Breaking News

Al-HUJWIRI DALAM "KASYF AL-MAHJUB LI ARBAB AL-QULUB"


NAK KENAL KE.....Al-HUJWIRI DALAM "KASYF AL-MAHJUB LI ARBAB AL-QULUB"
Sayyid Abul Hasan `Ali bin 'Uthman al-Hujwiri (Data Ganj Bakhsh) rahimahullah dilahirkan di Hujwer, Ghazna, Afghanistan. Tarikh kelahiran dan kewafatannya tidak diketahui secara pasti, apa yang pasti adalah beliau hidup sekitar kurun ke-5H.

Berketurunan Rasulullah SAW, di mana ayahanda beliau adalah seorang syarif al-Hasani manakala bonda beliau pula adalah seorang syarifah al-Husaini. Beliau telah berkelana ke berbagai pelusuk dunia Islam untuk menimba pengetahuan dan telah bertemu dengan sosok - sosok gergasi dalam dunia keilmuan Islam, antaranya Imam al-Qusyairi dan murid beliau Syaikh Abu `Ali al-Farmadi yang merupakan salah seorang guru Imam Hujjatul Islam al-Ghazali.

Silsilah kerohanian beliau bersambung kepada Imam Junaid al-Baghdadi dan seterusnya kepada Sayyidina `Ali RA melalui guru beliau Hadrat Syaikh Abul Fadhl Muhammad bin Hasan al-Khuttali. Di antara kisah yang menarik mengenai beliau adalah ketika beliau menjejakkan kakinya ke Lahore atas perintah gurunya, binaan pertama didirikannya adalah sebuah masjid sebagai pusat dakwah beliau. Maka ramailah orang mendatangi beliau untuk mendengar nasihat dan ajarannya dan hal ini telah menimbulkan hasad dengki dalam hati sesetengah orang lalu mereka menyebarkan fitnah bahawa masjid yang didirikan oleh Imam al-Hujwiri itu menghadap arah kiblat yang salah. Fitnah yang semakin merebak itu memaksa Imam al-Hujwiri untuk mengundang penduduk Lahore termasuklah mereka-mereka yang dengki tersebut untuk hadir ke masjid untuk sholat. Setelah azan Maghrib dilaungkan, Imam al-Hujwiri pun mengimamkan sholat dan dalam sholat ketika beliau membaca ayat ke-6 surah al-Fatihah : "Tunjukilah kami jalan yang lurus", dengan izin Allah, terbitlah satu karamah di mana semua yang hadir bersholat tersebut dapat melihat di hadapan mereka Baitullah. Maka hilanglah keraguan mereka yang arah kiblat masjid tersebut salah. Maka tidak hairanlah kenapa sehingga kini Imam al-Hujwiri menduduki tempat istimewa dalam hati-hati umat Islam terutama sekali penduduk Lahore dan Pakistan. 

Imam al-Hujwiri terkenal dengan karya beliau "Kasyful Mahjub". Karya ini ditulis dalam Bahasa Farsi dan merupakan antara karya tasawwuf yang tertua dalam bahasa Farsi. Ianya telah diterjemah dalam Bahasa Arab, Inggeris dan juga Bahasa Melayu - Indonesia. Seorang bangsawan British, John Gilbert Lennard (1915 - 1978) menerima hidayah Islam setelah membaca "Kasyful Mahjub" dan setelah Islam beliau dikenali sebagai Shah Shahidullah
Moga Allah melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya ke atas Imam al-Hujwiri selama-lamanya ... al-Fatihah.

Al-Hujwiri sebagaimana yang telah tersirat dalam buku Kasyf Al-mahjub li Arbab Al-qulub yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa oleh para ilmuwan yang mengeluti ilmu tasawuf. Dalam versi inggris buku ini berjudul The kasf Al-mahjub: The oldest Persian Treatise on Sufism yang dikarang oleh 'Ali ibn 'Ustman Al-hujwiri sedangkan dalam versi indonesia berjudul Kasf Al-mahjub: risalah Tertua Tengtang Tasawuf.
Erti secara bahasa yakni "Menyingkap tabir kegaiban atau hakikat orang-orang untuk memiliki penglihatan tajam atau agar orang memiliki penglihatan tajam sebagaimana para sufi".

