkin dianggap aneh, seperti penggunaan huruf q pada awal kata
qarb yang berarti dekat, sekaligus awal huruf dari kata qof yang berarti
gunung. Gunung mistik yang mengelilingi dunia dan tempat burung mistik
simurgh atau anqo (phoenix) bersinggah. Penggunaan ide itu dimaksudkan
untuk menyampaikan sebuah makna terdalam kepada pembaca15. Sama
halnya dengan puisi Arab modern menggunakan ide-ide tasawuf untuk
memberikan makna yang lain kepada masyarakat, karena perkembangan
kehidupan modern ditandai oleh kehidupan tanpa puisi, dengan kata lain jauh
Ekstasi identik dengan istilah istilah metaforis seperti, fana (annihilation), wajd (feeling),
ghaybat (absence of self), jadzab (attraction), sukr (Intoxication), dan hal (emotion).
dari nilai-nilai humanistik. Ide-ide tasawuf juga mengkritik kehidupan modern
yang mengagung-agungkan matrealisme di atas kehidupan spiritual.
Para penyair diuntungkan dengan penggunaan ide-ide tasawuf,
mereka dapat menghindarkan diri dari pernyataan langsung dan
menambahkan kesegaran di dalam puisinya. Ide-ide tasawuf sangat dominan
dalam mengeksplorasi makna-makna yang simbolik, sedangkan sastra sendiri
(baca: puisi) mempunyai ciri kebahasaannya yang memerlukan penafsiran
tertentu, bahasanya adalah bahasa kedua. Jadi para penyair mudah
memadukan ide-ide tasawuf dalam puisinya.
Beberapa contoh penyair Arab modern adalah Khalil Gibran (1883-
1931) seorang penyair mahjaris dari Lebanon, dia menggunakan ide, citra
dan simbol tasawuf untuk memprotes kejumudan (kebekuan) masyarakat
muslim tradisional. Misalnya puisinya yang berjudul Sang Nabi (The Prophet)
memuat simbol tasawuf di dalam spiritnya, bait puisinya: People of
Orphalese, beauty is life when life unveils her holy face, but you are life and
you are the veil (masyarakat orfalese, indah adalah hidup ketika tidak
menutupi wajah sucinya, tapi kamu hidup dan tertutup)

Gibran adalah sastrawan yang gemilang di antara sastrawan-sastrawan modern, lahir di
wilayah Busro pada tahun 1883. Ketika anak-anak, Gibran bersama saudara-saudaranya,
Petrus, Sultanah dan Miryanah dibawa oleh ibunya ke Boston, Amerika Serikat, setelah
kematian bapaknya. Dia masuk ke sekolah kristen dan menggemari bidang seni di Boston,
namun sempat kembali ke Libanon dan bergabung ke sebuah sekolah negeri untuk
mempelajari bahasa Arab. Dia pernah melanjukan studinya dalam bidang seni ke Perancis
selama tiga tahun atas bea siswa dari sebuah lembaga pendidikan Amerika Serikat yang
dipimpin oleh Marie Haskal. Dia sangat mengagumi pemikiran filsafat Nietszhe. Dia bersama
rekan-rekannya sesama satrawan perantauan (mahjaris) seperti Mikhail Nu’ayma, Illiya Abu
Madi, Abdul Masin Haddad, Rashid Ayyub, Nasib Aridah, Wlliam Katsaflin dan Nadroh Haddad
mendirikan sebuah gerakan budaya yang terlembagakan bernama Al-Rabitoh Al-Qalamiyyah.
Gibran meninggal pada tahun 1931 karena terserang penyakit TBC. Karya-karyanya adalah
dam’ah wa ibtisam, al-ajnihah al-mutakassaroh, al-arwah al-mutamarridah, arais almurawwaj,
al-nabiy, al-majnun, ramal wa zabad, al-saiq dan yasu ibn al-insan.
Mahjaris adalah istilah untuk menyebutkan para penyair Arab yang tinggal di perantauan,
khususnya di Amerika Utara. Perlu untuk ditekankan terhadap para penyair kelompok ini
adalah upaya mereka untuk melakukan misi-misi protes terhadap kebijakan negeri asal
mereka, terutamapersoalan feodalisme dan kitik terhadap para agamawan (clergy man). Di
dalam uapaya protes, mereka menggunakan simbol kedalaman perasaan agama
(religiousity), hal ini dapat dimengerti sabab diksi-diksi puisi mereka banyak dipengaruhi oleh
Bibel yang berbahas Aeab dan Kitab Perjanjian Baru (The New Testament).
Mikhail Nuayma (1889-1988) penyair mahjaris dari Lebanon juga, dia
pernah menulis sosok penyair di dalam puisinya yang berjudul Al-Ghirbal
(The Sieve), yang digambarkan dengan ide, citra dan simbol tasawuf,
demikian baitnya:
What is a poet? A poet is a prophet, a philosopher, a painter, a musician,and
a priest in one. He is prophet because he can see with his spirituality eye
what cannot be seen by other mortal. A painter because he is capable of
moulding what he can see and hear in beautiful forms of verbal imagery, a
musician because he can hear harmony where we can find discordant noise. .
. Lastly a poet is a priest because he serves the goddes of truth and beauty20
Apa itu penyair? Penyair adalah Nabi, filosof, pelukis, musisi dan kyai
sekaligus. Dia seorang Nabi, karena dapat melihat dengan mata spiritual yang
tidak dapat dilihat oleh makhluk lain, seorang pelukis, karena dia mampu
membentuk apa yang dilihat dan melihat dengan keindahan imajinatif,
seorang musisi, karena dia dapat mendengar harmoni, ketika kita berada di
suasana kegaduhan. Akhirnya seorang penyair adalah kyai, karena dia
melayani kebenaran dan keindahan ilahiyyah.

