Breaking News

Syeikh Siti Jenar


Mengungkap Jati Diri Syeikh Siti Jenar

 ·
“Mistik dan Makrifat Syekh Siti Jenar”Merajut sebuah ilmu dan menjadikannya sehelai kain yang didalamnya penuh akan keindahan corak dan warna, inilah yang diidamkan seluruh ahli sufi. Rajutan demi rajutan tentang segala pemahaman ilmu, penghayatan dan keluasan tentang segala kebesaran Alloh, perjalanan dan pengorbanan yang selalu dilakoninnya sedari kecil, membuat segala macam ilmu yang ada padanya, menjadikannya derajat seorang waliyulloh kamil.

Dalam pandangan para waliyulloh, dimana badan telah tersirat asma’ Alloh dan segala tetesan darahnya telah mengalir kalimat tauhid, dimana setiap detak jantung selalu menyerukan keagunganNya dan setiap pandangan matanya mengandung makna tafakkur, tiada lain orang itu adalah seorang waliyulloh agung yang mana jasad dan ruhaniyahnya telah menyatu dengan dzat Alloh. Inilah sanjungan yang dilontarkan oleh seluruh bangsa wali kala itu pada sosok, kanjeng Syeikh Siti Jenar.Rohmat yang tersiram didalam tubuhnya, ilmu yang tersirat disetiap desiran nafasnya, pengetahuan tentang segala makna ketauhidan yang bersemayam didalam akal dan hatinya, membuat kanjeng Syeikh Siti Jenar menjadi seorang guru para wali.

Lewat kezuhudan yang beliau miliki serta keluasan ilmu yang dia terapkan, membuat segala pengetahuannya selalu dijadikan contoh. Beliau benar benar seorang guru agung dalam mengembangkan sebuah dhaukiyah kewaliyan/tentang segala pemahaman ilmu kewaliyan. Tak heran bila kala itu banyak bermunculan para waliyulloh lewat ajaran ilafi yang dimilikinya.

Diantara beberapa nama santri beliau yang hingga akhir hayatnya telah sampai kepuncak derajat waliyulloh kamil, salah satunya, sunan Kali Jaga, raden Fatah, kibuyut Trusmi, kigede Plumbon, kigede Arjawinangun, pangeran Arya Kemuning, kiageng Demak Purwa Sari, ratu Ilir Pangabean, gusti agung Arya diningrat Caruban, Pangeran Paksi Antas Angin, sunan Muria, tubagus sulthan Hasanuddin, kiAgeng Bimantoro Jati, kiSubang Arya palantungan dan kigede Tegal gubug.

Seiring perjalanannya sebagai guru para wali, syeikh Siti Jenar mulai menyudahi segala aktifitas mengajarnya tatkala, Syarief Hidayatulloh/ sunan Gunung Jati, telah tiba dikota Cirebon. Bahkan dalam hal ini bukan hanya beliau yang menyudahi aktifitas mengajar pada saat itu, dedengkot wali Jawa, sunan Ampel dan sunan Giri juga mengakhirinya pula.

Mereka semua ta’dzim watahriman/ menghormati derajat yang lebih diagungkan, atas datangnya seorang Quthbul muthlak/ raja wali sedunia pada zaman tersebut, yaitu dengan adanya Syarief Hidayatulloh, yang sudah menetap dibumi tanah Jawa.

Sejak saat itu pula semua wali sejawa dwipa, mulai berbondong ngalaf ilmu datang kekota Cirebon, mereka jauh jauh sudah sangat mendambakan kedatangan, Syarief Hidayatulloh, yang ditunjuk langsung oleh, rosululloh SAW, menjadi sulthan semua mahluk ( Quthbul muthlak )

Nah, sebelum di kupas tuntas tentang jati diri, syeikh Siti Jenar, tentunya kita agak merasa bingung tentang jati diri, Syarief Hidayatulloh, yang barusan dibedarkan tadi. "Mengapa Syarief Hidayatulloh kala itu sangat disanjung oleh seluruh bangsa wali ?".

Dalam tarap kewaliyan, semua para waliyulloh, tanpa terkecuali mereka semua sudah sangat memahami akan segala tingkatan yang ada pada dirinya. Dan dalam tingkatan ini tidak satupun dari mereka yang tidak tahu, akan segala derajat yang dimiliki oleh wali lainnya. Semua ini karena Alloh SWT, jauh jauh telah memberi hawatief pada setiap diri para waliyulloh, tentang segala hal yang menyangkut derajat kewaliyan seseorang.

