TRADISI “MATTAPPI” DAN “MAKKAWALI"-Sempugi
TRADISI “MATTAPPI” DAN “MAKKAWALI”
By. Andi Oddang To Sessungriu
“Tappi” (keris) dan “Kawali” (badik) adalah dua senjata tajam (parEwa matareng) yang berbeda fungsi pemakaiannya, meskipun dinilai sama-sama bukan peralatan utama dalam peperangan. Pada beberapa Kerajaan di Sulawesi Selatan semisalkan Bone, Gowa, Soppeng, Sidenreng, Tanete dan lainnya, menempatkan Tappi pada strata Senjata Agung dan bahkan dijadikan sebagai regalia. Maka setiap rumpun keluarga Bangsawan mewariskan “tappi” kepada setiap pelanjut generasinya yang dipandang paling berkompeten dalam rumpung itu. Olehnya itu, Tappi dinilai bukan sebagai senjata, melainkan lambang kehormatan suatu rumpun keluarga Bangsawan pada zaman dahulu.
Sebagai perlambang yang memanifestasikan suatu kaum maupun suatu Kerajaan, Tappi bahkan dijadikan sebagai perlambang pangkat/jabatan. Tatkala seorang Raja atau pejabat adat berhalangan untuk hadir dalam suatu undangan perhelatan, kerap mengirim Tappi-nya ke acara tersebut sebagai syarat kehadirannya. Bahkan bagi seorang Raja maupun Pangeran pada zaman dulu, jika hendak menikahi seorang perempuan yang berderajat “sama” ataupun “To DEcEng”, biasanya hanya mewakilkannya pada “tappi’na” yang dibawa oleh seorang pengikutnya (joana).
Tappi adalah perlambang kehormatan seseorang maupun kaum sehingga dengan mengenakannya, maka ia bisa dikenali bahwa pemakainya itu berasal dari suatu strata tertentu. Semisalkan seseorang mengenakan Tappi bergagang gigi taring berukir dan sampirnya (pallajarengna) dibungkus logam mulia (emas/perak) berukir, maka dikenallah ia sebagai seorang Bangsawan Tinggi yang setidaknya berpredikat “RajEng Matase’” ataupun bahkan “sangaji”. Terlebih pula jika warangkanya (wanuanna) terbungkus full logam mulia bertatahkan permata, maka bisa saja ia merupakan seorang “arung” yang berderajat Sangaji atau RajEng dari Kerajaan TellumpoccoE ataupun Tellu BoccoE. Maka Tappi sesungguhnya adalah “tanda pangkat” bagi seseorang, maupun suatu kaum, bahkan bagi suatu Kerajaan.
Lain halnya dengan “kawali” (badik), yang dipakai secara umum, yakni kaum bangsawan maupun masyarakat secara umum. Berbeda halnya dengan tappi yang merupakan perlambang kaum atau derajat kebangsawanan, kawali adalah lambing “Siri na PessE” (harkat dan kemanusiaan). Maka kawali adalah perlambang “Hak Azasi”. Sebagaimana halnya dengan pameo masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar yang menyatakan : “Tania boranE narEkko dE’ nakkawali, nasaba’ passullE buku arusu’i ritu kawaliE lao risEsEna orowanEdE” (bukanlah lelaki jika tidak membawa badik, karena kawali itu adalah pengganti tulang rusuk bagi lelaki). Bahwa kaum Adam dipercayai jika rusuk kirinya berkurang satu sebagai bahan penciptaan Hawa, maka sesungguhnya seorang lelaki dianggap tidak lengkap jika tidak menyelipkan sebialah badik di pinggang kirinya.
Badik sebagai perlambang “hak azasi”, maka dalam setiap kesempatan, seorang lelaki haruslah mempertahankan badiknya dengan taruhan nyawa. Disebabkan karena ukurannya yang tidak terlalu besar, maka kawali bukanlah senjata perang yang ideal sebagai tombak (bessi/poke) ataupun kelewang (alameng/pEnai’/sonri’ lampE/sinangkE). Namun dipandang dari ukurannya yang pendek, maka badik digunakan sebagai senjata jarak dekat yang dipandang ideal digunakan dalam “sigajang laleng lipa’” (baku tikam dalam satu sarung) ataupun “sigajang siakkaluttureng” (baku tikam yang didahului dengan prosesi saling berhadapan dengan posisi berlutut). Namun bagaimanapun itu, kawali adalah personifikasi paling luhur bagi kehormatan diri bagi setiap pribadi. Bahkan lebih dari itu, kawali sebagai lambing harkat diri bahkan seringkali dipilah dari martabat jabatan, hingga setiap orang berhak menyatakan : “dE’gaga Puangna kawalikku sangadinna Allah Ta’ala” (tiada Tuhan bagi badikku selain Allah Ta’ala).
