Kisah RAJA BUGIS di Pulau BUTON
Kisah RAJA BUGIS di Pulau BUTON
SEBUAH pementasan berjudul Arung Palakka akan dilangsungkan di Taman Ismail Marzuki, beberapa hari mendatang. Tak banyak yang tahu sosok Raja Bugis yang kisahnya dicatat rapi oleh sejarawan Leonard Andaya dalam buku Warisan Arung Palakka.
Luput dari catatan Andaya, saya coba menuliskan episode saat Arung Palakka datang ke Pulau Buton. Tentu saja, bahan-bahan yang saya gunakan adalah sumber-sumber lokal, serta tradisi lisan yang berkisah tentang kedatangan itu. Selamat membaca!
***
INI tahun 1660. Terik masih membakar tatkala perahu pria bernama Arung Palakka itu menyusuri sungai menuju tepian. Lelaki perkasa berambut panjang yang ditahbiskan sebagai pahlawan Tanah Bugis itu, memasuki Negeri Buton demi harapan akan keadilan. Ia bukanlah seorang pecundang yang jauh melarikan diri ke negeri seberang. Perjalanannya didorong hasrat humanisme dan kecintaan kepada tanah air. Ia tidak melihat daerah ini sebagai negeri yang jauh dari negerinya, melainkan sebuah negeri yang persaudaraannya dengan nenek moyang Bugis sedekat dan sepenting urat leher bagi manusia. Ia tidak sekadar berkunjung sebagaimana penjelajah Eropa yang mencari jalan menuju pusat rempah-rempah. Ia sedang pulang ke tanah leluhur yang telah mewariskan napas bagi detak jantungnya.
Nenek moyang Bugis dan nenek moyang Buton telah membuat prasasti persaudaraan abadi untuk saling menjaga kehormatan masing-masing. Leluhur Bugis menyimbolkan persaudaraan itu dalam kalimat “Bone ri aja, Butung ri lau.” Bone di Barat dan Buton di timur. Ini adalah simbolisasi dari persaudaraan yang sesungguhnya telah memintas batas geografis. Jarak antara dua bangsa adalah jarak atas kategori dan apa yang tampak. Tapi darah yang sama telah mengaliri nadi masing-masing sehingga bertaut sebagai dua saudara sekandung. Hikayat kuno tanah Luwu –yang disebut-sebut sebagai bangsa tertua di jazirah selatan Celebes—juga mengisahkan tentang orang Wolio –sebagai bagian dari Buton-- sebagai saudara orang Luwu. Bahkan, lembaran lontarak kuno La Galigo juga menyebut nama Wolio dalam peta kuno yang menjadi panduan dalam memahami realitas geografi di masa silam.
Arung Palakka memandang laut. Batinnya menerawang menelusuri ingatan tentang nasib diri dan negerinya. Pada masa itu, Gowa sudah tercatat sebagai negeri yang tengah berkilau di Nusantara. Gowa adalah negeri terkuat, memiliki bala tentara yang dahsyat dan disegani bangsa-bangsa lain yang di hembus belahan angin timur. Gowa mencatat prestasi sebagai bangsa yang punya keinginan besar merengkuh ilmu pengetahuan. Kerajaan Gowa unggul dalam hal teknologi. Orang Gowa telah menerjemahkan naskah pembuatan meriam dari bahasa Spanyol ke bahasa Makassar sejak tahun 1600. Kitab yang ditulis Andreas Moyona asal Spanyol itu hanyalah satu dari banyak kitab risalah teknologi Eropa yang ditransliterasi ke bahasa Makassar[1] dan membuat Gowa tercatat sebagai satu-satunya negeri di Nusantara yang paling intens memasuki bidang-bidang ilmiah di abad ke-17.
Melalui ilmu pengetahuan, bangsa Gowa membangun persenjataan yang handal demi menghadapi bajak laut yang mengganas di perairan Nusantara, sekaligus memulai proses ekspansi ke bangsa-bangsa lain. Melalui persenjataan yang dahsyat serta hasrat kuasa yang menghinggapi para bangsawannya, Gowa begitu percaya diri ketika menantang Belanda untuk berperang dan menunjukkan siapa pemilik supremasi sesungguhnya di lautan sekaligus memulai proses ekspansi ke bangsa-bangsa lain.
Ini adalah tahun di mana politik terus bergejolak di masyarakat jazirah selatan Sulawesi. Sejak abad ke-16, pada masa Karaeng Tumaparisi Kallona, Kerajaan Gowa telah mengekspansi seluruh wilayah Sulawesi bagian selatan. Kebijakan ekspansi ini memicu perlawanan yang dahsyat dari berbagai wilayah. Arung Palakka mencuat sebagai sosok yang terpanggil untuk membebaskan derita bangsanya. Batinnya terluka ketika menyaksikan puluhan ribu bangsa Bone yang dipekerjakan untuk menggali parit dan membuat kubu pertahanan di sepanjang Benteng Somba Opu. Gowa memang tengah membentengi diri dari berbagai ancaman, namun di saat bersamaan juga berprilaku laksana pasukan penebas mereka yang tidak bersepakat di bawah panji kebesaran.
Namun, apalah arti keperkasaan jika tidak diimbangi dengan rasa keadilan. Keperkasaan mestinya digunakan untuk melidungi segenap suku bangsa, dan bukannya untuk menjajah yang lain. Meskipun besar di Istana Gowa, harga diri dan kehormatan Arung Palakka sebagai bangsa Bugis seakan tercabik-cabik menyaksikan ketidakdilan di depan mata. Dalam dirinya mengalir sifat-sifat utama seorang manusia Bugis. Ia memelihara nilai keutamaan manusia Bugis yang meliputi siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui tindakan orang itu sendiri). Ia menyadari lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate’ siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate’ siri’). Bukankah kata nenek moyang Bugis mati dengan penuh kehormatan adalah matinya para ksatria yang berumah di atas landasan nilai?
Ia meninggalkan tanah Bugis dengan ikrar untuk kembali membuat perhitungan. Semangatnya menyala kala mengingat bangsanya yang terabaikan. Di pundak pria itu terselip beban sejarah serta amanah untuk membebaskan sebuah bangsa, menegakkan kalimat keadilan, dan menguatkan yang lemah. Menurut tradisi lisan Bugis, ia mengucapkan sumpah agar kelak bisa kembali dan membebaskan rakyat Bugis. Ia mengikat (singkerru) sebuah simpul dengan sulur sebuah pohon yang tumbuh di pantai untuk menandai pengucapan sumpahnya dan berkata dirinya akan membuka simpul itu jika telah memenuhi sumpahnya.[2] Kata-kata itu menjadi janji yang kemudian mengantarkan dirinya saat menaiki kapal yang membawanya ke negeri Buton. Inilah sebuah babakan sejarah yang menandai proses suaka politik pertama di negeri ini.
Di tanah Buton, negeri para sufi dan auliya itu bisa menampung dan menjadi tempat bernaung dari panas dan hujan. Penduduk di pusat pemerintahan menamakan dirinya orang Wolio, sebagai tanda akan hasrat yang teramat kuat di ranah spiritualitas. Wolio diyakini berasal dari kata waliyullah, yang artinya seseorang yang sangat dekat dengan Allah. Maka kecintaan kepada Allah menjadi sumbu utama yang melandasi gerak masyarakat.
Saking cintanya kepada Allah, manusia-manusia Buton bersedia melindungi apapun mahluk Allah yang singgah ke tanah ini. Di sini bisa dibentangkan hukum tawakara yang mewajibkan para pejabat kesultanan untuk melindungi siapapun yang datang mencari perlindungan. Inilah konsep suaka politik yang paling awal dalam sejarah Nusantara.
Arung Palakka bukanlah yang pertama menuai berkah atas hukum ini. Sebelumnya, tercatat sekurang-kurangnya dua peristiwa di mana kesultanan memberikan perlindungan kepada mereka yang terdampar. Peristiwa pertama adalah ketika kesultanan melindungi Raja Gowa ke-13 yakni Karaeng Tunipasulu, yang merupakan kakak Sultan Alauddin (Raja Gowa ke-14) yang juga merupakan kakek Sultan Hasanuddin. Tunipasulu tiba pada tahun 1602 dan tinggal di Buton hingga saat mangkat pada 5 Juli 1617. Ia dikuburkan di dalam Benteng Wolio dan menjadi seorang ulama yang cukup disegani.