Kehidupan Al-Hallaj (858-922) menjadi sorotan besar para penyair
modern, seperti Adonis (Ali Ahmad Said) (1930- )21 dari Lebanon.
Nuayma adalah satrawan modern Libanon, lahir di Bishkanta, sebuah dataran tinggi di
Libanon. Kemauan besarnya tampak sejak kanak-kanak, dia memperoleh pendidikan dasar di
desanya, kemudian melanjutkan ke sekolah Rusia di Al-Nasiroh, Palestina, yang kemudian
memberinya bea siswa untuk melanjutkan studinya di Rusia. Setelah itu, dia melanjutkan ke
Amerika Serikat, mengambil studi ilmu hukum dan sastra. Di New York, dia bertemu dengan
rekan-rekan sesama sastrawan yang tergabung penyair mahjaris dan mendirikan gerakan
budaya Al-Rabitoh Al-Qalamiyyah. Kritikannya dimuat di majalah Al-Funun. Setahun
paskakematian Gibran pada tahun1932, dia kembali ke Libanon dan sangat menaruh
perhatian terhadap perkembangan perpustakaan dengan memperbanyak koleksi buku di
bidang sastra, misal kritik sastra, puisi, prosa, dannovel. Dia meniggal pada tahun 1988 dan
mewarisi beberapa karya sastra, misal Gembala Bapak dan Anak, Hamas Al-Junun, Al-
Marahil, Kaana ma Kana, Muzakirat Al-Arqas, Al-Bayadir, Sout Al-Alim, Al-Nur wa Al-Dayjur,
Mirdad, dan Sab’un. Lihat Abdul Ali Muhana, Ali Na’im Khurais, Masyahir Al-Syu’ara wa Al-
Udaba, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1990, hlm 236-237.

Demikian juga dengan Adul Wahab Al-Bayati (1926- ) yang
akan diteliti karya puisinya, dia adalah penyair dari negeri Iraq, alumnus
Akademi Pelatihan Guru di Baghdad pada usia 24 tahun, dia mengambil
jurusan Bahasa Arab. Pada tahun 1950, dia mengakhiri karir guru, kemudia
mempublikasikan bunga ramapai pertamanya, yang berjudul Malaika wa
Sayatin (malaikat dan setan). Al-Bayati mangekspresikan karya
puisinya menggunakan simbol-simbol dari para tokoh sejarah dunia atau
sebuah tempat, termasuk juga unsur-unsur tasawuf yang sangat
mendominasi dalam gaya bahasanya (uslub), sehingga karya-karyanya
kadang-kadang sulit dipahami. Misalnya dalam unsur tasawuf, dia menulis
puisi tentang sepak-terjang tokoh tasawuf Al-Hallaj. Tulisannya mengenai
kebangsaan Libanon. Dia mempunyai julukan Adonis. Dia bekerja sebagai editor di sebuah
majalah avant-garde, Syi’r dan pengasuh kolom sastra di harian Beirut Lisanul Hal. Puisinya
bergaya simbolis yang rumit dan unik pada masanya. Adonis memperhatikan ekspresi seni
terhadap keadaan sosial-politik, sebagaimana perhatiannya terhadap metafisika dan tasawuf.
Di samping seorang sastrawan, dia juga kritikus sastra, namun demikian tidaj mudah untuk
membaca kritiknya, sebagaimana puisinya. Dia adalah sosok penyair Arab yang terkenal pada
waktu itu. Karya karyanya adalah Qolat Al-Ard (1945), Qosoid Ula (1957), Awraq fi Al-Rih
(1958), Aghoniy Mihyar Al-Dimasqiy (1962), Kitab Tahawwulat wa Al-Hijr fi Asalim Al-Layl wa
Al-Nahr, Al-Masrah wa Al-Maraya (1968). Lihat An Anthology of Modern Arabic Poetry,
diseleksi oleh M. M Badawi, Beirut: Oxford University Press, Dar An-Nahar, hlm xxxvii.
Salah Abdul Sabur lahir di Mesir, lulusan dari Universitas kairo tempat dia mempelajari
sastra Arab dan di bawah pengaruh kritikus dan penulis DR. Louis Awwad yang
memperkenalkan sastra Barat modern kepada generasinya, khususnya puisi-puisi T. S. Elliot.
Secara umum, Salah Abdul Sabur dikenal sebagai dedengkot penyair kontemporer di Mesir.
Dia juga dikenal sebagai penulis social-realist, namun perkembangan berikutnya,
perhatiannya cederung terhadap spiritual dan metafisika. Di samping penyair, dia juga
kritikus sastra dan mempublikasikan kritikannya setiap minggu di harian Kairo Al-Ahram. Dia
juga asisten editor sastra di harian tersebut. Karya-karyanya adalah Al-Nas fi Al-Bilad (1957),
Aqulu lakum (1961), Ahlan Al-Faris Al-Qodim (1964). Dia juga menulis drama puisi Masat Al-
Hallaj (1965). Lihat Anthology of Modern Arabic Poetry, diseleksi oleh M. M Badawi, Beirut:
Oxford University Press, Dar An-Nahar, 1970, hlm xxxvii.

Lihat juga Khalil L. Semaan, Islamic Mysticism in Modern Arabic Poetry and Drama, dalam
International Journal Study of Middle East, Great Britain: Cambridge University Press. Lihat
Al-Hallaj berjudul Qira’at Kitab Al-Tawasin Li Al-Hallaj (Membaca Kitab
Tawasin karya Al-Hallaj), bait puisinya sebagai berikut.
Satu setelah yang lain, tangan-tangan diangkat si depan wajah otoriter
tapi pedang-pedang penguasa
memotong satu setelah yang lain di setiap tempat
Mengapa Tuhanku tidak kau angkat tangan keluasan?
Revolusi kaum papa
dicuri oleh pencuri-pencuri revolusi di setiap zaman
Zappata adalah contoh dan seratus nama yang lain
Mengapa ya Tuhanku, Al-Hallaj digantung?27
Dalam puisinya yang lain berjudul Ain al-Syams (eye of the sun), Al-
Bayati mengungkapkan hubungan percintaan antara Ibn Al-Arabi (1156-1240
M) dengan kekasihnya Al-Nizam. Al-Bayati menulis puisi tersebut dengan
menggunakan tehnik simbolisme, yaitu simbol sufistik, seperti kijang yang
disimbolkan sebagai rahasia Tuhan dan cahaya merupakan simbol Tuhan28.
Sedangkan puisinya sebagai berikut.

