''KAMASUTRA versi BUGIS''
1 . Assikalabineng Kitab
Persetubuhan Bugis
2 . Ucapkan Mantra, Hatimu
Lenyap di Hatiku
3 . Jika Lima Menit Terasa
Kurang
4 . Di Mana Pusat Rangsangan
Tertinggi
5 . Hadiah Pernikahan Terindah
6 . Mengukur Kejantanan dari Hembusan
Nafas
7 . Daerah G-Spot Ala Bugis
8 . Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing
9 . Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam
5 Subuh
Selengkapnya : Baca Artikel Di bawah...!!
Assikalabineng Kitab Persetubuhan Bugis
Assikalabineng, Kitab Persetubuhan Orang
Bugis SEBAGAIMANA di kebudayaan lainnya,
seks bagi masyarakat Bugis selalu
dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif,
sakral, dan tabu untuk dibicarakan secara
luas.
Maka pengetahuan tentang hal itu sedapat
mungkin dijaga dengan rapat. Selain
karena ini menyangkut pola komunikasi
paling personal antara sesama manusia,
seks juga dipandang sebagai bagian dari
kehormatan manusia.
Adalah Muhlis Hadrawi yang menjadi salah
satu dari sekian ahli naskah kuno
Universitas Hasanuddin yang mengungkap
bahwa di masyarakat Bugis, pengetahuan
tentang seks sebenarnya juga terangkum
dan terdokumentasi dengan baik.
Berbekal ketekunan menghimpun naskah
kuno Bugis dalam bentuk lontara, lahirlah
buku Assikalabineng Kitab Persetubuhan
Bugis yang diterbitkan Penerbit Ininnawa
akhir tahun lalu. Buku ini sekaligus menjadi
penjelas dari sekian tabir yang hanya bisa
dilewati orang tertentu sejak dulu kala. Dan
uniknya, semua pengetahuan itu masih
bisa dipraktikkan dengan baik di zaman
modern ini.
Berbeda dengan Kama Sutra yang lebih
mengedepankan pada teknik belaka,
Assikalabineng lebih dari hal itu.
Pengetahuan tentang organ genital dan
alat reproduksi, filosofi seks, teknik
penetrasi, sentuhan bagian sensitif,
penentuan jenis kelamin, pengendalian
kehamilan, serta waktu baik untuk
berhubungan intim, juga terangkum di
dalamnya.
Tak hanya itu, juga terdapat pengetahuan
cara membuat tubuh istri tetap seksi dan
berwajah cerah dengan menggunakan
medium seks. Pengobatan alat kelamin pun
dibahas dengan indah.
Mari kita simak Assikalabineng memandang
seks dari sudut agama pada halaman 113.
"dan perbaikilah perasaanmu kepada Allah.
Apabila kamu telah terbaring, niatkanlah
menempatkan neraka di kiri dan durga di
kanan...".
Atau pada teknik pendahuluan (foreplay) di
halaman 92 yang bercerita mengenai
tindakan apa saja yang bisa
membangkitkan gairah. "Lalu ciumlah pipi
kirinya tiga kali kemudian bacalah ini. Cium
lagi pangkal lehernya dan bacalah ini..."
Soal bagaimana mendapatkan anak
berkulit putih pun dijelaskan, seperti di
halaman 93. "Adapun untuk mendapat
anak berkulit putih kita melakukannya
waktu isya. Anak yang berkulit hitam, kita
melakukannya tengah malam. Anak
berkulit kemerah-merahan pada antara dua
waktu itu melakukannya.
Lalu yang tak kalah menakjubkan dari kitab
ini yakni betapa orang Bugis, terutama
yang menguasai kitab ini, memahami
dengan benar jenis-jenis organ genital
wanita. Cara mengungkapkannya pun
sangat simbolik dengan
mengasosiasikannya dengan bunga yang
cenderung mekar. Pada jenis tertentu ada
yang disebut dengan bunga melati atau
bunga sibollo.
Pada akhirnya, sebagai karya yang
diadaptasi dari disertasi yang
dipertahankan di Universitas Indonesia, apa
yang dibuat oleh Muhlis Hadrawi
menjadikan khasanah pengetahuan kita
tentang seks, lebih meluas lagi.
...........................................................................................................................
Ucapkan Mantra, Hatimu Lenyap di Hatiku
Hanya sehari setelah ulasan singkat
mengenai buku ini tersebar di dunia maya,
baragam tanggapan bermunculan. Ada
yang bercanda, ada pula yang serius.
"Kenapa baru terbitkan sekarang setelah
lahir lima anak, hehehe," tulis seorang
kandidat doktor di Jepang.
Lain lagi tanggapan dari A Lagaligo
Mappangara, ahli pertambangan
perusahaan Chevron yang sedang berdinas
di Doha, Qatar.
Ia keponakan Bupati Luwu Timur A Hatta
Marakarma.
"Hhhmmmmm... pantas kulitnya anakku
putih2 semua :)".
Yang serius menulis seperti ini: "dmana
bisa dapat bukunya itu????mau buat
hadiah he he".
Mau buat hadiah atau untuk diri sendiri?
Namun inti dari semua tanggapan itu
tampaknya lebih mengacu pada pandangan
bahwa sisi fungsional dari Assikalabineng
masih cocok diterapkan saat ini karena
sifat seks yang sangat universal.
Ini dikuatkan oleh pernyataan Muhlis
Hadrawi, si penulis buku ini.
"Hal ihwal pengetahuan seksualitas yang
terkandung di dalam Assikalabineng pada
dasarnya menjadi teks practical knowledge,
karena menyajikan pengetahuan yang
dapat dipraktikkan langsung oleh
masyarakat di dalam kehidupan rumah
tangganya." (halaman 7).
Meskipun pengetahuan praktis (practikal
knowledge) di Assikalabineng ini ditujukan
untuk masyarakat umum, namun tak
mudah mendapatkan informasi yang
lengkap dalam bentuk tertulis seperti pada
naskah lontara. Hanya segelintir orang
dengan strata sosial tertentu yang bisa
menyimpan naskah-naskah kuno itu atau
mendapatkannya dari penuturan. Dan
karena itu boleh jadi Assikalabineng ini
pernah menjadi paddissengang atau
pengetahuan yang eksklusif.
Mari lihat tentang cara mendekati istri
(halaman 93) menurut Assikalabineng.
"Jika kamu mau menyentuh pintu kiri,
tekuk kaki kirimu dan luruskan kaki
kanannya, pastilah kamu menyentuh pintu
kiri. Pada akhirnya di situlah perempuan
akan menemukan kenikmatan..."
Di halaman 102. "Perlakukan semampu
kamu hingga kenikmatan mencapai
puncak. Pertemukan mulutmu dengan
mulutnya. Hidungmu dengan hidungnya.
Matanya dengan matamu. Dahinya dengan
dahimu. Pastikan bahagian tubuhmu dan
tubuhnya bertemu. Arahkan salah satu
tanganmu ke farjinya. Tangan satunya lagi
memegang kepalanya. Julurkan lidahmu,
gigit lidahnya dan isaplah nafasnya.
Ucapkan zikir ini A-I-U. Ucapkan dalam hati,
"tubuhmu lenyap di tubuhku. Hatimu
lenyap di hatiku, rahasiamu lenyap di
rahasiaku..."
Tentang bagaimana menghadapi orgasme
(halaman 112).
"Apabila zakarmu telah masuk, tahanlah
nafasmu. Janganlah lupa diri dan jangan
terlalu bernafsu. Ingatlah kata syariat
dalam persetubuhan. Jika mani telah
keluar, maka lepaslah nafas sedikit demi
sedikit. Jangan melepasnya sekaligus.
Lepaskan sebanyak empat tahap lalu
merasakan kenikmatannya."
Ada pula cara memanjakan istri sehabis
berhubungan (halaman 120).
"Apabila kamu selesai bersetubuh, luruskan
kaki dan sejajarkan lutut istri dengan baik.
Tekan panggulnya dan usap pula
keringatnya. Pegang pula persendiannya.
Usap-usaplah seluruh tubuhnya sampai dia
tertidur baru kamu berhenti."
Tentang waktu dan hari bersetubuh yang
ideal pun dikemukakan.
Ada empat hari baik yakni malam Senin,
Rabu, Kamis, dan Jumat.
Kendati demikian, malam-malam itu tidak
begitu mengikat, terutama jika berkaitan
dengan vitalitas tubuh, situasimental, dan
lingkungan.(
..................................................................................................................
Jika Lima Menit Terasa Kurang
RELASI dalam hubungan suami istri,
menurut lontara Assikalabineng,
merupakan relasi dua pihak yang sepadan
dan saling membutuhkan.
Tidak boleh ada sedikit pun pemaksaan
satu sama lain dalam hubungan seksual.
Praktik melampiaskan hasrat di saat istri
sedang tertidur lelap, malah dianggap
sebagai bentuk penghinaan. Ini
digambarkan seolah-olah istri diperlakukan
sebagai budak dan bukan mahluk yang
patut dijaga dan disayangi.
Penekanan pada pemaksaan beberapa kali
disebutkan dalam lontara Assikalabineng,
meski secara mutlak disebutkan pula
bahwa suami merupakan "pengatur irama"
dan "pemegang kendali" dari seluruh
proses hubungan intim itu.
Karena itu, suami sebagai subyek dan istri
sebagai obyek, sedapat mungkin
mengarahkan hubungan itu pada
kenikmatan bersama. Kegagalan memberi
kenikmatan bersama di tempat tidur bisa
membuat suami digelari orowane bonggo
atau lelaki yang dungu. Sebaliknya, laki-laki
yang mampu membuat istrinya puas,
disebut sebagai orowane mapata, suami
yang cerdas.
"Demikianlah yang disebut laki-laki yang
berpenetahuan terhadap istrinya. Jika tidak
demikian halnya, maka itulah yang
dinamakan perilaku laki-laki dungu yang
membosankan." (halaman 120-121).