Biografi Al-Hujwiri
Sekilas tentang biografi Al-hujwiri mempunyai nama lengkap Abul-hasan Ali bin Ustman bin Ali Al-gaznawi Al-jullabi Al-hujwiri. Dari semua literatur sangat sedikit yang mengulas tentang biografi Al-hujwiri kebanyakan literatur membahas konsep-konsep tasawuf beliau. Dalam perjalanan mencari ilmu Al-hujwiri pernah belajar kepada:
Abul-fadhl muhammad bin Al-hasan Al-khutali (156 H),
Abul-hasan Al-husri (lahir 371 H),
Abul-Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Asyqani atau Al-syaqani(158 H),
Abul-Qasim Gurgani (159 H),
Khwaja muzhaffar (160 H),
Dan banyak lagi syaikh yang pernah dijumpainya dan diajak berbincang selama pengembaraannya.
Dalam pengembaraannya beliau berjalan dan berkeliling ke seluruh wilayah kerajaan islam dari kerajaan syiria hingga Tukistan dan dari Hindustan hingga laut kaspia. Diantara negeri-negeri tempat yang dikunjungi adalah Azerbaijan (63 dan 364 H), kuburan Bayazid di Bistham (72 H), damaskus, Ramla, dan Bayt Al-jin di syiria, thus dan Uzkan, kuburan Abu Sa'id bin Abul Khayr di Minha, merv, dan jabal Al-buttam di sebelah timur Samarkand. Dari salah satu penulusuran sejarah beliau pernah tinggal sementar di Irak, karena terimpit oleh utang-utang (informasi kurang kurang jelas)dalam bukunya beberapa orang menyimpulkan bahwa Al-hujwiri pernah mengalami masa perkawinan singkat dan tidak menguntungkannya.
Menurut Riyadh Al-Awliya, Beliau pindah ke Lahore dan mengakhiri masa hidupnya di kota ini. Dalam perjalanannya di kota ini beliau merasa terpenjara dan sedih dalam mengarang buku Kasyf Al-mahjub karena kitab-kitabnya tertinggal di ghazna.
Diperkirakan beliau wafat pada tahun 456 H (1063-4 M) atau 464 H (1071-2 M), namun nyatanya beliau hidup sejaman dengan Abul-Qasim Al-qusyayri yang wafat pada tahuN 465 H (1072 M).
Dalam mukadimah Kasyh Al-mahjub, Al-hujwiri sedikit mengulas tentang keluhannya bahwa dua karya awalnya telah disiarkan ke tengah khalayak ramai oleh orang-oarng yang telah menghapus namanya dari halaman judul, dan bermaksud agar mereka sendiri yang dianggap pengarangnya. Belajar dari pengalaman itu beliau banyak menampilkan nama-namanya pada setiap pembahasan dalam buiku Kasyf Al-mahjub. Dalm karya-karyanya beliau sempat merujuk berbagai buku ;
sebuah Diwam,
Minhaj Al-din, tengtang metode tasawuf, Karya ini berisi mengenai ulasan terinci Ahl-Al-suffah (83 H) dan riwayat Husayn bin Mansur Al-hallaj.
Asrar Al-khiraq wa Al-ma'umat, tentang jubah bertambal yang dikenakan kaum sufi.
Kitab-i fana u baqa', tentang kencongkaan dan kesembronoan pemuda.
sebuah karya yang tidak disebutkan judulnya, tentang perkataan Husayn bin Mansur Al-hallaj.
Kitab Al-bayan li Ahl Al-iyan, tentang persatuan dengan Allah.
Bahr Al-qulub
Al-ri'ayat li-huquq Allah, tentang tauhi Illahi.
sebuah karya lagi yang tidak disebutkan judulnya, tentang iman (258 H).
Dalam ungkapannya tidak satu buku yang diatas dilestarikan.

Kasyf Al-mahjub li Arbab Al-qulub, ditulis beliau pada akhir masa hidupnya yang sebagiannya ditul di Lahore. Sebagai jawaban juga atas pertanyaan-pertanyaan teman-temannya sekotanya, seperti Abu Sa'id Al-hujwiri.
Beliau adalah seorang sunni dan pengikut mazab hanafi akan tetapi beliau selau bessikap kritis terhadap sesuatu hal yang beliau rasa mengganjal dan banyak kotrofersi dalam perkembangan pada zaman itu. Seperti halnya dalam kasus Al-hallaj yang dhukum mati karena dituduh sebagai seorang tukang sihir, Al-hujwiri membela a-hallaj bahwa menyatakan ajaran Al-hallaj hanya berbau Wahdatul al-wujub dalam kulitnya saja. Tetapi Al-hujwiri memaqndang doktrin-doktri Al-hallaj tidak benar.