Perlindungan atau suaka politik yang kedua diberikan Sultan Mardan Ali (1647 – 1654) kepada anak buah kapal (ABK) lima kapal Belanda yang terdampar di Kabaena. Meskipun rakyat merampok kapal tersebut sehingga Belanda murka besar, namun Sultan Mardan Ali telah memberikan perlindungan kepada orang Belanda tersebut, bahkan menyiapkan rumahnya untuk menjadi tempat penampungan. Peristiwa ini dicatat oleh seorang anak buah kapal (ABK) dalam bahasa Jerman dan tersimpan rapi. Peristiwa ini pula yang menjadi cikal-bakal dari martirnya Mardan Ali demi menegakkan nilai yang dyakininya. Ia mengorbankan diri dan dicatat lembar sejarah sebagai tragedi seorang sultan yang dieksekusi mati demi tegaknya hukum dan aturan nilai. Catatan itu menegaskan satu fakta bahwa karakter perlindungan dimanifestasikan pihak kesultanan tanpa pandang bulu, bahkan kepada musuh sekalipun.
Bagi masyarakat Buton, Arung Palakka bukanlah orang lain. Silsilah yang disimpan banyak warga setempat menyebutkan dirinya adalah seorang saudara yang sedekat urat leher. Di sini, ia lebih dikenal sebagai La Tondu, keturunan langsung La Kabaura yang merupakan satu dari empat anak La Maindo, Raja Batauga. Dari garis keturunan La Kabaura, terdapat nama Sabandara iBone, yang kemudian menurunkan La Tenritatta atau Arung Palakka[3]. Versi lokal ini tumbuh subur dan dipelihara sebagai keyakinan tentang riwayat pahlawan tanah Bugis ini.
Tahun 1660, Tanah Wolio adalah bagian dari jalur perdagangan internasional[4]. Hilir mudik kapal yang singgah ke belahan timur Nusantara, juga menyempatkan diri ke tanah ini. Sebagai negeri yang menjadi urat nadi penting bagi mata rantai perdagangan dan jaringan antar pulau di kawasan Nusantara, Buton berposisi penting hingga menyilaukan mata bangsa-bangsa Eropa serta Portugis yang tengah berebut jalur perdagangan rempah-rempah. Kedatangan bangsa Eropa menjadi awal dari silang budaya serta dinamika globalisasi. Maka wawasan masyarakatnya mulai mengangkasa seiring dengan mitos tentang perahu yang menembus belahan bumi manapun. Maka mulailah abad baru penguasaan atas laut. Orang Buton telah berhasrat untuk menjangkau lautan, mengunjungi negeri-negeri yang jauh sekaligus mengembangkan kebudayaan bahari yang perkasa.
Dengan segala kebersahaannya, mereka telah membuktikan dirinya sebagai pelaut tangguh yang mengunjungi segenap pesisir pantai demi mencari penghidupan sekaligus membangun peradaban yang meskipun tidak begitu benderang dalam torehan sejarah, akan tetapi dilingkupi nilai-nilai kebajikan dan spiritualitas. Jejak mereka sebagai pelaut tertoreh di negeri-negeri belahan timur, mulai Ternate, Tidore, hingga Papua. Petualangan mereka juga berhembus seiring angin hingga tanah marege (Australia sebelah utara), pada tahun-tahun yang jauh sebelum datangnya bangsa Inggris ke tanah luas itu.
Mereka memang tidak membangun satu peradaban besar dengan pilar-pilar ilmu pengetahuan yang kokoh, namun mereka meletakkan landasan spiritual serta keyakinan tentang kebudayaan yang dikuatkan oleh nilai kebajikan dan kemanusiaan. Karakter mereka adalah serupa angin yang menyebar, namun dengan segera bisa menjelma sebagai warga lokal yang menyemarakkan iklim multikuturalisme di satu kawasan. Melalui Islam yang masuk sejak abad ke-15 --lebih awal dari Gowa-, orang-orang Buton telah mematrikan seluruh kecintaannya kepada jalan spiritual melalui perjalanan yang kemudian mengislamkan beberapa tempat di kawasan timur.
Buton adalah negeri para sufi. Ungkapan ini sudah lama terpatri di benak para penjelajah yang mengitari perairan Nusantara. Bahkan di masa ketika Islam belum bergema di tanah ini, catatan kuno Negarakertagama yang tersohor di Majapahit juga menyebutkan Buton sebagai negerinya para resi, sebagaimana kutipan berikut:
Desa keresian seperti berikut : Sampud, Rupit dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman didirikan lingga dan saluran air. Yang Mulia Mahaguru demiklan sebutan beliau. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut Serat Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, di antaranya yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa.[5]
Dalam terminologi Hindu, resi identik dengan sosok bijaksana yang memberi jawab atas segala tanya yang menyangkut zaman. Resi adalah seseorang yang memiliki kualitas kecendekiaan dan memandang zaman dengan penuh bijaksana. Resi adalah mereka yang berumah di bumi, sekaligus berumah di langit demi mencari jawaban atas segala problem yang bertunas di bumi. Jika Buton adalah negeri para resi, maka di tempat ini bisa ditemukan tradisi kearifan yang sudah lama berurat akar dengan masyarakatnya.
Tapi Buton bukanlah negeri Hindu. Buton memproklamirkan dirinya sebagai negeri Islam, yang mewariskan estafet kepemimpinan keislaman sejak masa Rasulullah. Setiap sultan, selalu mendapat gelar khalifatul khamis, sebagai perlambang dari khalifah kelima yang melanjutkan tradisi kepemimpinan empat khalifah yang bijaksana, mulai dari Abu Bakar Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib. Di tanah Buton, kecintaan kepada Rasulullah dan tradisi kearifan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Mungkin, atas alasan ini pula, bangsa ini sedemikian membuka diri pada pustaka dan khasanah tasawuf yang berdatangan dari berbagai bangsa mulai dari Aceh hingga Timur Tengah. Kecintaan pada khasanah tradisi Islam telah membuka gerbang ilmu hingga membumikannya pada segenap ritual, tata cara pemerintahan, dan mekanisme hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Islam adalah kemudi ke arah mana kesultanan bergerak laksana kapal yanga anggun dan membelah lautan. Islam adalah layar. Islam adalah pelita, mercu suar di tengah kegelapan.
***
Arung Palakka yang ditemani sejumlah tubarani (ksatria) Bugis memandang daratan. Di pesisir pulau karang itu, ia menyaksikan berbagai perahu jenis lambo, sope-sope, dan perahu kecil yang dinamakan koli-koli. Ia sadar bahwa perahu yang berjajar itu digunakan masyarakat tidak sekadar sebagai untuk mengitari kepulauan yang bernaung di bawah payung kesultanan. Namun perahu itu juga digunakan para pelaut sebagai kanvas temlat mereka melepaskan ekspresi kecintaan atas laut.
Ia menyaksikan sebuah bandar atau pelabuhan yang ramai. Beberapa pejabat Belanda telah mengabarkan betapa ramainya perdagangan di wilayah tersebut. Menurut catatan Gubernur Ambon Antonio Van den Heuvel, kapal-kapal di Buton hilir mudik memperdagangkan padi dan emas. Berita lain didapatkan dari catatan Kerckingh, seorang saudagar Melayu di Malaysia yang mengatakan bahwa armada sejumlah 25-40 kapal yang membawa kain tenun, padi, porselen, dan sejumlah besar koin berangkat dari Malaysia ke Ambon setiap tahun.
Dalam pelayaran tersebut, mereka singgah ke Buton untuk melakukan pertukaran kain yang berlangsung di atas kapal. Laporan resmi pemerintah Hindia Belanda juga mengisahkan kegiatan ekonomi. Buton melakukan import tekstil dari India (selampurri dan gerrasen), bahan pakaian, kelapa, padi, garam, dan gula coklat. Sementara Buton juga melakukan eksport yakni teripang, lilin, bahan pakaian, peti kayu, dan kayu damar (harpuis).