Masalahnya kemudian adalah, pada
umumnya suami hanya bisa menjalani
hubungan seksual rata-rata tidak lebih
dalam lima menit. Sedangkan pada rentang
waktu itu, si istri malah belum bisa
merasakan puncak kepuasaan. Atas kendala
itulah, terletak fungsi pengetahuan yang
terdapat dalam lontara Assikalabineng.
Assikalabineng sangat menuntut si suami
mengetahui teknik-teknik foreplay.
"Lakukanlah tidur bersama dalam satu
sarung dan melakukannya terlebih dahulu,
istri akan merasa dirinya dimuliakan.
Kemudian lanjutkan tidur dalam satu
sarung.... Itu berarti kamu melakukan
perbuatan yang membangkitkan
gairahnya". (halaman 94).
Selanjutnya ada tahap yang harus
dilakukan (halaman 104). "Peganglah
pusarnya. Jengkalkan tanganmu, ibu jarimu
dipusarnya dan kelingkingmu di farjinya.
Bila tampak bagimu nafsunya telah bangkit
maka berilah penciuman dua belas.
Pertama-tama, ciumlah ubun-ubunnya..."
Hingga kemudian terjadilah orgasme. "Jika
dia mencapai orgasme, janganlah
melepasnya sebab dia sedang mencapai
puncak kenikmatan.. ( nalolongennitu
rennue makkunraiyye enrengnge
nyamengnge. Alliangngani aja'na
mulappessangngi)." (halaman 73).
Assikalabineng pun menjelaskan cara
merangsang pada titik peka di tubuh istri.
Cara yang dimaksud antara lain memegang
perut, mencium ubun-ubun, mencium pipi,
mencium pangkal leher, dan mencium farji.
Ada 12 titik rangsangan pada tubuh si
perempuan yakni ubun-ubun (buwung),
telinga (docciling), perantara kening (lawa
enning), mata (mata), pipi (pili), hidung
(inge'), dagu (sadang), pangkal leher
(edda'), tengkuk (cekkong), telapak tangan
(pale' lima), buah dada (pangolo), dan
pusar (posi).
Sedangkan pada laki-laki ada tiga titik
rangsangan yakni mulut (timu), tangan
(jari), dan zakar (kalamung). Tiga titik
rangsangan ini juga dapat dijadikan
sebagai alat untuk merangsang
perempuan. Bila ketiga alat itu
dikombinasikan pergerakannya pada titik
rangsangan perempuan maka akan
membangkitkan sensasi yang luar biasa.
Yang tak kalah menarik dari Assikalabineng
yakni mengandung informasi bahwa pola
seksual akan berpengaruh pada kualitas
fisik anak yang dilahirkan. Suara yang
merdu, sikap yang jantan, mata yang
memikat, bisa dipersiapkan sejak dini di
tempat tidur.
...................................................................................................................
Di Mana Pusat Rangsangan Tertinggi
Assakalabineng adalah kumpulan
manuskrip Lontara asli yang dikumpulkan,
diterjemahkan, lalu diolah oleh filolog
lontara dari Univeritas Hasanuddin (Unhas),
Muhlis Hadrawi, menjadi bacaan dan
pengetahuan yang siap dipraktikkan.
Di bagian awal buku yang didedikasikan
sebagai tesis untuk meraih gelar master di
Universitas Indonesia (UI) ini, penulis
menyebutkan ada 44 naskah Lontara yang
dipakai sebagai rujukan utama.
Sebanyak 28 teks beraksara Bugis dan 16
sisanya manuskrip lontara Makassar.
"Aksaranya macam-macam, ada sulapa
eppa, serang, dan jangang-
jangang." (hal.10)
Tak mengherankan, tips, trik, sekaligus
mantra yang disajikan pun bervariasi,
namun pada intinya sama, dan
menyesuaikan dengan kultur Bugis pesisir
atau Makassar pedalaman.
Seperti proses seleksi hadis, penulis
memaparkannya utuh dan
menganalisanya.
Dalam naskah Bunga Rampai Budaya, yang
berisi, "tata cara mandi junub, sebelum
melakuklan hubungan seks untuk
membangkitkan gairah wanita serta doa-
doanya, dan tata cara agar awet muda
setelah berhubungan seks," misalnya,
diperoleh dari manuskrip tua 52 halaman
yang disalin dari pemilik aslinya,
Amiruddin, warga Paccerakkang.
Secara teratur buku ini mengklasifikasi
titik-titik rangsangan perempuan, manfaat
mandi sebagai foreplay atau siklus
perubahan titik rangsangan wanita yang
berubah sesuai siklus haid, dan hari di
masa subur istri, dan siklus mani
perempuan yang berpindah-pindah.
Di mana titik mani berada, maka di situlah
pusat rangsangan tertinggi, dan akan
membuat pasangan suami istri
menggelinjang, laiknya gerakan pangkal
ekor ikan mujair di lumpur berair.
"Inilah pengetahuan dari Baginda Ali ketika
hendak berhubungan dengan Fatimah/
Malam jumat dia mencium ubun-ubun
sebab di situlah maninya berada/ Sabtu dia
mencium kepalanya, sebab di situlah
maninya berada/ malam Ahad, Ali mencium
mata Fatimah sebab di situlah maninya
berada/malam Senin diciuminya perantara
keningnya....//
Di manuskrip lain, disebutkan tujuh titik
rangsangan yang menjadi daerah sensasi
selama peredaran malam;
pertama, Ubun-ubun (buwung) di malam
Jumat;
Dua, kepala (ulu) di malam Sabtu;
ketiga, mata (mata) di malam Ahad;
keempat, perantara alis (lewa enning) di
malam Senin;
kelima, hidung (inge') di malam Selasa;
keenam, buah dada (pangolo) di malam
Rabu; dan
ketujuh, ulu hati (ulu ati) di malam Kamis.
Ketujuh pusat rangsangan itu adalah
bagian dari dua belas sensasi seksual
perempuan.
"Efek rangsangan terbaik bila dilakukan
pada rangkaian titik peka itu, diraba, lalu
selalu diiringi ciuman, sebelum masuk ke
tahap penetrasi, yang diikuti beberapa
mantra dalam bahasa Arab adan Lontara.
...........................................................................................................................
Hadiah Pernikahan Terindah
KITAB persetubuhan Bugis, Assikalabineng,
punya ciri khas tersendiri. Dia adalah
pergulatan pengetahuan, pengalaman, dan
spiritualitas masyarakat Bugis soal puncak
kebudayaan yang amat bersifat private
(pribadi).
India mengenal Kama Sutra yang
merupakan saripati pengetahuan
persetubuhan dari kitab Vatsyayana. Meski
belakangan kama sutra lebih menonjolkan
lelaku atau gaya seksual, tapi sebenarnya
ini adalah "gaya hidup" raja-raja untuk
mencapai moksa.
Kebudayaan Jawa juga mengenal Serat
Centhini dan Serat Nitimani karena
terpengaruh kebudayaan Islam, lelaku ini
untuk mencapai makrifat.
Sebagai salah satu dari beberapa suku
bangsa yang memiliki aksara sebagai
medium, Lontara Assikalaibineng, bisa
disejajarkan dengan kitab-kitab dari bangsa
berbudaya tinggi lainnya.
Kita Assikalabineng menempatkan laki-laki
sebagai inisiator. Ajaran, tata cara, syarat,
atau mantra dalam bahasa Arab atau
Lontara, menempatkan pria sebagai tokoh
sentral.
Tak mengherankan, ajaran ini hanya
diajarkan kepada lelaki yang akan menikah
atau sudah menikah. Ajaran ini tidak sama
sekali diperuntukkan bagi lelaki yang
belum dewasa.
Masyarakat Bugis amat meyakini bahwa
seorang suami yang akan menikah di masa
"pingitan" sudah membekali diri dengan
pengetahuan dan kebijaksanaan
Assikalaibineng.
Pengetahuan inilah yang
mengkonfirmasikan, betapa berharganya
malam pertama bagi laki-laki. Dengan ilmu
dan lelaku ini, mempelai pria bisa
mengetahui, apakah istrinya masih virgin
atau jusrtu akan membuatnya malu.
Ritual Agama
Kitab ini menempatkan hubungan seks di
malam pertama dan malam-malam
selanjutnya sebagai ritual keagamaan,
bukan wadah pelampiasan nafsu, atau
menghabiskan masa honeymoon.
Buku ini, seperti ajaran Islam, mengajarkan
bagaimana menahan dan mengatur hawa
nafsu dengan prosedur teratur dan zikir.
Di halaman 140, misalnya, diajarkan tata
cara awal sebelum melakukan hubungan
seks. Pasangan mandi secara terpisah, lalu
berwudu dan melakukan tafakkur dalam
salat sunnah. Buku ini faham betul, bahwa
hasrat pria selalu lebih besar, namun paling
cepat "terlampiaskan". Proses ini, diebut
dengan "nikah batin". Istilah ini merujuk
kepada pengelaman anak mertua nabi
Muhammad, Ali dengan Fatimah.
"..bila kamu dan istrimu pertama kali
berhubungan, maka tafakurlah lebih dulu.
Pusatkan mata hatimu, lihatlah dirimua
sebagai Alif , dan istrimu sebagai huruf Ba."
Lalu peganglah lengannya lalu ucapkan
salam berbunyi, Assaalamu alaikum, Ali
memegang, Fatimah dipegang. Apabila
kamu memegang tangannya maka ucapkan
syahadat. Ucapkan dalam hati atau Jubril
menikahkan saya, Muhammad Wali saya,
wali saksi saya, atas kehendak Allah taala,
kunfayakun. Lalu mulailah dengan ciuman,
dan ...... "
Nikah Batin
Konsep nikah bathin ini adalah amalan dan
ajaran tasawwuf dalam peristiwa
Assikalaibineng. Proses ini adalah
penyatuan unsur lahiriah dan bathiniah
antara lelaki dan perempuan. Dalam kitab
ini, disebut penyatuan eppa sulapa.
Penyatuan tubuh dengan tubuh, hati
dengan hati, nyawa dengan nyawa, dan
rahasia dengan rahasia.
