Epos I La Galigo : Dari Langit, Kembali ke Langit
Seorang lelaki berusia senja, terkulai lemas
dalam satu kamar tidur berukuran 3x3 meter. Ia sudah bersiap pasrah
untuk menyambut kematiannya. Tanda-tanda itu sudah bisa diduganya. Dari
kedatangan sosok mahluk gaib berpakaian hitam dalam mimpinya. Sosok itu
membawa ke alam bawah sadarnya, ke suatu tempat yang sudah asing baginya.
“Semalam
ada sosok hitam datang. Ia datang tersenyum dan mengajak ke suatu
tempat yang indah,” ujar pria tua itu. Ia terdiam sambil mengatur
kembali nafasnya.
Kemudian
bercerita lagi. “Tempat itu begitu indah. Ada air terjun yang airnya
jernih. Bukit-bukit dan rumput yang hijau. Dan sungai yang mengalir
dengan airnya yang bersih.”
Sosok tua ini, aku mengenalnya bernama La Nibe. Ia orang asli Ussu,
Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Seorang anak keturunan Cerekang.
Tempat yang menjadi asal muasal kebesaran masyarakat Bugis dengan tokoh
besar Sawerigading yang termuat dalam karya sastra I La Galigo.
Ia
tinggal di Jakarta. Seorang perantauan pasca pembersihan gerakan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan pimpinan
Kahar Muzakkar. Masa perjuangan itu, ia dikenal sebagai komandan
batalyon wilayah Tenggara. Tugasnya, membersihkan rintangan jalur yang
akan dilewati Kahar Muzakkar.
“Tentara
ditipu oleh Kahar Muzakkar. Kahar membawa-bawa nama Islam untuk
kepentingannya. Padahal, tujuan utama dari tentara di Sulawesi Selatan
adalah meminta pengakuan dan kedaulatan dari pemerintahan Soekarno,”
kenangnya
Kisah
soal Batara Guru, Sawerigading, maupun karya I La Galigo, La Nibe
memang tak terlalu banyak tahu dari referensi atau melihat langsung
karya sastra apik itu, Namun, ia lebih mengenal legenda
itu dari teturunannya langsung. Tentang petunjuk-petunjuk, tradisi, dan
segala pola laku yang harus dilakukan oleh para teturunannya. Bahkan
mitos-mitos yang kerap secara tidak sadar terjadi pada dirinya.
Dan
mau tidak mau, La Nibe tidak bisa menolak petuah yang sudah berlangsung
turun menurun. Baginya, petuah itu merupakan bagian garis hidupnya.
Sudah menjadi harga mati yang sulit ditawar lagi. “Sudah ada petunjuk
sendiri petuah itu datang. Dan tidak bisa ditolak lagi. Karena datang
tanpa disadari, namun dilanggar baru dapat dirasakan,” ujarnya.
Tantangan
itu seperti diharamkan memakan pisang manurung atau pisang gepok.
Pisang jenis ini oleh para teturunan Sawerigading, ditasbihkan sebagai
tubuhnya sendiri. Jika teturunannya yang “ditunjuk” memakannya, sakit
akan mendera pada dirinya. “Ibarat makan diri sendiri,” tuturnya.
“Makan
satu pisang, maka sakit yang harus ditanggung bisa tiga hari lamanya.
Jika sampai makan lebih dari satu pisang, muntah darah akan dialaminya.
Dan itulah yang kerap terjadi. Makanya, akhirnya petuah itu disampaikan
kepada anak-anaknya untuk seupaya mungkin tidak memakan pisang gepok,”
ujar La Nibe.
Riwayat
“haram” pisang gepok, punya keterkaitan dengan lahirnya Sawerigading di
bumi. Pada epos I La Galigo, Sawerigading dilahirkan terbungkus bambu
betung atau bambu kuning. Dalam kisah-kisah terjemahan saat ini, tidak ada yang menyinggung sama sekali soal riwayat pisang gepok yang menjadi pembungkus untuk menghangati Sawerigading saat dilahirkan.
Saking
hangatnya daun pisang gepok, akhirnya menyatu dalam daging tubuh
Sawerigading. Ketika buah pisangnya akan dijadikan makanan, maka oleh
Batara Guru tidak diperbolehkan. Maka keluarlah petuah, bagi
teturunannya tidak diperbolehkan makan pisang itu. Entah buah, daunnya
atau seluruh bagian dari pisang itu.
“Agar
tidak dilanggar oleh teturunannya, maka Cerekang yang tadinya ditumbuhi
pohon pisang gepok, sampai sekarang sudah tidak bisa ditemukan lagi. Pernah ada yang mencoba menanamnya, tapi selalu tidak berbuah dan mati,” ujar La Nibe.