Kaedah
Dalam buku Kasyf Al-mahjub li Arbab Al-qulub beliau menulisnya secara komprehensif dan banyak mengutip dari para sufi untuk diperbincangkan secara mendetail. Tujuan mendasar buku ini ditulis adalah untuk menjawab banyak pertanyaan dari teman sebayanya dalam memahami konsep tasawu maupun tentang tauhid sebenar-benarnya.
Seperti halnya dalam buku ini banyak menghimpun sejumlah besar ujaran para Syaikh (guru sufi) yang beliau pandang sebagai sesuatu hal yang sulit untuk dipahami. Maka beliau berusaha mendiskusikan dan menjelaskan doktrin-doktrin dan praktik para sufi.
Dalam awal pembahasannya beliau menguji pendapat-pendapat byang ada topik itu dan menyangkalnya jika diperlukan. Oleh karena itu dalam buku ini beliau lebih condong kepada studi komparatif yaitu membandingkan pendapatnya sendiri dengan pendapat yang lain ataupun menjelaskannya menurt pandangannya.
Pembicaraan mengenai mistis dan pertentangan pendapat disemarakkan dengan berbagai ilustrasi yang diturunkan dari pengalaman pibadi Alhujwiri. Dalam hubungan ini Kasyf Al-mahjub li Arbab Al-qulub lebih menarik karena karya yang bernilai tinggi sebagai himpunan pendapat, hikayat, definisi akan tetapi beliau selalu mengikuti metode akademik dan condong ke arah formal dalam persepsi ortodok.
Seperti kebanyakan para sufi Al-hujwiri menyelaraskan teologinya dengan suatu corak mistikisme yang tinggi, dimana teori teori tentang pelenyapan (fana) menduduki tempat yang utama. Dalam ajaranya Al-hujwiri tidak sampai bersikap ekstream selayaknya orang yang panteis. Dia beranggapan dengan tegas menyatakan dan mempertahankan Zindiq (bid'ah) sebagai doktrin yang mengatakan bahwa pribadi manusia dapat bercampur dan sirna di dalam wujub Allah. Denagn mengandaikan pelenyapan dengan pembakaran api yang mengalihkan kualitas semua benda kepada kualitasnya sendiri tetapi membiarkan zat (esensi) mereka tidak berubah.
Sebagaimana pendapat Al-khutali dalam teori Junayd (ketenangan), dalam makna istilah mistis itu lebih disukai daripada kemabukan. Beliau sering kali memperingatkan dengan tandas bahwa semua sufi mencapai kekudusan tertinggi baik yang sudah maupun belum tetap terkena kewajiban menaati hukum agama (syari'at). Dalm segi lainnya, seperti pembangkitan ekstasi oleh musik dan nyanyian atupun penggunaan simbolisme erotik dalam puisi beliau menyatakan setidak-tidaknya berhati-hati.

Pembahasan
Dalam buku Kasyf Al-mahjub li Arbab Al-qulub Al-hujwiri banyak menuangkan pemikirannya yang berasal dari pengalamannya sendiri dan banyak mendefinisikan maupun menjelaskan secara komprehensif doktrin-doktrin para syaikh yang terdiri dai 25 bab. Oleh karena banyak faktor yang saya alami diantaranya keterbatasan waktu dan biaya dalam reset mendalam tentang ajaran-ajaran Al-Hujwiri, saya akan lebih mengulas sedikit ajaran Al-hujwiri yang tersirat karena masih banyak ajaran beliau yang tidak tersirat sebagaimana yang tertulis dalam buku Kasyf Al-mahjub li Arbab Al-qulub. Karena saya berpandangan bahwa suatu ilmu tidak ada batasannya dan tidak akan pernah mati jika diimplementasikan.