Dengan, konsep nikah batin inilah yang
merupakan klimaks dalam konteks
spiritualitas manusia dalam hubungan
seks, atau "tassawuf seks".
Dan inilah, yang menyebabkan kenapa para
bangsawan dan orang berilmu Bugis-
Makassar dalam pesta perkawinannya
biasanya memakan waktu persiapan yang
lama.
Kitab Assikalaibaineng adalah ilmu yang
ditunggu-tunggu atau hadiah perkawinan
berharga bagi pria dewasa yang segera ke
pelaminan dan akan mempraktikkannya di
malam pertamanya.
.......................................................................................................................
Mengukur Kejantanan dari Hembusan Nafas
Assikalaibineng secara harfiah berarti cara
berhubungan suami istri. Akar kata serupa
juga dipakai masyarakat petani sawah di
awal masa tanam.
Karena padi dan sawah diibaratkan istri,
maka suamilah diberi otoritas untuk
menggarap dan menanam.
Karena ajaran lahir di masa kuatnya
paternalistik dan belum ada gerakan
persamaan gender, makanya ajaran Kitab
Persetubuhan Bugis ini lebih banyak
ditujukan kepada suami. Kitab ini paham
betul emosi perempuan dan karena
perasaan malunya mereka amat jarang
menjadi inisiator.
Inilah yang sekaligus menjelaskan
mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks
ala Bugis-Makassar ini diajarkan terbatas ke
calon mempelai pria, memilih momentum
beberapa hari sebelum akad nikah.
Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan
salat sunah lalu tafakur bersama yang
disebut nikah batin, maka sampailah pada
tahapan lelaku praktis, cumbu rayu,
penetrasi, dan masa pascaberhubungan.
Karena konsep Assikalaibineg
mengedepankan ideologi dan tata krama,
disarankan agar sebelum aktivitas
penetrasi dimulai dilakukan dalam satu
sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.
Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan
Christian Pelras dalam bukunya, Manusia
Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang
memiliki sarung khusus yang bisa memuat
sepasang suami istri.
Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat
di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.
Buku ini menggunakan istilah makkarawa
(meraba) dan manyyonyo (mencium)
untuk tahap foreplay.
Ini dengan asumusi pihak pria sudah
mengetahui 12 titik rangsangan, dan
rangkaian mantra (paddoangeng).
Meraba lengan adalah titik pertama yang
disarankan dikarawa, sebelum meraba atau
mencium titi-titik lainnya. Pele lima
(telapak tangan), sadang (dagu),
edda' (pangkal leher), dan cekkong
(tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam
buku ini direkomendasikan di-karawa dan
dinyoyyo di tahap awal foreplay.
Setelah bagian badan tubuh, mulailah
masuk di sekitar muka.
Titik "rawan" istri dibagian ini disebutkan;
buwung (ubun-ubun), dacculing (daun
telinga),
lawa enning (perantara kening dia atas
hidung),
lalu inge (bagian depan hidung).
Di titik ini juga disebutkan, tahapan di
bagian badan sebelum penetrasi langsung
adalah
pangolo (buah dada) dan
posi (pusar).
Dalam foreplay berupa makkarawa dan
manyonyyo ini, buku menyarankan tetap
tenang dan mengatur irama naffaseng
(nafas).
Karena kitab persetubuhan ini sangat
dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al'jima atau
ajaran berhubungan seks suami istri dalam
syariat Islam, maka proses menahan nafas
itu direkomendasikan dengan melafalkan
zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah
Taala.
Apakah melafalkan zikir itu bersuara?
Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam
bahasa Bugis itu dilafalkan dalam hati.
Dalam komentar penulis buku
ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria
banyak terjadi karena pikiran suami terlalu
fokus ke pelampiasan untuk mencapai
klimaks.
Perlu diketahui, seperti ajaran agama
Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti
buku-buku lain yang mengajarkan gaya
dan teknis bersenggama dan
melampiaskan nafsu belaka.
Laiknya ibadah, inti dari ajaran
Assikalibineng adalah mengelola nafsu
birahi ke arah yang lebih positif dan
bermanfaat secara spiritualitas.
Bukankah seperti kata Nabi Muhammad
SAW usai memenangkan Perang Badar,
kepada sahabatnya yang bersuka, diperi
peringatan, bahwa Perang Badar belum
ada apa-apanya.
Perang terbesar manusia Muslim adalah
bagaimana menahan hawa nafsu.
Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh
manusia secara pribadi adalah nafsu birahi
setelah nafsu ammarah (emosi kejiwaan).
Di bagian lanjutan tulisan ini, nantinya akan
mengulas beberapa lafalan teknik menahan
nafas.
Namun, bagian lain halaman buku itu juga
diberikan tips parktis untuk mengetahui
apakah seorang suami siap berhubungan
seks atau tidak, maka disarankan bagi pria
untuk mengangkat tangan kirinya, lalu
menghembuskan nafas dari hidung.
Jika nafas yang keluar dari lubang hidung
kanan lebih kuat berhembus, maka
pertanda kejantanan yang bangkit.
Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih
kuat, maka sebaiknya sang suami menunda
lebih dulu (hal 141).
".. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas
hidung yang lemah dan kuat berkaitan
langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau
kejantanan seorang pria...".
..................................................................................................................
Daerah G-Spot Ala Bugis
Muhlis Hadrawi, penulis buku ini,
senantiasa mengingatkan di bagian awal,
tengah, dan mengunci di akhir bab
tulisannya, bahwa Assikalaibineng
bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis
sebagai wujud paling alamiah sebagai
makhluk saja.
Penulis menggunakan istilah tasawupe'
allaibinengengnge untuk menjelaskan
kedudukan persetubuhan yang lebih dulu
disahkan dengan akad nikah dan
penegasan kedudukan manusia yang
berbeda dengan binatang saat melakukan
persetubuhan.
Ini juga sekaligus wujud penghormatan
dan menjaga martabat keluarga dalam
kerangka mendekatkan diri kepada Allah
(hal 123).
Pada bagian awal bab tata laku hubungan
suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari
tujuh manuskrip Assikalaibineng yang
menjadi rujukan utamanya menulis buku
ini.
Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun
tata cara hubungan seks untuk suami-istri
sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina
Ali dan Fatimah.
Muhlis memulainya dengan kisah
perbincangan tertutup Ali dan istrinya,
yang juga putri Nabi, di tahun ketiga
pernikahan mereka.
Perkawinan keduanya menghadapi satu
masalah sebab Ali belum mengetahui
dengan benar bagaimana tata cara
menggauli Fatimah.
"Kala itu," tulis Muhlis, "Fatimah
mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali,
"Apakah kamu mengira baik apabila tidak
menyampaikan titipan Tuhan?"
Ali kontan merasa malu dan sangat
bersalah. "Ali mulai sadar kalau ia belum
memberikan apa yang menjadi keinginan
Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta
Fatimah memberitahu keinginan Fatimah
dan memintanya untuk mempelajarinya."
"Fatimah pun merekomendasikan
Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak
Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad
dan selanjutnya terjadilah transfer
pengetahuan dari bapak mertua kepada
anak menantu."
Transfer ilmu atau proses makkanre guru
seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-
Makassar, khususnya keluarga yang
mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.
Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa
lelaku dan zikir Assikalaibineng tak
terlambat untuk dipelajari.
Memang idealnya, tata laku hubungan
Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa
nikah, namun bagi mereka yang ingin
mengamalkannya hanya perlu
membulatkan tekad, untuk mengubah cara
padangnya, bahwa hubungan suami-istri
versi Islam yang terangkum dalam lontara
ini, berbeda dengan literatur, hasil
konsultasi, atau frequent ask and question
(FAQ) soal seks yang selama ini sumber
dominannya dari ilmu kedokteran Barat.
Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi
Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini
menyajikan laku zikir untuk mengiringi
gerakan seksual dari pihak suami.
"lelaku zikir ini menjadi penyeimbang
nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar."
Teknik mengatur napas adalah inti dari
ketahanan pihak suami.
Untuk menjaga endurance napas suami
agar istrinya bisa mencapai orgasme,
misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak
masuk urapa'na (vagina) disarankan
membaca lafal (dalam hati) Subhanallah
sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.
"Narekko mupattamamai kalammu, iso'i
nappasse'mu".
Sebaliknya, jika menarik zakar, maka
hembuskanlah napasmu (narekko
mureddui kalamummu,
muassemmpungenggi nappase'mu), dan
menyebutkan budduhung.
Bahkan bisa dibayangkan karena babang
urapa'na (pintu vagina) perempuan ada
empat bagian, maka di bagian awal
penetrasi, disarankan hanya memasukkan
sampai bagian kepala kalamummu lalu
menariknya sebanyak 33 dengan tarikan
napas dan disertai zikir, hanya untuk
menyentuh "timungeng bunga
sibollo" (klitoris bagian kiri).
Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan
zikir dalam hati saat bersetubuh akan
sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah
sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti
tarikan napas akan membuat daya tahan
suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)
"Mmupanggoloni kalamummu, mubacasi
iyae/ya qadiyal hajati mufattikh
iftahkna/.....! Pada ppuncu'ni
katauwwammu pada'e tosa mpuccunna
bunga'e (sibolloe)/tapauttmani'
katawwammu angkanna se'kkena, narekko
melloko kennai babangne ri atau, lokkongi
ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona
makkunraimmu, majeppu mukennai ritu
atau...., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo
tellu/subhanallah../"
Artinya, "....arahkan zakarmu, dan bacalah
ini/Ya qadiyyal hajati mufattikh
iftakhna/....kemudian cium dadanya,. lalu
naikkan panggulnya, ... ketika itu mekarlah
kelaminnya layaknya mekarnya kelopak
bunga, masukkan zakarmu hingga batas
kepalanya, dan bacalah subhanallah 33
kali.... (hal 144).
