Tingkatan Sabar Bagi Kaum Sufi
More Photos
Tingkatan Sabar Bagi Kaum Sufi
Al-Syibli, seorang sufi, ditanya oleh seorang pemuda mengenai sabar.
”Sabar macam apa yang paling sulit?” tanya pemuda itu.
”Sabar demi Allah,” jawab Al-Syibli.
”Bukan,” tolak si pemuda.
”Sabar dalam Allah,” jawab Al-Syibli.
”Bukan,” katanya.
”Sabar dengan Allah,” ucapnya.
”Bukan,” bantahnya. ”
Terkutuklah kamu, sabar macam apa itu?” kata Al-Syibli jengkel.
”Sabar dari Allah,” jawab pemuda itu.
Al-Syibli menangis, lalu pingsan.
Dialog ini menjelaskan kepada kita mengenai tingkatan sabar bagi kaum sufi. Sabar dari Allah (ash-shabr ‘an Allah) paling sulit ditempuh dari tingkatan sabar lainnya. Untuk mencapai maqam ini, Ali bin Abi Thalib selalu berdoa, ”Ya, Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku! Sekiranya aku bersabar menanggung siksa-Mu, bagaimana aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?!”
Dalam literatur tasawuf, sabar (sabr) salah satu maqam, selain zuhd, ma’rifah, mahabbah, tawbah, wara,’ faqr, tawakkal, dan ridha. Menurut Nashiruddin Al-Thusi dalam Manazil Al-Sa’irin, ”Sabar membuat batin tidak sedih, lidah tidak mengeluh, dan anggota badan tidak melakukan gerakan-gerakan.”
Sedang bagi orang awam seperti kita, ada tiga tingkatan sabar seperti dijelaskan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Kafi. Ali bin Abi Thalib berkata, ”Rasulullah bersabda, ‘Ada tiga macam sabar: sabar ketika menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak membuat maksiat.
Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enam ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti derajat antara dalamnya bumi dan ‘Arsya. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh ‘Arsy.”
Sabar ketika menderita berarti kita tabah menghadapi musibah dan bencana yang ditimpakan oleh Allah (Q.S. 2:155-57), sebagai ujian untuk menyadarkan kita. Sabar dalam ketaatan berarti kita menahan kesusahan dalam menjalankan ibadah. Contoh konkret, para calhaj harus bersabar ketika pemberangkatannya tertunda. Sabar dalam musibah adalah sumber ridha atau puas menerima takdir Allah. Sabar dalam ketaatan merupakan sumber keakraban dengan Allah. Dan, sabar tidak berbuat dosa adalah sumber ketakwaan diri kepada Allah.
Karomah bukan derajat luhur
“Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya.
Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.
“Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat. “Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pengetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya. Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya,
“Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan,
“Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.” Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistemewaanya. Yang istimewaan adalah Istiqomah.
Karena itu para Sufi menegaskan,
“Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat karomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd al-Baghdady
pernah mengingatkan, “betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim
(Mursyid Thoriqoh Zadziliyyah) pernah mengatakan, bahwa : “ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya”.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur, “Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…”
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali: “Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…” “Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…” “Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..” “Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…” Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.
No comments
Post a Comment