Menyangkut perihal mengenakan kedua jenis senjata pusaka ini, pada zaman dahulu hingga sekarang senantiasa mengenakan keduanya dalam berbusana adat. Petta MatinroE ri Lariangbangi, seorang Pangeran Bone menuliskan risalah adat istiadat “Ade’ Maraja” yang juga dicantumkan dalam bab Lontara Latoa, menyatakan bahwa kedua pusaka tersebut adalah aksesoris pelengkap (parEwa sampu) tatkala menghadap seorang terhormat (tomalebbi) maupun seorang Arung (raja). Hal yang sama dituliskan dalam Lontara Pangadereng Luwu (lembar 16-17) bahwa : “ripatetti’i lE cappa’ passapuE//ripasonrEtoi lE pamiringngE//naritappina lE kawaliE//ripaware’i lE gajangngE//risio sumange’ lE talibennangna//mappakaraja lE riolona DatuE” (dijatuhkanlah ujung destar//dimiringkan pulalah songkok pamiring//disematkan di pinggang badik itu//dilintangkanlah keris//diikat semangatnya dengan tali benang //seraya menghormat dihadapan Raja). Olehnya itu, dengan menyematkan badik dan keris justru merupakan bagian penghormatan jika menghadap seorang Raja.
Bahwa perbedaan protokoler Eropa dan Sulawesi Selatan sesungguhnya berlawanan arah. Seorang Eropa ketika menghadap seseorang yang dihormatinya, maka dibukanyalah topi atau penutup kepalanya. Sebaliknya, semua adat dan istiadat di Sulawesi Selatan dan Barat jika menghadap seorang yang dimuliakan, dengan sedapat mungkin menutupi kepalanya, meski dengan secarik sapu tangan. Selain menutupi kepala, seorang yang memahami adat sopan santun (Tomakkiade’) dengan serta merta mengenakan busana terbaiknya untuk menghadap ataupun menerima seorang lain yang dimuliakannya. Tatkala seorang terhormat datang bertamu di rumahnya, maka ia tergopoh-gopoh mempersilahkan tamunya duduk lalu meminta permisi masuk kedalam. Ia mengenakan sarung, baju dan songkok terbaiknya lalu menghadap tamu agungnya yang “menunggu” di ruang tamu. Demikian pula jika ia hendak menghadap seorang Raja di Istana (Langkana/Saoraja/Balla’ Lompoa/Salassa/SapolohE), dikenakannya busana terbaiknya, termasuk menyematkan badik dan keris yang diikatnya dengan tali benang (passio sumange’)sebagai tanda hormat dan kesetiaan terhadap Rajanya.
Namun pada masa ini, ada-ada saja oknum yang tidak tahu aturan Adat yang berlaku universal di Sulawesi Selatan dan Barat ini. Dianggapnya bahwa setiap orang yang hendak menghadap Datu, maka ia harus “dilucuti” senjatanya. Padahal melucuti senjata, utamanya Kawali dan Tappi seseorang adalah “penistaan” terhadap orang itu. Walaupun tradisi “mabbueng tappi” (melucuti keris) sesungguhnya ada dalam khazanah Adat Istiadat Sulawesi Selatan, namun hal tersebut diberlakukan bagi seorang “taklukan”. Namun jika abdi, kerabat ataupun sahabat dari Datu (Raja) yang menghadap, maka dianggap “pantang” (popo gamaru) jika dilucuti senjatanya. Hal yang serupa dialami oleh KaraEng Abdul Hamid DaEng MangallE yang ketika hendak menghadap Raja Siam Phra Narai, beliau hendak dilucuti badik dan kerisnya. Maka beliau menolak dengan keras seraya mengamuk. Hingga beberapa hari kemudian, beliau beserta segenap warga Kampung Makassar di Thailand (Siam) berperang hingga gugur di negeri rantau jauh itu. Demikian pula tatkala Arung Matoa Wajo XLIV La OddangpEro Petta MatinroE ri Masigi’na hendak dilucuti oleh pasukan Bone dibawah Ahmad Singkerru’rukka Petta PonggawaE Bone dalam penghujung Abad 19, Sribaginda menolak keras. Hal yang kemudian didukung oleh We PalettEi Petta Paddanreng Tuwa, maka Petta PonggawaE yang sesungguhnya memenangkan perang itu mengalah, demi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan dalam ranah Assipakalebbireng.
Maka sesungguhnya, mengenakan Kawali dan Tappi adalah “Ade’ pura Onro” (ketetapan adat permanent) yang diatur oleh “Ade’ Maraja” (adat Istiadat Istana) yang mesti diketahui oleh setiap orang yang hendak memahami adat istiadat yang sesungguhnya. Kadang-kadang ada saja orang yang menetapkan aturannya sendiri dengan “melarang” orang untuk menyematkan senjata pusaka dihadapan Datu, padahal ia sendiri melanggar Protap Utama, yaitu : mengenakan Songkok Pamiring yang lebih Tinggi dari Sang Datu sendiri dihadapan Datu. Subhanallah.
Wallahualam Bissawwab.
No comments
Post a Comment