Penggunaan kata timungeng bunga sibollo
sekaligus menunjukkan bagaimana para
orang Bugis-Makassar terdahulu
mengemas ungkapan-ungkapan erotis
dalam bentuk perumpamaan yang begitu
halus dan memuliakan kutawwa
makkunraie (alat kelamin perempuan), dan
ungkapan kalamummu (untuk zakar).
.............................................................................................................................
Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing
Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang
terkenal cerdas, termasuk seorang suami
yang mempelajari dan mengamalkan
ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini
dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone
Ke-31 ini yang secara rapi
terdokumentasikan di Perpustakaan
Nasional RI di Jakarta.
Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi
satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis
Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng,
Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan
Penerbit Ininnawa, Makassar (2008).
Secara teknis buku ini terdiri dari 189
halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari
transliterasi asli "kitab assikalaibineng"
lontara ke dalam abjad melayu berikut
terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab
tassawupe allaibainengengeng yang
merupakan peninggalan leluhur Bugis-
Makassar yang teleh terpengaruh dengan
ajaran Islam.
Karena buku ini merupakan disertasi untuk
meraih gelar magister bidang filologi (ilmu
tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan
sejarah suatu bangsa dalam bentuk
manuskrip asli) di Universitas Indonesia,
maka 51 halaman di bagian awal lebih
banyak mendiskripsikan latar belakang,
asal usul naskah, dan metodologi
penelitian.
Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku
Hubungan Suami Istri, isinya lebih
merupakan ringkasan, analisis, sekaligus
komentar penulisnya, yang diperkaya
dengan literatur penunjang. Namun, bagi
pembaca awam yang tidak lagi mengerti
Bahasa-bahasa Bugis terhadulu, justru bab
akhir inilah yang membatu mendapatkan
intisari dari manuskrip tua, yang hingga
awal decade 2000, masih beredar di
kalangan elite terbatas, masyarakat kita.
Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi
yang kini dimuseumkan di Perpustakaan
Nasional, tulis Muhlis, mempertegas
sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan
ulama/cendekia pesantren, pengetahuan
ini juga milik bangsawan dan raja-raja
Bugis Makassar.
Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis,
Kitab Persetubuhan Bugis, juga
mengajarkan sistem rotasi waktu yang baik
untuk berhubungan, dan tata cara
perawatan tubuh bagi pihak suami dan
istri. Tata laku dan tahapan ini semua
dilakukan dalam satu rangkaian dan satu
tempat
Untuk melangsingkan tubuh dan
memperhalus kulits istri misalnya, suami
tak perlu repot-repot menyisihkan uang
dan mengantar pasangannya ke pusat
kecantikan tubuh. Seperti spa center,
steam room Jacuzzi, atau membayar
kapster salon.
Di kitab mengajarkan rutinitas
kesederhanaan namun tetap dalam bingkai
kerahasiaan, tidak diketahui oleh orang
banyak.
Untuk menjaga kebugaran tubuh,
assikalaibineng misalnya
merekomendasikan di kamar tidur dan
massage (pijitan) rutin pasca-bersetubuh.
Sedangkam untuk perawatan kulit, juga tak
perlu cream pelembab atau whitening
motion,
Kitab ini mengajarkan manfaat
penggunaan "air mani" sisa yang biasanya
meleler di bagian luar babang
urapa' (vagina) istri dan kalamummu
(zakar) pihak suami dan sejumlah mantra
bugis-Arab, secara subtansial lebih
merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-
sayang suami kepada istri pasca-
berhubungan,
Kitab ini menyindir perilaku suami yang
langsung tidur lelap atau langsung
meninggalkan kamar tidur, sementara istri
belum mendapatkan kepuasan, biasanya
akan membuat wanita terhina. Di kitab ini.
Perlakuan itu diistilahkan dengan,
teretta'na narekko le'ba mpusoni (adab
setelah persetubuhan).
"(h.75) . Rekko mangujuni ilao manimmu
takabbereno wekka eppa/urape'ni alemu,
nupassamangi makkeda; alhamdulillahahi
nurung Muhammad habibillah./ nareko
purano mualai wae, muteggoi bikka tellu,
nareko purano, mualani minyak pasaula,
musaularenggi kutawwamu apa
napoleammengi dodong mupogaukangeki
paimeng/Apa' nasenggao manginggi'/ Aja
mu papinrai gaumu denre purai mupogau,
iya na ritu riyaseng temanginggi (hal. 157).
Kira, kira artinya bebasnya, jika air manimu
sudah keluar maka bertakbirlah empat kali.
Kemudian turunkan tubuhmu dan ucamkan
hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad.
Jika engkau sudah melakuklannya, maka
lakukanlah perbuatan yang menyenangkan
perasaanya. (h.76) sebagai tanda sayang.
Jika usai minumlahair dengan tiga tegukan,
dan ambilah minyak gosokdan urutlah
kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali
dan agar jagan sampai kalu lelah. Janganlah
kamu mengubah perbuatanmu seperti
yang kamu lakukan sebelumnya,
demikianlah maka kamu akan disebut lelaki
yang tidak merasa bosan dengan istrinya,"
Sedangkan tahapn selanjutnya, usai
berhubungan, ambilah air mani dari liang
fajri yang sudah bercampur dengan cairan
perempuan. Letakakkanlah di telapak
tangan mu, air mani dicampur dengan air
liur dari langit-langit (sumur qalqautsar)
suami, sebelum mengusap air mani
tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu
membaca doa dengan lafalan bugis,
"waddu waddi, mani-manikang". Mani
riparewe, tajang mapparewe, tajang
riparewekki..." (hal.158)
Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke
titik-tikik 12 rangsangan agar tidak
kembeli berkerut, atau memijit bagian
panggul dengan tulang kering di ujung
bawah jari kelingking, untuk membuat
tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking..
.............................................................................................................................
Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5
Subuh
TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan
menjadi hal yang sangat penting dan
mendapat tempat khusus dalam
Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak
suami menjadi faktor kunci.
Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul
bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat
menyelesaikan hubungan ketimbang
perempuan. Menenangkan diri, sabar,
konsentrasi, dan memulai dengan kalimat
taksim amat disarankan sebelum foreplay.
Manuskrip Assikalaibineng amat
mementingkan kualitas hubungan badan
ketimbang frequensi atau multiorgasme.
Assikalaibineng adalah ilmu menahan
nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi
dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Namun pada intinya, Assikalaibineng
bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk
berhubungan badan, lebih dari itu
assikalaibnineng adalah tahapan awal
untuk membuat anak yang cerdas,
beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari
ajaran ini adalah bagaimana membuat
generasi pelanjut yang sesuai tuntutan
agama.
(h.151) Banyak teori seksualitas
mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi
sebagai puncak kenikmatan seksual bagi
laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan.
Perbandingannya delapan kali untuk suami,
dan satu kali bagi istri.
Bahkan, dapat saja seorang istri tidak
pernah sekalipun merasakan orgasme
seteles sekian kali, bahkan sekian lama
hidup berumah tangga. "Assikalaibaineng,
mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak
suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak
mau tahu dengan lelaku seks yang
mengedepankan kualitas."
Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi
ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala
Lumpur, dalam catatan kaki di halaman
164, Muhlis mengomentari "...Hampir 99
persen lemah syahwat (kelemahan nafsu
jantan) adalah timbul dari sebab-sebab
kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter
asal Amerika bahkan pernah melakukan
penelitian, dari 1400 lelaki yang didata
mengidap penyakit lemah syahwat, hanya
tujuh yang lemah karena sebab-sebab
jasmani, yang lainya karena sebab rohani
atau psikologis,"
Dia melanjutkan, "kejiwaanlah yang
menyebabkan faktir terbesar sekaligus
penggerak seseorang melakukan hubungan
seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi
hanya merupakan alat pemuasan bagi
melaksanakan kehidupan kejiwaan
seseorang.
Sedangkan teknik mengelola nafas dengan
zikir, cara penetrasi, dan menutup
hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik
rangsangan perempuan, dan menemani
istri tertidur dalam satu selimut atau
sarung merupakan bentuk akhir menjaga
kualitas hubungan.
Pengetahuan praktis seperti waktu yang
baik dan kurang baik untuk berhubungan
badan juga secara rinci diatur dalam kitab
ini. "Tidak sepanjang satu malam menjadi
masa yang tepat untuk
bersetubuh." (hal.166)
Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh
dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti
warna kulit anak. Untuk memperoleh anak
yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan
setelah isya. Untuk anak yang berkulit
hitam, persetubuhan dilakukan tengah
malam (sebelum shalat tahajjud), anak
yang warna klitnya kemwerah-memerahan
dilakukan antara Isya dan tengah malam.
Sedangkan untuk anak berkulit putih
bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan
memperkirakan berakhirnya masa terbit
fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya
dilakukan usai solat subuh, antara pukul
05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di
Indonesia. Ini sekaligus supaya
mempermudah mandi junub.
Secara khusus kitab ini adalah menuntut
pihak suami sebagai inisiator dan
mengingatkan kepada istri, agar
menyesuaikan waktu tidur dengan
keinginan melakukan persetubuhan. Sebab
ternyata, persoalan waktu amat
berdampak secara psikologis maupun
biologis, terutama pihak istri.
Teks assikalaibineng secara spesifik
menyebutkan adanya kaitan waktu tidur
istri dengan ajakan suami bersetubuh.
Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan,
"bila suami mengajak istri berhubungan
saat menjelang tidur, maka ia merasakan
dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang
(ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri).
Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas,
lantas suami membangunkannya untuk
bersetubuh, maka istri akan merasa
diperlakukan laiknya budak seks, yang
disitilahkan dengan ripatinro jemma'.
