IBNU AL-ARABI
IBNU AL-ARABI
Muhyiddin ibnu al-Arabi adalah salah seorang Sufi di Abad pertengahan, kehidupan dan tulisan-tulisannya sekarang banyak mempengaruhi pemikiran di Timur maupun Barat. Oleh masyarakat Arab, ia dikenal sebagai Syeikh al Akbar, ‘Syeikh Agung’, sedang orang-orang Kristen Barat melalui terjemahan langsung mengenalnya; ‘Doktor Maksinius’. Ia wafat pada abad ketigabelas.
DARI MANA DATANGNYA GELAR?
Ja’far ibnuYahya dari Lisabon memutuskan menjumpai Guru Agung Sufi, ia pun melakukan perjalanan dari Mekkah sebagaimana pemuda lainnya. Di sana ia bertemu dengan orang asing misterius, seorang laki-laki mengenakan jubah hijau, yang berkata kepadanya sebelum ia berbicara apa pun:
“Engkau mencari Syeikh Agung, Guru yang sangat masyhur. Tetapi engkau mencarinya di Timur ketika ia berada di Barat. Dan ada sesuatu hal yang tidak benar dalam pencarianmu.”
Ia mengirim Ja’far kembali ke Andalusia, untuk menjumpai seseorang bernama Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Hatim-Tai.
“Dia itulah Guru Agung.”
Tanpa mengatakan kepada siapa pun mengapa ia mencarinya, Ja’far menemukan keluarga Tai di Murcia dan bertanya kepada putranya. Ja’far tahu bahwa sesungguhnya ia (Guru Agung) berada di Lisabon ketika dirinya berangkat pergi. Akhirnya ia menemukannya di Seville.
“Di sana,” ujar seorang pendeta, “Itulah Muhyiddin.” Ia menunjuk kepada seorang pelajar muda, membawa sebuah kitab mengenai Tradisi (Hadis), tampak tergesa-gesa keluar dari ruang kuliah.
Ja’far sangat bingung, tetapi dihentikannya pemuda tersebut dan bertanya, “Siapakah Guru Agung?”
“Aku membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan itu,” jawabnya.
“Apakah engkau Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai?” tanya Ja’far sedikit meremehkan.
“Benar.”
“Jika demikian aku tidak membutuhkanmu.”
Tigapuluh tahun kemudian di Aleppo, ia melihat Ja’far memasuki ruang kuliah Syeikh Agung, Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai. Muhyiddin melihatnya ketika masuk, dan berkata:
“Sekarang aku siap menjawab pertanyaanmu dulu, sebenarnya tidak perlu ada pertanyaan itu. Tigapuluh tahun lalu Ja’far, engkau tidak membutuhkan aku. Apakah engkau masih tidak membutuhkan diriku? Orang Berjubah Hijau mengatakan ada sesuatu yang salah dalam pencarianmu. Yaitu waktu dan tempat.”
Ja’far ibnu Yahya lantas menjadi salah seorang murid al-Arabi yang terkemuka.
IMPIAN DI MOSUL
Seorang pencari ayat suci yang memberi pengalaman batiniah yang penting, masih menderita karena kesulitan menafsirkannya secara konstruktif Ia minta petunjuk kepada Syeikh Agung Ibnu al-Arabi tentang mimpi yang sangat mengganggunya ketika berada di Mosul, Iraq.
Ia melihat Guru Ma’ruf yang luhur dari Karkh seolah duduk di tengah-tengah api Neraka. Bagaimana mungkin Ma’ruf yang agung berada dalam Neraka?
Apa yang kurang dari daya permahamannya, adalah keadaannya sendiri. Ibnu al-Arabi, dari permahamannya terhadap si Pencari jati diri dan kemanusiaannya, menyadari bahwa intisarinya adalah melihat Ma’ruf dikelilingi api. Api merupakan penjelasan tentang bagian jiwa yang belum dikembangkan, sebagai sesuatu dimana Ma’ruf yang agung terperangkap. Makna sesungguhnya adalah rintangan antara keberadaan Ma’ruf dan keberadaan si Pencari jati diri.
Jika si Pencari (jati diri) ingin mencapai suatu keadaan yang setara dengan Ma’ruf, pencapaian yang ditandai dengan sosok Ma’ruf, maka ia harus melalui satu tahap yang dalam mimpinya digambarkan dengan lingkaran api. Dengan penafsiran ini si Pencari dapat memahami situasinya, dan menunjukkan pada dirinya apa yang masih perlu dilakukan.
Kesalahannya adalah menganggap gambaran Ma’ruf adalah Ma’ruf, dan api adalah api Neraka. Bukan sekadar kesan (Naqsy) tetapi penggambaran yang benar terhadap kesan tersebut, seni yang disebut Tasvir (pemberian makna terhadap gambaran) itulah fungsi seorang Pembimbing yang Benar.
TIGA BENTUK PENGETAHUAN
Ibnu al-Arabi dari Spanyol, menginstruksikan para pengikutnya dalam keputusannya yang paling kuno ini:
Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama, pengetahuan kecerdasan otak, yang sesungguhnya hanyalah keterangan dan kumpulan kenyataan, dan pemanfaatan sampai pada pengertian-pengertian atau rencana para cendekiawan lebih jauh. Ini disebut ajaran kecendekiawanan (intelektualisme).
Kedua, pengetahuan tentang keberadaan, meliputi perasaan yang emosional (renjana) dan kejanggalan, dimana manusia menganggap bahwa ia merasakan sesuatu tetapi tidak dapat memanfaatkannya. Ini disebut (emosionalisme).
Ketiga, pengetahuan sejati yang disebut Pengetahuan atas Realitas. Pada bentuk ini, manusia dapat merasakan apa yang benar, sejati, melampaui batas-batas pemikiran dan perasaan. Para sarjana dan ilmuwan terpusat pada bentuk pertama pengetahuan. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua. Lainnya memadukan keduanya, atau memanfaatkan salah satu sebagai pilihan.
Tetapi mereka yang mencapai kebenaran, adalah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya sendiri dengan realitas berada di dua bentuk pengetahuan tersebut. Mereka inilah kaum Sufi sejati, kaum Darwis dan mengalami Pencapaian.
KEBENARAN
Ia telah membingungkan semua orang yang belajar Islam,
Setiap orang yang mempelajari Mazmur,
Setiap Rabbi Yahudi,
Setiap pendeta Kristen.
CINTA YANG LEBIH TINGGI
Pecinta awam memuja gejala kedua.
Aku mencintai Yang Sejati.
CINTA YANG KHUSUS
Ketika bulan penuh muncul pada malam hari, menampakkan wajahnya di tengah rambut.
Dari penderitaan muncul gambaran dirinya; tangis air mata di pipi; seperti bunga bakung hitam menumpahkan air mata di atas mawar
Kecantikan hanyalah kesunyian: sifatnya lah yang berlimpah.
Bahkan memikirkan bahaya kehalusannya (kendati terlalu kasar merasakan dirinya). Jika demikian, Bagaimana bisa ia terlihat dengan benar oleh alat tubuh yang janggal seperti mata?
Keajaibannya tak tertangkap nalar. Ia melampaui aneka penglihatan.
Ketika penjelasan mencoba menjabarkan dirinya, ia menguasainya.
Kapan pun berupaya, penjelasan menjadi terusir Karena hal itu seperti mencoba untuk membatasi.
Jika seseorang mencari cita-citanya yang lebih rendah (untuk merasakan cinta seperti pada umumnya), selalu ada orang lain yang tidak akan melakukannya.
PENCAPAIAN SEORANG GURU
Orang berpikir bahwa seorang Syeikh mestinya menunjukkan keajaiban-keajaiban dan menunjukkan pencerahan. Syarat seorang guru, betapapun, hanyalah bahwa ia harus memiliki semua yang dibutuhkan murid.
WAJAH AGAMA
Sekarang aku disebut rusa di padang pasir,
Sekarang seorang pendeta Kristen,
Sekarang seorang Zoroaster
Kekasih ada Tiga, tetapi Satu:
Yakni tiga dalam kenyataannya satu.
HATIKU DAPAT MENERIMA SEGALA RUPA
Hatiku dapat menerima segala rupa. Hati berubah-ubah sesuai kesadaran yang paling dalam. Bisa jadi berbentuk seperti rusa padang rumput, biara para rahib, patung pemujaan, pengunjung (peziarah) Ka’bah, Lembaran Taurat untuk ilmu pengetahuan tertentu, lembaran-lembaran al-Qur’an.
Tugasku adalah hutang terhadap Cinta. Dengan bebas dan sukarela aku menerima apa pun yang terlarang untukku. Cinta seperti cinta seorang kekasih, kecuali sebagai pengganti mencintai gejala, aku mencintai yang Hakiki. Agama, kewajiban, adalah milik dan keyakinanku. Tujuan cinta manusia adalah menunjukkan yang terakhir, cinta sejati. Inilah cinta yang sadar.
Lainnya adalah jenis yang membuat manusia tidak menyadari dirinya sendiri.