Konsep Tasawuf
"dan orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati, apabila disapa oleh orang-orang jahilmereka jawab dengan salam" (QS 25:63). Nabi bersabda "dia yang mendengar suara para sufi (ahl al-tashawwuf) dan tidak mengatakan amin bagi doa mereka, tercatat di hadapan Allah dalam daftar orang-orang yang lengah ". sebagian orang sufi menyatakan bahwa orang sufi disebut demikian karena dia memakai jubah bulu domba (jama'-i shuf) sedabgkan sebagian lagi menyatakan karena mereka berada dalam barisan pertama (shaff-i awwal), yang lain juga menyatakan bahwa sufi termasuk dalam golongan ashhb-i shuffah.
Shafa (kesucian) adalah terpuji lawan dari kadar (ketidak sucian). Nabi bersabda "shafw (bagian yang suci yaitu yang terbaik) dari dunia ini telah lenyap dan hanya kadar yang tertinggal".
Di zaman tuhan telah mendindingi kebanyakan orang dari tasawuf dan dari abdi-abdinya dan telah menyembunyikan rahasia dari hati mereka. Karena itu sementara orang membayangkan bahwa ia merupakan bagian dari praktek ketakwaan lahiriah yang tidak disertai dengan tafakkur batin dan yang lain menyangka bahwa ia merupakan suatu bentuk dan sebuah sistem yang tidak memiliki hakikat dan akar. Sedemikian rupa sehingga mereka telah berpandangan seperti pandangan para pengejek (ahl-i hazl) dan para ahli ilmu kalam yang memandang dari aspek lahirnya dan sekaligus mengutuk tasawuf tanpa ada usaha untuk menemukan apa hakikat tentang itu.
Nabi saw bersabda "sesungguhnya, kesucian adalah ciri khas orang shiddiq, jikia kau menginginkan atau mendambakan seorang sufi sejati". Bahwasannya kesucian memiliki akar dan cabang : akarnya adalah berupa keterpisahan hati dari yang lain dan cabangnya berupa kekosongan hati dari dunia yang memperdaya.
Seorang sufi terkemuka berkata : "Dhiya al-syams wa'l-qamar idza 'isytaraka namudzaj min shafa al-hubb wa al-tawhid idza 'isytabaka" (paduan cahaya matahari dan bulan seperti kesucian cinta dan pengesaan Illahi (tauhid) ketika mereka membaur bersama-sama). Mata tak dapat melihat cahaya matahari dan bulan damalam tampilan yang sempurna. Selama ada pengaruh dari sinar matahari, mata senantiasa melihat langit sedang hati melihat singgasana Illahi dan selagi masih hidup di dunia ini senantiasa menjelajahi alam mendatang (akhirat). Dan apabila seseorang telah terlepas dari maqam-maqam dan meretaskankan belenggu kadar "keadaan-keadaan (ahwal)" dan terbebaskan dari dunia perubahan serta kebinasaan dan memiliki semua sifat yang terpuji maka dia terlepas dari semua sifat.
"Man shaffahu al-hubb fa-huwa shaf wa-man shaffahu al-habib fa-huwashufiyy" (ia yang telah disucikan oleh cinta adalah suci dan ia yang tenggelam dalam kekasih dan telah mencampakkan segala yang lain adalah seorang sufi) uangkapan dari salah satu sufi. Sebenarnya penamaan sufi diberikan hanya untuk para wali dan ahli keruhanian yang sempurna. Penggunaan nama sufi yang memenuhi keperluan etimologi karena tasawuf terlalu luhur untuk memiliki genus yang darimya tasawuf berasal karena pengasalan satu hal satu hal dair yang lain membutuhkan homogenitas, sehingga penamaan itu tidaqk mempunyai sebuah derivasi.
Arti secara etimologi shafa (kesucian), adalah suatu kewalian dengan seah tanda dan dan suatu pemberitaan (riwayat). Sedang tasawuf adalah suatu peniruan yang sabar akan kesucian. Maka dipahami kesucian merupakan sebuah gagasan yang cemerlang dan nyata sedang tasawuf merupakan peniru dari gagasan.
Dalam tingkatan sufi Hujwiri membagi Shafa dalam tiga derajat :
Shufi, seseorang yang manunggal (shabib wushul). Yang mati pada dirinya dan hidup oleh kebenaran, ia bebas dari bebas dari batas-batas kemampuan manusiawi dan benar-benar telah sampai.
Muthasawwif, seseorang yang berpegang pada prinsip (shabib ushul). Ia telah berusaha keras untuk mencapi derajat ini dengan menundukkan hawa nafsu dan dalam pencariannya ia meluruskan perilakunya sesuai dengan teladan mereka (para sufi).
