Kisah Imam Ali bin Abi Thalib dan Ashabul Kahfi
Kisah Imam Ali bin Abi Thalib dan Ashabul Kahfi
Posted by KabarNet pada 16/11/2013
Dalam surat Al-Kahfi, Alloh Ta’ala, menceritakan tiga kisah masa lalu,
yaitu, kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan Nabi Musa as dan Nabi
Khidzir as, serta kisah Dzulqornain.
Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai
nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan
kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah
dalam Al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga
terdapat banyak pelajaran didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada
masa Raja “Diqyanus” di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya
Nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah patung dengan
seorang raja yang dzolim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok
orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu
memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan
sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan melarikan diri, sehingga
mereka sampai di sebuah gua yang kemudian dipakai tempat
persembunyian.
Dengan izin Alloh Ta’ala, mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun
di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja
mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada
Alloh Ta’ala.
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang diketengahkan
secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab Fadho’ilul Khomsah Minas
Shikhohis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu
riwayat yang dinukil dari kitab Qishoshul Anbiya’. Riwayat tersebut
berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi.
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya’ mulai dari halaman 566
meriwayatkan sebagai berikut :
Di kala Umar Ibnul Khottob ra, menjadi Kholifah, pernah datang
kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada
Kholifah: “Hai Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad
dan shohabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah
penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami,
barulah kami mau memahami bahwa Islam merupakan agama yang benar dan
Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat
memberi jawaban, berarti agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan
seorang Nabi”.
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut
Kholifah Umar ra. “Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok)
mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai
pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah
kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjuk-kan
kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada
bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin? Terangkan kepada
kami tentang lima jenis makhluq yang dapat berjalan di permukaan bumi,
tetapi makhluq-makhluq itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau
atau induknya? Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung
puyuh di saat ia sedang berkicau? Apakah yang dikatakan oleh ayam
jantan di kala ia sedang berkokok? Apakah yang dikatakan oleh kuda di
saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia
sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang
meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia
sedang berkicau?”
Kholifah Umar menunduk-kan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian
berkata : “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu
bukan suatu hal yang memalukan…!”
Mendengar jawaban Kholifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi
yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata :
“Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan
agama Islam itu adalah bathil..!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata
kepada pendeta-pendeta Yahudi itu : “Kalian tunggu sebentar…! Ia
cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib kw. Setelah bertemu,
Salman berkata : “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam…!” Imam Ali
kw, bingung, lalu bertanya : “ada apa ?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Kholifah
Umar Ibnul Khottab. Imam Ali kw, segera saja berangkat menuju ke rumah
Kholifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup
punggung atau leher) peninggalan Rosululloh SAW. Ketika Kholifah Umar
melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu
buru-buru memeluknya, sambil berkata : “Ya Abal Hasan, tiap ada
kesulitan besar, engkau selalu kupanggil…!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang
menunggu-nunggu jawaban itu, Imam Ali bin Abi Thalib kw, herkata :
“Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan.
Rosululloh SAW,. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis
dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu…!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan
mereka. Sebelum menjawab, Imam Ali bin Abi Thalib kw, berkata : “Aku
ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku
nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang
ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan
beriman…!” “Ya baik…!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Imam Ali bin Abi Thalib
kw. Mereka mulai bertanya : “Apakah induk kunci (gembok) yang
mengancing pintu-pintu langit ?
“Induk kunci itu, jawab Imam Ali as, ialah syirik kepada Alloh. Sebab
semua hamba Alloh, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada
Alloh, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Alloh..!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi : “Anak kunci apakah yang dapat
membuka pintu-pintu langit ?”
Imam Ali kw, menjawab : “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat)
bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah Rosululloh..!”Para
pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata :
“Orang itu benar juga..!”. Mereka bertanya lagi : “Terangkanlah kepada
kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama
penghuninya?”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera
Matta” jawab Imam Ali kw. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh
samudera” Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi :
“Jelaskan kepada kami tentang makhluq yang dapat memberi peringatan
kepada bangsanya, tetapi makhluq itu bukan manusia dan bukan jin ?”
Imam Ali kw, menjawab : “Makhluq itu ialah semut Nabi Sulaiman putera
Nabi Dawud alaihimassalam. Semut itu berkata kepada kaumnya : “Hai
para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak
di-injak injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya : “Beritahukan kepada
kami tentang lima jenis makhluq yang berjalan di atas permukaan bumi,
tetapi tidak satu pun di antara makhluq-makhluq itu yang dilahirkan
dari kandungan ibunya atau induknya ?”