BELAJAR DENGAN ANALOGI
Ada alasan bahwa Ibnu al-Arabi menolak berbicara dalam bahasa filosofis dengan setiap orang, bodoh maupun terpelajar. Dan tampaknya orang-orang beruntung tetap berteman dengannya. Ia mengajak bepergian, memberi mereka makan, menghibur mereka dengan bercerita ratusan pokok pembicaraan.
Seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana Anda mengajar apabila Anda tampaknya tidak pernah memberi pengajaran?”
Ibnu al-Arabi menjawab, “Dengan kias.” Dan ia menceritakan perumpamaan ini.
Suatu ketika ada seorang laki-laki memendam uangnya di bawah beberapa pohon demi keamanan. Ketika ia datang kembali, uangnya hilang. Seseorang telah membongkar akar dan membawa emasnya.
Ia kemudian menemui orang bijak dan menceritakan masalahnya.
“Saya yakin tidak ada harapan lagi menemukan kembali harta itu.” Orang bijak tersebut menyarankan agar ia kembali lagi setelah beberapa hari. Sementara itu, si orang bijak memanggil semua tabib yang ada di kota, dan bertanya kepada mereka, apakah pernah memberi resep obat akar-akaran kepada seseorang. Salah seorang mengaku telah memberikannya kepada seorang pasien. Maka dipanggillah pasien tersebut, dan ternyata ia adalah pemilik uang itu sendiri. Ia mengambil barang tersebut dan mengembalikannya kepada pemilik sebenarnya.
“Dengan cara yang sama,” ujar Ibnu al-Arabi, “Kutemukan apa keinginan murid yang sesungguhnya, dan bagaimana ia dapat belajar. Dan kuajarkan.”
ORANG YANG MENGETAHUI
Seorang Sufi yang mengetahui Kebenaran Abadi, bertindak dan berbicara dengan mempertimbangkan pemahaman, keterbatasan dan prasangka dominan yang tersembunyi pada pendengarnya. Bagi Sufi, beribadat berarti pengetahuan. Melalui pengetahuan ia memperoleh penglihatan.
Sufi meninggalkan tiga ‘aku’. Ia tidak mengatakan ‘untukku’, ‘denganku’ atau ‘milikku’. Ia tidak boleh menghubungkan segala sesuatu dengan dirinya. Sesuatu yang tersembunyi dalam tempurung tak berguna. Kita sekadar mencari sasaran yang kurang layak, dengan tidak memperhatikan nilai tak terbatas yang sangat berharga.
Makna kemampuan menafsir adalah, bahwa seseorang dapat dengan mudah membaca sesuatu yang dikatakan oleh orang bijak dalam dua cara yang amat berlainan.
MENYIMPANG DARI JALAN BENAR
Siapa pun yang menyimpang dari peraturan Sufi, tidak akan memperoleh sesuatu yang bermanfaat; kendati ia mempunyai nama baik di mata masyarakat yang menggema (hingga) ke firdaus.
IBNU ARABI: ASY SYEKH AL-AKBAR
Bagi pendosa yang jahat, aku mungkin terlihat jahat. Tetapi bagi yang baik — betapa luhurnya aku.
(Mirza Khan, Anshari)
Salah satu pengaruh metafisis paling mendalam terhadap dunia Muslim maupun Kristen adalah ajaran Ibnu Arabi as-Sufi, dalam bahasa Arab disebut asy-Syekh al-Akbar (Mahaguru). Ia keturunan Hatim ath-Tha’i, yang masih termasyhur di kalangan bangsa Arab sebagai laki-laki paling dermawan yang pernah dikenal dan dalam Ruba’iyat versi FitzGerald disebutkan, “Ijinkan Hatim ath-Tha’i berseru: Pesta! “Jangan hiraukan dia!” (maksudnya karena terlalu seringnya menjamu orang-orang lain).
Spanyol telah menjadi negeri Arab selama lebih dari empat abad ketika Ibnu Arabi (dari) Murcia dilahirkan pada 1164. Diantara nama-namanya adalah al-Andalusi, dan tidak diragukan dia lah salah satu tokoh terbesar dari beberapa tokoh besar Spanyol yang pernah hidup. Secara umum diyakini bahwa tidak ada puisi cinta yang lebih besar dari karyanya; dan tidak ada seorang Sufi yang begitu mendalam menarik perhatian para teolog ortodoks dengan makna batin dari kehidupan dan karyanya.
Latar belakang Sufinya, menurut para ahli biografi, adalah bahwa ayahnya pernah berhubungan dengan Abdul Qadir al-Jilani yang agung, Sulthanul-Ikhwan (1077-1166). Ibnu Arabi sendiri disebutkan terlahir sebagai akibat pengaruh spiritual Abdul Qadir, yang meramalkan bahwa ia akan menjadi seorang dengan anugerah yang sangat luar biasa.
Ayahnya memastikan untuk memberikan pendidikan terbaik yang mungkin baginya, sesuatu yang diberikan bangsa Moor Spanyol pada waktu itu, hingga pada suatu tingkatan yang tidak tertandingi di mana saja. Ia pergi ke Lisabon, di mana ia belajar Fiqih dan Kalam. Berikutnya, ketika masih anak-anak, ia pergi ke Sevilla, di mana ia belajar al-Qur’an serta Hadis di bawah bimbingan para ulama terbesar pada masanya. Di Cordoba ia menghadiri kuliah-kuliah dari Syekh asy-Syarrat al-Kabir, dan mengkhususkan dirinya dalam jurisprudensi.
Selama periode ini, Ibnu Arabi memperlihatkan kualitas-kualitas intelek jauh melebihi mereka yang sezamannya, meskipun mereka berasal dari elite skolastik dimana dalam keluarga-keluarga semacam ini kapasitas intelektual sangatlah masyhur pada zaman pertengahan. Selama masa remajanya, di luar disiplin ketat pada sekolah-sekolah akademik tersebut, ia habiskan semua waktu dengan para Sufi, dan mulai menulis puisi.
Ia tinggal di Sevilla selama tiga dekade, puisi dan kefasihan bahasanya menempatkannya pada posisi puncak di atmosfir Spanyol yang berperadaban tinggi, begitu juga di Maroko, yang juga merupakan pusat kehidupan kebudayaan.
Dalam beberapa hal Ibnu Arabi menyerupai al-Ghazali (1058-1111). Seperti al-Ghazali, ia berasal dari sebuah keluarga Sufi, dan berpengaruh terhadap dunia Barat. Juga seperti al-Ghazali, ia sangat menguasai ajaran (ortodoks) Islam. Tetapi jika al-Ghazali pertama kali menguasai skolastisisme Islam, kemudian setelah merasa tidak cukup, ia berpaling ke Sufisme pada puncak kebesarannya; sementara Ibnu Arabi, melalui hubungan dan puisi, mempertahankan suatu hubungan berkelanjutan dengan arus Sufistik. Al-Ghazali mendamaikan Sufisme dengan Islam, menjadikan orang-orang skolastik memahami bahwa Sufisme bukan suatu bid’ah, tetapi suatu makna batin agama. Misi Ibnu Arabi adalah untuk menciptakan kesusastraan Sufi dan menyebabkannya dipelajari, hal mana masyarakat mungkin bisa memasuki semangat Sufisme — menemukan para Sufi melalui keberadaan dan ungkapannya, apa pun latar belakang budayanya.
Bagaimana proses ini bekerja, dicontohkan dalam sebuah ulasan Profesor R.A. Nicholson yang terkenal itu, yang menterjemahkan karya Ibnu Arabi, Tarjuman al-Asywaq (Penterjemah Kerinduan):
Adalah benar bahwa sebagian puisi itu tidak bisa dibedakan dari kidung cinta biasa, dan ketika melihat sebagian besar dari teks itu, sikap dari orang-orang sezaman dengan penulisnya, yang menolak untuk mempercayai bahwa karya ini memiliki suatu pandangan esoterik, adalah wajar dan bisa dipahami. Di sisi lain ada banyak bagian yang sepenuhnya bersifat mistis dan memberikan kunci pemahaman untuk bagian lainnya. Jika orang-orang yang skeptis kurang memiliki kemampuan membedakan, mereka layak memperoleh rasa terima kasih kita karena mendorong Ibnu Arabi untuk mengajari mereka. Tentu saja tanpa bimbingannya, semua pembaca yang simpatik sulit menemukan makna tersembunyi dimana kemurnian dan keindahannya yang fantastik berasal dari sebuah lagu (qasidah) Arab.1
Banyak sekali peninggalan tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sampai saat ini dikaji sekaligus diperdebatkan, dibanding para Sufi lainnya.
Sebagian tulisan Ibnu Arabi ditujukan kepada mereka yang telah memahami mitologi kuno dan disusun dengan istilah-istilah tersebut. Sebagian yang berhubungan dengan dunia Kristen berperan sebagai pembuka jalan bagi orang-orang yang mempunyai komitmen kepada Kristen. Puisi lainnya berperan memperkenalkan jalan Sufi melalui wahana puisi cinta. Tidak seorang pun bisa menjelaskan semua karyanya hanya melalui makna skolastik, keagamaan, romantik dan perlengkapan intelektual. Hal ini membawa kita pada isyarat lain dari misinya yang terkandung dalam namanya.
