Epos La Galigo "Mahakarya Suku Bugis"
Apakah anda orang bugis asli atau sekedar dilahirkan di tanah bugis atau juga karena orang tua yang berdarah bugis. Jika anda merasa asli bugis anda pasti tahu tentang epos La Galigo, yakin anda tahu???
Nama ini sangat popular di kalangan orang tua dahulu, bagi sebagian besar anak bugis jaman sekarang mungkin hanya pernah mendengar tentang La Galigo tapi tidak mengerti apa itu. Orang tua dahulu dan sebagian peneliti dan pencinta sastra amat sangat mengetahui dan tertarik pada sosok yang satu ini. Meskipun lama tersembunyi dalam peti sejarah namun ialah warisan besar dunia, mahakarya orang bugis.
La Galigo merupakan epos dari salah satu suku di Indonesia, yaitu suku Bugis yang tidak kalah hebatnya dari epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Dan konon, inilah epos terpanjang di dunia. Sinopsisnya saja berukuran 2851 halaman folio. Menurut cerita, naskah aslinya mencapai 300 ribu baris. Coba bayangkan, enam kali lebih tebak dari buku Harry Potter seri ketujuh yang berjumlah 1008 halaman.
Epos La Galigo di duga kuat lebih tua dan ditulis sebelum epos Mahabarata, ditulis antara abad ke-13 danke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalamsajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanakpraktis sehari-hari.
Kisah La Galigo yang Unik
Secara umum, kisah La Galigo terbagi dalam dua bagian, bagian pertama berkisah mengenai penciptaan langit dan bumi, asal usul kehadiran manusia, dan nenek moyang raja-raja Bugis.
Bagian pertama ini dianggap sangat sakral, sehingga tidak sembarang orang boleh membacanya. Hanya kaum bangsawan saja yang diperkenankan membaca dan menyimpan naskah ini. Karena itu tidak mengherankan kalau tidak banyak yang bisa kita ketahui mengenai bagian pertama ini. ini.
“Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.”
“Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Cina, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Cina, ia menikah dengan puteri Datu Cina, yaitu We Cudai.”
Adapun bagian kedua berkisah mengenai tokoh utama, sang raja Sawerigading dan putranya I La Galigo. Kedua tokoh ini sangat unik.
Mengapa saya katakana sangat unik karena berbeda dengan epos dan kisah kepahlawanan lainnya dimana sang tokoh utama (sang pahlawan) adalah orang yang arif, bijaksana, welas asih, dan setia menjunjung tinggi kebenaran. Sementara dalam epos La Galigo karakter ini tidak akan kita temukan. Justru yang disuguhkan adalah seorang tokoh yang digambarkan nakal, manja, dan keras kepala.
Disinilah uniknya La Galigo, Gambaran tentang ketidak sempurnaan tokoh-tokohnya inilah yang membuat banyak peneliti tertarik dan jatuh cinta. Dari kisah La Galigo secara tidak langsung memberikan pelajaran kepada kita bahwa setinggi apapun status kebangsawanan, status social seseorang ia tetaplah seorang manusia biasa yang memiliki kelemahan, kekurangan dan keterbatasan.
Tidak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa epos La Galigo jauh melampaui zaman. Karena disaat epos-epos yang ada bercerita mengenai kehebatan seorang tokoh besar La Galigo justru menempatkan tokoh utamanya sebgai manusia yang teramat sangat biasa walaupun mereka adalah anak cucu para dewa. Kisah yang sudah berusia ratusan ribu tahun justru menggmbarkan kehidupan seseorang dengan model jaman sekarang.
Lahirnya epos La Galigo
Kuat dugaan karya ini muncul pada awal-awal abad masehi. Kisah ini kemudian hidup dan berkembang di tengah masyarakat Sulawesi, Kalimantan dan Semenanjung melayu, Kisah ini ditulis dalam bahasa Bugis kuno yang arkaik. Kisah ini diceritakan secara lisan maupun tulisan. Tak diketahui pasti siapa yang mengarang kisah ini.
Menurut penelitian yang dilakukan terhadap karya La Galigo sendiri, besar kemungkinan ditulis oleh perempuan bangsawan. Kesimpulan ini didasarkan pada dua hal. Pertama, adanya kerancuan geografis di La Galigo. Tempat yang jauh, disebutkan dicapai hanya dalam waktu sebentar. Sementara tempat yang sebenarnya dekat, dicapai dalam waktu berbulan-bulan. Ini menandakan si pembuatnya orang yang tak tahu dunia perlayaran. Kedua, La Galigo menggambarkan secara detil upacara adat Bugis. Hal ini hanya mungkin diceritakan oleh seorang perempuan bangsawan.
La Galigo, Nasibmu Kini
Kisah dalam naskah La Galigo memang hebat, namun sayang nasibnya begitu malang. Berabad-abad lamanya, epos luar biasa ini tercecer. Setiap episodenya terserak entah dimana saja. Setiap bangsawan bugis menyimpan beberapa penggal episodenya sediri. Sehingga untuk melacak keseluruhan episode, diperlukan kerja keras, serta waktu yang lama. Sungguh bukan pekerjaan mudah.
Adalah Colliq Pujie, bangsawan Bugis yang berjasa menyelamatkan naskah-naskah itu. Ia mengumpulkan semua cerita dalam 12 jilid kitab dengan total 2.851 halaman. 12 jilid ini merupakan ringkasan cerita La Galigo. Ia mulai mengerjakan naskah ini tahun 1852, atas dorongan seorang peneliti Belanda bernama D.R.B. F. Matthes.
Ironisnya, meski naskah ini asli milik Indonesia, namun yang menyimpannya justru Perpustakaan di negeri Belanda, tepatnya di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden, Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua. Dalam sebuah ruangan bersuhu 18 derajat Celcius. Di ruangan ini tersimpan ratusan fragmen La Galigo dalam bentuk manuskrip. Koleksi naskah La Galigo di perpustakaan ini merupakan yang paling lengkap di dunia. Karena koleksi milik bangsawan Bugis sendiri tak ada yang selengkap itu.
Naskah La Galigo di sini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro.
Tersimpannya la Galigo jauh di negeri Belanda bukan tanpa alasan, ada alasan khusus mengapa La Galigo tak mungkin di simpan di bumi tempat lahirnya La Galigo, Sulawesi Selatan. Iklim disini terlalu panas bagi manuskrip tua. Sedang Belanda, memiliki iklim yang lebih bersahabat.
Dan sebagai putra putrid berdarah bugis kita patut berbangga, bahwa kita memiliki warisan budaya yang tiada ternilai harganya, yaitu epos La Galigo. Suatu kisah kehidupan nenek moyang kita di abad ke-14, dan masih bisa kita temukan sekarang walaupun tidak utuh lagi.
Anda penasaran untuk melihat manuskrip aslinya? Bila anda memiliki cost yang cukup besar silahkan temukan di Leiden, Belanda. Namun didalam negeri sendiri juga terdapat di Yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dimana di tempat ini terdapat 600 muka surat epic La Galigo, dan ada juga masih menjadi koleksi pribadi khususnya pada bangsawan-bangsawan Bugis.
KITLV, Leiden |
No comments
Post a Comment