Imam Ali kw, menjawab : “Lima makhluq itu ialah, pertama, Adam. Kedua,
Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima,
Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)”.
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar
jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali kw, lalu
mengatakan : “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alloh dan
Muhammad adalah Rosululloh…!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada
Imam Ali bin Abi Tholib kw, : “Hai Ali, hati teman-temanku sudah
dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai
benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin
kutanyakan kepada anda”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan” sahut Imam Ali kw. “Coba
terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah
mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Alloh.
Bagaimana cerita tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi. Ali bin Ali
Thalib kw, menjawab : “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para
penghuni gua. cerita tentang mereka itu sudah dijelaskan oleh Alloh
SWT, kepada Rosul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka
itu”.
Pendeta Yahudi itu menyahut : “Aku sudah banyak mendengar tentang
Al-Qur’an kalian itu…! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba
sebutkan nama-nama Ashabul Kahfi, nama ayah-ayah mereka, nama kota
mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua
mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir….!”
Imam Ali bin Abi Thalib kw, kemudian merapikan duduknya, menekuk lutut
ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang di-ikatkan ke
pinggang. Lalu Beliau as, berkata : “Hai saudara saudara Yahudi…
Muhammad Rosululloh SAW, kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa
kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama “Aphesus”
atau disebut juga dengan nama “Tharsus”. Tetapi nama kota itu pada
zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota
itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam
wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja
yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya
didengar oleh seorang raja Persia bernama “Diqyanius”. Dia seorang
raja kafir yang amat Sombong dan dzolim. dia datang menyerbu negeri
itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota
Aphesus. Akhirnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana”.
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus
bertanya : “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku
bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya ?”
Imam Ali kw menerangkan : “Hai saudara saudara Yahudi, raja itu
membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer.
Panjangnya satu farsakh (kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas,
dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari
emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat
dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang
harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya
sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga
matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi
serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya
80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah
kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan
duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari
emas, untuk duduk para petinggi dan penguasa-penguasa tinggi lainnya.
Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas
kepala”. Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil
berkata : “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari
apakah mahkota itu dibuat ?”
“Hai saudara saudara Yahudi”.. kata Imam Ali menerangkan, “mahkota
raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap
kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana
bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para
hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah.
Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias
dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi
tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak
para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau
pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun
tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu
selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan
dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri”.
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata : “Hai Ali, jika
yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi
pembantu-pembantu raja itu ?”
Imam Ali kw, menjawab : “Kekasihku Muhammad Rosululloh SAW,
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan
raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina dan Mikhaslimina.
Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing
bernama Martelius, Casitius dan Sidemius.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh
semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air
sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang
yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu
burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung
itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan
sayap serta bulunya, sampai sari bunga itu habis dipercikkan ke semua
tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi.
Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi
wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada
dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung
itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di
atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum
semerbak di atas kepala raja. demikianlah raja itu berada di atas
singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak
pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala,
sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang
raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai sombong, durhaka
dan dzolim. Dia mengaku-aku diri sebagai “Tuhan” dan tidak mau lagi
mengakui adanya Alloh Ta’ala.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya.
Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat
atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh
sebab itu semua orang terpaksa menerima kemauan raja. Dalam masa yang
cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan
dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Alloh Ta’ala.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas
singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah
seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk
menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, yang ingin melancarkan
peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu,
sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari
kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas
singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan,
seorang yang pintar bernama Tamlikha, memperhatikan keadaan sang raja
dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati :
“Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut
pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air
kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan”.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di
tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari
tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi
Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya :
“Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum ?”
“Teman-teman…” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu
yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak
ingin tidur”.
Teman-temannya mengejar : “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha
?” “Sejek lama aku memikirkan soal langit” ujar Tamlikha menjelaskan.
Aku lalu bertanya pada diriku sendiri : “siapakah yang mengangkatnya
ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa
gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah ?
Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah
yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?”Kemudian
kupikirkan juga bumi ini : “Siapakah yang membentang dan
menghamparkan-nya di cakrawala ? Siapakah yang menahannya dengan
gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring
?” Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri : “Siapakah yang
mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku ? Siapakah yang
memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku ? Semuanya itu pasti ada
yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius…“
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki
Tamlikha diciumi sambil berkata : “Hai Tamlikha dalam hati kami
sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena
itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua?”
“Saudara-saudara…” kata Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak
menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzolim itu,
menuju kepada Raja pencipta langit dan bumi..” “Kami setuju dengan
pendapatmu…” sahut teman-temannya. Tamlikha lalu berdiri, terus
beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil
mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam
kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan
lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada
teman-temannya : “Saudara-saudara, kita sekarang sudah bebas dari raja
dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan
marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Alloh akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar”.
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7
farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa
berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada
penggembala itu mereka bertanya : “Hai penggembala, apakah engkau
mempunyai air minum atau susu?” “Aku mempunyai semua yang kalian
inginkan” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya
seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri.
Coba beritahukan kepadaku bagaimana kalian itu ?” “Ah.., susahnya
orang ini..” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak
boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?” “Ya..” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada
diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk
lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata :
“Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati
kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak
mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan
segera kembali lagi kepada kalian”.
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti menunggu. Penggembala itu
segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak
lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, di-ikuti oleh seekor
anjing miliknya.
Waktu cerita Imam Ali kw, sampai di situ, salah satu pendeta Yahudi
bergegas berdiri dan bertanya lagi, sambil berkata :
“Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna
anjing itu dan siapakah namanya ?”
“Hai saudara saudar Yahudi…” kata Imam Ali bin Abi Thalib kw,
memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rosululloh SAW, menceritakan
kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama
Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing,
masing-masing saling berkata kepada temannya : kita khawatir
kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita ? Mereka
minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di
atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan
lancar dan jelas sekali : “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak
mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Alloh, tak ada
yang menyekutukaNya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan
berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT..”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala
tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka
mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat
duduknya sambil berkata : “Apakah nama bukit itu dan apakah nama gua
itu?” Imam Ali kw, menjelaskan : “bukit itu bernama Naglus dan nama
gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram”
Imam Ali kw, melanjutkan ceritanya… secara tiba-tiba di depan gua itu
tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka
makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah
tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing
yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga sambil menjulurkan dua
kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT,
memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka.
masing-masing orang dari mereka Allah SWT, menugaskan dua Malaikat
untuk membolak-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah SWT, lalu
memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan
sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam
supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia
bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa
mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000
pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menelusuri jejak enam orang
pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian
mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri
itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan
memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata : “Kalau aku ingin menghukum
mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan
mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua.
Panggil-lah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari..”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup
rapat pintu gua dengan batu-batu dan serabuk (bahan semacam semen).
Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya : “Katakanlah
kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu
tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di
langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu”.
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah Ta’ala, mengembalikan
lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar,
mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing.
Yang seorang berkata kepada yang lainnya : “Malam tadi kami lupa
beribadah kepada Alloh, mari kita pergi ke mata air”.
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu
sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi
kering semuanya. Allah SWT, membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka
saling bertanya, “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan
bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan
? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan
sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi”.
Tamlikha kemudian berkata, “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang
berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala,
berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini…”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke
kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum
pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui.
Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar
di angkasa bertuliskan, “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh
Allah…”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap
mata, lalu berkata seorang diri, “Kusangka aku ini masih tidur..”
Setelah agak lama memandang dan mengamati bendera, ia meneruskan
perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca
Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal.
Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjual roti,
“Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini ?” “Aphesus” sahut
penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian ?”tanya Tamlikha, “Abdurrahman,” jawab
penjual roti. “Kalau yang kau katakan itu benar…” kata Tamlikha,
“urusanku ini sungguh aneh sekali.. Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku..” Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan.
Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman dulu, yang ukurannya
lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata
kepada Ali bin Abi Thalib kw, “Hai Ali, kalau benar-benar engkau
mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu
dibanding dengan uang baru…”
Imam Ali kw, menjelaskan, “Kekasihku Muhammad Rosululloh SWT,
menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding
dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru..”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya : Penjual Roti lalu berkata
kepada Tamlikha, “Aduhai, alangkah beruntungnya aku..! Rupanya engkau
baru menemukan harta karun..? Berikan sisa uang itu kepadaku..! Kalau
tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja..?” “Aku tidak menemukan
harta karun…” jawab Tamlikha, “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu
dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham, Aku kemudian
meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius…!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, “Apakah setelah engkau menemukan
harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu
kepadaku…? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka
yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih
dari 300 tahun yang silam..! Apakah dengan begitu engkau hendak
memperolok-olok aku..?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja
yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja
bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, “Bagaimana cerita
tentang orang ini…?”