Menurut tradisi Sufi, misi Ibnu Arabi adalah “menyebarkan” (bahasa Arabnya adalah nasyr, NSYR) ajaran Sufi melalui pandangan kontemporer dan berhubungan dengan berbagai tradisi hidup dalam masyarakat. Pandangan tentang penyebaran ini tentu saja absah dan sesuai dengan pemikiran Sufi. Karena istilah Sufi untuk kata penyebaran (NSYR) pada waktu itu tidak dipergunakan secara umum, Ibnu Arabi menggunakan sebuah alternatif. Di Spanyol ia dikenal sebagai Ibnu Saraqa, “anak gergaji”. Akan tetapi Saraqa dengan akar kata SRQ merupakan kata lain dari gergaji yang diambil dari akar kata NSYR. Akar kata NSYR jika diubah secara normal bermakna “penerbitan, penyebaran”, dan juga bermakna “menggergaji”. Kata ini juga bermakna menghidupkan. Nama pribadi Ibnu Arabi, Muhyiddin, diterjemahkan dengan “Yang Menghidupkan Agama.”2
Dengan mengambil akar kata NSYR secara literal, seperti hampir semua sarjana melakukannya, bahkan menyebabkan seorang sejarawan yang terhormat semacam Ibnu al-Abbar menyimpulkan bahwa ayahnya adalah seorang tukang kayu. Ia hanya bisa dikatakan sebagai “tukang kayu” dalam pengertian kedua sebagaimana dikenal oleh para Sufi yang menggunakan istilah untuk pertemuan mereka, dalam menjelaskan jamaah mereka di suatu tempat bagi sejumlah orang yang tidak ingin terlihat sebagai kelompok penentang.
Sebagian pernyataan Ibnu Arabi yang diambil dari karya-karyanya sendiri sangat mengejutkan. Dalam kitab Fushushul-Hikam, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah dilihat dalam suatu bentuk material. “Pandangan tentang Tuhan dalam perempuan adalah pandangan paling sempurna”. Bagi Sufi, puisi cinta sebagaimana puisi lainnya, mampu memantulkan suatu pengalaman ketuhanan yang utuh dan koheren seraya memenuhi fungsi-fungsi lainnya. Setiap pengalaman Sufi merupakan suatu pengalaman mendalam dan mengandung ketidakterbatasan kualitatif. Bagi orang awam, satu kata hanya memiliki satu makna, atau satu pengalaman tidak memiliki sejumlah arti penting yang sama-sama valid. Keberagaman wujud merupakan sesuatu yang, meskipun ditolak oleh kalangan non-Sufi, seringkali dilupakan oleh mereka ketika membahas materi Sufi. Paling jauh mereka biasanya hanya dapat memahami bahwa ada sebuah alegori bagi mereka hanya memiliki satu makna.
Kepada para teolog yang membatasi diri pada formalisme ketuhanan, Ibnu Arabi secara terang-terangan mengatakan bahwa, “Malaikat sebenarnya merupakan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam fakultas-fakultas dan organ-organ manusia.” Tujuan Sufi adalah menghidupkan organ-organ ini.
Tanpa mempertimbangkan perbedaan antara formulasi dan pengalaman, Dante3 mengambil alih karya sastra Ibnu Arabi dan mengkristalkannya dalam suatu kerangka kerja yang mungkin sedang berlaku. Untuk melakukan hal itu, ia telah mencuri pesan Ibnu Arabi dari validitas Sufinya dan benar-benar mengabaikan Profesor Asin dengan suatu contoh abadi dari apa yang oleh pikiran modern hampir berpuncak pada perampasan gagasan. Sebaliknya, Raymond Lully mengambil alih bahan kesusastraan Ibnu Arabi, namun disamping itu menekankan arti penting latihan-latihan Sufi yang diperlukan untuk menyempumakan pengalaman Sufistik.
Ibnu Arabi yang belajar di bawah bimbingan perempuan Sufi Spanyol, Fatimah binti Waliyya, tidak diragukan bahwa ia cenderung pada keadaan-keadaan fisik tertentu; yang hal ini juga digunakan oleh para Sufi. Ia merujuk hal ini di berbagai kesempatan. Sebagian karyanya ditulis dalam keadaan “mabuk” (trance), dan maknanya tidak jelas baginya sampai setelah beberapa saat penulisannya. Ketika berumur tiga puluh tujuh tahun, ia mengunjungi Ceuta, di mana ia memperbaharui madzhab Ibnu Sabain (penasehat Kaisar Roma, Frederick). Di sana ia mengalami mimpi aneh yang ditakwilkan oleh seorang ulama masyhur. Orang alim itu mengatakan, “Tidak bisa diukur … jika orang itu ada di Ceuta, ia tidak lain adalah anak muda Spanyol yang baru datang.”
Sumber inspirasinya adalah mimpi dimana kesadarannya masih aktif Dengan melatih fakultas Sufi ini, ia mampu menghasilkan suatu hubungan dengan realitas terakhir (supermatif) dari akal batinnya — realitas yang dijelaskannya mendasari penampakan dunia biasa.
Ajarannya menekankan arti penting pelatihan fakultas-fakultas ini yang tidak diketahui oleh semua orang dan oleh banyak orang telah diserahkan pada okultisme yang konyol. “Seseorang,” tuturnya, “harus mengendalikan pikiran-pikirannya dalam mimpi. Dengan melatih kesigapan ini, ia akan menghasilkan kesadaran tentang dimensi perantara. Kesadaran ini akan mendatangkan manfaat besar bagi individu itu. Setiap orang seharusnya melatih diri untuk mencapai kemampuan yang sangat besar nilainya itu.”4
Tidak akan ada gunanya untuk mencoba menafsirkan Ibnu Arabi dari satu pandangan yang pasti. Ajaran-ajarannya diambil dari pengalaman-pengalaman batin, kemudian disajikan dalam suatu bentuk yang mempunyai suatu fungsi. Jika puisinya mempunyai makna ganda dan sering demikian, ia bukan saja bertujuan menyampaikan kedua makna itu, tetapi juga menegaskan bahwa keduanya adalah valid. Jika puisi ini dinyatakan dalam istilah-istilah yang digunakan oleh orang-orang sebelumnya, hal ini tidak dimaksudkan harus dipahami sebagai bukti pengaruh luar. Apa yang diperbuatnya dalam hal ini adalah ditujukan kepada dirinya sendiri untuk orang-orang dalam istilah yang membentuk sebagian latar belakang budaya mereka sendiri. Ada puisi-puisi Ibnu Arabi yang bisa dibaca dalam pengertian yang berubah-ubah — maknanya bermula dalam suatu tema dan kemudian berubah ke tema lainnya. Ia melakukan hal ini secara sengaja, dengan tujuan untuk mencegah proses asosiasi otomatis yang akan membawa pembaca ke dalam kenikmatan biasa, sebab Ibnu Arabi adalah seorang guru, bukan seorang penghibur.
Bagi Ibnu Arabi, sebagaimana bagi semua Sufi, Muhammad mewakili Insan Kamil. Pada saat yang sama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud “Muhammad” dalam konteks ini. Dalam persoalan ini Ibnu Arabi lebih tegas dibandingkan persoalan lainnya. Ada dua versi maksud kata Muhammad — sosok manusia yang hidup di Mekkah dan Madinah serta Muhammad yang hidup abadi. Muhammad yang terakhir inilah yang dibicarakannya. Muhammad dalam pengertian kedua ini diidentifikasikan dengan semua Nabi, termasuk Yesus. Gagasan ini menyebabkan klaim di kalangan Kristen bahwa Ibnu Arabi atau para Sufi atau keduanya adalah orang-orang Kristen rahasia. Klaim Sufi adalah bahwa individu-individu yang telah melaksanakan fungsi-fungsi tertentu pada dasarnya adalah satu. Kesatuan ini mereka sebut dengan asal-usulnya sebagai Haqiqatul-Muhammadiyyah.
Dalam karyanya yang menjadi rujukan utama Sufi, Insan Kamil, al-Jili menjelaskan inkarnasi Hakikat (Muhammadiyah) ini kepada semua orang. Ia berusaha menggambarkan faktor esensial ini dengan memperlihatkan keberagaman dari apa yang kita sebut seorang individu. Sebagai contoh, Muhammad artinya “Yang Terpuji”. Nama lainnya, sebagai suatu pemaparan dari suatu fungsi, adalah Ayah al-Qasim. Dan namanya, yaitu Abdullah, ia berfungsi sesuai dengan makna literalnya — Hamba Allah. Nama-nama adalah kualitas-kualitas atau fungsi-fungsi. Inkarnasi adalah satu faktor sekunder: “Ia diberi nama-nama dan di setiap masa memiliki satu nama yang sesuai dengan wujud yang ada pada masa itu. Ketika ia dilihat sebagai Muhammad, ia adalah Muhammad, namun ketika dilihat dalam bentuk lain, maka ia disebut dengan nama bentuk itu sendiri.”