Mutashwif, seseorang yang suka berbuat sia-sia (shabib fudhul). Ia yang membuat dirinya secara lahirnya serupa mereka (para sufi) untuk sekedar mencari uang, kekayaan, kekuasaan, serta keuntungan duniawi, tapi tidak sedikit mengetahuitentang kedua ini. Karena itu dikatakan "al-mustashwif 'inda al-shufiyyat ka al-dzubab wa 'inda ghayrihim ka al-dzi'ab" (Mutashwif, dalam pandangan para sufi sehina lalat-lalat dan kelakuannya berdasarkan ketamakan semata-mata, oarng lain menganggap selayak serigala dan mulutnya tak terkendali (be afsar) karena ia hanya menginginkan secuil bangkai)
Tasawuf di Mata Para Sufi
Dalam pembahasan ini Al-hujwiri mengunakan study komparatif, yakni mengambil ungkapan-ungkapan para tokoh sufi dan dianalisis sesuai dengan pemahamannya dan menjelaskannya secara komprehensif. Al-hujwiri melihat tasawuf yang merupakan dari doktrin-doktrin para sufi masih sulit dimengerti dan multi tafsir. Dalam definisi tasawuf sebagaimana dijelaskan diatas, Al-hujwiri menjelaskan tasawuf sebagai suatu tafsir yang benar.
Alhujwiri mengutip salah satu tokoh sufi yang mendiskripsikan tentang sufi. Dzun Nun Al-mirsi berkata : “Al-shufi idza nathaqa bana nuthuquhu ‘an al-haqa’iq wa-in sakata nathaqat ‘anhu al-jawarih bi-qath’ al-ala’iq” (sufi adalah yang bahasanya, ketika ia bicara adalah hakikat keadaannya yakni dia mengatakan pun yang tidak ada pada dirinya dan ketika ia berdiam diri sikapnya menunjukkan keadaanya dan keadaannya menyatakan bahwa dia telah memutuskan tali hubungan duniawi). Al-hujwiri menjelasakan yakni semua yang dia katakan berdasarkan prinsip yang benar dan semua yang dia lakukan adalah keterpisahan yang penuh dengan dunia. Ketika ia berbicara, pembicaraannya sepenuhnya tentang kebenaran dan ketika berdiam diri, tindakannya sepenuhnya kefakiran.
Junayd berpendapat bahwa tasawuf sebagai suatu sifat yang didalamnya teletak hidupnya manusia. Beliau menggambarkan itu sebagai sifat tuhan atau sifat manusia. Esensi adalah sifat tuhan dan sifat resmi adalah sifat manusia. Al-hujwiri mengulas ungkapan junayd bahwa esensinya melibatkan pelenyapan kualitas-kualitas manusia yang disebabkan oleh kekekalan kekekalan Illahi, dan inilah merupakan atribut Tuhan. Sedangkan sistem resminya yang melibatkan kesinambungan manusia dalam mujahadat dan kesinambungn dalam mujahadat ini adalah suatu atribut manusia.
Mudahnya, Tuhan memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa dan bilamana mereka melaksanakan puasa, dia diberi gelar “orang yang berpuasa (shaim)” kepada mereka, dan secara nominal puasa ini milik manusia, tapi sebenarnya puasa adalah milik Allah. Firman Allah “shawm li wa-ana ajzii bihi” yang artinya semua tindakan adalah milik-Nya dan bilamana semua manusia menisbahkan sesuatu pada dirinya mereka sendiri, penisbahan ini adalah resmi (formal) dan majazi (metaforis) bukan hakiki.
Dan Abul Hasan Nuri mengatakan bahwa tasawuf itu sebagai penyangkalan semua kesenangan diri sendiri. Dari penyangkalan dibagi atas dua macam, resmi dan hakiki. Singkatnya jika orang yang menyangkal suatu kesenangan dan mendapatkan kesenangan dalam penyangkalan, inilah yang dimaksud dengan penyangkalan resmi. Tetapi jika kesenangan menyangkal dia kemudian lenyap dan masalah ini ada dalam kontemplasi yang sesungguhnya (musyahadat). Maka dari itu penyangkalan itu merupakan tindakan manusia, tetapi pelenyapan kesenangan adalah tinadakan tuhan. Tindakan manusia adalah resmi dan tindaklan tuhan adalah hakiki.

Kesimpulan
Al-hujwiri melihat tasawuf sesuai dengan apa yang dia alami yang tidak lain adalah berdasarkan pengalamannya pribadi dalam mengarungi kehidupan. Dengan cara Al-hujwiri memahami tasawuf secara komparatif menjadikan tasawuf sesuatu yang bukan inklusif, artinya tidak ada suatu hal yang haq benar dalam tasawuf. Kebenaran dalam tasawuf merupakan wujud pengalaman spiritual pribadi.
Al-hujwiri tegas dalam mengeluarkan pandangannya seperti dalam kasus Al-halaj yang dituduh sebagai penyihir dan pandangannya para sufi harus tetap tunduk pada hukum (syari’at). Menandakan bahwa Al-hujwiri sebagai sosok yang yang lantang bicara, berani aksi dan bertanggung jawab.

No comments