“Dia menemukan harta karun..” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata, “Engkau tak perlu khawatir..! Nabi Isa
as, memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta
karun itu, Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya
engkau akan selamat…” Tamlikha menjawab, “Baginda, aku sama sekali
tidak menemukan harta karun…! Aku adalah penduduk kota ini…!” Raja
bertanya sambil keheran-heranan, “Engkau penduduk kota ini…?” “Ya..
Benar” sahut Tamlikha., “Adakah orang yang kau kenal ?” tanya raja
lagi. “Ya.. ada,” jawab Tamlikha. “Coba sebutkan siapa namanya…?”
tutur raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada
satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir
mendengarkan saat itu. Mereka berkata, “Ah…, semua itu bukan nama
orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau
mempunyai rumah di kota ini ?” “Ya.. tuanku..” jawab Tamlikha.
“Utuslah seorang menyertai aku!”. Raja kemudian memerintahkan beberapa
orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke
sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana,
Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, “Inilah rumahku..!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah
sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian
putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua.
Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang
datang, “Kalian ada perlu apa ?”
Kami utusan raja yang menyertai Tamlikha, Orang muda ini mengaku rumah
ini adalah rumahnya…! Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha.
Sambil mengamati dia bertanya, “Siapa namamu ?” “Aku Tamlikha anak
Filistin…!” Orang tua itu lalu berkata, “Coba ulangi lagi…!” Tamlikha
menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan
kaki Tamlikha sambil berkata, “Ini adalah datukku..! Demi Alloh, Dia
salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius
raja durhaka” Kemudian diteruskannya dengan suara haru, “Dia lari
berlindung kepada yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi
kita, Isa as, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan
mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali…!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan
kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke
tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah
melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha
diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi
tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, “Hai Tamlikha,
bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada
di dalam gua. Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang
bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi
beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya
masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali
kw, melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya
dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para
pengikut mereka, “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar
suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga
Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian
berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan
memberitahu mereka…”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua.
Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan
Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, “Puji
dan syukur bagi Alloh yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius…”
Tamlikha mengelak, “Ada urusan apa dengan Diqyanius ? Tahukah kalian,
sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini ?” “Kami tinggal sehari
atau beberapa hari saja” jawab mereka. “Tidak…!” sangkal Tamlikha,
“Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun..! Diqyanius sudah lama
meninggal dunia..! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti,
dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Alloh yang Maha Agung..!
Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian…!”
Teman-teman Tamlikha menyahut, “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak
menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad ?”.
jawab Tamlikha, “Lantas apa yang kalian inginkan ?” Tamlikha balik
bertanya, “Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat
seperti itu juga” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, “Ya
Alloh, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang
keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa
kami tanpa sepengetahuan orang lain…!”
Alloh Ta’ala, mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan
Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Alloh SWT,
melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang
menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh
hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat
ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu
dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya
kekuasaan Alloh SWT, Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa
yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang
diperlihatkan Alloh kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, “Mereka mati dalam keadaan
memeluk agamaku..! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua
itu”. Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, “Mereka
mati dalam keadaan memeluk agamaku..! Akan ku dirikan sebuah biara di
pintu gua itu”. dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah
melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan
oleh bangsawan yang beragama Islam.
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib kw, berhenti menceritakan kisah
para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang
menanyakan kisah itu, “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi
dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu,
apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum
dalam Taurat kalian ?”
Pendeta Yahudi itu menjawab, “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan
tidak mengurangi, walau satu huruf pun..! Sekarang engkau jangan
menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi, …Bahwa
tiada Tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah hamba Alloh serta
Rosul-Nya.. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling
berilmu di kalangan ummat ini…!”
Dinukilan dari kitab Qishosul Anbiya yang tercantum dalam kitab
“Fadho’ilul Khomsah” Minas Shihohis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadho
Al Faruz Aabaad. [KbrNet/Slm
No comments
Post a Comment