Ini bukan suatu teori reinkarnasi, meskipun teori ini sangat mirip. Realitas esensial yang menghidupkan manusia dengan sosok Muhammad atau lainnya ini harus diberi nama sesuai dengan lingkungannya. Mereka yang menggunakan sikap ini dengan doktrin Logos dari Plotinus, menurut para Sufi, berarti menisbatkan suatu hubungan historis pada suatu situasi yang mempunyai realitas obyektif para Sufi tidak meniru doktrin Logos, meskipun ide tentang Logos dan Hakikat Muhammadiyah mempunyai sumber yang sama. Pada akhirnya, sumber informasi Sufi dalam persoalan ini adalah pengalaman pribadi Sufi, bukan formulasi kepustakaan sebagai salah satu manifestasi historisnya. Perangkap pemikiran historis, yang beranggapan bahwa tidak ada sumber batiniah pengetahuan yang mendasar dan harus mencari inspirasi kepustakaan dan superfisial, tetap dihindari oleh para Sufi. Beberapa mahasiswa Barat yang mengkaji Sufisme, hal ini harus diakui, telah menekankan kemiripan lahiriah, sementara terminologi atau waktu tidak membuktikan penyampaian gagasan esensial itu.
Ibnu Arabi telah membingungkan para sarjana, sebab ia adalah orang yang dalam Islam disebut sebagai seorang konformis dalam agama, sementara ia tetap seorang esoteris. Seperti semua Sufi, ia mengklaim bahwa ada suatu kemajuan koheren, sinambung dan sepenuhnya bisa diterima oleh setiap agama formal, dan pemahaman batin dari agama itu yang akan membawa pada pencerahan pribadi. Biasanya doktrin ini tidak bisa diterima oleh para teolog (mutakallimun) dengan kepentingannya yang bergantung pada banyak atau tidaknya fakta-fakta statis, bahan sejarah dan kekuatan penalaran.
Meskipun Ibnu Arabi dicintai oleh semua Sufi, mempunyai banyak pengikut pribadi dan menjalankan fungsi teladan kehidupan, tidak diragukan ia merupakan suatu ancaman bagi kalangan formalis. Seperti al-Ghazali, kekuatan intelektualnya lebih unggul dari semua orang sezamannya yang lebih konvensional (di bidang pemikiran). Alih-alih menggunakan berbagai kemampuan ini untuk mengukir satu tempat dalam skolastisisme, ia menyatakan — seperti banyak Sufi lainnya — bahwa jika seseorang memiliki intelek yang kuat, fungsi terakhirnya adalah memperlihatkan bahwa intelektualitas hanyalah suatu sarana pengantar kepada sesuatu yang lain. Sikap ini bukan suatu kesombongan — apalagi kalau kita benar-benar bertemu dengan orang semacam ini dan mengetahui kerendahan hatinya.
Banyak orang bersimpati kepadanya, tetapi tidak berani mendukungnya, sebab mereka bekerja pada tataran formal, sementara ia bekerja pada tataran rahasia. Seorang alim yang terhormat menurut riwayat mengatakan, “Aku sama sekali tidak meragukan bahwa Muhyiddin (Ibnu Arabi) adalah seorang pembohong besar. Ia adalah pemuka kalangan ahli bid’ah dan seorang Sufi yang tidak tahu malu.” Akan tetapi seorang teolog besar, Kamaluddin Zamlaqani menegaskan, “Betapa bodohnya mereka yang menentang Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi! Pernyataannya yang sublim dan tulisannya yang bernilai itu terlalu tinggi bagi pemahaman mereka.”
Dalam sebuah kesempatan yang masyhur, guru pembaharu Syekh Izuddin ibnu Abdussalam sedang memimpin sekelompok murid mempelajari fiqih. Selama berlangsung suatu diskusi, pertanyaan tentang definisi bid’ah muncul. Seorang murid menyebut Ibnu Arabi sebagai contoh utama. Sang guru tidak menyanggah penegasan ini. Kemudian ketika makan malam dengan guru ini, Salahuddin yang pada masa selanjutnya menjadi Syekh al-Islam, bertanya kepadanya, siapakah alim paling terkemuka pada masanya:
“Ia menjawab, ‘Menurut Anda siapa? Teruslah makan.’ Aku menyadari bahwa ia tahu. Aku berhenti makan dan menekannya untuk menjawab pertanyaanku dengan menyebut nama Allah. Ia tersenyum dan berkata, ‘Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi.’ Untuk sesaat aku terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata. Syekh itu bertanya kepadaku tentang keadaanku saat itu. Kujawab, ‘Aku heran, sebab pada pagi ini seseorang mengatakan bahwa ia adalah ahli bid’ah. Pada saat itu, Anda justru tidak menyanggahnya. Sekarang Anda menyebut Muhyiddin sebagai Wali al-Quthb di Zaman Ini, manusia teragung yang pernah hidup, guru dunia’.”
“Ia mengatakan, ‘Kala itu aku berada di tengah-tengah pertemuan para ulama, para fuqaha’.”
Penentangan utama terhadap Ibnu Arabi disebabkan koleksi karya puisinya yang sangat mengagumkan dan mengejutkan — puisi Cinta yang dikenal sebagai Penterjemah Kerinduan (Tarjuman al-Asywaq). Puisi ini sangat sublim, mengandung begitu banyak kemungkinan makna dan penuh dengan khayalan fantastik, sehingga ia bisa menimbulkan pengaruh magis bagi pembacanya. Bagi para Sufi, karya ini dipandang sebagai produk perkembangan paling jauh dari kesadaran kemanusiaan. Mungkin akan adil bila ditambahkan bahwa D.B. MacDonald memandang luapan rasa Ibnu Arabi itu sebagai “suatu paduan aneh antara teosofi dan paradoks-paradoks metafisik. Semuanya lebih menyerupai teosofi pada masa kita sekarang.”
Bagi para sarjana, salah satu hal penting dalam kitab Tarjuman al-Asywaq adalah masih adanya komentar tentang puisi-puisi itu yang dibuat oleh penulisnya sendiri; di dalamnya ia menjelaskan bagaimana metafora disesuaikan dengan agama Islam ortodoks. Hal ini hanya bisa dikaji dengan menghadapkan latar belakang sejarah kitab tersebut.
Pada tahun 1202, Ibnu Arabi memutuskan untuk pergi Haji. Setelah menghabiskan beberapa waktu perjalanannya melalui Afrika Utara, tibalah ia di Mekkah. Di sana bertemu dengan sekelompok imigran Persia, para mistikus (Sufi?) yang menyambut dan menerimanya memasuki kelompok tersebut, meskipun ia dituduh melakukan bid’ah dan keburukan di Mesir. Ia nyaris terbunuh pada percobaan pembunuhan oleh seorang fanatik.
Ketua komunitas Persia itu bernama Mukinuddin. Ia memiliki seorang putri yang cantik, Nizam, salehah dan menguasai fiqih. Berbagai pengalaman spiritualnya di Mekkah dan pernyataan simbolisnya tentang jalan mistik, diungkapkan dalam puisi-puisi cinta yang dipersembahkan kepada Nizam. Ibnu Arabi menyadari bahwa kecantikan manusia berkaitan dengan realitas ketuhanan. Karena itulah ia mampu menghasilkan puisi-puisi yang mengagumi kesempurnaan gadis itu dan juga sekaligus, dalam perspektif yang benar, menggambarkan suatu realitas yang lebih dalam. Tetapi kemampuan untuk melihat hubungan itu ditolak oleh para agamawan formal yang memandangnya sebagai skandal.
Para pendukung Ibnu Arabi memperlihatkan, seringkali dengan rahasia, bahwa kebenaran sejati mungkin dinyatakan dengan berbagai cara sekaligus. Mereka merujuk pada cara Ibnu Arabi dalam mengangkat mitos dan legenda maupun sejarah tradisional, untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran esoteris yang tersembunyi di dalamnya, demikian pula nilai kesenangannya. Konsep keberagaman makna dari suatu faktor dan yang sama ini kurang dipahami pada masanya maupun saat ini. Pemahaman terdekat dari orang awam yang bisa diperoleh dari hal ini adalah pengakuan bahwa “seorang cantik adalah karya seni Ilahi”. Ia tidak mampu memahami perempuan cantik dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini adalah problema umum dari pernyataan Sufi dalam suatu pilihan kata-kata yang sangat terbatas.