Soal bangun membangunkan istri yang
tidur pulas, assikalaibineng juga
memberikan cara efektif. Kitab ini
sepertinya tahu betul, bahwa jika usai
orgasme sang istri biasanya langsung
tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih
sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa
mengambil air, lalu mercikkan satu dua
tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun,
lelaki memberikan pijitan awal di antara
kening, mata, menciumim ubun-ubun,
memijit bagian panggul lalu bercakap-
cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri
akan selalu diingat dan membuatnya.
selesai
Persetubuhan Bugis
2 . Ucapkan Mantra, Hatimu
Lenyap di Hatiku
3 . Jika Lima Menit Terasa
Kurang
4 . Di Mana Pusat Rangsangan
Tertinggi
5 . Hadiah Pernikahan Terindah
6 . Mengukur Kejantanan dari Hembusan
Nafas
7 . Daerah G-Spot Ala Bugis
8 . Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing
9 . Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam
5 Subuh
Selengkapnya : Baca Artikel Di bawah...!!
Assikalabineng Kitab Persetubuhan Bugis
Assikalabineng, Kitab Persetubuhan Orang
Bugis SEBAGAIMANA di kebudayaan lainnya,
seks bagi masyarakat Bugis selalu
dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif,
sakral, dan tabu untuk dibicarakan secara
luas.
Maka pengetahuan tentang hal itu sedapat
mungkin dijaga dengan rapat. Selain
karena ini menyangkut pola komunikasi
paling personal antara sesama manusia,
seks juga dipandang sebagai bagian dari
kehormatan manusia.
Adalah Muhlis Hadrawi yang menjadi salah
satu dari sekian ahli naskah kuno
Universitas Hasanuddin yang mengungkap
bahwa di masyarakat Bugis, pengetahuan
tentang seks sebenarnya juga terangkum
dan terdokumentasi dengan baik.
Berbekal ketekunan menghimpun naskah
kuno Bugis dalam bentuk lontara, lahirlah
buku Assikalabineng Kitab Persetubuhan
Bugis yang diterbitkan Penerbit Ininnawa
akhir tahun lalu. Buku ini sekaligus menjadi
penjelas dari sekian tabir yang hanya bisa
dilewati orang tertentu sejak dulu kala. Dan
uniknya, semua pengetahuan itu masih
bisa dipraktikkan dengan baik di zaman
modern ini.
Berbeda dengan Kama Sutra yang lebih
mengedepankan pada teknik belaka,
Assikalabineng lebih dari hal itu.
Pengetahuan tentang organ genital dan
alat reproduksi, filosofi seks, teknik
penetrasi, sentuhan bagian sensitif,
penentuan jenis kelamin, pengendalian
kehamilan, serta waktu baik untuk
berhubungan intim, juga terangkum di
dalamnya.
Tak hanya itu, juga terdapat pengetahuan
cara membuat tubuh istri tetap seksi dan
berwajah cerah dengan menggunakan
medium seks. Pengobatan alat kelamin pun
dibahas dengan indah.
Mari kita simak Assikalabineng memandang
seks dari sudut agama pada halaman 113.
"dan perbaikilah perasaanmu kepada Allah.
Apabila kamu telah terbaring, niatkanlah
menempatkan neraka di kiri dan durga di
kanan...".
Atau pada teknik pendahuluan (foreplay) di
halaman 92 yang bercerita mengenai
tindakan apa saja yang bisa
membangkitkan gairah. "Lalu ciumlah pipi
kirinya tiga kali kemudian bacalah ini. Cium
lagi pangkal lehernya dan bacalah ini..."
Soal bagaimana mendapatkan anak
berkulit putih pun dijelaskan, seperti di
halaman 93. "Adapun untuk mendapat
anak berkulit putih kita melakukannya
waktu isya. Anak yang berkulit hitam, kita
melakukannya tengah malam. Anak
berkulit kemerah-merahan pada antara dua
waktu itu melakukannya.
Lalu yang tak kalah menakjubkan dari kitab
ini yakni betapa orang Bugis, terutama
yang menguasai kitab ini, memahami
dengan benar jenis-jenis organ genital
wanita. Cara mengungkapkannya pun
sangat simbolik dengan
mengasosiasikannya dengan bunga yang
cenderung mekar. Pada jenis tertentu ada
yang disebut dengan bunga melati atau
bunga sibollo.
Pada akhirnya, sebagai karya yang
diadaptasi dari disertasi yang
dipertahankan di Universitas Indonesia, apa
yang dibuat oleh Muhlis Hadrawi
menjadikan khasanah pengetahuan kita
tentang seks, lebih meluas lagi.
...........................................................................................................................
Ucapkan Mantra, Hatimu Lenyap di Hatiku
Hanya sehari setelah ulasan singkat
mengenai buku ini tersebar di dunia maya,
baragam tanggapan bermunculan. Ada
yang bercanda, ada pula yang serius.
"Kenapa baru terbitkan sekarang setelah
lahir lima anak, hehehe," tulis seorang
kandidat doktor di Jepang.
Lain lagi tanggapan dari A Lagaligo
Mappangara, ahli pertambangan
perusahaan Chevron yang sedang berdinas
di Doha, Qatar.
Ia keponakan Bupati Luwu Timur A Hatta
Marakarma.
"Hhhmmmmm... pantas kulitnya anakku
putih2 semua :)".
Yang serius menulis seperti ini: "dmana
bisa dapat bukunya itu????mau buat
hadiah he he".
Mau buat hadiah atau untuk diri sendiri?
Namun inti dari semua tanggapan itu
tampaknya lebih mengacu pada pandangan
bahwa sisi fungsional dari Assikalabineng
masih cocok diterapkan saat ini karena
sifat seks yang sangat universal.
Ini dikuatkan oleh pernyataan Muhlis
Hadrawi, si penulis buku ini.
"Hal ihwal pengetahuan seksualitas yang
terkandung di dalam Assikalabineng pada
dasarnya menjadi teks practical knowledge,
karena menyajikan pengetahuan yang
dapat dipraktikkan langsung oleh
masyarakat di dalam kehidupan rumah
tangganya." (halaman 7).
Meskipun pengetahuan praktis (practikal
knowledge) di Assikalabineng ini ditujukan
untuk masyarakat umum, namun tak
mudah mendapatkan informasi yang
lengkap dalam bentuk tertulis seperti pada
naskah lontara. Hanya segelintir orang
dengan strata sosial tertentu yang bisa
menyimpan naskah-naskah kuno itu atau
mendapatkannya dari penuturan. Dan
karena itu boleh jadi Assikalabineng ini
pernah menjadi paddissengang atau
pengetahuan yang eksklusif.
Mari lihat tentang cara mendekati istri
(halaman 93) menurut Assikalabineng.
"Jika kamu mau menyentuh pintu kiri,
tekuk kaki kirimu dan luruskan kaki
kanannya, pastilah kamu menyentuh pintu
kiri. Pada akhirnya di situlah perempuan
akan menemukan kenikmatan..."
Di halaman 102. "Perlakukan semampu
kamu hingga kenikmatan mencapai
puncak. Pertemukan mulutmu dengan
mulutnya. Hidungmu dengan hidungnya.
Matanya dengan matamu. Dahinya dengan
dahimu. Pastikan bahagian tubuhmu dan
tubuhnya bertemu. Arahkan salah satu
tanganmu ke farjinya. Tangan satunya lagi
memegang kepalanya. Julurkan lidahmu,
gigit lidahnya dan isaplah nafasnya.
Ucapkan zikir ini A-I-U. Ucapkan dalam hati,
"tubuhmu lenyap di tubuhku. Hatimu
lenyap di hatiku, rahasiamu lenyap di
rahasiaku..."
Tentang bagaimana menghadapi orgasme
(halaman 112).
"Apabila zakarmu telah masuk, tahanlah
nafasmu. Janganlah lupa diri dan jangan
terlalu bernafsu. Ingatlah kata syariat
dalam persetubuhan. Jika mani telah
keluar, maka lepaslah nafas sedikit demi
sedikit. Jangan melepasnya sekaligus.
Lepaskan sebanyak empat tahap lalu
merasakan kenikmatannya."
Ada pula cara memanjakan istri sehabis
berhubungan (halaman 120).
"Apabila kamu selesai bersetubuh, luruskan
kaki dan sejajarkan lutut istri dengan baik.
Tekan panggulnya dan usap pula
keringatnya. Pegang pula persendiannya.
Usap-usaplah seluruh tubuhnya sampai dia
tertidur baru kamu berhenti."
Tentang waktu dan hari bersetubuh yang
ideal pun dikemukakan.
Ada empat hari baik yakni malam Senin,
Rabu, Kamis, dan Jumat.
Kendati demikian, malam-malam itu tidak
begitu mengikat, terutama jika berkaitan
dengan vitalitas tubuh, situasimental, dan
lingkungan.(
..................................................................................................................
Jika Lima Menit Terasa Kurang
RELASI dalam hubungan suami istri,
menurut lontara Assikalabineng,
merupakan relasi dua pihak yang sepadan
dan saling membutuhkan.
Tidak boleh ada sedikit pun pemaksaan
satu sama lain dalam hubungan seksual.
Praktik melampiaskan hasrat di saat istri
sedang tertidur lelap, malah dianggap
sebagai bentuk penghinaan. Ini
digambarkan seolah-olah istri diperlakukan
sebagai budak dan bukan mahluk yang
patut dijaga dan disayangi.
Penekanan pada pemaksaan beberapa kali
disebutkan dalam lontara Assikalabineng,
meski secara mutlak disebutkan pula
bahwa suami merupakan "pengatur irama"
dan "pemegang kendali" dari seluruh
proses hubungan intim itu.
Karena itu, suami sebagai subyek dan istri
sebagai obyek, sedapat mungkin
mengarahkan hubungan itu pada
kenikmatan bersama. Kegagalan memberi
kenikmatan bersama di tempat tidur bisa
membuat suami digelari orowane bonggo
atau lelaki yang dungu. Sebaliknya, laki-laki
yang mampu membuat istrinya puas,
disebut sebagai orowane mapata, suami
yang cerdas.
"Demikianlah yang disebut laki-laki yang
berpenetahuan terhadap istrinya. Jika tidak
demikian halnya, maka itulah yang
dinamakan perilaku laki-laki dungu yang
membosankan." (halaman 120-121).