Dalam
hal perkawinan. Nikah antara saudara sepupu, tidak menjadi hal yang
dipertantangkan. Dari pandangan medis, nikah yang dilakukan antar gen
yang masih satu darah cenderung akan melahirkan anak dengan mental
kurang normal. Bagi keturunan Sawerigading, hal itu terbantahkan.
Dalam
legenda Sawerigading, ia menikah dengan sepupu satu kalinya, We Cudai.
Ia anak dari Remmang Li Langi, adik kandung La Toge’Langi (Batara
Lattuq) ayah Sawerigading.
Kenyataannya, hingga saat ini perkawinan sepupu tetap dianggap sah-sah saja dan tidak
mengganggu keturunannya. Anak-anaknya terlahir normal dan tidak ada
gangguan sama sekali dari kejiwaannya. Yang sangat diharamkan adalah
perkawinan saudara satu kandung.
Mengenai kepercayaan, Orang ‘Ussu’ atau teturunan Sawerigading tidak mengenal secara khusus kepercayaannya. Mereka mengakui Islam sebagai agama bumi, tapi tidak melakukan ajarannya. Menyakini, agama bumi adalah yang sebatas identitas duniawi. Tapi dianggap tidak bisa menjamin keberadaannya, setelah priode kehancuran bumi.
Namun
berdasarkan referensi, sejak Islam belum banyak dianut di daratan
Sulawesi, hampir semua masyarakat memunyai kepercayaan yang disebut To Lotang.
Penganutnya memercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut "Dewata
Seuae". Menurut mereka, kehidupan manusia di dunia ini adalah kehidupan
periode kedua. Periode pertama yakni periode zaman Sewerigading dan
pengikutnya.
Beberapa
masyarakat di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, kepercayaan To Lotang
hingga saat ini masih terus dianutnya. Kepercayaan itu, kitab sucinya adalah La Galigo dan Sawerigading dianggap Nabi. Namun setelah masuknya agama Islam, akhirnya terbagi dua aliran. To Lotang To Wani dan To Lotang To Benteng.
Aliran To Lotang To Wani pada dasarnya, melaksanakan agama leluhur secara murni. Sedangkan To Lotang To Benteng menjadikan agama Islam sebatas perkawinan dan kematian, namun sehari-harinya melaksanakan ajaran To Lotang.
Pada aliran To Lotang To Wani,
ajarannya tidak mengikuti Sawerigading, namun mengikuti ajaran La
Pannaungi. Perkawinan dan penyelenggaraan kematian, dilaksanakan oleh
adatnya sendiri.
Sedangkan To Lotang To Benteng,
mengakui sebagai penganut langsung Sawerigading. Tapi mereka mengakui
keberadaan agama Islam. Acara perkawinan dan kematiannya menerapkan
ajaran Islam. Dan aliran ini memercayai adanya perjalanan langit tujuh
dan bumi 7 lapis.
“Saya
tidak tahu aliran atau agama itu. To Lotang atau jenis lainnya,” kata
La Nibe. “Islam hanya bagian dari kepercayaan masing-masing dan memang
diakui. Namun dalam kepercayaan keturunan Cerekang. Tidak harus
menjalani syariat Islam. Seperti sembahyang.”
Kepercayaan
bagi keturunan Sawerigading adalah, adanya tempat yang sudah disiapkan
oleh raja langit bagi para teturunannya yang berada di bumi. Ketika
terjadinya priode kehancuran manusia, maka mereka percaya ada tempat sendiri yang tidak disatukan oleh manusia bumi lainnya.
Keyakinan dipegang teguh hingga saat ini, meyakini bahwa mereka adalah keturunan La Patiganna atau La Toge’Langi dari Kerajaan Langit dan Guru Ri Selleng dari Kerajaan Gaib.
Hingga saat ini, mereka masih meyakinin bahwa
kematiannya akan disambut oleh para leluhurnya di ‘surga’ langit.
Sebelum datangnya kematiannya, mereka akan diperlihatkan satu tempat
yang indah oleh sosok manusia gaib berjubah hitam agar bisa pasrah menyambut kematiannya. Sosok berpakaian berjubah hitam itu, dianggap sebagai utusan kerajaan gaib Guru Ri Selleng yang bertugas membuka jalan dan membukakan pintu langit bagi para teturunan Sawerigading.
“Sosok
itu sering datang. Bahkan hampir sering memperlihatkan dirinya dengan
jelas. Namun tidak pernah bisa mengingat wajahnya,” ujar La Nibe.