Tuan, perindu, budak
Cahaya, awan
Qutb dan murid
Dan pemilik keagungan
Berkata kepadaku menunjukkanku setelah kijang mrnyingkapkanku
Tapi aku mengejarnya lari di bawah cahaya di kota-kota dalam
Orang asing memburunya, dia di tanah lapang kota yang hilang
Menjadikan kulitnya rebab dan senar kecapi
Ini aku lari, pohan-pohon berdaun di malam hari
Perindu sungai Barada yang memukau
Tuan tergantung di atas tembok

2. Rumusan Masalah
Penelitian ini yang berjudul Tasawuf dalam Puisi Arab Modern (Studi
Puisi Sufistik Abdul Wahab Al-Bayati), difokuskan pada pokok masalah
sebagai berikut:

1. Bagaimana corak tasawuf di dalam puisi Abdul Wahab Al-Bayati?,
2. Mengapa Al-Bayati memiliki ide sufistik?.
3. Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode hermeneutik, yaitu mencakup tiga
unsur, mengerti, menafsirkan dan menerapkan sebuah teks30. Struktur teks
itu sendiri mempunyai sistem penandaan (signifying). Sistem penandaan
mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) merupakan bentuk formal
yang menendai sesutu yang disebut petanda, selanjutnya petanda (signified)
merupakan sesuatu yang ditandai oleh penanda, atau artinya31.
Hubungan penanda dan petanda di antaranya terdapat sifat arbiter
(semena-mena). Hubungan ini sering disebut dengan simbol, hubungan yang
ditentukan oleh konvensi. Menurut pendapat Charles Sander Pierce bahwa
simbol adalah tanda yang mencakup hal yang telah mengonvesi di
masyarakat. Penanda dan petanda tidak memiliki hubungan kemiripan
ataupun kedekatan, tetapi terbentuk karena kesepakatan32.
Sedangkan, prespektif tasawuf bertalian erat dengan makna-makna
simbolik, bahkan menurut Abu Al-Wafa Al-Ghonimah Al-Taftazani di dalam
bukunya Madkhol ila Al-Tasawuf Al-Islam, bahwa penggunaan simbol di
dalam tasawuf menjadi corak tasawuf abad ke tiga dan ke empat Hijriyah33.
Di dalam Al-Luma, Abu Nasr Al-Sarraj Al-Tusi berpendapat bahwa simbol
(rumz) adalah makna dalam (batin) yang tersembunyi di bawah perkataan
yang tampak, tidak dapat dicapainya kecuali oleh para ahlinya34.
Dengan demikian simbolistik sebagai studi hermeneutik di satu pihak
dan wacana tasawuf yang memproduksi makna-makna simbolistik di pihak
lain, saling berkaitan. Oleh karena itu, penggunaan metode hermeneutik ini
melalui pendekatan simbolisme menghubungkan secara fungsional antara
tasawuf dan sastra.

3. 1 Data Primer
Penelitian ini menggunakan data primer dari kumpulan puisi (Bunga
Rampai) Abdul Wahab Al-Bayati yang berjudul Hub wa Maut wa Nafy li Abdil
Wahab Al-Bayati. Bunga rampai ini diseleksi oleh Bassam K. Frangieh
dari karya-karya puisinya.

3. 2 Data Skunder
Sedangkan data skunder, penelitian ini memperolehnya dari bunga
rampai yang lainnya dan bebrapa makalah yang membahas puisinya. Seperti
bunga rampai Abdul Wahab Al-Bayati Usturo Al-Taihi baina Al-Mahod wa
Wiladat, yang diseleksi oleh Haidar Taufiq Baidown. Makalah Islamic
Mysticism in Modern Arabic Poetry and Drama, yang ditulis oleh Khalil I.
Semaan.

3.3Analisis Data
Mengidentifikasi data teks puisi Abdul Wahab Al-Bayati yang
mengandung makna simbolik. Kemudian, teks-teks simbolik tersebut dianalisis
dari sudut pandang tasawuf, baik dalam satu rangkaian wacana tasawuf,
maupun makna simbolik semata.
Makna-makna simbolik tasawuf diperoleh dari pemaknaan secara teks
kata dan kamus-kamus simbol tasawuf konvensional. Penelitian ini juga
meaganalisis data dari tokoh-tokoh tasawuf, karena Al-Bayati sering
menggunakan tokoh-tokoh tertentu, termasuk tokoh tasawuf di dalam
puisinya.

4. Hasil dan Pembahasan
Simbol sufistik memiliki kekhasan sendiri, karena muatan wacananya
secara keseluruhan meliputi, baik pemikiran, istilah-istilah maupun para
tokohnya. Muatan-muatan tersebut digunakan para penyair untuk
menghidupkan karyanya, supaya memuat makna-makna tertentu. Simbol baik
di dalam sufistik maupun sastra tidak mengartikan teks dengan arti
sebenarnya, lebih-lebih sufistik selalu memandang segala sesuatu dari sisi
batiniyyah (esoteris), yang tidak tampak daripada sisi dohiriyyah (eksoteris),
yang tampak. Para penyair sufi juga beranggapan bahwa pisi merupakan
simbol-simbol kebenaran dan keindahan jiwa manusia.
Penyair Abdul Wahab Al-Bayati mempunyai pandangan multi-budaya,
dikarenakan interaksinya dengan budaya-budaya lain, sehingga dapat
memecahkan ketertutupan yang mengitarinya. Sebagai buktinya, Dia telah
melanglang buana ke manca negara dalam perjalanan intelektualnya. Dengan
demikian, penyair Iraq ini diperkirakan juga menyerap pemikiran sufistik
sebagai salah satu budi daya manusia, kemudian memanfaatkan simbolsimbolnya
di dalam karya-karya puisinya. Annamarie Schimmel, peneliti
tasawuf, membuktikan penggunaan simbol sufistik yang dimanfaatkan oleh
Al-Bayati, seperti simbol tokoh sufistik, Al-Hallaj. Dia memuat pembuktiannya
di dalam kompilasi antologinya yang berjudul Al-Halladsh, Martyrer der Gottes
Leibe. Menurutnya tokoh Al-Hallaj juga dijadikan simbol oleh para penyair
Arab modern lainnya seperti, Adonis, Salah Abdul Sabur, dengan karya
dramanya yang berjudul Masat Al-Hallaj
Al-Bayati memanfaatkan simbol-simbol sufistik di dalam karya puisinya
untuk mengungkapkan idealisma yang menyatakan bahwa kemenangan
selalu diikuti oleh onak duri kehidupan yang menyakitkan dan perjuangan
panjang yang tulus. Simbol-simbol sufistiknya meliputi berbagai wacana
sufistik, tokoh-tokoh, pemikiran dan istilah-istilahnya.

