Dzun Nun al-Mishri
Beliau adalah seorang sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan Sang Pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A'rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzun Nun al-Mishri. Kendati demikian, besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.
Waliyullah yang dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmin (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajahi bumi mensyi'arkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatullah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak di iringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya: "Ada apa ini?" Orang tersebut menjawab: "Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik." Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini?" begitu pikir sang wali. Ia pun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab: "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga." Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu: "Ya Allah.. aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar." Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).
Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasih-Nya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzun Nun al-Mishri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya. Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghribi menghadap Dzun Nun al-Mishri dan bertanya: "Wahai Abu al-Faidl!" begitu ia memanggil demi menghormatinya. "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT?". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu." Begitu jawab Dzun Nun al-Mishri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghribi semakin penasaran: "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku." Lalu Dzun Nun al-Mishri berkata: "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkuk berisi biji-bijian simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad: "Cukup... aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Aku pun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku."
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufi pun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama. Maka demikianlah, Dzun Nun al-Mishri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah. Suatu malam, tatkala Dzun Nun bersiap-siap menuju tempat untuk bermunajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa: "Ya Allah.. Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmat-Mu. Tuhanku... Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Dzat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya' dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa."
Dengan khusyu' Dzun Nun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini. Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. "Aku harus menemuinya." begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan ia pun bisa menemukan kediaman lelaki misterius itu. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzun Nun bertanya: "Apakah keselamatan itu?" Orang tersebut menjawab: "Keselamatan ada dalam ketakwaan dan Muraqabah (mengevaluasi diri)." "Selain itu ?" pinta Dzun Nun seperti kurang puas. "Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!" "Selain itu?" pinta Dzun Nun lagi. "Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus." Lalu orang tersebut meninggalkan Dzun Nun al-Mishri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.
Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzun Nun al-Mishri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membantah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan Ahwaldan Maqamat para wali Allah. Maslamah bin Qasim mengatakan: "Dzun Nun al-Mishri adalah seorang yang alim, zuhud wara', mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits." Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzun Nun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibnu Luha'iah, Fudail ibnu Iyadl, Ibnu Uyainah, Muslim al-Khawwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah Hasan bin Mus'ab an-Nakha'i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, at-Tha'i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman as-Sulami menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzun Nun telah meriwayatkan hadits Rasulullah Saw dari Ibnu Umar yang berbunyi: "Dunia adalah penjara orang mu'min dan surga bagi orang kafir."
Di samping mahir dalam ilmu-ilmu Syara', sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalahilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja. Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu 'dzahir' timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzun Nun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzun Nun mempunyai kelebihan ilmu Rabbani yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang zindiq yang memporak-porandakan syari'at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. "Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?" Tanya khalifah kemudian. "Begitulah mereka mengatakan." ujar beliau. Salah satu pegawai raja menyela: "Amir al-Mu'minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud.. ayo bicaralah."
Dzun Nun menundukkan muka sebentar lalu berkata: "Wahai amiirul mukminin.... Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembah-Nya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati mereka adalah samawi......." Dzun Nun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah dipenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzun Nun. Dengan wibawa Khalifah berkata pada orang-orang yang datang menghadiri mahkamah ini : "Kalau mereka ini orang-orang Zindiq, maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini." Sejak saat itu Khalifah al-Mutawakkil ketika disebutkan padanya orang yang Wara' maka dia akan menangis dan berkata "Ketika disebut orang yang Wara' maka marilah kita menyebut Dzun Nun."
Imam Qusyairi dalam kitab Risalah-nya mengatakan: "Dzun Nun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Hal, dan adab." Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan: "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini : Dzun Nun al-Mishri, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basri." Seperti berlomba memujinya, sufi terbesar dan ternama Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi dalam hal ini mengatakan: "Dzun Nun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita." Pujian dan penghormatan pada Dzun Nun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita: "Sahl at-Tustari (salah satu Imam tasawuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan isyarat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab: "Dulu waktu Dzun Nun al-Mishri masih hidup, aku tidak berani berbicara, tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku: Berbicaralah!! Engkau telah diberi izin."
Suatu ketika Dzun Nun ditanya seseorang: "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?" "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku", jawab Dzun Nun. "Kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku." Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan: "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya." "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluk, bagaimana Allah menjadikannya." Tentang cinta ia berkata: "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah." "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah, Nabi Muhammad Saw dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya." "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: "cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Al Qur'an yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)."
Imam an-Nabhani dalam kitabnya "Jami' al-Karamat" mengatakan: "Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad as-Sulami: "Suatu ketika aku menghadap pada Dzun Nun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak ambar. Lalu beliau berkata padaku: "Engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira." Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).
Suatu hari Abu Ja'far ada di samping Dzun Nun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzun Nun mengatakan: "Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya." Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.
Imam Abdul Wahhab as-Sya'roni mengatakan: "Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzun Nun lalu berkata: "Anakku telah dimangsa buaya." Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzun Nun datang ke sungai Nil sambil berkata: "Ya Allah... keluarkan buaya itu." Lalu keluarlah buaya tersebut, Dzun Nun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata: "Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu, aku selalu merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT."
Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Mishri yang wafat pada tahun 245 H. semoga Allah meridlainya.
No comments
Post a Comment