Masalahnya kemudian adalah, pada
umumnya suami hanya bisa menjalani
hubungan seksual rata-rata tidak lebih
dalam lima menit. Sedangkan pada rentang
waktu itu, si istri malah belum bisa
merasakan puncak kepuasaan. Atas kendala
itulah, terletak fungsi pengetahuan yang
terdapat dalam lontara Assikalabineng.
Assikalabineng sangat menuntut si suami
mengetahui teknik-teknik foreplay.
"Lakukanlah tidur bersama dalam satu
sarung dan melakukannya terlebih dahulu,
istri akan merasa dirinya dimuliakan.
Kemudian lanjutkan tidur dalam satu
sarung.... Itu berarti kamu melakukan
perbuatan yang membangkitkan
gairahnya". (halaman 94).
Selanjutnya ada tahap yang harus
dilakukan (halaman 104). "Peganglah
pusarnya. Jengkalkan tanganmu, ibu jarimu
dipusarnya dan kelingkingmu di farjinya.
Bila tampak bagimu nafsunya telah bangkit
maka berilah penciuman dua belas.
Pertama-tama, ciumlah ubun-ubunnya..."
Hingga kemudian terjadilah orgasme. "Jika
dia mencapai orgasme, janganlah
melepasnya sebab dia sedang mencapai
puncak kenikmatan.. ( nalolongennitu
rennue makkunraiyye enrengnge
nyamengnge. Alliangngani aja'na
mulappessangngi)." (halaman 73).
Assikalabineng pun menjelaskan cara
merangsang pada titik peka di tubuh istri.
Cara yang dimaksud antara lain memegang
perut, mencium ubun-ubun, mencium pipi,
mencium pangkal leher, dan mencium farji.
Ada 12 titik rangsangan pada tubuh si
perempuan yakni ubun-ubun (buwung),
telinga (docciling), perantara kening (lawa
enning), mata (mata), pipi (pili), hidung
(inge'), dagu (sadang), pangkal leher
(edda'), tengkuk (cekkong), telapak tangan
(pale' lima), buah dada (pangolo), dan
pusar (posi).
Sedangkan pada laki-laki ada tiga titik
rangsangan yakni mulut (timu), tangan
(jari), dan zakar (kalamung). Tiga titik
rangsangan ini juga dapat dijadikan
sebagai alat untuk merangsang
perempuan. Bila ketiga alat itu
dikombinasikan pergerakannya pada titik
rangsangan perempuan maka akan
membangkitkan sensasi yang luar biasa.
Yang tak kalah menarik dari Assikalabineng
yakni mengandung informasi bahwa pola
seksual akan berpengaruh pada kualitas
fisik anak yang dilahirkan. Suara yang
merdu, sikap yang jantan, mata yang
memikat, bisa dipersiapkan sejak dini di
tempat tidur.
...................................................................................................................
Di Mana Pusat Rangsangan Tertinggi
Assakalabineng adalah kumpulan
manuskrip Lontara asli yang dikumpulkan,
diterjemahkan, lalu diolah oleh filolog
lontara dari Univeritas Hasanuddin (Unhas),
Muhlis Hadrawi, menjadi bacaan dan
pengetahuan yang siap dipraktikkan.
Di bagian awal buku yang didedikasikan
sebagai tesis untuk meraih gelar master di
Universitas Indonesia (UI) ini, penulis
menyebutkan ada 44 naskah Lontara yang
dipakai sebagai rujukan utama.
Sebanyak 28 teks beraksara Bugis dan 16
sisanya manuskrip lontara Makassar.
"Aksaranya macam-macam, ada sulapa
eppa, serang, dan jangang-
jangang." (hal.10)
Tak mengherankan, tips, trik, sekaligus
mantra yang disajikan pun bervariasi,
namun pada intinya sama, dan
menyesuaikan dengan kultur Bugis pesisir
atau Makassar pedalaman.
Seperti proses seleksi hadis, penulis
memaparkannya utuh dan
menganalisanya.
Dalam naskah Bunga Rampai Budaya, yang
berisi, "tata cara mandi junub, sebelum
melakuklan hubungan seks untuk
membangkitkan gairah wanita serta doa-
doanya, dan tata cara agar awet muda
setelah berhubungan seks," misalnya,
diperoleh dari manuskrip tua 52 halaman
yang disalin dari pemilik aslinya,
Amiruddin, warga Paccerakkang.
Secara teratur buku ini mengklasifikasi
titik-titik rangsangan perempuan, manfaat
mandi sebagai foreplay atau siklus
perubahan titik rangsangan wanita yang
berubah sesuai siklus haid, dan hari di
masa subur istri, dan siklus mani
perempuan yang berpindah-pindah.
Di mana titik mani berada, maka di situlah
pusat rangsangan tertinggi, dan akan
membuat pasangan suami istri
menggelinjang, laiknya gerakan pangkal
ekor ikan mujair di lumpur berair.
"Inilah pengetahuan dari Baginda Ali ketika
hendak berhubungan dengan Fatimah/
Malam jumat dia mencium ubun-ubun
sebab di situlah maninya berada/ Sabtu dia
mencium kepalanya, sebab di situlah
maninya berada/ malam Ahad, Ali mencium
mata Fatimah sebab di situlah maninya
berada/malam Senin diciuminya perantara
keningnya....//
Di manuskrip lain, disebutkan tujuh titik
rangsangan yang menjadi daerah sensasi
selama peredaran malam;
pertama, Ubun-ubun (buwung) di malam
Jumat;
Dua, kepala (ulu) di malam Sabtu;
ketiga, mata (mata) di malam Ahad;
keempat, perantara alis (lewa enning) di
malam Senin;
kelima, hidung (inge') di malam Selasa;
keenam, buah dada (pangolo) di malam
Rabu; dan
ketujuh, ulu hati (ulu ati) di malam Kamis.
Ketujuh pusat rangsangan itu adalah
bagian dari dua belas sensasi seksual
perempuan.
"Efek rangsangan terbaik bila dilakukan
pada rangkaian titik peka itu, diraba, lalu
selalu diiringi ciuman, sebelum masuk ke
tahap penetrasi, yang diikuti beberapa
mantra dalam bahasa Arab adan Lontara.
...........................................................................................................................
Hadiah Pernikahan Terindah
KITAB persetubuhan Bugis, Assikalabineng,
punya ciri khas tersendiri. Dia adalah
pergulatan pengetahuan, pengalaman, dan
spiritualitas masyarakat Bugis soal puncak
kebudayaan yang amat bersifat private
(pribadi).
India mengenal Kama Sutra yang
merupakan saripati pengetahuan
persetubuhan dari kitab Vatsyayana. Meski
belakangan kama sutra lebih menonjolkan
lelaku atau gaya seksual, tapi sebenarnya
ini adalah "gaya hidup" raja-raja untuk
mencapai moksa.
Kebudayaan Jawa juga mengenal Serat
Centhini dan Serat Nitimani karena
terpengaruh kebudayaan Islam, lelaku ini
untuk mencapai makrifat.
Sebagai salah satu dari beberapa suku
bangsa yang memiliki aksara sebagai
medium, Lontara Assikalaibineng, bisa
disejajarkan dengan kitab-kitab dari bangsa
berbudaya tinggi lainnya.
Kita Assikalabineng menempatkan laki-laki
sebagai inisiator. Ajaran, tata cara, syarat,
atau mantra dalam bahasa Arab atau
Lontara, menempatkan pria sebagai tokoh
sentral.
Tak mengherankan, ajaran ini hanya
diajarkan kepada lelaki yang akan menikah
atau sudah menikah. Ajaran ini tidak sama
sekali diperuntukkan bagi lelaki yang
belum dewasa.
Masyarakat Bugis amat meyakini bahwa
seorang suami yang akan menikah di masa
"pingitan" sudah membekali diri dengan
pengetahuan dan kebijaksanaan
Assikalaibineng.
Pengetahuan inilah yang
mengkonfirmasikan, betapa berharganya
malam pertama bagi laki-laki. Dengan ilmu
dan lelaku ini, mempelai pria bisa
mengetahui, apakah istrinya masih virgin
atau jusrtu akan membuatnya malu.
Ritual Agama
Kitab ini menempatkan hubungan seks di
malam pertama dan malam-malam
selanjutnya sebagai ritual keagamaan,
bukan wadah pelampiasan nafsu, atau
menghabiskan masa honeymoon.
Buku ini, seperti ajaran Islam, mengajarkan
bagaimana menahan dan mengatur hawa
nafsu dengan prosedur teratur dan zikir.
Di halaman 140, misalnya, diajarkan tata
cara awal sebelum melakukan hubungan
seks. Pasangan mandi secara terpisah, lalu
berwudu dan melakukan tafakkur dalam
salat sunnah. Buku ini faham betul, bahwa
hasrat pria selalu lebih besar, namun paling
cepat "terlampiaskan". Proses ini, diebut
dengan "nikah batin". Istilah ini merujuk
kepada pengelaman anak mertua nabi
Muhammad, Ali dengan Fatimah.
"..bila kamu dan istrimu pertama kali
berhubungan, maka tafakurlah lebih dulu.
Pusatkan mata hatimu, lihatlah dirimua
sebagai Alif , dan istrimu sebagai huruf Ba."
Lalu peganglah lengannya lalu ucapkan
salam berbunyi, Assaalamu alaikum, Ali
memegang, Fatimah dipegang. Apabila
kamu memegang tangannya maka ucapkan
syahadat. Ucapkan dalam hati atau Jubril
menikahkan saya, Muhammad Wali saya,
wali saksi saya, atas kehendak Allah taala,
kunfayakun. Lalu mulailah dengan ciuman,
dan ...... "
Nikah Batin
Konsep nikah bathin ini adalah amalan dan
ajaran tasawwuf dalam peristiwa
Assikalaibineng. Proses ini adalah
penyatuan unsur lahiriah dan bathiniah
antara lelaki dan perempuan. Dalam kitab
ini, disebut penyatuan eppa sulapa.
Penyatuan tubuh dengan tubuh, hati
dengan hati, nyawa dengan nyawa, dan
rahasia dengan rahasia.