Oleh karena itu, kitab Tarjuman al-Asywaq karya Ibnu Arabi itu terkesan sebagai sebuah kumpulan puisi erotik. Ketika ia pergi ke Aleppo di Syria, sebuah pusat ortodoksi keagamaan, ia mendapati bahwa para ulama (ortodoks) Islam yang mengatakannya sebagai pembohong semata, berupaya membenarkan puisi erotiknya dengan mengklaim suatu makna yang lebih dalam. Tiba-tiba ia mulai membuat sebuah komentar untuk membawa karya tersebut ke dalam pandangan ortodoks. Hasilnya para ulama itu benar-benar merasa puas, sebab penulisnya telah berperan dalam mendukung penafsiran mereka sendiri tentang hukum keagamaan dengan menjelaskan makna-makna dalam karyanya itu. Meskipun demikian, bagi Sufi, ada makna ketiga dalam kitab itu. Dengan menggunakan terminologi yang lazim, Ibnu Arabi sedang memperlihatkan kepada mereka bahwa berbagai superfisialitas itu bisa jadi benar, bahwa cinta manusia bisa jadi sepenuhnya absah; namun aktualitas kedua hal ini telah menutupi suatu kebenaran batin, atau perluasan maknanya.
Realitas batin inilah yang dirujuknya ketika ia menerima semua formalisme, meski demikian menyatakan suatu kebenaran di balik dan di luarnya. Profesor Nicholson telah menterjemahkan salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan agamawan yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan jalan bagi penyelamatan manusia:
Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:
Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala,
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.
Aku lah Ka’bah bagi orang-orang yang shalat,
Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur’an.
Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun.
Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.
Orang yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang biasa dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh pikirannya dikaitkan dengan kata-kata, “Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi.” Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema “cinta”, Sufisme hanyalah satu bagian, terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan biasa, tidak pernah dirambah oleh orang kebanyakan.
Catatan kaki:
1 Kitab Tarjuman al-Asywaq (Interpreter of Desires), terjemahan R.A. Nicholson, London, 1911, hlm. 7. Pendapat Nicholson tentang Sufisme harus didekati dengan hati-hati. Sebagai contoh adalah pernyataannya yang sangat mengejutkan, hampir tidak bisa dipahami untuk seorang Sufi, “Dengan mengaku mencintai suatu abstraksi universal, mereka menjadikan individu tertentu sebagai obyek penyembahan mereka.” (Selections from the Diwan-i-Shams-i-Tabriz, tr. Nicholson, Cambridge, 1898, hlm. xxi).
2 Lihat anotasi “NSYR“.
3 Miguel Asin Palacios, Islam and the Divine Comedy, tr. H. Sunderland, New York, E.P. Dutton, 1926.
4 Dikutip oleh Ibnu Syadakin.
Pemahaman Sufisme Ibn Arabi
Wahdat al-Wujud ( wihdatul wujud )
Ibn Al-‘Arabi adalah penganut faham Tauhid Wujudi bahkan ia merupakan panutan dalam pemikiran ini. Pemikiran yang selalu menjadi sorotan tajam dari kaum fuqoha. Pemikiran inilah yang menjadi landasan konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya berporos pada pemahaman ini. Perlu digaris bawahi bahwa Ibn Arabi belum pernah menyebutkan istilah wahdatul wujud dalam kitabnya namun istilah ini dicetuskan oleh orientalis. Namun dari berbagai ajarannya bisa dikatakan bahwa pemahamannya adalah wahdatul wujud.
Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud Ibn Arabi mengungkapkan:
“ketahuilah bahwa wujud ini satu namun Dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma (nama-nama), dan memiliki pemisah yang disebut dengan barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang dikenal dengan Insan Kamil”.
Ia juga menjelaskan:
“Ketahuilah bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan, kepadaNya lah isyarat yang difirmankan Allah kepada RasulNya Saw -bahwa kepada Tuhanmulah tujuan terakhir- karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan pertama (ta’ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang Teragung ini. Ketahuilah bahwa segala nama dari nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’ (esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang diberi nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tadi merupakan pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini. Sedang Haqiqat Muhammadiyah merupakan gambaran dari nama ‘Allah’ yang menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah Swt sebagai Tuhannya. Haqiqat Muhammadiyah yang mengatur gambaran alam seluruhnya dengan Tuhan yang tampil padanya, disebut dengan Rab al-arbab (Allah Swt).”
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan Haqiqat Muhammadiyah di sini bukanlah Nabi Muhammad sebagai manusianya namun Haqiqat Muhammadiayah adalah Asma dan Sifat Allah serta Akhlaqnya. Nabi muhammad disebut dengan Muhammad karena Beliau mampu berakhlaq dengan seluruh akhlaq ketuhanan tersebut.
Selanjutnya Ibn Arabi juga mengatakan:
“ketahuilah bahwa yang ada hanya Allah beserta sifatNya, af’alNya maka semuanya adalah Dia, denganNya, dariNya dan kepadaNya. Kalaulah ia terhijab dari alam ini walaupun sekejap maka binasalah alam ini secara keselurhan, kekalnya alam ini dengan penjagaanNYa dan penglihatanNya kepada alam. Akan tetapi jika sesuatu sangat tampak jelas dengan cahayaNya hingga pemahaman tidak mampu untuk mengetahuinya maka penampakan itulah yang disebut dengan hijab.”
Jadi asma dan sifat itulah yang disebut dengan Haqiqat Muhammadiyah, dan alam muncul dari hakikat tersebut. Oleh sebab itu Ibn Arabi mengungkapkan:
“Alam pada hakikatnya adalah satu namun yang hilang dan muncul adalah gambarnya saja”.
Maksudnya hakikat alam tadi berasal dari Zat Yang Satu, yang pada dasarnya gambaran alam tadi hilang dan muncul, artinya alam itu pada hakikatnya tiada berupa gambar saja. Dalam hal ini ia menyatakan:
“Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu Dialah segala sesuatu tadi.”
Artinya penampakannya tiada lain Dia juga, yang tampil dariNya adalah Dia juga.
Lebih jelasnya Syaikh Abd Ar-Rauf Singkil menjelaskan dalam sebuah karyanya:
“wujud alam ini tidak benar-benar sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Zat Allah, karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga tidak benar-benar lain dariNya. Karena ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri disamping Allah.”
Jadi alam bukanlah sebenarnya Allah namun pancarannNya dengan kata lain hijabnya. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan Willian dalam salah satu karyanya mengenai Ibn Arabi: “Hanya satu wujud dan seluruh eksistensi tiada lain adalah pancaran dari Wujud Yang Satu.” Kesimpulannya yang tampak itulah makhluk cipatanNya sedang ZatNya tetaplah ghaib. Hal ini dijelaskan oelh Ibn Arabi sebagai berikut:
“Allah nyata ditinjau dari penampakanNya pada cipatanNya dan batin dari segi Zatnya.”
Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat Allah pada lingkatan wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan keagungan yang abadi. Zatnya merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis keindahan dan keagunganNya. Ia merupakan perbendaharaan yang tersembunyi yang ingin tampil dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin membuka perbendahataan tersembunyi tersebut dengan Tajalliyat (teofani) Haq tentunya yang merupakan penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan dan kesempurnaanNya dalam pentas alam yang maha luas.
Ibn Arabi berkata: “Alam maujud atau mengada denganNya”.
Tajalliyat al-Wujud dengan gambaran global dalam tiga hadirat:
1. Hadirat Zat (Tajalliyat Wujudiya Zatiya) yaitu pernyataan dengan diriNya untuk diriNya dari diriNya. Dalam hal ini Ia terbebas dari segala gambaran dan penampakan. Ini dikenal dengan Ahadiyat. Pada keadaan ini tampak Zat Allah terbebas dari segala sifat, nama, kualitas, dan gambaran. Ia merupakan Zat Yang Suci yang dikenal dengan rahasia dari segala rahasia, gaib dari segala yang gaib, sebagaimana ia merupakan penampakan Zat, atau cermin yang terpantul darinya hakikat keberadaan yang mutlak.
2. Tajalliyat Wujudiya Sifatiya yang merupakan pernyataan Allah dengan diriNya, untuk diriNya, pada penampakan kesempurnaanNya (asma) dan penampakan sifat-sifatNya yang azali. Keadaan ini dikenal dengan wahdah. Pada hal ini tampak hakikat keberadaan yang mutlah dalam hiasan kesempurnaan ini lah yang dikenal dedngan Haqiqat Muhammadiyah (kebenaran yang terpuji), setelah ia tersembunyi pada rahasia gaib yang mutlak denganjalan faid al-aqdas (atau limpahan yang paling suci karena ia langsung dari Zat Allah). Dalam keadaan ini tampillah al-A’yan as-Sabitah (esensi-esensi yang tetap) atau ma’lumat Allah.
3. Tajalliyat Wujudiyah Fi’liyah (af’aliyah) yaitu pernyataan Haq dengan diriNya untuk diriNya dalam fenomena esensi-esensi yang luar (A’yan Kharijah) atau hakikat-hakikat alam semesta. Keadaan ini dikenal dengan mutlaq dengan ZatNya, sifatNya dan perbuatanNya dengan jalan limpahan yang suci (al-faid al-muqaddas). Allah pun tampak pada gambaran esensi-esensi luar (A’yan Kharijah), baik yang abstrak maupun yang kongkrit yang merupakan asal dari alam semesta seluruhnya.