Di tepi pelabuhan itu, saudaranya Sultan Malik Sirullah (Sultan Buton ke-9) atau kerap disapa La Awu telah menyambutnya. Di tanah ini, sosok seorang sultan bukanlah sosok jagoan yang menaklukan banyak kerajaan. Sosok sultan adalah sosok yang melepaskan segala naluri dunianya demi memilih jalan spiritual. Seorang sultan adalah pemimpin yang memberikan ketenangan, memberikan bimbingan spiritual, dan menguatkan seluruh anak bangsa. Ditemani sultan, Arung Palakka menyaksikan pelabuhan yang ramai, kapal-kapal yang singgah, serta betapa sigapnya para juru bahasa yang merupakan staf dari sahbandar untuk menemui para nakhoda atau kelasi. Ia mengamini pendapat Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen yang terkagum-kagum saat melihat pelabuhan bagus dan aktivitas ekonomi.
Ia lalu bergerak menuju pusat kota Wolio. Ia melihat benteng besar yang mengelilingi pusat pemerintahan masa kesultanan. Benteng itu terbuat dari batu hitam yang kokoh dan menutupi seluruh perkampungan. Hampir pasti, ia akan membandingna konstruksi bebatuan itu dengan benteng-benteng buatan VOC di banyak negeri. Juga dnegan Benteng Sombaopu yang dibangun orang-orang Makassar. Benteng ini jelas lebih luas, lebih kokoh, dengan konstruksi yang menantang laut lewat meriam-meriam yang mengacung. Ia juga melihat sebuah tiang bendera yang dari kejauhan mengibarkan panji kebesaran Kesultanan Buton. Jarak benteng dan lautan sekitar tiga kilometer. Pemilihan Wolio sebagai pemukiman tampaknya disebabkan kondisi geografis wilayah ini yang sangat strategis dari segi pertahanan dan ekologis.
Benteng kokoh itu membersitkan sebuah refkeksi tentang keadaan wilayah yang setiap saat menghadapi risiko ketidakamanan dan ancaman. Bajak laut adalah momok yang menggetarkan saraf ketakutan masyarakat. Entah sejak kapan bajak laut asal Tobelo mulai merajalela di lautan, namun bisa dilacak sejak Kerajaan Ternate menggunakan perahu dan tenaga mereka untuk ekspedisi lintas laut. Perairan Sulawesi di abad ke-17 adalah perairan yang serupa medan laga sebab dipenuhi bajak laut yang mengganas dan kerap menghancurkan pemukiman penduduk. Sedemikian tersohornya bajak laut Tobelo hingga dicatat dalam syair Kerajaan Bima dengan kalimat, “Riuh rendah ia mengangkut// berjalan beriring seperti semut// rupanya bagai setan mengerbang rambut// tubuhnya hitam memakai kancut.[6]
Selain ancaman dari bajak laut, Kesultanan Buton juga menghadapi ancaman dari beberapa kerajaan besar yang hendak mencengkeram. Maka ratusan benteng didirikan demi menghada[I ancaman tersebut serta memberikan perasaan aman kepada seluruh anak negeri. Sedmikian banyaknya ancaman tersebut bisa dilihat pada syair yang berikut:[7]
Mopangurapina motingarapina lipu
Moneyatina bemohumbunina kota
Siymbau Gowa atoluwu Otobungku
Tee malingu saro simbapuyana
Soopodo maka moto penena gunana
Temola hina ampadeyana ilipu
Asadaa daan sakiaiya zamani
Owalanda indamo tee dimbana
Kaapaaka karana tongko indapo
Tee walanda ipiya malona yitu
Adika timbu tajagani taranate
Tajagani Gowa tongkona adika bara
Samatangkana loji imatanaeyo
Amarosomo kota I sukanayo
Amatangkamo mboorena lipu siy
Akosaomo labu rope labu wana
Yang berkehendak menundukkan negeri
Yang berniat menerang benteng
Seperti Gowa, Luwu, dan Tobungku
Dan segala yang disebut mau menyerang
Ringkasnya yang teramat gunanya
Dan yang terlebih gunanya di negeri
Tetap selama-lamanya jaman
Belanda yang tak ada bandingannya
Sebab karena waktu belum ada
Dengan Belanda beberapa waktu lalu
Musim Timur kita menjaga Ternate
Menjaga Gowa waktunya musim barat
Setelah kuat loji di timur
Teguh tertiblah benteng di barat
Sudah kuat kedudukan negeri ini
Bernama berlabuh di lautan, berlabuh buritan
Maka pemukiman di perbukitan adalah solusi terbaik. Perbukitan itu secara alamiah menjadi benteng terjal yang menyulitkan siapapun yang hendak menghancurkan kota. Wilayah perbukitan juga memudahkan untuk mengawasi Selat Baubau sebagai pintu gerbang utama menuju kota. Dinamika perkotaan kemudian dipusatkan di atas bukit, pada tempat yang dikelilingi bebatuan yang membentuk sebuah benteng perkasa. Wilayah Wolio yang terletak di atas bukit, berhadapan dengan Selat Baubau sebagai pintu gerbang utama keluar masuk wilayah Kota Buton. Selain itu, pebukitan yang terjal itu sekaligus merupakan benteng pertahanan alami yang menjaga kedaulatan wilayah.
Maka benteng ini adalah awal dari sebuah peradaban. Bahwa di tengah segala bentuk serangan yang datang, maka berumah di dalam benteng adalah satu solusi terbaik demi melancarkan perahu kesultanan membelah samudera kehidupan. Pilihan untuk berumah di dalam benteng, kemudian menjadi awal dari mekarnya sebuah peradaban serta dinamika yang kemudian tercatat dalam lembar sejarah.
Sungguh mencengangkan melihat sumber-sumber tradisional tentang sejarah Buton justru senantiasa menyebut kata kota yang oleh beberapa sejarawan setempat diartikan sebagai kata benteng. Beberapa naskah klasik kabanti[8] Ajonga Inda Malusa yang ditulis Haji Abdul Ganiu atau Kenepulu Bula[9] menyebut kota untuk kawasan pebukitan yang dikitari benteng, sebagaimana disaksikan Arung Palakka
Siympompuu yingkoo ukakaangi;
Ohukumu bhey malapeyakana;
Sabharaaka miya iparintangimu;
Bholi yanggea sabhara oni mosala;
Simbou waye isarongi masabuna;
Ikumbewaha tongkona apewau kota;
Amufakamo sabhara Siolimbona;
Tee malingu sabhara miya ogena;
Tee moduka sabhara miya kidina;
Asaangumo manga bheya pasabua;
Alawanimo amendeyupo asabu;
Tabeyanamo padhapo amondo kota;
Amondoaka kota siy kuundamo;
Apasabuaku yindamo bheku mendeyu;
Amondo kota aminamo ikarona;
Apepepasabu miya bhari agagamo;
Amendeumo manga bhea pasabua;
Akamatamo rouna ampadeana;
Wakutuuna apewau kota yitu;
Apaddemea sabhara arataana;
Amembalimo ikandena isumpuna;
Omiya bhari mokarajaana kota;
Baru saja engkau kokohkan;
Hukum untuk memberbaikinya;
Segenap rakyat yang engkau perintah;
Jangan peduli segala kata yang salah;
Konon yang disebut memakzulkan diri;
Di Kumbewaha ketika membuat benteng;
Telah mufakat segenap Siolimbona Dan dengan segenap orang besar;
Dan juga segenap rakyat kecil;
Telah bersatu mereka memakzulkannya;
Dia menjawab belum mau makzulkan diri;
Kecuali sudah selesai Benteng;
Selesai benteng ini aku sudah mau;
Dimakzulkan tidak lagi kutolak;
Selesai benteng sudah dari dirinya;
Bermohon berhenti rakyat sudah menolak;
Mereka menolak untuk dimakzulkan;
Karena menyaksikan wujud kegunaannya;
Ketika ia membuat benteng itu;
Habislah segala hartanya;
Telah menjadi makanan dan minuman;
Rakyat yang mengerjakan benteng; [10]
Lantas jika benteng itu adalah sebuah kota apakah yang bisa ditemukan di sana? Arung Palakka menyaksikan sebuah gerak yang serba tertata. Di situ terdapat penataan ruang-ruang tradisional untuk pemukiman, pemerintahan, maupun spiritual. Ini juga bisa ditemukan pada lanskap benteng-benteng yang ada di Eropa. Dalam hal benteng, penataan ruang tersebut sudah dilakukan, sehingga bisa disimpulkan bahwa konsep kota modern sudah berkembang di wilayah tenggara Sulawesi ini.