4.1 Simbol Al-Hallaj
Al-Bayati menjelaskan tentang kehidupan sufi syahid (martyr) Abu
Mughits Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, secara mini-ephic di dalam puisinya
serimg disebut dengan Al-Hallaj. Dia menulis puisi berjudul Azab Al-Hallaj
(Derita Al-Hallaj), jelas memberikan kesan secara simbolistik mengenai
sekelumit kepahlawanan sang sufi. Kata azab di atas yang berarti
penderitaan, mengisyaratkan kehidupannya yang dipenuhi oleh duka nestapa
yang disebabkan oleh konsep dan pemikirannya yang kontroversial. Selain itu,
visi politik Al-Hallaj yang menganjurkan pemerintahan bersih (clean
governance), berbeda dengan visi pemerintahan pada waktu itu dan gagasan
itu membahayakan kebijakan sang khalifah (pemimpin)35 .
Al-Hallaj lahir di daerah Fars, wilayah Iran dekat Teluk, pada tahun 858
H. Bapaknya seorang penenun kapas (hallaj), sedangkan kakeknya adalah
seorang majusi, bernama Muhmiy penduduk Baidoi di Fars. Al-Hallaj tumbuh
dewasa di Wasit dan menetap di Tustar, kemudian pergi belajar tasawuf di
Baghdad, dia berguru dengan Al-Junaid bin Muhammad, Abu Husain Al-Nurry,
Amr Al-Malikiy, dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Puisi Azab Al-Hallaj memuat
bebrapa simbol sufistik sebagai berikut.

4.1.1 Murid
Murid adalah seseorang yang menginginkan kebijaksanaan dan pencari
Tuhan (The Reality One) di bawah petunjuk seorang Mursyid (spiritual guide).
Murid mengisyaratkan awal perjalanan sufistik Al-Hallaj dalam mencari Tuhan.
Penggambaran Al-Bayati di dalam puisinya sebagai berikut.
Kau jatuh dalam kegelapan dan kekosongan
jiwamu terpeciki cat
kau mium dari sumur-sumur mereka
mabuk menyelimutimu
Murid (novice) secara semantis berasal dari kata arada, berarti orang
yang menginginkan. Prespektif sufistik, orang yang menerima otoritas dan
petunjuk dari orang yang telah melintasi beberapa maqomat (station) dari
perjalanan kesufiannya. Murid juga disebut orang yang menginginkan
murod (yang diingini), yaitu syaikh atau mursyid.
Penggambaran Al-Hallaj yang mengalami kekosongan setelah
menempuh kehidupan sebagai murid. Kekosongan itu terisi kembali oleh spirit
baru di dalam jiwanya, al-asbagh yang berarti cat membari kesan kuat
tentang semangat baru, karena cat menimbulkan warna dalam jiwanya.
Mereka dalam puisi di atas dapat dipahami sebagai mursyid yang memiliki
sumur, dan Al-Hallaj meminum airnya sampai mengalami mabuk , al-duwar.
Kata al-duwar, secara semantis berasal dari kata dara yang berarti berputar,
dengan demikian dapat dipahami dengan keadaan mabuk.
Seorang yang mengalami mabuk, secara fisik akan merasakan
tubuhnya berputar-putar. Bahkan puisi itu memperkuat makna mabuk dengan
kata syaraba (minum) dalam lariknya syarabta min abarihim, kau minum dari
sumur-sumur mereka. Al-Hallaj dalam kamu lirik, mengalami mabuk setelah
meminum air sumur mereka. Mabuk disebabkan olh tuntunan dari sang
Mursyid yang menunjukkan kepada Murid jalan menuju Tuhan.
Simbol mabuk (sukr, spiritual intoxication) berarti merasakan anggur
Tuhan (The Wine of Divine Love, Isyq) yang dituangkan oleh pembawa
cangkir (Saqi). Sedangkan simbol saqi adalah orang-orang yang sangat
dicintai, sebagaimana seorang Mursyid atau Syaikh toriqoh (The Master of
Sufi Path), sang pemberi kasih sayang yang menyalurkan arak cinta (wine of
love) kepada pecinta (lover).
Di samping itu, puisi Al-Bayati juga menggambarkan kondisi seorang
Murid yang mengalami sama’ (spiritual concert), dengan kata lain, bahwa
Murid akan mengalami ekstasi (wajd) untuk menemukan Tuhan. Kejadian
eksatasi melalui konser musik spiritual yang dibangun oleh seorang sufi untuk
membuka pengetahuan dan kesadaran seorang Murid. Gambaran Al-Bayati
sebagai berikut.

Kau ketuk pintuku setelah seorang penyanyi tidur
setelah gitar hancur
dari mana aku dan kau dalam Tuhan mencari cahaya
di mana aku mengakhiri dan kau mulai mengakhiri
janji kita hari mahsyar, janganlah kau rusak penutup kalimat angin
di atas air

Jika dicermati dari gaya bahasa allussion, puisi di atas mencerminkan
gaya bahasa metaphorical allussion, yaitu penggunaan unsur-unsur tertentu
yang mendukung maksud puisi dari kontekstual yang diingini. Unsur tersebut
adalah penyanyi dan gitar.
Gambaran Murid dengan segala aspeknya, mengisyaratkan posisi awal Al-
Hallaj dalam menempuh kehidupan mistikal yang panjang.