Sebulan
setelah sosok manusia gaib berjubah hitam itu datang, nafas hidup La
Nibe mulai kembang kempis. Ia tahu, hidupnya di bumi akan segera
berakhir dan sudah harus bersiap diri untuk menuju kehidupan langit.
Diyakini akan bertemu dengan teturunan lainnya. Dan ia menghembuskan
nafasnya. Mati.
II
Epos I
La Galigo, tak lepas dari nama sosok Sawerigading yang menjadi tokoh
utama dalam legenda itu. Kisah ini berawal ketika kerajaan di langit
mengetahui adanya wilayah bumi yang masih kosong. Raja La Patiganna mengadakan musyawarah dengan keluarga dari kerajaan langit lainnya, Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib.
Dalam pertemuan kerajaan itu, akhirnya terjadi kesepakatan agar adanya utusan dari kerajaan langit untuk mengisi kehidupan di bumi. Akhirnya, terpilihlah anak La Patiganna bernama La Toge’Langi yang dinikahkan dengan sepupunya sendiri, We Nyili’Timo. We Nyili’Timo adalah putri Guru Ri Selleng dari kerajaan gaib.
La Toge’Langi
dinobatkan menjadi Raja Alekawa (Bumi) dengan memakai gelar Batara
Guru. Untuk mendapatkan gelar itu, Batara Guru harus menjalani masa
ujian selama 40 hari 40 malam. Usai berakhir, akhirnya pasangan itu
diturunkan di Ussu. Satu wilayah di Sungai Cerekang, Kabupaten Malili,
Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Dari
perkawinan Batara Guru dengan We Nyili’Timo, lahirlah seorang anak
bernama La Tiuleng yang bergelar Batara Lattuq yang sekaligus menjadi
pangeran kerajaan Luwu. Setelah dewasa, Batara Lattuq dinikahkan oleh
anak La Urumpassi, We Datu Sengeng. Usai pernikahan, akhirnya Batara
Guru dan istrinya kembali ke langit. Maka, tahta kerajaan diserahkan
kepada Batara Lattuq.
Dari
perkawinan Batara Lattuq dengan We Datu Sengeng, maka lahirlah anak
kembar emas. Yang laki-laki diberi nama Sawerigading, dan yang perempuan
bernama We Tenriabeng. Saat proses kehamilan Sawerigading, ia
ditempatkan dalam satu batang bambu betung. Dan nama yang disematkan
memunyai makna Sawe berarti menetas dan Ri Gading berarti di atas bambu (bentung).
Namun
sebelum anak kembar emas itu lahir, Batara Guru sudah berpesan kepada
Batara Lattuq, agar kedua anak emasnya dipisahkan. Karena, Batara Guru
melihat tanda-tanda, jika dewasa nanti Sawerigading akan terpicut dan
jatuh hati pada adik kembar perempuannya itu.
Jika
perkawinan antara Sawerigading dengan We Tenriabeng terjadi, maka sudah
dianggap melanggar ketentuan alam bumi dan langit. Maka, akan terjadi
bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri
akan mengalami bencana yang luar biasa.
Ternyata
tanda-tanda yang dikhawatirkan Batara Guru atas Sawerigading terhadap
adik kembar emasnya, terjadi. Ketika diam-diam melihat sosok We
Tenriabeng, Sawerigading langsung terpicut dan jatuh hati, bahkan ingin
menikahinya. Atas gelagat itu, rencana itu mendapat tentangan dari
rakyat.
Karena
tidak ingin melanggar dan terjadi bencana bagi kehidupan di bumi, We
Tenriabeng membujuk Sawerigading untuk tidak melanggar pantangan yang
sudah diultimatum oleh ayahnya, Batara Guru.
We
Tenriabeng kepada Sawerigading mengatakan, masih ada sosok perempuan
yang wajah dan perawakannya sama persis dengan adik kembar emasnya itu.
Namanya We Cudai yang masih berdarah sepupu. Adalah putri dari La
Sattumpugi dari Kerajaan Cina yang sekarang berada di daerah Pammana,
Wajo, Sulawesi Selatan. La Sattumpugi adalah adik dari Batara Lattuq.
Keberangkatan Sawerigading penuh dengan rasa kecewa dan ia bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya di tanah Luwu.
Ia akhirnya berangkat ke Kerajaan Cina. Dan bersamaan dengan itu, We
Tenriabeng langsung naik ke langit dan menikah dengan Remmang Ri Langi.
Di Kerajaan Cina, Sawerigading tidak mudah mendapatkan We Cudai. Ia harus bertarung dengan tunangan
We Cudai, Settiaponga. Sawerigading menaklukkannya dalam pertempurannya
di tengah laut dalam perjalanan menuju Kerajaan Cina.