Mengapa pula orang Buton menyebut wilayah itu sebagai kota? Dalam sejumlah catatan, kata kota berasal dari kata kutho (istilahSansekerta) bermakna bangunan tembok keliling yang berfungsi sebagai pengaman dan pembentuk ruang lingkungan. Beberapa bangsa membangun pemukiman (intra muros) baik raja dan kerabat, para bangsawan serta masyarakat dalam sebuah kawasan yang disebut kota. Dalam pengertian yang lebih luas kutho menjadi tempat aktivitas ekonomi, politik, administrasi pemerintahan, kegiatan keagamaan dan pusat informasi. Karena kutho menjadi pusat informasi tentu saja akan ditunjang oleh pembangunan infrastruktur.
Selain itu kota juga dimaknai sebagai kumpulan individu dan kelompok organisasi dengan jumlah yang sangat besar. Pada masa itu, keragaman adalah bagian dari tumbuhnya Wolio sebagai pusat peradaban di masa Kesultanan Buton. Kota Wolio tumbuh dari dinamika antar pendatang dan warga pribumi yang lalu bersepakat membentuk sebuah kerajaan besar. Maka tidak mengherankan jika penduduk masa itu terdiri atas bangsa-bangsa dan aneka etnik yang diikat dalam satu paying hokum yang sama. Heterogenitas lalu meniscayakaninteraksi yang memperkukuh eksistensi masing-masing baik itu ras, kerabat, profesi, agama dan lain sebagainya. Sungguh indah menyaksikan keragaman yang dikelola dalam bingkai filosofi nenas, sebagai filosofi kesultanan. Di tubuh nenas itu terdapat 72 duri yang merupakan simbol dari keragaman atau heterogenitas yang memenuhi jazirah Pulau Buton.
Selain pelukisan tentang filosofi, di benteng itu juga terdapat fasilitas ekonomi, fasilitas perdagangan, fasilitas pelabuhan nelayan, hingga fasilitas keagamaan. Benteng Wolio memiliki tata ruang yang terdiri atas perkampungan penduduk dan fasilitas umum yang kompleks. Fasilitas yang bisa ditemukan di sini adalah pasar alun-alun, tempat peribadatan, pertahanan, dan makam. Bahkan, di benteng ini bisa pula ditemukan fasilitas administrasi dan pemerintahan (baruga), serta fasilitas pendidikan. Pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597 – 1631) yang bijaksana, telah berdiri sebuah pesantren yang dinamakan Pesantren Sin. Siapapun warga masyarakat yang hendak menekuni pendidikan dan keagamaan berhak memasuki pesantran ini dibawah bimbingan para guru yang beberapa di antaranya telah mendapatkan pendidikan di Timur Tengah.
Sementara pemukiman dibangun dengan mengelilingi masjid keraton, pasar dao bawo, dan di lapangan, atau alun-alun. Menurut sejarah, di sekitar pasar terdapat juga bangunan baruga sebagai tempat sultan dan para pembesar kerajaan mengadakan musyawarah atau rapat. Dengan demikian, fasilitas ekonomi, peribadatan, dan administrasi terpusat di wilayah tengah benteng Wolio.
Di bawah bukit terdapat Kampung Lamangga dan Kampung Katobengke yang menyangga perdagangan di Baubau, serta pelabuhan nelayan di Kotamara. Kampung Lamangga adalah tempatnya perajin kuningan, sedang Katobengke adalah tempatnya para perajin gerabah. Awal abad ke-17, Wolio sudah berkembang menjadi pemukiman yang padat. Mulanya, pemukiman itu terdiri atas sembilan kampung dan masing-masing dipimpin seorang menteri yang disebut Bontona Siolimbona. Secara keseluruhan, terdapat 72 kadie atau perkampungan yang membentuk mata rantai kesultanan.
Tidak tergerakkah Arung Palakka menanyakan di mana posisi istana sultan? Apakah ia membayangkan sebuah bangunan atau istana yang megah dengan banyak penjaga serta wanita cantik sebagaimana wilayah lain? Arung Palakka terkejut saat mendapatkan jawaban bahwa di sini, istana tidaklah menempati satu areal khusus dan tidak menjadi pusat bagi pendirian bangunan-bangunan di sekitarnya. Ini terkait dengan filosofi kekuasaan. Jika di tanah Jawa, kekuasaan raja dianggap setara dengan dewa atau wakil Tuhan yang diwariskan secara turun-temurun. Ini tercermin pada bangunan tempat tinggalnya atau keratin yang dibangun dengan segala kemegahan, dan dijadikan sentrum kuasa politik dan administrasi serta titik sentral bagi pendirian bangunan di sekitarnya.
Di tanah Buton, seorang Sultan dipilih dan diangkat oleh rakyat. Ketika seorang sultan baru diangkat, biasanya disertai dengan pendirian sebuah istana baru sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, istana seorang sultan hanya semata berfungsi sebagai tempat tinggal dan bukan sebagai pusat pemerintahan. Inilah sebab mengapa posisi istana bisa berada di mana saja.
Letak istana tidak dibedakan dari rumah penduduk, dalam artian bisa dibangun di mana saja, sepanjang masih berada di benteng Wolio. Tapi, istana tersebut memiliki bentuk rumah yang berbeda dengan warga kebanyakan. Atap istana yang bertingkat dua, sedangkan atap rumah penduduk di sekitarnya hanya bertingkat satu. Filosofinya sangat dalam bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan, hanya ketakwaan dan kearifanlah yang menjadi pembeda kualitas seseorang. Bahwa seorang pemimpin atau sultan berasal dari masyarakat, merupakan sosok yang tumbuh dan besar di masyarakat kebanyakan, dan kelak akan mengemban amanah untuk masyarakat banyak.
***
Laksana dua sisi koin kemanusiaan yang saling melengkapi yakni maskulinitas dan feminitas, benteng ini menyimpan lapis kisah yang bukan saja kisah-kisah keperkasaan atau keberanian untuk menetak hulu ledak kelemahan musuh. Di benteng ini terdapat pula kisah tentang ketulusan serta cinta kasih yang dituturkan dari abad ke abad. Kisah ketulusan termaktub dalam pengorbanan para sultan untuk menegakkan benteng.
Sejarah mencatat bahwa landasan pembangunan benteng itu telah dimulai ketika pria yang disebut berasal dari negeri seberang, Dungkucangia, meletakkan landasan penyusunan benteng pada tahun 1309. Pekerjaan ini kemudian diteruskan oleh Sultan La Sangaji. Ketika musim paceklik mencekam negeri pada tahun 1595, pekerjaan itu terjenti selama kurang lebih dua tahun. Hingga akhirnya La Sangaji mangkat, dan selanjutnya pekerjaan itu diteruskan oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin pada tahun 1612 hingga 1616.
Namun ketulusan yang dibarengi tanpa kenal lelah ditunjukkan Sultan Gafulr Al Wadud pada tahun 1638 hingga 1645. Sososk yang dipanggil La Buke ini telah mengambil-alih misi penyelesaian benteng yang tidak terselesaikan oleh para sultan terdahulu. Ia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa benteng adalah mekanisme perlindungan yang paling dibutuhkan masyarakat.