4.1. 2 Penghancuran (Fana)
Penghancuran atau fana berarti penghapusan diri, pemutusan atau
kematian dari diri melalui hubungan dengan Tuhan. Manusia musnah dari
dirinya sendiri, kepunahan batas-batas individu di dalam tingkat penyatuan
(union). Fana merupakan akhir tingkatan mikraj (ascent) mennuju Tuhan,
ketika perjalanan menuju sang Sumber. Murid akan melalui beberapa
tingkatan untuk menuju fana, masing-masing tingkatan membawanya dekat
dengan tujuan akhirnya. Tingkatan fana mancapai ratusan, bahkan ribuan
tingkat. Kefanaan Al-Hallaj tergambar jelas dalam puisinya yang berjudul
Al-Muhakamat, sebagai berikut

Aku bermimpi bahwa aku bukan perindu dua kata
kami menjadi satu
aku memeluk diriku sendiri
aku memberkahi diriku sendiri, Engkau menyenangkanku
kesedihan dan kesunyianku

Pengalaman fana adalah subyektifitas Al-Hallaj sendiri, sehingga dia
merasa tidak ada yang lain kecuali Tuhan, bahkan dia melupakan jargonnya
yang sangat terkenal Ana Al-Haq (Saya adalah Kebenaran), terindikasi dari
teks puisi di atas yang menyatakan dua kata. Namun demikian, dua kata
tersebut yang menghantarkan Al-Hallaj sebagai syahid di jagat tasawuf.
Seperti dalam puisi lainnya.
Aku sampaikan dua kata kepada penguasa
Aku menyebutnya “kamu pengecut”
Secara historis, dua kata ini sering dilontarkan oleh Al-Hallaj dalam
berbagai kesempatan, seperti pendapat Louis Massignon. Salah satunya
adalah pengadilan atas dirinya, ketika Hakim Abu Yusuf bertanya kepadanya,
“siapa kamu?”, “ana al-haq”, jawabnya45. Para teolog yang merasa terganggu
atas pernyataannya, melancarkan propaganda untuk menyudutkannya.
Propaganda tersebut sampai ke telinga Mu’tasim, Khalifah pada waktu itu,
dan membuat menteri Ali ikut menyudutkannya juga. Hal tersebut
menjadikan Khalifah mengambil keputusan hukum untuk memasukkannya ke
dalam penjara dan menunggu eksekusi mati.

Pengadilan tersebut menjadi kenyataan dengan mengeksekusi mati Al-
Hallaj dengan sangat kejam. Louis Massignon mencatat, setelah ribuan
cambukan ditimpakan kepadanya, mereka (orang-orang khalifah) memotong
kedua tangan dan kakinya secara bergantian, kemudian dinaikkannya ke
tiang gantungan, supaya mudah dilihat oleh khalayak, akhirnya kepalanya
dipenggal. Sedangkan Al-Bayati memotret kejadian tersebut melalui baitbait
puisi yang berjudul Al-Salb (penyaliban).

Para hakim, saksi dan penjagal menyerbuku
membakar lidahku
menjarah kebunku
meracuni sumurku
mengejar para tamu
kebingunganku, ketakjubanku
bagaimana aku dapat menyalib di atas dinding?
api membunuh manjadikan abu
apakah yang aku dapat? Kau yang menutup pintu
ketandusan dan kesia-siaan
mejaku, makan malam terakhirku dalam pesta hidup
bukalah jendela dan berikan tanganmu untukku

Al-Salb (crucifixion) adalah penggambaran proses fana sebagai jalan
menuju peleburan bertemu dengan Tuhan. Penyaliban atas dirinya adalah
kehidupan, sebab dia merasa akan bertemu Tuhannya, seperti senandung
puisinya.

Bunuhlah aku wahai para sahabatku
sungguh terbunuhku adalah kehidupanku
kematianku di dalam hidupku
kehidupanku di dalam matiku

Penyaliban Al-Hallaj juga diceritakan oleh Ishaq Ibrahim, ketika dia
disalib di atas tiang gantungan, dia berteriak, “oh Tuhanku, kini aku di sini di
tempat hasratku dan pandanganku terpesona oleh keagungan-Mu”. “Tuhanku
aku mengerti Engkau memperlihatkan cinta-Mu secara khusus kepada orangorang
yang membenci-Mu, jadi bagaimana mungkin Engkau tidak
memeperlihatkan cinta-Mu padaku yang diperlakukan tidak adil karena diri-
Mu”

Puisi Al-Salb yang menggambarkan penyaliban terhadap Al-Hallaj
dapat dianalogikan dengan penyalliban yang dilakukan oleh tentara Pilatus
kepada Yesus di Golgota51. Dalam tradisi sastra Arab modern, simbol
penyaliban Yesus adalah penggambaran keterasingan (exile) di negeri orang,
karena dipicu oleh perbedaan visi politik di negeri sendiri. Puisi ini
menggambarkan baik citra maupun fakta memilukan yang dialami oleh Al-
Halaj.

4.1. 3 Pemberontakan Iblis
Al-Bayati juga menulis sebuah puisi yang didasari oleh karya
monumental Al-Hallaj, Kitab Al-Tawasin, karya ini merupakan karya
monumental dalam bidang sastra tasawuf. Karya tersebut dikumpulkan oleh
para murid Al-Hallaj dan langsung di bawah bimbingan syaikh mereka. Kata
Al-Tawasin diambil dari gabungan awal ayat dari surat Taha dan awal ayat
dari surat Yasin, kedua ayat tersebut tidak memiliki makna yang jelas. Di
dalam wacana ilmu tafsir, ayat tersebut sering disebut dengan huruf almuqoto’ah,
dan hanya Tuhan yang paling mengetahui makna dari rangkaian
huruf tersebut.

Kitab Al-Tawasin terdiri atas beberapa bab, bab pertama isinya tentang
penghormatan kepada Nabi Muhammad, bab kedua tentang sesuatu yang
takteridentifikasi dan realitas bagian dari kebenaran. Kemudian bab ketiga
tentang buku perputaran, bab keempat dan kelima tentang mi’raj Nabi
Muhammad. Akhirnya bab keenam azaliy wa iltibas yang membicarakan
tentang iblis dan fir’aun

Puisi ini membicarakan mengenai kebangkitan ide-ide Al-Hallaj dengan
menghadirkan karya monumentalnya. Puisi Al-Bayati berjudul Qiraat fi Kitab
Al-Tawasin li Al-Hallaj untuk menunjukkan sikap-sikap perlawanan terhadap
sebuah kemapaman. Hal ini ditunjukkan oleh puisi ini yang merujuk kepada
kitab Al-Tawasin, khususnya pada sub judul al-azaliy wa iltibas, Al-
Bayati beranggapan bahwa isi dari sub judul tersebut memuat
pemberontakan Iblis. Iblis melakukan pemberontakan lantaran Tuhan
memerintrahkannya bersujud kepada Adam, seperti pernyataan di bawah ini.