Dengan, konsep nikah batin inilah yang
merupakan klimaks dalam konteks
spiritualitas manusia dalam hubungan
seks, atau "tassawuf seks".
Dan inilah, yang menyebabkan kenapa para
bangsawan dan orang berilmu Bugis-
Makassar dalam pesta perkawinannya
biasanya memakan waktu persiapan yang
lama.
Kitab Assikalaibaineng adalah ilmu yang
ditunggu-tunggu atau hadiah perkawinan
berharga bagi pria dewasa yang segera ke
pelaminan dan akan mempraktikkannya di
malam pertamanya.
.......................................................................................................................
Mengukur Kejantanan dari Hembusan Nafas
Assikalaibineng secara harfiah berarti cara
berhubungan suami istri. Akar kata serupa
juga dipakai masyarakat petani sawah di
awal masa tanam.
Karena padi dan sawah diibaratkan istri,
maka suamilah diberi otoritas untuk
menggarap dan menanam.
Karena ajaran lahir di masa kuatnya
paternalistik dan belum ada gerakan
persamaan gender, makanya ajaran Kitab
Persetubuhan Bugis ini lebih banyak
ditujukan kepada suami. Kitab ini paham
betul emosi perempuan dan karena
perasaan malunya mereka amat jarang
menjadi inisiator.
Inilah yang sekaligus menjelaskan
mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks
ala Bugis-Makassar ini diajarkan terbatas ke
calon mempelai pria, memilih momentum
beberapa hari sebelum akad nikah.
Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan
salat sunah lalu tafakur bersama yang
disebut nikah batin, maka sampailah pada
tahapan lelaku praktis, cumbu rayu,
penetrasi, dan masa pascaberhubungan.
Karena konsep Assikalaibineg
mengedepankan ideologi dan tata krama,
disarankan agar sebelum aktivitas
penetrasi dimulai dilakukan dalam satu
sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.
Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan
Christian Pelras dalam bukunya, Manusia
Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang
memiliki sarung khusus yang bisa memuat
sepasang suami istri.
Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat
di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.
Buku ini menggunakan istilah makkarawa
(meraba) dan manyyonyo (mencium)
untuk tahap foreplay.
Ini dengan asumusi pihak pria sudah
mengetahui 12 titik rangsangan, dan
rangkaian mantra (paddoangeng).
Meraba lengan adalah titik pertama yang
disarankan dikarawa, sebelum meraba atau
mencium titi-titik lainnya. Pele lima
(telapak tangan), sadang (dagu),
edda' (pangkal leher), dan cekkong
(tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam
buku ini direkomendasikan di-karawa dan
dinyoyyo di tahap awal foreplay.
Setelah bagian badan tubuh, mulailah
masuk di sekitar muka.
Titik "rawan" istri dibagian ini disebutkan;
buwung (ubun-ubun), dacculing (daun
telinga),
lawa enning (perantara kening dia atas
hidung),
lalu inge (bagian depan hidung).
Di titik ini juga disebutkan, tahapan di
bagian badan sebelum penetrasi langsung
adalah
pangolo (buah dada) dan
posi (pusar).
Dalam foreplay berupa makkarawa dan
manyonyyo ini, buku menyarankan tetap
tenang dan mengatur irama naffaseng
(nafas).
Karena kitab persetubuhan ini sangat
dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al'jima atau
ajaran berhubungan seks suami istri dalam
syariat Islam, maka proses menahan nafas
itu direkomendasikan dengan melafalkan
zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah
Taala.
Apakah melafalkan zikir itu bersuara?
Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam
bahasa Bugis itu dilafalkan dalam hati.
Dalam komentar penulis buku
ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria
banyak terjadi karena pikiran suami terlalu
fokus ke pelampiasan untuk mencapai
klimaks.
Perlu diketahui, seperti ajaran agama
Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti
buku-buku lain yang mengajarkan gaya
dan teknis bersenggama dan
melampiaskan nafsu belaka.
Laiknya ibadah, inti dari ajaran
Assikalibineng adalah mengelola nafsu
birahi ke arah yang lebih positif dan
bermanfaat secara spiritualitas.
Bukankah seperti kata Nabi Muhammad
SAW usai memenangkan Perang Badar,
kepada sahabatnya yang bersuka, diperi
peringatan, bahwa Perang Badar belum
ada apa-apanya.
Perang terbesar manusia Muslim adalah
bagaimana menahan hawa nafsu.
Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh
manusia secara pribadi adalah nafsu birahi
setelah nafsu ammarah (emosi kejiwaan).
Di bagian lanjutan tulisan ini, nantinya akan
mengulas beberapa lafalan teknik menahan
nafas.
Namun, bagian lain halaman buku itu juga
diberikan tips parktis untuk mengetahui
apakah seorang suami siap berhubungan
seks atau tidak, maka disarankan bagi pria
untuk mengangkat tangan kirinya, lalu
menghembuskan nafas dari hidung.
Jika nafas yang keluar dari lubang hidung
kanan lebih kuat berhembus, maka
pertanda kejantanan yang bangkit.
Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih
kuat, maka sebaiknya sang suami menunda
lebih dulu (hal 141).
".. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas
hidung yang lemah dan kuat berkaitan
langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau
kejantanan seorang pria...".
..................................................................................................................
Daerah G-Spot Ala Bugis
Muhlis Hadrawi, penulis buku ini,
senantiasa mengingatkan di bagian awal,
tengah, dan mengunci di akhir bab
tulisannya, bahwa Assikalaibineng
bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis
sebagai wujud paling alamiah sebagai
makhluk saja.
Penulis menggunakan istilah tasawupe'
allaibinengengnge untuk menjelaskan
kedudukan persetubuhan yang lebih dulu
disahkan dengan akad nikah dan
penegasan kedudukan manusia yang
berbeda dengan binatang saat melakukan
persetubuhan.
Ini juga sekaligus wujud penghormatan
dan menjaga martabat keluarga dalam
kerangka mendekatkan diri kepada Allah
(hal 123).
Pada bagian awal bab tata laku hubungan
suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari
tujuh manuskrip Assikalaibineng yang
menjadi rujukan utamanya menulis buku
ini.
Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun
tata cara hubungan seks untuk suami-istri
sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina
Ali dan Fatimah.
Muhlis memulainya dengan kisah
perbincangan tertutup Ali dan istrinya,
yang juga putri Nabi, di tahun ketiga
pernikahan mereka.
Perkawinan keduanya menghadapi satu
masalah sebab Ali belum mengetahui
dengan benar bagaimana tata cara
menggauli Fatimah.
"Kala itu," tulis Muhlis, "Fatimah
mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali,
"Apakah kamu mengira baik apabila tidak
menyampaikan titipan Tuhan?"
Ali kontan merasa malu dan sangat
bersalah. "Ali mulai sadar kalau ia belum
memberikan apa yang menjadi keinginan
Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta
Fatimah memberitahu keinginan Fatimah
dan memintanya untuk mempelajarinya."
"Fatimah pun merekomendasikan
Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak
Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad
dan selanjutnya terjadilah transfer
pengetahuan dari bapak mertua kepada
anak menantu."
Transfer ilmu atau proses makkanre guru
seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-
Makassar, khususnya keluarga yang
mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.
Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa
lelaku dan zikir Assikalaibineng tak
terlambat untuk dipelajari.
Memang idealnya, tata laku hubungan
Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa
nikah, namun bagi mereka yang ingin
mengamalkannya hanya perlu
membulatkan tekad, untuk mengubah cara
padangnya, bahwa hubungan suami-istri
versi Islam yang terangkum dalam lontara
ini, berbeda dengan literatur, hasil
konsultasi, atau frequent ask and question
(FAQ) soal seks yang selama ini sumber
dominannya dari ilmu kedokteran Barat.
Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi
Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini
menyajikan laku zikir untuk mengiringi
gerakan seksual dari pihak suami.
"lelaku zikir ini menjadi penyeimbang
nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar."
Teknik mengatur napas adalah inti dari
ketahanan pihak suami.
Untuk menjaga endurance napas suami
agar istrinya bisa mencapai orgasme,
misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak
masuk urapa'na (vagina) disarankan
membaca lafal (dalam hati) Subhanallah
sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.
"Narekko mupattamamai kalammu, iso'i
nappasse'mu".
Sebaliknya, jika menarik zakar, maka
hembuskanlah napasmu (narekko
mureddui kalamummu,
muassemmpungenggi nappase'mu), dan
menyebutkan budduhung.
Bahkan bisa dibayangkan karena babang
urapa'na (pintu vagina) perempuan ada
empat bagian, maka di bagian awal
penetrasi, disarankan hanya memasukkan
sampai bagian kepala kalamummu lalu
menariknya sebanyak 33 dengan tarikan
napas dan disertai zikir, hanya untuk
menyentuh "timungeng bunga
sibollo" (klitoris bagian kiri).
Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan
zikir dalam hati saat bersetubuh akan
sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah
sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti
tarikan napas akan membuat daya tahan
suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)
"Mmupanggoloni kalamummu, mubacasi
iyae/ya qadiyal hajati mufattikh
iftahkna/.....! Pada ppuncu'ni
katauwwammu pada'e tosa mpuccunna
bunga'e (sibolloe)/tapauttmani'
katawwammu angkanna se'kkena, narekko
melloko kennai babangne ri atau, lokkongi
ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona
makkunraimmu, majeppu mukennai ritu
atau...., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo
tellu/subhanallah../"
Artinya, "....arahkan zakarmu, dan bacalah
ini/Ya qadiyyal hajati mufattikh
iftakhna/....kemudian cium dadanya,. lalu
naikkan panggulnya, ... ketika itu mekarlah
kelaminnya layaknya mekarnya kelopak
bunga, masukkan zakarmu hingga batas
kepalanya, dan bacalah subhanallah 33
kali.... (hal 144).
Penggunaan kata timungeng bunga sibollo
sekaligus menunjukkan bagaimana para
orang Bugis-Makassar terdahulu
mengemas ungkapan-ungkapan erotis
dalam bentuk perumpamaan yang begitu
halus dan memuliakan kutawwa
makkunraie (alat kelamin perempuan), dan
ungkapan kalamummu (untuk zakar).