Ia kukuh untuk menuntaskan benteng ini, meskipun banyak pihak yang menentangnya. Ketika rakyat memprotes karena tidak bisa menjalankan aktivitas kesehariannya akibat harus menyumbangkan tenaga demi pembangunan benteng, ia tetap bersikeras agar benteng itu dituntaskan. Ia menyatakan siap mengundurkan diri ketika pekerjaan itu telah dituntaskan. Peristiwa ini digambarkan secara dramatis dalam naskah kabanti yang disusun Abdul Ganiu:
Siympompuu yingkoo ukakaangi
Ohukumu bhey malapeyakana
Sabharaaka miya iparintangimu;
Bholi yanggea sabhara oni mosala;
Simbou waye isarongi masabuna
Ikumbewaha tongkona apewau kota;
Amufakamo sabhara Siolimbona;
Tee malingu sabhara miya ogena;
Tee moduka sabhara miya kidina;
Asaangumo manga bheya pasabua;
Alawanimo amendeyupo asabu;
Tabeyanamo padhapo amondo kota;
Baru saja engkau kokohkan;
Hukum untuk memberbaikinya
Segenap rakyat yang engkau perintah;
Jangan peduli segala kata yang salah;
Konon yang disebut memakzulkan diri
Di Kumbewaha saat membuat benteng;
Telah mufakat segenap Siolimbona;
Dan dengan segenap orang besar
Dan juga segenap rakyat kecil
Telah bersatu mereka memakzulkannya
Dia menjawab belum mau makzulkan iri;
Kecuali sudah selesai Benteng;
Syair ini menyebutkan betapa La Buke hendak dimakzulkan atau dikudeta oleh banyak kelompok yang tidak menginginkan proses pembangunan megaproyek tersebut. La Buke meneruskannya, meskipun mesti mengorbankan kekayaan pribadi yang dimilikinya. La Buke tercatat sebagai sosok paling konsisten yang mengerjakan sesuatu hingga tuntas. Ketika desakan itu makin kuat, ia meminta penangguhan hingga pekerjaan besar itu terselesaikan.
Amondoaka kota siy kuundamo;
Apasabuaku yindamo bheku mendeyu;
Amondo kota aminamo ikarona;
Apepepasabu miya bhari agagamo;
Amendeumo manga bhea pasabua;
Akamatamo rouna ampadeana;
Wakutuuna apewau kota yitu;
Apaddemea sabhara arataana;
Amembalimo ikandena isumpuna
Omiya bhari mokarajaana kota;
Selesai benteng ini aku sudah mau
Dimakzulkan tidak lagi kutolak
selesai benteng sudah dari dirinya;
Bermohon berhenti rakyat sudah menolak
Mereka menolak untuk dimakzulkan
Karena saksikan wujud kegunaannya;
Ketika ia membuat benteng itu;
Habislah segala hartanya;
Telah menjadi makanan dan minuman;
Rakyat yang mengerjakan benteng;
Yang menakjubkan, ketika semua pekerjaan itu selesai, ia memilih untuk mengundurkan diri. Ia tidak bersedia untuk memperpanjang kekuasaannya. Ia memilih untuk lebur bersama masyarakat banyak, setelah terlebih dahulu memberikan pesan-pesan filosofis. Ia mengatakan bahwa siapapun yang hendak memperjuangkan negara, maka tidak seyogyanya menumpang pada kebesaran dan kekuasaan. Sebab kekuasaan hanyalah tumpangan atas kewajiban dan amanah. Secara lengkap bisa dibaca pada syair berikut;
Neupeelu ukakaroaka lipu tee mia bhari; Bholi mpuu usawi ikawasa tee kapooli;
Kawasa tee kapooli siytu
Osawikana kawajiba tee amaanati; Pakeyana mangayincema
mosungkuna yincana;
Mobhanguna Lipu tee molape lapena miya bhari
Osiytumo ikeniakana Sara Pangka; Tee malingu sabhara Siolimbona;
Itumindana manga mokenina kapooli; Mosuungina Bhawana Khalifatul Khamis;
Bholi mentaga Neakawamo sababuna isabuaka; Ihilasimo bholimo bheyu mentaga;
Osiytumo isarongiyaka pakeya molabhi;
Ee komiyu malinguaka mokenina kapooli; Yinda yindamo arataa somanamokaro; Yindamo karo somanamo lipu;
Yinda yindamo lipu somanamo sara;
Yinda yindamo sara somanamo Agama;
Osiytumo pakeya kawolioa; Idhikana siwuluta molabhina;
Jika ingin memperjuangkan negara dan rakyat;
Jangan menumpang pada kebesaran dan kekuasaan
Kebesaran dan kekuasaan itu
Tumpangan kewajiban dan amanah;
Pakaian bagi siapa yang sesungguh hati;
Membangun negara dan memperbaiki rakyat;
Itulah pegangan eksekutif
Dan semua Legislatif;
Yang dipahami semua pemegang kekuasaan;
Yang menjunjung beban Khalifatul Khamis;
Jika telah cukup syarat dimakzulkan;
Ikhlaskan sudah jangan menolak;
Itulah yang dinamakan pakaian kemuliaan;
Hai kalian pemegang kekuasaan;
Hilang hilanglah harta asalkan diri;
Hilang hilanglah diri asalkan Negara;
Hilang hilanglah Negara asalkan pemerintah;
Hilang hilanglah pemerintah asalkan Agama;
Itulah Pakaian ke-Wolio-an; Yang diwariskan leluhur yang mulia;
Tekad La Buke untuk menyelesaikan benteng ini adalah cerminan dari keteguhannya menyelesaikan sebuah pekerjaan yang tertunda, sekaligus kecintaannya kepada masyarakat banyak. Tekad ini juga ditunjukkannya ketika pada Gubernur Jenderal Van Diemen yang berkunjung ke Buton tahun 1637. Ia menolak menandatangani satupun perjanjian. Sikap keras dan non kompromi yang dianut Sultan Gafur Al Wadud bahkan sangat mengkhawatirkan legislative Kesultanan Buton yang bersikap lunak kepada Kompeni Belanda.
Selain kisah keteguhan Sultan La Buke, benteng ini juga menyimpan lapis kisah tentang patriotism seorang wanita bernama Wa Ode Wau. Perempuan bangsawan ini adalah salah satu perempuan terkaya dalam sejarah Buton. Tak hanya kaya, ia juga mendermakan kekayaannya demi bangsa.
Menurut kisah yang beredar di masyarakat, pada setiap musim ia akan menyerahkan sebaki emas dan perak kepada Sara Kesultanan untuk biaya makan dan minum para pekerja benteng hingga selesainya benteng itu selama tujuh tahun dikerjakan. Ia memiliki usaha yang merambah ke seluruh Nusantara. Ratusan buah perahu dimodali dengan tenunan Buton berlayar ke Maluku dan ditukar dengan rempah rempah yang kemudian dijual diberbagai pasaran Jawa dan Sumatra hingga wilayah Johor.
Lahan perkebunannya berupa jati tersebar di banyak kadie mulai Sampolawa, Wawoangi, Batauga, Kaesabu, Wolowa, Kamelanta, Watumotobe, Todanga, Lambelu, Kumbewaha, Kamaru, Lawele hingga Pangkowulu dan Kambowa. Rakyat dibantunya untuk menanam kapas pada tiap kebun untuk dijadikan benang dan ditenun menjadi kain dan sarung. Ia juga mendatangkan perajin emas dari Kalimantan.
Bersama saudaranya, Sultan Syafiuddin (La Dini) dihabiskan di Bone. Terselip pula kisah kalau Wa Ode Wau dahulu sangat dekat dengan Sultan Muhammad Said, putra Sultan Alauddin di Gowa. Dikarenakan masalah politik, hubungan itu tidak bisa diresmikan. Mungkin inilah sebab mengapa Wa ode Wau menolak kawin meskipun banyak dilamar oleh pejabat kesultanan. Ia akhirnya menikah pada usia 70 tahun dengan seorang yarona Kenelupu, putra La Ode Walanda. Atas jasa jasanya membantu pembangunan negerinya dan Benteng Wolio, Sara Kesultanan Buton merasa berutang budi sehingga Wa Ode Wau ditawarkan pembayaran dengan emas dan uang perak tetapi ditolak dengan halus. Ia menyatakan:
Poleleyakea osara, ayinda iyaku tey metaku inuncana kupohamba isara topewauna kota siyate, maka tangkanapo betao kalapena liputa siy teemo duka bhetao kalapena manga anaku, opuaku muri murina, saangiana manga bheyaose duka simbau ipewauku siy.
Saya tidak mengharapkan sesuatu pemberian dari Sara Kerajaan atas pengorbanan harta benda saya terhadap pembangunan Benteng Wolio tetapi semata mata untuk kepentingan negeri saya sendiri serta untuk kehormatan Kaumku dan anak cucuku di kemudian hari semoga mereka ada yang mengikuti jejak saya ini.