Tuhan berkata kepadanya, “sujudlah kepada Adam”
“tidak ada selain Engkau”, jawabnya
Tuhan berkata lagi kepadanya, “kau terlaknat”
“tidak ada selain Engkau”, dengan jawabannya yang sama

my deflection is the outcome of Your trancendence, of Your
purity; and my reason is my madness for you. I know none but
You. In between You and I, there none exist, if ought exist, it is I.

Penolakanku adalah hasil dari trasenden dan kesucian-Mu,
alasanku adalah kegilaanku pada-Mu, aku tahu tidak ada selain
Engkau dan Adam tidak ada, hanya ada Engkau. Antara Engaku
dan aku. Tidak ada yang ada, jika memang ada, itulah aku

Perlawanan Iblis menunjukkan klaim monoteistik (monotheistic claim)
dengan menolak sujud kepada Adam, karena hanya Tuhan yang wajib
disujudi, sekaligus totalitas pecinca (lover) kepada yang dicintai (beloved).
Totalitas tersebut menimbulkan persepsi bahwa tidak ada jalan yang lain
kecuali kepada yang dicintai.

Oleh karena itu, Al-Bayati mengekspresikan sisi perlawanan kaum
pinggiran baik secara tekstual simbolik di dalam puisi, seperti puisi di bawah
ini.

Pemberontakan kaum papa
dicuri oleh pencuri pemberontakan di setiap masa
dalam hamparan dan hutan masa kecil cintaku
Al-Hallaj temanku di setiap bepergian, kita membagi roti
dan menulis puisi tentang visi orang miskin yang kelaparan
di kerajaan bangunan besar

Perlawanan (revolution) terhadap kekuasaan disimbolkan melalui sikap
pengasingan diri (exile) dari situasi yang dipenuhi kepalsuan. Hal tersebut,
secara sufistik dapat disamakan dengan sikap para zuhud yang
mengasingkan diri dari kehidupan borjuistis yang dialami oleh para elit pada
awal-awal perkembangan tasawuf. Perlawanan tersebut tampak di dalam bait
puisi di bawah ini.

Dari bawah tugu sang tiran bumi ini
dari bawah abu-abu abad ini
dari belakang, jeruji penjara
aku menangis malam di benua-benua, aku korbankan cintaku
untuk binatang buas yang menunggu di tiap pintu
Genarasi-generasi dan kafilah-kafilah
bangsa-bangsa dan kerajaan-kerajaan
binasa oleh banjir
Salah satu orang, tangan tangan naik di wajah tiran
tapi pedang-pedang sultan
memukul salah satu orang di mana tempat
mengapa, Tuhanku, tidakkah Kau angkat tangan keluasaanmu?58
Puisi ini juga memuat simbol tokoh revolusioner Meksiko Emiliano
Zapata, seperti dalam bait puisi di bawah ini.
“Zapata” contoh dari sekian nama terkenal yang lain
di dalam kamus orang-orang suci lagi syahid
mengapa wahai Tuhanku, Al-Hallaj disalib?

Demikian pula simbol tokoh Al-Hallaj yang menggambarkan
perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya, sekaligus melawan
kemapaman para elit politik (sultan dan para kroninya). Sedangkan, Emiliano
Zapata adalah penggagas revolusi agraris di Meksiko. Revolusinya melibatkan
para petani untuk melawan Hacienda yang mengambil tanah mereka. Bahkan
gerakan revolusioner Zapata sangat mempengaruhi keadaan negara Meksiko
sampai sekarang, dia tercatat sebagai revolusioner di abad ke 2060.
Simbol Zapata di dalam puisi Qiraat fi Kitab Al-Tawasin li Al-Hallaj
memberikan makna persamaan perjungannya dengan perjuangan Al-Hallaj.
Mereka berdua sama-sama menyuarakan perlawanan terhadap penguasa
tiranik. Kematian meraka berakhir tragis, kematian Al-Hallaj telah dijelaskan
sebelumnya, sedangkan kematian Zapata ditembak mati melalui penyergapan
yang dilakukan oleh tentara Carrancista. Mayatnya dibawa ke Cuautla dan
dikebumikan juga di sana.

Kematian keduanya merupakan konsekwensi yang harus ditanggung
dari gerakan revolusi. Bait puisi ini menggmbarkan keadaan tersebut,
Mengapa Tuhanku Kau angkat tangan ampunan-Mu?, Pencuri-pencuri
revoluisi mencuri revoluisi kaum miskindi sepanjang masa, Mengapa Tuhanku
Al-Halaj dibunuh?. Akan tetapi, revolusi telah memompa semangat
perjuangan, seperti kaum proletar Hallajian, yaitu kaum buruh pabrik
penenunan di Ahwaz yang memberontak penjual budak yang akan
membangun kanal-kanal dan dam62. Gambarannya seperti bait puisi di bawah
ini.
Orang-orang papa mengelilingi Al-Hallaj di sekitar api
Di malam hari, diselimuti rasa demam
Kadang datang dan menghilang di balik dinding

4. 2 Simbol Cinta
Secara sufistik, cinta adalah motivasi kekuatan perwujudan Tuhan
terhadap penciptaan-Nya, seperti pernyataan-Nya di dalam Hadist Qudsi,

“Aku adalah harta yang tersembunyi, Aku mencintai untuk diketahui, maka
Aku menciptakan makhluq”. Di pihak lain, cinta juga menjadi motivasi pecinta
(muhib) untuk mengarahkan secara total kepada yang dicintai (mahbub),
yaitu Tuhan. Cinta kadang-kadang merupakan inti dari spiritual dan daya tarik
menuju penyatuan Tuhan (God Union) .

Cinta mempunyai padanan kata, di antaranya hawa (passion),
mahabbat (love kindness) dan isyq. Hawa adalah cinta yang ditimbulkan oleh
hasrat-hasrat badaniyyah, mahabbat adalah cinta yang muncul dari hati,
kemudian isyq adalah cinta yang hadir dari jiwa, cinta ini memiliki tiga unsur,
kejujuran, kemabukan, dan ketiadaan.