.............................................................................................................................
Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing
Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang
terkenal cerdas, termasuk seorang suami
yang mempelajari dan mengamalkan
ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini
dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone
Ke-31 ini yang secara rapi
terdokumentasikan di Perpustakaan
Nasional RI di Jakarta.
Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi
satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis
Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng,
Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan
Penerbit Ininnawa, Makassar (2008).
Secara teknis buku ini terdiri dari 189
halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari
transliterasi asli "kitab assikalaibineng"
lontara ke dalam abjad melayu berikut
terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab
tassawupe allaibainengengeng yang
merupakan peninggalan leluhur Bugis-
Makassar yang teleh terpengaruh dengan
ajaran Islam.
Karena buku ini merupakan disertasi untuk
meraih gelar magister bidang filologi (ilmu
tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan
sejarah suatu bangsa dalam bentuk
manuskrip asli) di Universitas Indonesia,
maka 51 halaman di bagian awal lebih
banyak mendiskripsikan latar belakang,
asal usul naskah, dan metodologi
penelitian.
Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku
Hubungan Suami Istri, isinya lebih
merupakan ringkasan, analisis, sekaligus
komentar penulisnya, yang diperkaya
dengan literatur penunjang. Namun, bagi
pembaca awam yang tidak lagi mengerti
Bahasa-bahasa Bugis terhadulu, justru bab
akhir inilah yang membatu mendapatkan
intisari dari manuskrip tua, yang hingga
awal decade 2000, masih beredar di
kalangan elite terbatas, masyarakat kita.
Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi
yang kini dimuseumkan di Perpustakaan
Nasional, tulis Muhlis, mempertegas
sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan
ulama/cendekia pesantren, pengetahuan
ini juga milik bangsawan dan raja-raja
Bugis Makassar.
Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis,
Kitab Persetubuhan Bugis, juga
mengajarkan sistem rotasi waktu yang baik
untuk berhubungan, dan tata cara
perawatan tubuh bagi pihak suami dan
istri. Tata laku dan tahapan ini semua
dilakukan dalam satu rangkaian dan satu
tempat
Untuk melangsingkan tubuh dan
memperhalus kulits istri misalnya, suami
tak perlu repot-repot menyisihkan uang
dan mengantar pasangannya ke pusat
kecantikan tubuh. Seperti spa center,
steam room Jacuzzi, atau membayar
kapster salon.
Di kitab mengajarkan rutinitas
kesederhanaan namun tetap dalam bingkai
kerahasiaan, tidak diketahui oleh orang
banyak.
Untuk menjaga kebugaran tubuh,
assikalaibineng misalnya
merekomendasikan di kamar tidur dan
massage (pijitan) rutin pasca-bersetubuh.
Sedangkam untuk perawatan kulit, juga tak
perlu cream pelembab atau whitening
motion,
Kitab ini mengajarkan manfaat
penggunaan "air mani" sisa yang biasanya
meleler di bagian luar babang
urapa' (vagina) istri dan kalamummu
(zakar) pihak suami dan sejumlah mantra
bugis-Arab, secara subtansial lebih
merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-
sayang suami kepada istri pasca-
berhubungan,
Kitab ini menyindir perilaku suami yang
langsung tidur lelap atau langsung
meninggalkan kamar tidur, sementara istri
belum mendapatkan kepuasan, biasanya
akan membuat wanita terhina. Di kitab ini.
Perlakuan itu diistilahkan dengan,
teretta'na narekko le'ba mpusoni (adab
setelah persetubuhan).
"(h.75) . Rekko mangujuni ilao manimmu
takabbereno wekka eppa/urape'ni alemu,
nupassamangi makkeda; alhamdulillahahi
nurung Muhammad habibillah./ nareko
purano mualai wae, muteggoi bikka tellu,
nareko purano, mualani minyak pasaula,
musaularenggi kutawwamu apa
napoleammengi dodong mupogaukangeki
paimeng/Apa' nasenggao manginggi'/ Aja
mu papinrai gaumu denre purai mupogau,
iya na ritu riyaseng temanginggi (hal. 157).
Kira, kira artinya bebasnya, jika air manimu
sudah keluar maka bertakbirlah empat kali.
Kemudian turunkan tubuhmu dan ucamkan
hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad.
Jika engkau sudah melakuklannya, maka
lakukanlah perbuatan yang menyenangkan
perasaanya. (h.76) sebagai tanda sayang.
Jika usai minumlahair dengan tiga tegukan,
dan ambilah minyak gosokdan urutlah
kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali
dan agar jagan sampai kalu lelah. Janganlah
kamu mengubah perbuatanmu seperti
yang kamu lakukan sebelumnya,
demikianlah maka kamu akan disebut lelaki
yang tidak merasa bosan dengan istrinya,"
Sedangkan tahapn selanjutnya, usai
berhubungan, ambilah air mani dari liang
fajri yang sudah bercampur dengan cairan
perempuan. Letakakkanlah di telapak
tangan mu, air mani dicampur dengan air
liur dari langit-langit (sumur qalqautsar)
suami, sebelum mengusap air mani
tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu
membaca doa dengan lafalan bugis,
"waddu waddi, mani-manikang". Mani
riparewe, tajang mapparewe, tajang
riparewekki..." (hal.158)
Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke
titik-tikik 12 rangsangan agar tidak
kembeli berkerut, atau memijit bagian
panggul dengan tulang kering di ujung
bawah jari kelingking, untuk membuat
tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking..
.............................................................................................................................
Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5
Subuh
TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan
menjadi hal yang sangat penting dan
mendapat tempat khusus dalam
Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak
suami menjadi faktor kunci.
Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul
bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat
menyelesaikan hubungan ketimbang
perempuan. Menenangkan diri, sabar,
konsentrasi, dan memulai dengan kalimat
taksim amat disarankan sebelum foreplay.
Manuskrip Assikalaibineng amat
mementingkan kualitas hubungan badan
ketimbang frequensi atau multiorgasme.
Assikalaibineng adalah ilmu menahan
nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi
dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Namun pada intinya, Assikalaibineng
bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk
berhubungan badan, lebih dari itu
assikalaibnineng adalah tahapan awal
untuk membuat anak yang cerdas,
beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari
ajaran ini adalah bagaimana membuat
generasi pelanjut yang sesuai tuntutan
agama.
(h.151) Banyak teori seksualitas
mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi
sebagai puncak kenikmatan seksual bagi
laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan.
Perbandingannya delapan kali untuk suami,
dan satu kali bagi istri.
Bahkan, dapat saja seorang istri tidak
pernah sekalipun merasakan orgasme
seteles sekian kali, bahkan sekian lama
hidup berumah tangga. "Assikalaibaineng,
mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak
suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak
mau tahu dengan lelaku seks yang
mengedepankan kualitas."
Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi
ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala
Lumpur, dalam catatan kaki di halaman
164, Muhlis mengomentari "...Hampir 99
persen lemah syahwat (kelemahan nafsu
jantan) adalah timbul dari sebab-sebab
kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter
asal Amerika bahkan pernah melakukan
penelitian, dari 1400 lelaki yang didata
mengidap penyakit lemah syahwat, hanya
tujuh yang lemah karena sebab-sebab
jasmani, yang lainya karena sebab rohani
atau psikologis,"
Dia melanjutkan, "kejiwaanlah yang
menyebabkan faktir terbesar sekaligus
penggerak seseorang melakukan hubungan
seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi
hanya merupakan alat pemuasan bagi
melaksanakan kehidupan kejiwaan
seseorang.
Sedangkan teknik mengelola nafas dengan
zikir, cara penetrasi, dan menutup
hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik
rangsangan perempuan, dan menemani
istri tertidur dalam satu selimut atau
sarung merupakan bentuk akhir menjaga
kualitas hubungan.
Pengetahuan praktis seperti waktu yang
baik dan kurang baik untuk berhubungan
badan juga secara rinci diatur dalam kitab
ini. "Tidak sepanjang satu malam menjadi
masa yang tepat untuk
bersetubuh." (hal.166)
Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh
dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti
warna kulit anak. Untuk memperoleh anak
yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan
setelah isya. Untuk anak yang berkulit
hitam, persetubuhan dilakukan tengah
malam (sebelum shalat tahajjud), anak
yang warna klitnya kemwerah-memerahan
dilakukan antara Isya dan tengah malam.
Sedangkan untuk anak berkulit putih
bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan
memperkirakan berakhirnya masa terbit
fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya
dilakukan usai solat subuh, antara pukul
05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di
Indonesia. Ini sekaligus supaya
mempermudah mandi junub.
Secara khusus kitab ini adalah menuntut
pihak suami sebagai inisiator dan
mengingatkan kepada istri, agar
menyesuaikan waktu tidur dengan
keinginan melakukan persetubuhan. Sebab
ternyata, persoalan waktu amat
berdampak secara psikologis maupun
biologis, terutama pihak istri.
Teks assikalaibineng secara spesifik
menyebutkan adanya kaitan waktu tidur
istri dengan ajakan suami bersetubuh.
Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan,
"bila suami mengajak istri berhubungan
saat menjelang tidur, maka ia merasakan
dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang
(ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri).
Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas,
lantas suami membangunkannya untuk
bersetubuh, maka istri akan merasa
diperlakukan laiknya budak seks, yang
disitilahkan dengan ripatinro jemma'.
Soal bangun membangunkan istri yang
tidur pulas, assikalaibineng juga
memberikan cara efektif. Kitab ini
sepertinya tahu betul, bahwa jika usai
orgasme sang istri biasanya langsung
tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih
sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa
mengambil air, lalu mercikkan satu dua
tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun,
lelaki memberikan pijitan awal di antara
kening, mata, menciumim ubun-ubun,
memijit bagian panggul lalu bercakap-
cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri
akan selalu diingat dan membuatnya.
selesai
No comments
Post a Comment