Ketika meninggal, ia meninggalkan harta yang sangat banyak berupa emas, perak, permata dan berlian. Menurut keterangan Gubernur Jenderal Seutija (Sautijn), pejabat Kompeni tahun 1734, dan yang dikuatkan oleh Gubernur Jenderal Arnold Alting serta Residen Brugman, harta kekayaannya adalah tidak kurang dari 180 milyar gulden atau senilai 60 miliar dolar. Harta itu kemudian dkitanam di dalam tanah oleh Raja Sorawolio La Ode Sribidayan (anak Angkat Wa Ode Wau). Harta karun itu disebut harta karun Kalamuia. Harta karun inilah yang dimasukkan dalam pasal 14 Kontrak Perjanjian Pendek atau Kortoverklaring yang ditanda tangani oleh Sultan Muhammad Asikin dan Residen Brugman pada 8 April 1906 di atas Kapal De Ruyter.
Demikianlah, benteng perkasa ini ternyata menyimpan kisah tentang manusia-manusia yang berdedikasi seperti La Buke dan Wa Ode Wau. Benteng ini memahatkan sejumlah nama-nama yang berdedikasi demi negeri. Benteng ini mencatat tentang mereka yang ikhlas menjadi martir demi sesuatu yang lebih besar, demi inspirasi serta gagasan yang tak pernah habis.
***
Ada begitu banyak kisah-kisah yang nyaris lenyap dalam ingatan kolektif manusia yang singgah. Melihat benteng sebesar ini beserta tata kota yang rapi, apakah gerangan yang dibayangkan Arung Palakka? Mungkinkah ia membayangkan peradaban yang merupakan titik puncak dari upaya pergulatan manusia menemukan jawaban atas terjangan masalah yang dihadapinya? Mungkinkah ia berpikir bahwa manusia boleh menjelajah hingga ke negeri jauh, melanglangbuana serupa awan di langit, namun hasrat kuat mewariskan peradaban adalah bagian dari persembahan generasi masa silam kepada generasi masa depan?
Ia lalu memikirkan seribu benteng di negeri Buton. Pikirannya berkelana hingga ke benteng-benteng terjauh dan rakyatnya yang siap sedia bertarung nyawa untuk melindungi diri. Permenungan itu membawanya pada sekuntum refleksi yang melampaui segenap teori dan filsafat peperangan. Ia menyaksikan sebuah pertahanan yang bermaksud melindungi perjalanan di jalan spiritualitas. Ia juga melihat indahnya pertanyaan filosofis yang berpangkal pada perenungan tentang hidup yang diaktualkan dalam ratusan benteng yang disebar di berbagai sudut pulau. Ia juga melihat sebuah visi tentang kota modern.
Batinnya tak henti bertanya mengapa bangsa Buton membangun ratusan benteng-benteng. Ia sadar bahwa nenek moyang Bugis tak banyak membangun benteng untuk melindungi warganya. Sementara nenek moyang mereka telah membangun ratusan benteng di berbagai penjuru pulau demi mempertahankan sesuatu. Lantas, sedemikian pentingkah nyawa bagi mereka?
Sebuah benteng adalah sebuah pertahanan. Rentang panjang pengalaman pria Bugis ini cukup untuk memberinya informasi betapa pentingnya sebuah benteng demi menyelamatkan peradaban. Bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda dan Inggris membangun benteng sebagai tempat pertahanan, demikian pula dengan bangsa Arab dan Timur Tengah. Bahkan di Nusantara, bangsa Portugis membangun benteng-benteng perkasa di Maluku Utara. Ada semacam konsensus universal bahwa benteng sangat vital bagi sebuah kawasan yang senantiasa dirundung bencana, kawasan yang selalu ditantang berbagai kekuatan yang hendak meremukkan peradaban. Tapi, benteng yang tengah disaksikannya ini amat berbeda dengan benteng-benteng lain yang berdiri di Maluku atau pesisir barat Nusantara. Bahkan Benteng Somba Opu yang menjadi sumbu utama pertahanan Gowa justru tidak sebesar dan semegah benteng yang terbuat dari batu-batu karang yang tersusun rapi ini.
Bagi pihak kesultanan, benteng adalah bagian dari konsep pertahanan. Benteng melengkapi sistem pertahanan lain yang membentang di sepanjang pesisir pulau dan menempatkan rakyat sebagai subyek penting dalam pertahanan. Selain benteng, sistem pertahanan itu adalah Barata, Matana Sorumba, Pata Limbona, maupun pertahanan Bhisa Patamiana.
Barata adalah kerajaan kecil yang diberi otonomi seluas-luasnya termasuk mempertahankan diri. Barata terdiri atas empat yaitu Muna, Kulisusu, Tiworo, dan Kaledupa. Sedangkan Matana Sorumba (Jarum yang sangat tajam) yaitu prajurit dalam menjaga wilayah daratan kesultanan merupakan anggota masyarakat yang telah terpilih, terlatih dan teruji kemampuannya dalam hal keprajuritan. Pertahanan Bonto adalah tugas untuk menjaga keutuhan ibu kota kesultanan yang dikelilingi sebuah benteng. Inti kekuatan pertahanan Kesultanan Buton ada pada pata limbona terdapat dalam wilayah Keraton Wolio yang setiap limbo dipimpin oleh seorang Bonto.
Pertahanan bhisa patamiana yang mempunyai tugas dalam pertahanan adalah pertahanan kebathinan yang mempunyai kedudukan dalam ibu kota dengan mengandalkan kekuatan supranatural dalam mengetahui keberadaan musuh pemerintah Kesultanan. Mereka berupaya untuk menghancurkan musuh yang akan merongrong keutuhan wilayah dan pemerintahan kesultanan atas izin Yang Maha Kuasa.
Apakah gerangan yang dibayangkan siapapun yang menyaksikan benteng perkasa ini? Mungkinkah orang-orang membayangkan sebuah bangunan yang merupakan bangunan pertahanan terluas yang pernah dilihatnya di jazirah timur. Di satu sisi, benteng ini adalah symbol pertahanan. Tapi di sisi lain, benteng ini adalah perlambang dari hasrat kuat bangsa Buton untuk melindungi segenap rakyatnya dari segala marabahaya yang setiap saat mengancam. Hasrat melindungi serta ancaman yang datang terus-menerus ibarat dua sisi sayap pengetahuan yang kemudian menerbangkan kesultanan untuk membangun sebuah karya arsitektur yang fantastis pada zamannya.
Inilah suatu bangsa yang hari-harinya adalah mempertahankan dan melindungi segenap warganya. Inilah suatu bangsa yang ketika datang serangan dari musuh, maka secara spontan seluruh lapisan masyarakatnya akan mengambil bagian untuk berjuang demi menghancurkan musuh dalam rangka mempertahankan kesultanan. Inilah suatu bangsa, yang bertahan dari segala serangan demi mendirikan layar pencarian eksistensi diri di jagad spiritualitas.
Di Nusantara, beberapa bangsa telah membangun benteng sebagai tempat perlindungan. Bahkan Raja Gowa I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallona juga telah membangun benteng pada tahun 1545. Benteng yang kemudian hari disebut Benteng Fort Rotterdam itu memiliki bahan dasar tanah liat yang kemudian diganti dengan batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng itu berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuk, sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di darat maupun laut. Di saat yang tak begitu jauh, bangsa asing yang singgah ke Nusantara juga membangun benteng yakni Benteng Belgica dan Benteng Nassau di Banda Neira[11], juga beberapa buah benteng yang didirikan Portugis di Ternate.
Aktualitas itu nampak pada sudut-sudut benteng memiliki yang bentuk dan falsafah unik. Benteng yang berdiri kokoh di atas bukit itu memiliki 12 pintu atau lazim disebut lawa. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat adat Buton adalah mewakili 12 lubang keluar pada tubuh manusia.
Lawa atau pintu gerbang didesain sebagai pintu penghubung antara benteng menuju sederetan kampung di sekitarnya. Setiap lawa merupakan representasi atas wilayah. Kata lawa selalu mendapat akhiran "na" (nya) sesuai dengan gramatika bahasa yang pada masanya menjadi bahasa pemersatu di jazirah Kesultanan Buton. Akhiran na berfungsi sebagai pengganti kata milik. Dari 12 lawa, terdapat Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Wajo/ Bariya, Lawana Burukene/ Tanailandu, Lawana Melai, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-Gundu. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat dari bentuk dan materi yang digunakan, ada yang besar, sedang, ada yang hanya terbuat dari batu dan ada juga yang dipadukan dengan kayu, semacam gazebo yang berfungsi sebagai menara pengintai.