Isyq merupakan tingkatan yang lebih tinggi daripada dua tingkatan
cinta lainnya. Isyq adalah turunan kata dari kata asyaqoh yang berarti
tanaman anggur, ketika angin berhembus menerpanya, tanaman tersebut
akan layu dan mati. Cinta yang mendalam dan mambara akan mengeringkan
dan membuat tanaman akan menguning. Cinta spiritual dapat merontokkan
akar kedirian. Cinta ini mempunyai dua sisi, sisi juz’I yaitu cinta yang dialami
oleh sesama manusia, dan sisi kulliy yaitu cinta yang hanya dimiliki oleh
Tuhan. Persamaan dua sisi itu adalah keberadaan rindu (syauq).

Puisi Al-Bayati yang berjudul An Waddah Al-Yaman wa Al-Hub wa Al-
Maut, bukan hanya menggambarkan isyq juz’I, melainkan juga
menggambarkan isyq kulliy. Puisi tersebut menggambarkan isyq antara
Waddah Al-Yaman dengan seorang putri raja, yang berakhir di ujung
kematian. Waddah Al-Yaman adalah nama sebutan, sedangkan nama aslinya
Abdul Rahman bin Ismail, dia seorang Arab Yaman, tapi di pihak lain, dia
berasal dari Parsi yang diutus ke Yaman sebelum Islam.

Waddah Al-Yaman adalah seorang yang tampan, oleh karena itu dia
memperoleh sebutan waddah yang berarti putih (abyad). Dia sangat
mencintai perempuan Yaman yang bernama Raudoh, seorang anak Khalifah.
Karena cintanya kepada Raudoh, dia memujinya melalui puisi-puisi ghazl,
sebab dia juga penyair ghazl. Akan tetapi rasa cintanya tidak dapat terwujud,
sebab kekasihnya dinikahi oleh orang lain, bernama Al-Walid bin Abdul Malik.

Sebagai pembanding dari peristiwa di atas, Al-Bayati memasukkan
peristiwa percintaan antara Othello dan kekasihnya Desdemona, yang juga
berakhir tragis dengan kematian. Kematian itu dipicu oleh rasa cemburu yang
besar dari pihak ketiga. Al-Bayati menyitir percintaan itu dari puisi Pujangga
Inggris, William Shakespear dengan judul The Tragedy of Othello, The Moor
of Vinice. Adapun puisinya sebagai berikut.

Sebelum hadir di buku-buku
Novel-novel dan puisi-puisi
Othello telah ada
Kala kalajengking-kalajengking pencemburu menggigitnya
Ya Waddah
Sebelum muncul di buku-buku
Othello pembunuh bersimbah darah
Tapi Desdemona
Tak akan mati waktu ini
Inikah kamu yang akan mati
Cinta di atas adalah gambaran cinta juz’i yang dialami sesama manusia
dan bersifat kemabukan semata, belum mencapai tingkatan fana. Sebaliknya
cinta kulliy, yang bersifat kefanaan tergambar di dalam bait puisinya yang
diulang-ulang.
Aku tidak menemukan kemurnian cinta, tapi aku menemukan Tuhan

Cinta sejati adalah cinta yang berasal dari Tuhan, ketika Dia mencintai
hamba-Nya, Dia akan melihat kapadat eksistensi pecinta dan membawanya
ke tingkatan fana, bahkan berlanjut ke tingkatan baqo. Ruzbihan berpendapat
bahwa cinta yang berasal dari sang Mahasempurna, maka akan menghasilkan
cinta yang sempurna juga. Beberapa sufi memperkuatnya bahwa cinta adalah
totalitas atas segala kesempurnaan yang ada di dalam esensi setiap individu
dan hanya ditujukan kepada Tuhan

4.3 Citra Sufistik Perempuan
Al-Bayati menggambarkan mabuk cintanya tidak langsung ditujukan
kepada Tuhan, akan tetapi melalui simbol perempuan yang bernama Aisyah.
Sesuai tehnik perpuisiannya, Aisyah adalah ilustrasi pahlawan, gambaran
cinta, dan dia selalu hadir di dalam puisi-puisinya.
Sisi sufistik, simbol perempuan memiliki tempat khusus, dia menjadi
subjek, sekaligus objek kerinduan. Perempuan adalah subjek yang merindu
terus-menerus mencari jalan yang menuntunnya kepada sang kekasih,
Tuhan, meskipun di tengah jalan muncul berbagai ujian dan gangguan. Pada
saat yang sama menjadi objek kerinduan maskulin yang tertinggi dan mulia,
perempuan menjadi personifikasi Tuhan yang meliputi ciri-ciri maskulinitas
dan feminitas dalam dirinya sendiri

Di dalam penggambarannya, Aisyah datang ketika prosesi spiritual
telah mencapai tingkatan cinta, seperti baitnya, Menggadaikan kesucian
bajunya utuk anggur, menangis gila untuk cinta, Aisyah bangkit dari bawah
rerumputan liar, batu-batu hitam, kijang kuning emas berlari, sedang aku
mengikutinya dalam keadaan gila. Bait lain juga menggmbarkan
keberadaannya yang sangat berarti, Aku tidak menelanjangi lukaku dalam
keadaan mabuk, jika aku tidak kehilangan Aisyah di warung tujuan. Simbol
warung (han atau tavern) menggambarkan hati seorang sufi yang sempurna,
yaitu seorang yang telah merealisasikan kesatuan Tuhan dengan rumah sufi.
Yang dimaksud warung adalah alam Tuhan (alam lahut)
Setelah mengalami prosesi spiritual yang panjang, kerinduan hanya
kepada Tuhan yang diwujudkan simbol perempuan, Aisyah. Akhirnya,
tumpuan kesempurnaan hati sampai pada tingkatan baqo (abiding), bukan
hanya fana (annihilation). Seperti bait puisi, Aku bertanya-tanya dalam sukr
dan sahw tentangmu. Simbol sukr dan sahw adalahsama-sama mabuk, akan
tetapi masing-masing memiliki perbedaan. Tingkatan sukr adalah ketiadaan
diri dalam mabuk bersama Tuhan yang dicintai, sebaliknya sahw adalah
ketiadaan diri yang setingkat lebih tinggi daripada tingkatan sukr. Mabuk
sahw tidak sekedar mabuk, mabuk yang dibarengi oleh kedewasaan spiritual
(spiritual maturity). Sahw ibarat mabuk memakai minuman sorga (tasnim)
dan sukr ibarat mabuk memakai minuman dunia (kafur)