Akhirnya,
Sawerigading menikahi We Cudai. Dari perkawinannya, melahirkan anak
pria bernama I La Galigo yang bergelar Datunna Kelling. Anak inilah,
yang akhirnya menjadi penerus Kerajaan Luwu. Dan dari masa kejayaan I La
Galigo, ia membuat karya sastra monumentar tentang silsilah keluarganya
sendiri. Kisah yang sebenarnya biasa saja, namun masa yang
membedakannya.
I
La Galigo menuliskannya dalam lembaran lontara. Ia menceritakan
bagaimana asal muasal turunannya ada di bumi dari langit. Dalam epos itu
juga, I La Galigo menceritakan ayahnya, Sawerigading yang memunyai nama
besar dalam kehidupan masa masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Dan
akhirnya, menjadi legenda tersendiri bagi masyarakat Cerekang dan
sekitarnya, serta didaku menjadi sosok besar kehidupan bumi.
III
Kisah-kisah Sawerigading dengan epos kebesaran
cerita I La Galigo, sudah kian santer seantero negeri ini dan dunia.
Seakan menjadi catatan maha penting tentang keberadaban masyarakat Suku
Bugis, Sulawesi Selatan. Bahkan menjadi helaian untuk lembaran terbesar
sejarah manusia bumi.
Naskah
Galigo diperkirakan lebih panjang satu setengah kali dari hikayat
India, Mahabarata. Jumlah halaman naskah ini diperkirakan mencapai 6.000
lembar. Setiap halaman folio mengandung sekitar 50 baris, dengan suku
kata antara 10 dan 15. Artinya, bisa diperkirakan, seluruh cerita / La
Galigo panjangnya sekitar 300 ribu baris.
Naskah
Galigo yang mencapai 300 ribu baris, aslinya kini tersimpan di
Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal, Leiden, Belanda.Bandingkan
dengan naskah Mahabarata yang hanya sekitar 160 ribu-200 ribu baris.
Rajutan
cerita I La Galigo tidak serta merta hanya menjadi legenda atau mitos
semata, jejak-jejak itu hingga kini masih terus dipelihara dan
mendarahdaging bagi para teturunannya. Sehingga tidak hanya sekedar satu
alur tentang kebesaran, melainkan rangkaian jalan hidup yang akhirnya
mau tidak mau harus dilakukan oleh para keturunannya hingga saat ini.
Berawal
dari Sungai Cerekang. Dalam legenda I La Galigo, inilah sungai yang
menjadi labuhan Sawerigading. Adalah satu perkampungan yang dikenal
sebagai suku ‘Ussu’ di Kampung Cerekang. Berada di perbatasan antara
Wotu (Luwu Utara) dan Malili (Luwu Timur).
Saya
sempat mendatangi kembali sungai legendaris itu. Tak luas-luas banget,
sekira lebar lima meter. Sungai itu, mengalir hingga ke laut lepas. Beberapa
rumah penduduk asli Cerekang, masih terus bertahan. Pemukiman itu,
kebanyakan berada di pinggiran jalan poros trans ujung tenggara Sulawesi
Selatan. Masih ada perahu-perahu kecil (ketinting) yang bersandar.
Namun, tak ada lagi pemukiman di bagian sungai paling dalam ke arah perbukitan. Semakin ke dalam bagian sungai, kian menyempit. Bahkan hanya terlihat semak belukar dan hutan belantara. Suasana benar-benar senyap. Kerap merinding. Seram.
Cerita
yang berkembang di masyarakat itu, sungai itu sekarang di huni oleh
seekor buaya putih yang menjadi penjaga sungai Cerekang. Buaya yang dapat berjalan layaknya manusia dan dapat mengenal darah teturunan Cerekang atau tidak. Konon,
wilayah yang dijaganya adalah gerbang kerajaan Batara Guru yang
merupakan ayah kandung Sawerigading. Tokoh utama legenda cerita I La
Galigo.
Bagi
teturunan Sawerigading, mitos dan fakta hanya beda-beda tipis. Apalagi,
bagi keturunan yang mendapatkan petuah atau amanah atas kesaktian dan
kebesaran Kerajaan Langit dan Kerajaan Gaib, maka akan dibekali kekuatan supranatural yang tidak dimiliki oleh keturunan lainnya.
Malili merupakan wilayah yang dikeliling perbukitan dan Sungai Malili hingga ke lautan. Masyarakat
setempat sangat percaya, keberadaan manusia pertama bumi, Sawerigading,
tidak hanya sekedar legenda. Keyakinannya berdasarkan benda-benda alam
yang dihubungkan dengan tokoh Sawerigading.