Benteng tersebut berbentuk huruf “dal” dalam aksara Arab. Sementara tak jauh dari Benteng Wolio terdapat Benteng Baadia yang berbentuk huruf “alif”. Masih dalam radius pandangan mata, terdapat Benteng Sorawolio yang berbentuk huruf “mim”. Ketiga benteng ini membentuk lukisan semiotika yang membentuk kata Adam, sebagai manusia pertama, juga kata Ahmad sebagai nama lain Rasulullah. Artinya, benteng-benteng itu menyimpan satu teka-teki semiotika yang mesti ditemukan maknanya, ditemukan pesan-pesan spiritual di baliknya hingga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi para pejalan spiritual, benteng adalah serupa tampilan lahir diri manusia. Diri bukan segala-galanya. Bukan pula sesuatu yang esensial. Diri hanyalah satu tahapan dalam perjalanan menuju Tuhan. Sejak masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin tahun 1614 yang bijaksana, para leluhur telah menyusun tahapan-tahapan perjalanan spiritual. Mereka menyusun tahapan yaitu harta sebagai aspek paling pertama, kemudian diri, negeri, hukum, kemudian agama. Untuk menjadi manusia sempurna, maka kita harus meninggalkan semuanya secara perlahan dan hanya memilih jalan agama. Keyakinan ini sudah muncul dalam falsafah hidup yang berbunyi:
Nainda-indamo arata somanamo karo
Nainda-indamo karo somanamo lipu
Nainda-indami lipu somanamo sara
Nainda-indamo sara somanamo agama
Tidak-tidaklah harta asal diri
Tidak-tidaklah diri asal negeri
Tidak-tidaklah negeri asal hukum
Tidak-tidaklah hukum asal Agama
Falsafah itu bisa dimaknai secara sederhana. Bahwa di atas harta, masih ada diri pribadi. Di atas diri, masih ada negeri, dan di atasnya masih ada hukum. Di atas hukum, ada jalan agama atau jalan Tuhan sebagai tujuan utama. Jalan agama atau jalan Tuhan mesti ditempatkan sebagai tujuan tertinggi dari proses gerak manusia. Ketika Tuhan dimaknai sebagai titik terakhir dari orientasi gerak manusia, maka jalan agama mesti ditempatkan sebagai bagian paling penting dari ziarah perjalanan manusia. Ini mengingatkan pada filosofi bahwa di atas syariat ada hakikat, dan di atas hakikat ada makrifat, atau tangga-tangga perjalanan untuk menggapai Tuhan.
Demi melepaskan apa yang disebut diri, orang-orang tua terdahulu berani untuk melepas harta, dan melepaskan nyawanya. Semua bentuk pengorbanan diarahkan pada negeri (lipu), yang pada akhirnya juga diikhlaskan demi agama. Itu bisa terbaca pada syair berikut:
Manga yincia mancuana morikana
Pituwulinga abinasa arataana
Tumbasakamo bholiakamo abinasa
Somanampuu bhea malape karona
Kaapaaka rampana o Karo yitu
Osiytumo tao katondona Lipu
Yisarongiaka Lipu yitu oanata
Tee malingu wutitinai bhawine
Dadiakanamo mancuana morikana
Yindaa meri apabinasa karona
Pitu wulinga hengga amateakea
Somana mpuu bhea malape lipuna
Mereka orang tua terdahulu
Tujuh kali hancur hartanya ;
Tawakkal biarkan binasa;
Asalkan saja dirinya baik ;
Oleh sebab karena diri itu;
Itulan yang menjadi benteng negeri ;
Yang disebut negeri itu seumpama anak kita ;
Dan semua keluarga perempuan
Karena itu orang tua terdahulu
Tidak segan menghancurkan dirinya ;
Tujuh kali hingga menjadi syahid ;
Asalkan saja untuk kebaikan negerinya
Filosofi ini mengandung negasi sekaligus rekonstruksi. Hal yang disangkal adalah harta, diri, dan negara. Dan yang hendak ditegakkan adalah jalan agama. Bukan berarti bahwa orang Buton mengajarkan sikap untuk tidak membela negara. Mereka hanya menegaskan bahwa membela negara hanyalah satu tahapan dalam proses menuju jalan Tuhan. Jika hidup didedikasikan untuk sesuatu yang lebih substansial, maka harta, diri, hukum, dan negara, adalah stasiun-stasiun yang dilewati demi mengorbankan diri di jalan Tuhan. Ini mengingatkan pada konsep maqamat dalam tasawuf yaitu tempat-tempat persinggahan manusia dalam perjalanan mencapai Sang Pencipta.
Lantas, apa pula filosofi bangsa Buton saat membangun benteng tersebut? Mereka tidak hendak mematrikan kejayaan baik di laut dan di darat. Mereka juga tidak hendak mengungkapkan epos-epos besar tentang keperkasaan armada yang berlayar hingga tanah Marege di Australia sana. Mereka mematrikan benteng sebagai bagian dari filosofi tentang hidup dan kesempurnaan manusia di samudera kehidupan. Mereka menyusun berlembar-lembar pemikiran yang memotret perjalanan manusianserta tangga-tangga mendaki kesempurnaan. Dan betapa hebatnya bangsa Buton yang memiliki filosofi kehidupan yang demikian indah terjaga. Maka benteng itu adalah simbol dari perjalanan spiritual mereka yang serupa perahu menyusuri kehidupan. Benteng itu adalah prasasti dari spirit kemanusiaan yang berlayar di tengah rimba raya kehidupan yang penuh karang-karang tantangan. Benteng itu adalah aktualitas dari pahaman filosofis yang digali dari ajaran Islam.
Dilihat lebih jauh, benteng-benteng itu sesungguhnya hendak mematrikan pandangan tentang kecintaan di jalan spiritual. Beberapa seniman abad pertengahan Eropa juga mematrikan kecintaan pada Tuhan melalui benda-benda. Beberapa seniman Italia seperti Leonardo Da Vinci, Raphael, dan Michelangelo telah memahatkan kecintaannya pada Tuhan melalui pembangunan Basilika Santo Petrus yang hingga kini tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia. Ada selaksa gagasan yang berpusar dalam benak, dan kemudian dimaterialkan dalam patung, lukisan, atau bangunan-bangunan megah.
Hubungan antara seniman dan ciptaannya adalah serupa hubungan yang bertaut antara satu keping realitas (kenyataan yang sesungguhnya), serta experience (bagaimana realitas itu mempengaruhi kesadaran hari ini), dan expression (bagaimana pengalaman subyek dibingkai dan diartikulasikan). Hubungan itu bersifat dialektik di mana pengalaman menstrukturkan atau membingkai ekspresi, dan sebaliknya, ekspresi juga membingkai pengalaman. Kenyataan akan mempengaruhi pengalaman, dan pengalamanlah yang kemudian melahirkan ekspresi dalam karya-karya.
Ratusan benteng di Pulau Buton adalah sebuah ekspresi yang mesti ditafsir sebagai aktualitas dari pengalaman dan cara menafsir pengalaman tersebut. Orang-orang Buton hendak menstrukturisasi pengalaman dan pengetahuan filosofis ke dalam bentuk yang aktual. Benteng itu adalah selaksa permenungan atas realitas, yang lalu mempengaruhi struktur pengalaman, kemudian dipahatkan hingga abadi sebagai warisan bagi generasi penerus untuk ditemukan maknanya.
***
INI tahun 2011. Serombongan arkeolog dan turis mengitari benteng luas di bukit Kota Baubau. Mereka menelusuri benteng serta memasuki lawa. Beberapa kali mereka menggali di sejumlah tempat dan menemukan artefak keramik kuno di situ. Sejak tahun 2005, beberapa peneliti Jepang telah menggali di benteng itu dan menemukan banyaknya keramik yang di masa silam hanya bisa ditemukan di masyarakat lapis atas di Cina. Kini, pecahan keramik itu tersebar di banyak tempat di benteng.