5. Simpulan
Abdul Wahab Al-Bayati menggunakan simbol-simbol tasawuf, juga
kadang-kadang memasukkan mitologi agama kuno (asatir al-diniyyah alqodimah)
di dalam karya puisinya. Simbol tasawuf itu di antaranya, Al-Hallaj,
fana dan cinta. Dia berusaha memunculkan kembali pemikiran-pemikiran
tasawuf pada masa modern untuk memperkuat pola pikirnya dalam
menjawab tantangan luar yang semakin beragam.
Al-Bayati menggunakan simbol-simbol tasawuf sebagai media untuk
melakukan kritik sosial, dia betul-betul menerapkan kritikan, baik secara
pemikiran, lewat simbol penyaliban Al-Hallaj dan secara sikap, lewat
pengasingan di negara lain. Dia memperhatikan persoalan kemanusiaan
(humanistik) juga di dalam puisinya. Di dalam menyoroti persoalan ini, dia
memanfaatkan tokoh-tokoh kemanusian di dalam sajarah dunia, seperti
Zappata. Pada akhirnya, sikap humanistiknya bertumpu kepada Tuhan. Dia
menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, dengan begitu karya-karyanya
memuat nilai-nilai sufistik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Al-Bayati, Love, Death and Exile, diterjemahkan oleh Bassam K.
Frangieh, Washington D. C.: Georgetown University Press, 1990.

Al-Hallaj, Al-Tawasin, diedit oleh Louis Massignon, Paris: Librare Paul
Guethner, 1913.

Al-Attar, Fariduddin, Para Auliya, diterjemahkan oleh A. J. Arberry, Bandung:
Penerbit Pustaka, 1983.

Abdul, Salah Sabur, Tragedi Al-Hallaj, diterjemahkan oleh Abdul Hadi W. M.,
Bandung: Pustaka Pelajar, 1988.

Al-Wafa, Abu Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, diterjemahkan oleh
Ahmad Rofi’i Usmani, Bandung: Penerbit Pustaka, 1985.

Abdul, AL-Shaikh Aziz Al-Din Yarwan (editor), Misykat Al-Anwar wa Misfat
Al-Anwar li Imam Al-Ghazali, Beirut: Alam Al-Kitab, 1986.

A, Michael Sells (editor), Early Islamic Mysticism (The Classic of Western
Spirituality) Sufi, Qur’an, Mi,raj, Poetic and Theological Writing, New
York: Paulist Press, 1996.

Armstrong, Amatullah, Sufi Terminology (Al-Qomus Al-Sufi), Kuala Lumpur: A.
S. Noordeen, 1995.

Al-Din, Khoir Al-Zarkiliy, Al-Alam Qomus Tarajim li Asyhar Al-Rijal wa Al-Nisa
inda Al-Arab wa Al-Mustaghribin wa Al-Mustasyriqin, jilid II, Beirut: Dar
Al-Ilmi li Al-Malayin, tanpa tahun.

Ghozi, Muhammad Arabiy, Al-Nusus fi Mustalaht Al-Tasawwuf, Dar Qotiyyah,
1975.

Hakim, Abdul Hassan, Tasawwuf ri Al-Syi’r Al-Arabiy Nasyatuhu wa
Tatawwaruhu wa Makanatuhu hatt Al-Qorn Al-Salis Al-Hijriy, Al-
Qohiroh: Maktabah Al-Anjaluy Al-Misriy, 1954.

Hadi, Abdul W. M., Tasawuf yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap
Karya-Karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001.

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Penerbit
Paramadina, 1996.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1986.

Hasyimi, Ahmad, Jawahirul Balaghoh fi Al-Ma’aniy wa Al-Badi’iy, Indonesia:
Maktabah Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyyah, 1960

Joko, Rahmat Pradopo, Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan
Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 195.

Kamran, Gilani, Ana Al-Haq Reconsidered, New Delhi: Kitab Bhavan, tanpa
tahun

Khadra, Salma Jayyusi, Modern Arabic Poetry The Development of its Forms
and Themes under The Western Literature, Leiden: EJ Brill, 1977.

Moreh, S, Modern Arabic Poetry 1800-1970 The Development of its Forms
and Themes under The Influences of Western Literature, Leiden: EJ
Brill, 1976.

M, M Badawi, A Short History of Modern Arabic Literature, England: Clarendon
Press Oxford,

Masiggnon, Louis, Al-Hallaj Sang Sufi Syahid, diterjemahkan oleh Dewi
Candraningrum, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001.

Moshe and Bernard (editor), Mystical Union and Monotheistic Faith An
Ecuminical Dialogue, Mc Gin Mac Millan Publishing Company, 1989.

Meier, Frirt, The Mystic Path, di dalam An Anthology of Islamic Studies,
Canada: Institute of Islamic Studies Mc Gill University, 1996.

Nasr, Abu Al-Sarraj Al-Tusi, Al-Luma, disunting oleh Abdul Halim Mahmud dan
Toha Abdul Baqi Surur, Mesir: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1960.

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah mada
University Press, 1995.

Nurbakhsh, Javad, In Tavern of Ruin, London: Khaniqahi Nimatillah
Publication, 1978.

, Sufi Symbolism, Vol II, London: Khaniqahi Nimatullah
Publication, 1986.

Qodir, Abdul Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyyah fi Al-Islam Masodiruha wa
Nadoriyyatuha wa Makanatuha min Al-Din wa Al-Hayat, Dar Fikr Al-
Arabiy, tanpa tahun.

R, Ismail Al-Faruqi dan Louis Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam Menjelajah
Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung: Penerbit Mizan, 1998.

Schimmel, Annamarie, Mystical Dimension of Islam, Chapel Hill: The
University of North Carolina Press, 1975.

, Jiwaku adalah Wanita Aspek Feminin dalam
Spiritual Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Bandung: Penerbit
Mizan, 1998.

Shri, Heddy Ahimsa Putra, Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra,
Yogyakarta: Galang Press, 2001.

T, Marietta Stepaniant, Sufi Wisdom, New York: State University of New York
Press, 1994.

Al-Mu’jam Al-Wasit, Jilid II, Majma Al-Lughoh Al-Arabiyyah
The New Encyclopaedia Britanica, Vol 19, Chicago: Encyclopaedia Britania Inc,
1974.

No comments