Saya
sempat mendatangi beberapa tempat yang menjadi hikayat rakyat Sulawesi
Selatan. Tempat yang berkaitan dengan Sawerigading adalah Pulau
Bulupoloe. Dengan menggunakan ketinting (perahu kayu) dari Pelabuhan
Belantang, Malili, ibukota Luwu Timur, menempuh waktu dua jam mengarah
ke laut lepas.
Hikayat
Pulau Bulupoloe, tempat itu adalah bekas timpaan pohon Welenreng yang
rebah untuk dijadikan perahu Sawerigading saat akan berangkat ke
Kerajaan Cina di tanah Wajo. Tujuannya, menjumpai sepupu yang akhirnya
dijadikan istrinya, We Cudai. Rebahan pohon itulah, yang membentuk pulau.
Kisah
La Galigo tidak hanya sekedar dianggap karya sastra belaka, namun juga
menyebar dalam bentuk lisan ke berbagai daerah. Tak hanya dikenal
masalah Sulawesi semata, tapi menyebar hingga Kalimantan dan Semenanjung
Malaysia.
Menurut Nurhayati Rahman dalam disertasinya Sompeqna Sawerigading Lao Ri Tana Cina: Analisis Filologi dan Semiotik I La Galigo, karya
La Galigo telah menempatkan dirnya menjadi karya sastra yang mampu
merefleksikan dirinya dan menghegemoni dalam masyarakat.
Sebagai
karya sastra, La Galigo memiliki konvensi-konvensi yang terealisasi
dalam estetika dan muatan etikanya. Keindahannya La Galigo
termanifestasi pada konvensi bahasa, sastra, metrum serta alurnya.
Isinya meliputi berbagai macam sumber tradisi, norma-norma, serta
konsep-konsep kehidupan masyarakatnya.
Peristiwa dan tokoh dalam La Galigo, bagaikan
satu pertunjukan menyangkut suasana kehidupan manusia Bugis beserta
aktifitas sosial dan kulturalnya pada suatu zaman. Sehingga, karya itu
memiliki estetika yang tinggi dan punya manfaat sebagai sarana
kebudayaan untuk kehidupan kemanusiaan.
Dari
kenyataan itu, nilai-nilai yang terkandung dalam La Galigo, masih
tertanam dalam diri masyarakat dan budaya manusia Bugis. Tidak goyah
walau adanya desakan yang kuat oleh kemajuan ilmu pengetahun dan
teknologi. Sehingga, kehilangan jejak sejarahnya. Kini, hanya jejak keturunan individu yang masih bisa merangkaikan kebesaran karya sastra I La Galigo.
Syair indah yang dilontarkan oleh Batara Lattuq (Yakni Ayahanda Sawerigading) kepada We Datu Sengngeng (Yakni Ibunda Sawerigading);
Bahasa Bugis
Kuruq sumangeq anriq ponratu
Le muaseng gi belo jajareng maroeqe
Palaguna le goarie
Tekkuturusi rajung-rajummu
Pesewalimmu mutia simpeng masagalae
Ala rini le upatudang mulu jajareng ri laimmu
Tenna io mi anriq ponratu
Mulu jajareng ri sao denra manurungnge
Sining anukku, anummu maneng anri
Mugiling paleppangiaq rupa mabboja
Kuruq sumangeq anriq ponratu
Le muaseng gi belo jajareng maroeqe
Palaguna le goarie
Tekkuturusi rajung-rajummu
Pesewalimmu mutia simpeng masagalae
Ala rini le upatudang mulu jajareng ri laimmu
Tenna io mi anriq ponratu
Mulu jajareng ri sao denra manurungnge
Sining anukku, anummu maneng anri
Mugiling paleppangiaq rupa mabboja
Terjemahannya
Kur semangat adinda
Tahukah engkau duhai hiasan balairungku yang ramai
Bulan purnama penghias bilikku
Kupenuhi seluruh keinginannmu
Tak ada lain yang duduk di balairungku selain engkau
Engkaulah satu-satunya adinda
Permaisuriku di istana agung manurung
Segala milikku, milikmu jua adinda
Berpalinglah memandangku dengan tatapan cinta
Kur semangat adinda
Tahukah engkau duhai hiasan balairungku yang ramai
Bulan purnama penghias bilikku
Kupenuhi seluruh keinginannmu
Tak ada lain yang duduk di balairungku selain engkau
Engkaulah satu-satunya adinda
Permaisuriku di istana agung manurung
Segala milikku, milikmu jua adinda
Berpalinglah memandangku dengan tatapan cinta
No comments
Post a Comment