Ketika mencapai sebelah benteng yang di bawahnya ada lembah, serta berhadapan dengan Benteng Sorawolio, mereka menyaksikan papan kecil bertuliskan LIANA LA TONDU. Di bawahnya ada tulisan Gua Arung Palakka. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan Arung Palakka itu dan jejak apa yang diwariskan di tanah Buton. Di antara mereka ada yang pernah membaca karya Leonard Andaya berjudulThe Heritage of Arung Palakka serta membaca beberapa rekaman peristiwa yang disarikan para budayawan setempat.
Maka terurailah kisah tentang seorang penakluk dan pahlawan bangsa Bugis. Terungkaplah kisah petualangan bangsawan Bugis itu ke Tanah Buton demi mendapatkan suaka politik, yang boleh jadi merupakan konsep suaka politik pertama dalam sejarah politik Nusantara. Terunhkap pula kisah tentang persembunyian Arung Palakka di dalam gua kecil. Terselip pula cerita sumpah keramat Sultan Buton yang hendak melindungi pahlawan Tanah Bugis itu. Ada pula kisah tentang filosofi benteng, tentang pintu-pintu yang menggambarkan lubang-lubang pada tubuh manusia, atau tentang kronik atau pertempuran antar kerajaan di Sulawesi hingga kedatangan pedagang asing yang berniaga ke negeri timur.
Di abad ke-17, terjadi sebuah perang besar di tempat itu. Gowa mengirim armada berkekuatan 20.000 personel untuk menggempur Buton yang dianggap melindungi Arung Palakka, pemberontak terhadap kekuasaan Raja Gowa. Perang di sini hanyalah pematik dari perang besar di Makassar. Gowa dikepung oleh banyak kerajaan seperti Bugis, Buton, dan Ternate, yang disokong oleh Belanda.
Pada akhir tahun abad ke-17, Batavia juga mengirim pasukan ke Makassar lalu bergerak ke Buton yang sedang digempur oleh pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Pasukan kompeni itu dipimpin Admiral Cornelis Speelman berkekuatan 500 orang Belanda dan 300 bumiputra, di antaranya termasuk Arung Palakka. Pasukan Bonto Marannu pun kalah atas strategi militer dan persenjataan kompeni yang lebih modern. Sekitar 5.500 orangnya ditawan di sebuah pulau kecil di perairan Teluk Baubau. Pulau itu oleh orang Buton disebut Liwuto. Liwuto artinya pulau.
Di Tanah Buton, terdapat jejak-jejak peristiwa masa silam yang terus membekas hingga hari ini. Betapa tidak, peristiwa ini telah diinterpretasi dengan berbagai versi dan ikut berpengaruh pada pertumbuhan karakter manusia zaman kini. Pemerintah melihatnya dari sudut pandang sejarah yang mendiskreditkan para bangsa asing serta mereka yang bekerjasama. Sementara mereka yang berperang di masa silam sedang berikhtiar menegakkan kemanusiaan melalui sosok Arung Palakka. Peristiwa masa silam bisa menjadi luka sejarah, bisa pula menyimpan energi positif yang melahirkan karakter dan semangat zaman.
Tapi setidaknya getar semua peristiwa masa silam itu bisa terasa saat menyaksikan seribu benteng di Pulau Buton. Seribu bentang yang menjadi saksi bisu rangkaian kejadian, dan menunggu tafsiran-tafsiran generasi masa kini untuk menyingkap hikmah dan filosofinya. Semuanya tercatat rapi di NEGERI SERIBU BENTENG.
Makassar, 1 Mei 2011
[1] Pada masa Perdana Menteri Karaeng Pattingalloang, dimulailah upaya penterjemahan berbagai naskah tersebut ke dalam bahasa Makassar. Naskah-naskah irtu meliputi pembuatan meriam, pabrikasi bubuk mesiu dan senjata diterjemahkan dari bahasa Spanyol, Portugis dan Turki.
[2] Lihat Andaya, Leonard Y (2004) Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa.
[3] Sebagaimana dicatat budayawan La Ode Syarif Makmun, sumber lokal menyebutkan bahwa Arung Palakka masih merupakan kerabat yang paling dekat dengan Sultan Sultan Buton seperti antara lain Sultan Gafur Al Wadud La Buke Sultan Buton yang ke 6, Sapati La Ode Arafani (jogugu), Sultan Dayanu Ihsanuddin dan seterusnya. Menurut silsilah La Kabaura atau Andi Bauru (nama pemberian Mertuanya Raja Bone) datang ke Bone tahun 1582 sebagai duta utusan Sultan Buton Murhum Kaimuddin yang diminta oleh Raja Bone La Tendari Rawe Bongkangnge (1560-1590) untuk membantu menyelesaikan sengketa Bone dengan Gowa yang dipimpin oleh Raja Gowa Karaeng Tunijallo (1565-1590). Dalam kunjungan itu, La Kabaura kawin dengan Putri Raja Bone La Tendari Rawe Bongkangnge yang bernama Wetendari Siang dan dari perkawinan itu lahirlah La Pottobune’ Arung Tana Tengnga yang menjadi Raja Soppeng. Selanjutnya La Pottobune’ kawin dengan Putri Sultan Adam Matinro’e ri Bantaeng yang bernama Wetenri Sui (Suri) dan lahirlah Arung Palakka. Untuk lebih jelasnya, lihat Makmun, Syarif La Ode (1992), Sejarah, Kebudayaan, dan Adat Demokrasi Pemerintahan Islam Fiy Darul Butuni Tahun 1332 - 1960. Belum diterbitkan.
[4] Keterangan yang lebih lengkap mengenai jalur pelayaran ini bisa dibaca dari laporan Tome Pires (1512-1515) yang berjudul Summa Oriental. Menurut Pires, perjalanan lebih singkat bagi orang Portugis ke Maluku tidak melalui pantai Jawa, melainkan melalui Singapura ke Borneo (Kalimantan) kemudian ke Pulau Buton lalu ke Maluku
[5] Lihat bagian enam, Kitab Negarakertagama.
[6] Bait ini dikutip dari Syair Kerajaan Bima sebagaimana dicatat Khatib Lukman dan dikutip dalam AB Lapian (2009) Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu
[7] Kutipan syair Ajonga Inda Malusa yang ditulis Haji Abdul Ganiu pada abad ke-18
[8] Kabanti adalah syair tradisi lisan yang berisikan petuah-petuah, kisah peristiwa, hingga ajaran tasawuf. Kabanti seperti puisi, namun panjang-panjang. Beberapa kabanti, panjangnya sampai ratusan halaman
[9] Haji Abdul Ganiu atau Kenepulu Bula adalah pejabat dalam pemerintahan Kesultanan Buton pada masa Sultan Muh Idris Kaimuddin, Sultan Buton ke-29 yang menjabat tahun 1824 – 1851. Ganiu pernah menjabat sebagai juru bahasa, syahbandar, kapitalao (kapten laut), dan terakhir sebagai Kenepulu (penasihat hukum). la Juga dikenal sebagai ulama intelektual di Zaawiah (pesantren) yang ada di Buton. Beberapa karyanya yang penting di antaranya Mir'at at-Tamam (bahasa Melayu), Kebun segala saudara di dalam Berkat Ibadah kepada Tuhan (bahasa Melayu), serta sejumlah kabanti dalam bahasa Wolio. Di antaranya adalah Ajonga lnda Malusa, Padamana Alimu, Kalipopo Mainawa, dan Kaina-inawuna Arifu
[10] Terjemahan ini mengacu pada terjemahan yang dilakukan Abdul Mulku Zahari (alm) dan budayawan La Ode Muhammad Syarif Makmun
[11] Benteng Belgica pada awalnya adalah sebuah benteng yang dibangun oleh bangsa Portugis pada abad 16 di Pulau Neira, Maluku. Lama setelah itu, di lokasi benteng Portugis tersebut kemudian dibangun kembali sebuah benteng oleh VOC atas perintah Gubernur Jendral Pieter Both pada tanggal 4 September 1611. Benteng tersebut kemudian diberi nama Fort Belgica, sehingga pada saat itu, terdapat dua buah benteng di Pulau Neira yaitu; Benteng Belgica dan Benteng Nassau. Benteng ini dibangun dengan tujuan untuk menghadapi perlawanan masyarakat Banda yang menentang monopoli perdagangan pala oleh VOC.
No comments
Post a Comment