Allah Swt merupakan awal dari tajalliyat wujud segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi Dia tidak berasal dari ketiadaan dan tidak berakhir kepada ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut yang berada pada lingkatan yang absolut, ia berasal dari yang Haq dengan Haq dan kepada yang Haq, baik dalam tahap Zat, Sifat dan Af’al. semuanya adalah penampakan dari hakikat yang satu.
Namun apakah berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Bisa dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam salah satu karyanya:
“Dalam hal ini ada sebagian golongan sufi yang terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang sebenarnya, mereka berkata tidak ada kecuali apa yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah dan Allah adalah alam tiada lain. Sebabnya kesaksian ini terjadi karena mereka belim benar benar mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqun. Kalau mereka mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqin maka meraka tidak akan berkata demikian dan menetapkan segala hakikat pada tempatnya dan mengetahuinya dengan ilmu dan penyingkapan.”
Disamping itu penyatuan antara manusia dan hamba adalah mustahil ataupun Allah bertempat adalah juga mustahil. Hal ini ia jelaskan dalam sebuah kitabnya:
“Ittihad adalah mustahil karena dua zat menjadi satu, tidak akan mungkin bertemu antara hamba dan Tuhan pada satu wajah selamanya ditinjau dari ZatNya.”
Dari pernyataan ini jelas beliau tidak berpaham panteisme, jadi bagaimana menafsirkan wahdatulwujud tersebut? Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa Zat Allah adalah sumber segalanya. Jadi yang disebut eksistensi atau wujud adalah Zat tersebut. Sedangkan keadaan yang dikenal dngan Haqiqat Muhammadiyah (A’yan sabitah, wahdah, tajalliyat wjudiyah sifatiyah) merupakan penampakan atau bayangan dari Zat Yang Suci yang bernama Allah. Kemudian keadaan yang bernama Wahdaniyat (tajalliyat wujudiyah fi’liyah atau a’yan kharijiyah) adalah bayangan dari wahdah atau Haqiqat Muhammadiyah. Jadi seluruhnya bayangan dari Zat Yang Suci. Lebih jelasnya alam ini (a’yan kharijiyah) penampakan atau bayangan dari Asma Allah yang dikenal dengan Haqiqat Muhammdiyah ataupaun A’yan Sabitah. Sedangkan Asma adalah penampakan dari Zat Yang Maha Suci. Jadi bayangan adalah sesuatu yang pada hakikatnya tiada namun ia ada bergantung kepada Zat Allah, sebagaimana bayangan suatu benda.
Penjelasan diatas dikuatkan dengan perkataan Ibn Arabi dalam kitab Futuhat:
Jika Engkau nyatakan: “Tiada sesuatupun yang setara denganNya maka hilanglah bayangan sementara bayangan terbentang maka hendaklah engkau memperhatikan lebih teliti.”
Dalam kitab Al-Jalalah beliau menjelaskan:
“Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan Allah adalah Arasy. Akan tetapi bukanlah setiap bayangan terbentang. Arasy bagi Tuhan adalah bayangan yang tidak terbentang, apakah engkau tidak memperhatikan bahwa jisim yang memiliki bayangan apabila diliputi oleh cahaya maka bayangannya ada padanya.”
Bayanganyang dimaksud di sini adalah alam semesta. Manusia memiliki banyak bayangan jika dia disinari oleh beberapa cahaya yang datang dari berbagai arah, wajahnya akan muncul dalam berbagai cermin yang pada hakikatnya ia adalah satu namun dipatulkan oleh beraam cermin. Begitu pula Allah Esa dari segi ZatNya dan berbilang dari segi penampakanNya dalam gambaran serta bayanganNya dalam cahaya. Jadi jelas bahwa sebenarnya alam ini adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau dikenal dengan batil. Ibn Arabi menjelaskan:
“sebenar-benar ungkapan yang dikatakan oleh orang Arab bahwa; “segala sesuatu selain Allah adalah batil” karena siapa yang keberadannya tergantung kepada yang lain maka dia adalah tiada.”
Ia juga mengungkapkan dalam Risalah al-Wujudiyah:
“Sesungguhnya engkau tidak pernah ada sama sekali dan bukan pula engkau ada dengan dirimu atau ada di dalamNya atau bersamaNya dan bukan pula engkau binasa ataupun ada.”
Untuk menjelaskan perkataan ini ia mengutip perkataan Abu Said Al-Kharraj menyatakan: “Aku mengenal Allah dengan menghimpun segala dua hal yang bertentangan.” Artinya Dialah Yang Lahir dan Yang Batin tanpa keadaan yang lain. Dijelaskan juga dalam kitabnya Ar-risalah Al-Wujudiyah:
“Dialah Yang Awal tanpa berawal, Yang Akhir tanpa berakhir, Yang Lahir tanpa jelas, Yang Batin tanpa tersembunyi.”
Hal ini jika difahami berarti bahwa manusia tidak memiliki keberadaanyang independen dalam arti kata keberadaannya pada hakikatnya adalah bayangan dari keadaan Allah. Karena pada hakikatnya manusia tiada yang ada Allah. Jadi manusia adalah penampakan, bayangan atau ayat Allah yang pada hakikata adalah tiada atau khayal. Karena suatu yang sifatnya khayal berjumpa dengan khayal seolah kelihatan nyata.
Dalam Fusus al-Hikam Ibn Arabi mengungkapkan:
“Ketahuilah bahwa hadirat khayal merupakan hadirat yang menghimpun dan mencakup segal seuatu dan yang bukan sesuatu.”
Jadi jelas bahwa alam ini adalah fana atau khayal danyang kekal dan tampak adalah ZatNya Yang Suci dengan penampakan-penampakan yang indah dan agung yang mewujudkan kesempurnaanNya yang tiada batas.”
Di lain bukunya Ibn Arabi mengungkapkan:
“Tidak ada dalam wujud ini selain Allah, kita walupun ada (Maujudun) maka sesungguhnya keberadaan kita denganNya, barang siap yang keberadaannya dengan selain Allah maka ia masuk dalam hukum ketiadaan.”
Maksudnya ialah bahwa Allah ada dengan sendiriNya dan tidak mengambil keberadaannya dari yagn lain. Sedangkan alam adalah ada karena Allah mengadakannya. Jadi alam adalah keberadaanyang mungkin ada yang pada hakikatnya tiada. Di sini kita harus membedakan antara wujud dan maujud. Wujud merupakan isim masdar yang berarti keadaan dan Maujud merupakan isim maf’ul berarti sesuatu yang mengada karena pengaruh lain . Bisa ditafsirkan bahwa Allah adalah keberadaan itu sendiri atau Zat Yang Maha Ada, sedang maujud adalah sesuatu yang menjadi ada disebabkan hal lain. Maujud merupakan ‘objek’ yang berarti sesuatu yang menerima pengaruh perbuatan yang lain. Jadi sesuatu yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang lain bukanlah keberadaan yang sejati namun keberadannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati. Keberadaannya disebut dengan khayal, artinya ia ada karena bergantung pada Wujud Sejati. Namun jia sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu dia tiada, karena siapa yang akan memberikannya keberadaan? Jadi jelas yang dimaksud dengan Wahdat al-Wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam.
Dalam menerangkan wahdatulwujud Ibnu Arabi kadang mengutip kuplet berikut, sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-Alif:
* Dalam segala sesuatu Dia memiliki ayat
* Menunjukkan kenyataan bahwa Dia adalah Satu.
Kesatuan wujud ini juga dapat difahami dari sebuah hadis yang sering dikutip Ibn Arabi dalam menerangkan masalah Wahdat al-Wujud yaitu: Kanallahu wala syai’a ma’ahu artinya ‘dahulu Allah tiada sesuatu apapun besertaNya’. Disempurnakan dengan perkataan wahuwal aana ‘ala makaana artinya ‘sekarang Ia sebagaimana keadaanNya dahulu’. Maksud dari kedua pernyataan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segalaNya pada sisiNya adalah tiada. ‘Tiada Tuhan selain Allah’ artinya segala sesuatu berupa alam yang gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Karena segala sesuatu yang tiada bisa dijadikan Tuhan oleh manusia dan yang pada hakikatnya yang ada hanya Zat Allah Yang Maha Suci yang bernama Allah.
Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas ialah, alam bisa dikatakan Allah dan bisa juga tidak. Dilihat dari keterbatasan alam dan hakikatnya yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah. Namun jika dilihat bahwa alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada wujid disamping Allah ataupun diataNya atau dibawahNya atau ditengahNya atau didalamNya atau diluarNya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain allah jua adanya.
Dibalik itu semua dalam memahami hal ini bukanlah cukup dengan logika namun harus dibuktikan dengan penyaksian sebagaimana pernyataan Ibn Arabi:
“Tauhid adalah penyaksian danbukan pengetahuan, barang siapa menyaksikan maka ia telah bertauhid barang siapa hanya mengetahui ia belum bertauhid.”
Jadi beginilah yang dapat difahami dari Wahdat al-Wujud. Permasalahan Tanzih dan Tasybih akan lebih menjelaskan konsep Wahdat Wujud.
Al-Hirah (Ketakjuban, Kebingungan, Laut Tanpa Pantai, Anggur Keabadian)
AL-Hirah merupakan ketakjuban dan puncak dari pengenalan akan Allah yang dalam hal ini Ibn Arabi menjelaskan:
“Uluhiyyat (ketuhanan) dapat dikatakan karena ia merupakan tawajjuh (kehendak) Zat untuk mewujudkan semua hal yang mungkin, adapun Zat tidaklah dapat dikatakan namaun disaksikan.”
Hal ini mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut:
Zat Allah Esa dan Tunggal adanya namun tidaksatu makhlukpun dapat mengetahui hakikat Zat tersebut serta segala potensi yang ada pada Zat Allah. Penyaksian akan ZatNya bisa terjadi pada orang tertentu dan penyaksian itu bukanlah meluputi akan keadaan ZatNya. Ol;eh sebab itu tidak bisa dikatakan karena segalanya luluh dan fana ketika penyaksian itu terjadi. Sedangkan Uluhiyat bisa dikatakan karena Ia berhubungan dengan segala yang mungkin. Dalam al-Quran Allah berfirman:
Wayuhazzirukumullahu nafsah
Artinya: Allah melarang kamu untuk berpikir tentang diri (Zat)Nya. Ali Imran 28.
Pada ayat yang lain, Allah berfirman:
Wamaa qadarullahu haqqa qadrih
Artinya: dan mereka tidak mampu memperkirakan Allah dengan sebenar-benar perkiraan, Al-An’am 91.
Di samping itu Kalimat Allah atau seala yang mewujud karenaNya atau segala yang berasal dariNya tidak terhingga atau tidak terbats, oleh sebab itu tidak ada bats dalam mengenal Allah Swt. Jadi yang diketahui hanya keesaanNya sedang kuasaNya tanpa batas.
Ibn Arabi menjelaskan dalam tafsirnya mengenai ayat terakhir daru surat al-Kahfi:
“Katakanlah jika lautan huyuli (asal keberadaan alam semesta) yang menerima berbagi macam gambar yang mewuudkan segala ilmu Allah dijadikan sebagai tinta untuk menuliskan segala makna dan hakikat dan roh yang ada pada ZatNya maka air lautan akan habis sebelum habisnya kalimat Allah, karena ia tidak terhingga adanya. Tidak mungkin satu yang terbatas bisa mengibaratkan Yang Tidak Terbatas.”
Jika dikaitkan dengan dua aspek yaitu tanzih dan tasybih, maka aspek tanzihNya adalah ketidak terbatasan Zat Allah atau Maha SuciNya Ia dari segala ikatan dan keterbatasan. Sedang aspek tasybihNya adalah kalimatNya atau fenomena segala alam ini yang mewujud denganNya. Alam ini sendiri juga tidak terbatas, sebagaimana kalimat Allah tidak terbatas. Jadi puncak pengenalan akan Allah adalah ketidak mampuan untuk mengenalNya dan ketakjban akan keMaha BesaranNya. Sebagaimana Nabi bersabda:
Allahumma la nuhshi tsanaan ‘alaika anta kama atsnaita ‘ala nafsika
Artinya: “Ya Tuhan kami kami tidak mampu menghumpun pujian kepadaMua sebagaimana Engakau memuji diriMu Sendiri.”
Abu Bakar berkata: “ketidak sanggupan untuk mengenal Allah adalah pengenalan. Oleh sebab itu Abu Talib al-Makki berkata: “tidak mengenal Allah selain Allah.” Nabi Saw juga pernah bersabda: “Rabbi zidni fika tahayyuran” yang artinya : “Wahai Tuhanku tambakanlah kepadaku keta’juban.” Hal ini dita’wilkan oleh Ib Arabi sebagai kesinambunan takalliyat Allah kepada Nabi Saw. Kesinambungan tajalliyat adalah bertambahnya senantiasa ilmu pengenalan akan Allah dan itu tentunya tiada batas.
Nabi Muhammad Saw merupakan jalan petunjuk kepada ketakjubanyang membaw panji pujian kelak dihari kiamat. Beliaulah hamba yang paling mengenal Allah. Oleh sebab itu seorang tidak akan mampau mengenal Allah kecuali melalui jalan atau cermin Muhammad Saw. Ibn Arabi menjelaskan dalam kitab fusus al-Hikam:
“Allah berfirman: “sesungguhnya sahabatmu tidaklah sesat dan salah: an-an’am 2, atau Ia tidak takut dalam keheranannya karena Ia mengetahi bahwa puncak dalam pengenalan akan Allah adalah hirah (ketakjuban). Maka barang siapa yang sampai dalam keadaan ini maka ia telah beroleh petunjuk dan dia adalah yang menunjuki dan menjelaskan dalam penetapan ketakjuban.”
Ibn Arabi menyebutkan: “ Yang Haq adalah lautan dasarnya adalah azali pantainya adalah abadi.” Inilah lautan yang tiada tepi, ia melantunkan syair dalam ketakjuban:
* Aku terkesima pada Samudera dantap pantai dan Pantai tanpa samudera
* Pada Cahaya pagi tanpa kegelapan dan Malam tanpa fajar
* Pada dunia tanpa tempat yang diketahui oleh pagan dan pendeta
* Pada kubah biri langit, menjulang tinggi dan berputar
* Kemahakuasaan adalah pusatNya dan pada bumi yang subur tanpa kubah dan tempat, tersembunyi rahasia.
Tasybih dan Tanzih
Permasalahan Tasybi dan Tanzi juga merupakan polemik dari daulu ingga sekarang. Dalam al ini Ibn Arabi berpendapat bahwa dalam mengenal Allah manusia harus melihat TanzihNya (Kesecuian Allah dari segala sifat yang baharu) pada TasybihNya (KeserupaanNya dengan yang baharu) dan tasybihNya pada tanzihNya. Artinya untuk mengenal Allah harus menggabungkan dua aspek tadi sekaligus. Ibn Arabi sering mengutip perkataan Abu Sa’id Al-Kharraj: “ Aku mengenal Allah dengan menggabungkan dua hal yang bertentangan.” Menurutnya apabila seorang menganal Allah hanya dengan aspek tanzih berarti dia telah membatasi kemutlakanNya. Karena tanzih berarti menafikan segala sifat bagi Allah sperti yang dilakukan ole kalangan Mu’tazila yang melucuti Tuhan dari segala sifat, hingga Allah menjadi suatu yang tak bisa dikenal dan dijangkau. Al ini mengakibatkan terputusnya hubungan Tuhan dengan manusia. Kemudian jika hanya mengenal Allah dalam aspek tasybih saja seperti yang dilakukan kalangan al_mujassimah maka mengakibatkan keserupaan Tuhan dengan yang baharu.
Dalam kitab Fusus al-Hikam Ia mengatakan:
“Pensucian dari orang yang mensucikan merupakan pembatasan bagi yang disucikan, karena ia telah mengistimewakan Allah dan memisahkanNya dari sesuatu yang menyerupai, jadi pensucianNya dari suatu sifat yang wajib merupakan keterikatan dan keterbatasan, maka tidak ada di sana kecualai Yang terikat dan Maha Tinggi dengan kemutlakanNya dan ketidak terbatasanNya.”
‘Abd al_raziq al-Qasyani menjelaskan mengenai hal ini bahwa tanzih berarti mengistimewakan Allah dari segala yang baharu yang sifatnya materi dan dari segala yang tidak pantas baginya pensucian dari sigat materi, hal ini berarti bahawa setiap seuatu yang berbeda dari yang lain maka ia tentu memiliki sigat yang bertentangan dari yang lain tersebut. Dengan begitu ia menjadi teriakt denagn suatu sifat dan erbatas dengan satu batasan. Jadi tanzih tersebut merupakan pembatasan. Lebih jelasnya, bahwa yang mensucikan telah mensucikan Allah dari sifat materi dan menyamakanNya dengan sifat rohani yang suci. Dengan begitu ia telah mensucikan Allah dari keterbatasan namun dengan sendirinya ia telah membatasNya dengan kemutlakan, sedang Allah Maha Suci dari ikatan keterbatasan dan kemutlakan, akan tetapi Ia Maha Mutlaq tidak terikat oleh tanzih maupun tasybih juga tidak menafikan keduanya. Ibn Arabi juga menjelaskan:
“Tidak ada yang serupa denganNya” potongan ayat ini mengisyaratkan tanzih, dan “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” potongan ayat ini mengisyaratkan tasybih.
Abd Karim al-Jily menerangkan mengenai hal ini sebagai berikut:
“Yang mensucikan mengosongkan Tuhan dari segala sifat sehingga dia menghilangkan kuasa Tuhan, yang menyerupakan Tuhan menghiasaiNya dengan sifat yang tak pantas aritnya memakaikan Tuhan dengan sifat selainNya (Mujassimah) sedang yang berada di antara keduanya (tidak mengosongkan dan tidak memakaikan) artinya seorang yang ‘arif yang beada antara tasybih dan tanzih tidak menanggalkan apa yang pantas bagi Allah dan menyifatiNya dengan pakaian atau sifat yang tidak pantas bagiNya. Bahkan ia berkata Allah adalah Yang Lahir dan Yang Batin atau ia menyifati Allah dengan Lahir dan Batin. Aspek Batin merupakan hukum kesempurnaan bagiNya sedang aspek Lahir merupakan nyatanya Ia dalam segala yang ada.”
Ibn Arabi menjelaskan dalam sebuah syair:
* jika engkau mengatakan dengan tanzih maka engakau membuatNya terikat
* jika engkau mengatakan dengan tasybih engkau membuatNya terbatas
* jika engakau katana dengan dua hal tadi maka engkau benar
* engkau menjadi imam dalam ma’rifat dan menjadi penghulu.
Penafsiran Ibn Arabi tentang tanzih dan tasybih sesuai dengan doktrin ontologisnya tentang wahdatulwujud, yang bertumpu pada perumusan ambiguous:
“Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa) sebagai jawaban atas persoalan apakah alam identik dengan Tuhan. Dalam perumusanini terkadnung dua bagian jawaban:
bagian positif, yaitu ‘Dia’ dan bagian negatif, yaitu ‘bukan Dia’.
Bagian pertama menyatakan bahwa alam identik dengan Tuhan. Bagian terakhir menegaskan aspek tanzih Tuhan. Dapat pula dikatakan bahwa penafsiran Ibn Arabi tentang tanzih dan tasybih sejalan denagn prinsip memadukan segala hal yang bertentangan. Misalnya antara Yang Satu dan yang banyak, Yang Lahir dan Yang Batin. Oleh sebab itu dinaytakan Hakikat Muhammad lah yang menghimpun antar aspek tanzih dan tasybih antara Qran dan Furqan antara Jama’ dan Tafsil.
Ada ungkapan-ungkapan kaum sufi yang mengisyaratkan tasybih yang dikenal dengan syatahat seperti ungkapan Biyazid: “Maha Suci Aku betapa Agung keadaanKu.” Begitu juga imam Junaid: “Tidak ada dalam jubah ini selain Allah.” Al-Hallaj juga berkata: “Ana al-Haq.” Abu Bakar as-Syibli berkata: “Aku adalah titik dibawah Ba.” Perkatan ini semua mengandung tasybih al-Haq dengan yang baharu. Ada sebagian kaum yang mengkafifkan orang yang berkata demikian dan ada yang menta’wilkan. Kaum sufi berkata demikian dalam keadaan iluminasi dan menyaksikan Wajah Yang Satu hingga mereka menyatakan ungkapan syatahat (ungkapanyang janggal dalam keadaan fana). Sedangkan Fir’aun mengatakannya dalam kesadaran penuh akan keberadaan nafsunya dan keberadaan dirinya sebagi Tuhan dan tidak mengaku adanya Allah.
Ini semua berkaitan dengan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Sepanjang sejarah pembicaraan ini taidak pernah habisnya, karena kasus Keesaan Tuhan terus bergulir. Ulama salaf mengimani ayat mutasyabihat dalam batasan tdiak menta’wilkan sebagaimana ungkapan Imam Malik: “Istiwa’ itu diketahui artinya, kaifiyyahnya tidak diketahui,beriman dengannya wajib, bertanya mengenainya bid’ah.” Ulama khalaf menta’wilkannya, ada yang menta’wilkannya dengan berkuasa dan mengatur. Sedang kaum Mu’tazilah mensucikan Tuhandari segala sifat apa lagi sifat yang bahari dengan alsan jika sifat itu qadim maka akan banyaklah yang qadim. Kaum mujassimah menyamakanNya dengan yang baharu dan seterusnya.
Berkaitan dengan muhkamat dan mutasyabihat ini dijelaskan dalam al-Quran surat Ali-Imran ayat 7:
Huwal lazi anzala…..
Artinya: Dialah yang menurunkan al-Quran kepadamu diantaranya ada yang muhkamat itulah ummul kitab (induk kiab) dan yang lainnya mutasyabihat.”
Jadi ayat yang muhkamat mewakili aspek tanzih sedang yang mutasyabihat mewakili aspek tasybih. Mengenai ayat ini Ibn Arabi menafsirkan ayat muhkamat adalah yang mengandung makna yang satu yang merupakan asal kitab dan tidak dimasuki penyerupaan dengan yang baharu, sedang yang lain mutasyabihat. Mutasyabihat ini yang mungkin memiliki dua makna atau lebih atas samr di situ antara yang haq dan yang batil, hal ini dikarenakan bahwa Allah memiliki Wajah Yang Esa dan Kekal setelah fananya makhluk yang tidak mengandung pluralitas dan keterbilangan disamping itu Allah juga memiliki wajah-wajah yang banyak sesuai dengan cermin-cermin penampakanNya berdasarkan potensi penampakanNya dan seluruhnya bersumber dari Wajah Yang Satu tadi. Pada wajah yang banyak inilah samar antara Haq dan yang batil maka turunlah ayat al-Quran agar ayat-ayat mutasyabihat diletakkan pada wajah-wajah yang sesuai dengan potensinya hingga setiap sesuatu berkaitan dengan yang lain sesuai dengan kesiapannya. Maka dari sinilah timbul ujian dan cobaan. Adapun orang ‘arif yang muhaqqa yang mengenal Wajah Yang Kekal dalam berbagai gambaran dan bentuk mengenal wajah tersebut dari wajah-wajah yang mustasyabihat maka ia mengembalikannya kepada muhkamat melaksanakan perkataan penyari:
“Sungguh Wajah hanyalah Saturda
Namun jika engkau perbanyak cermin Ia menjadi terbilang.”
Adapun orang yang terhijab (atau orang yang bengkok hatinya) dari kebenaran maka dia akam mengikuti yang mutasyabihat karena ia terhijab dari Yang Satu oleh yang banyak dan memilih keyakinan sesuai dengan seleranya untuk menyebarkan fitnah.
Jalan untuk mengenal yang muhkamat dan mutasyabihat adalah lewat cermin Muhammad Saw mengikuti ajarannya dengan memasrahkan pengetahun mengenai hal tersebut kepada Allah agar Allah membukakan kepad akita dan mengenalkan diriNya kepada kita. Hal ini yang dijelaskan oleh Ibn Arabi dalam kitabya Fusus al-Hikam dalam Fas Nuh As:
“Ketahuilah bahwa Allah menuntut dari hambanya untuk mengenalNya sebagaimana yang telah diterangkan oleh Lisan segala syariat dalam menyifatiNya, maka akal tidaklah boleh melampauiNya sebelum datangnya syariat, ilmu mengenaiNya pensucian dari sifat-sifat baharu, jadi seorang ‘arif adalah orang yang memiliki dua pengenalan tentang Allah: pengenalan sebelum datangnya syariat dan pengenalan yang ia peroleh dari syara’, akan tetapi syaratnya hendaklah ia menyerahkan ilmu tersebut kepada Allah, jika Allah menyingkapkan baginya tentang ilmu itu maka hal itu merupakan anugrah dari pintu pemberian Zat Allah.”
Kesimpulannya Allah Mutlak dengan keterbatasanNya dan Terbatas dengan kemutlakanNya. Dalam kata lain Allah Mutlak dari segi ZatNya Yang Maha Suci dari seala sifat dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, af’al, dan mazahir kauniyah (fenomena-fenomena alam) yang merupakan tajalliyatNya yang tak terhingga. Jadi penampakanNya itu sendiri tidak terbatas, karena kalimatNya tidak pernah habis. Inilah yang disebut sebagai lautan yang tak bertepi.Dialah Yang Maha Esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak adalah pada hakikatnya wajah-wajah dari Zat Yang Esa. Yang banyak adalah tiada dan yang ada hanya Zat yang Esa. Dialah jami’ atau penghimpun segalanya dan fariq yang membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek JamalNya (keindahan) mewakili tasybih dan aspek JalalNya (keagungan) mewakili tanzih keduanya mewujudkan Kamal (kesempurnaan) bagi ZatNya. Namun keseluruhannya itu menunjukkan kemutlakan yang tak terhingga.
Di atas semua itu pengenalan akan Allah adalah ketidak tahuan. Kelemahan untuk mengenalNya adalah pengenalan. Mengutip perkataan Abu Talib al-Makki: “Tiada ada yang mampu mengenal, “tidak ada yagn setata denganNya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat” kecuali “Tidak ada yang setara denganNya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”.
Directions:
Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemahaman_Sufisme_Ibn_Arabi
…
Home About
Kepala Ikan untuk Sang Nelayan
Seorang nelayan salih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.
Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.
Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. “Itulah rumah Syaikh,” ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana.
Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang perjalanan ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi seorang guru sufi.
Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh karpet-karpet mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.
Si murid lalu dibawa menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, “Katakanlah pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.”
Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya. “Lalu,” tanya nelayan itu, “apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?”
Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi. Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah kehairanan, bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.
“Dia benar,” jawab sang nelayan, “ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh.
No comments
Post a Comment