Nah, sebagai pemahaman yang lebih jelas, dimana Alloh SWT, menunjuk seseorang menjadikannya derajat waliyulloh, maka pada waktu yang bersamaan, nabiyulloh, Hidir AS, yang diutus langsung oleh malaikat, Jibril AS, akan mengabarkannya kepada seluruh para waliyulloh lainnya tentang pengangkatan wali yang barusan ditunjuk tadi sekaligus dengan derajat yang diembannya.

Disini akan dituliskan tingkatan derajat kewaliyan seseorang, dimulai dari tingkat yang paling atas. "Quthbul muthlak- Athman- Arba’ul ‘Amadu- Autad- Nukoba’ – Nujaba’ – Abdal- dan seterusnya". Nah dari pembedaran ini wajar bila saat itu seluruh wali Jawa berbondong datang ngalaf ilmu ketanah Cirebon, karena tak lain didaerah tersebut telah bersemayam seorang derajat, Quthbul muthlak, yang sangat dimulyakan akan derajat dan pemahaman ilmunya.

Kembali kecerita syeikh Siti Jenar, sejak adanya, Syarief Hidayatulloh, yang telah memegang penting dalam peranan kewaliyan, hampir seluruh wali kala itu belajar arti ma’rifat kepadanya, diantara salah satunya adalah, syeikh Siti Jenar sendiri.

Empat tahun para wali ikut bersamanya dalam “Husnul ilmi Al kamil"/ menyempurnakan segala pemahaman ilmu, dan setelah itu, Syarief Hidayulloh, menyarankan pada seluruh para wali untuk kembali ketempat asalnya masing masing. Mereka diwajibkan untuk membuka kembali pengajian secara umum sebagai syiar islam secara menyeluruh.

Tentunya empat tahun bukan waktu yang sedikit bagi para wali kala itu, mereka telah menemukan jati diri ilmu yang sesungguhnya lewat keluasan yang diajarkan oleh seorang derajat, Quthbul mutlak. Sehingga dengan kematangan yang mereka peroleh, tidak semua dari mereka membuka kembali pesanggrahannya.

Banyak diantara mereka yang setelah mendapat pelajaran dari, Syarief Hidayatulloh, segala kecintaan ilmunya lebih diarahkan kesifat, Hubbulloh/ hanya cinta dan ingat kepada Alloh semata. Hal seperti ini terjadi dibeberapa pribadi para wali kala itu, diantaranya; syeikh Siti Jenar, sunan Kali Jaga, sulthan Hasanuddin Banten, pangeran Panjunan, pangeran Kejaksan dan Syeikh Magelung Sakti.

Mereka lebih memilih hidup menyendiri dalam kecintaannya terhadap Dzat Alloh SWT, sehingga dengan cara yang mereka lakukan menjadikan hatinya tertutup untuk manusia lain. Keyakinannya yang telah mencapai roh mahfud, membuat tingkah lahiriyah mereka tidak stabil. Mereka bagai orang gila yang tidak pernah punya rasa malu terhadap orang lain yang melihatnya.

Seperti halnya, syeikh Siti Jenar, beliau banyak menunjukkan sifat khoarik/ kesaktian ilmunya yang dipertontonkan didepan kalayak masyarakat umum. Sedangkan sunan Kali Jaga sendiri setiap harinya selalu menaiki kuda lumping, yang terbuat dari bahan anyaman bambu. Sulthan Hasanuddin, lebih banyak mengeluarkan fatwa dan selalu menasehati pada binatang yang dia temui.

Pangeran Panjunan dan pangeran Kejaksaan, kakak beradik ini setiap harinya selalu membawa rebana yang terus dibunyikan sambil tak henti hentinya menyanyikan berbagai lagu cinta untuk tuannya Alloh SWT, dan syeikh Magelung Sakti, lebih dominan hari harinya selalu dimanfaatkan untuk bermain dengan anak anak.

Lewat perjalanan mereka para hubbulloh/ zadabiyah/ ingatannya hanya kepada, Alloh SWT, semata. Tiga tahun kemudian mereka telah bisa mengendalikan sifat kecintaannya dari sifat bangsa dzat Alloh, kembali kesifat asal, yaitu syariat dhohir.

Namun diantara mereka yang kedapatan sifat dzat Alloh ini hanya syeikh Siti Jenar, yang tidak mau meninggalkan kecintaanya untuk tuannya semata ( Alloh ) Beliau lebih memilih melestarikan kecintaannya yang tak bisa terbendung, sehingga dengan tidak terkontrol fisik lahiriyahnya beliau banyak dimanfaatkan kalangan umum yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu kewaliyan.

Sebagai seorang waliyulloh yang sedang menapaki derajat fana’, segala ucapan apapun yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar kala itu akan menjadi nyata, dan semua ini selalu dimanfaatkan oleh orang orang culas yang menginginkan ilmu kesaktiannya tanpa harus terlebih dahulu puasa dan ritual yang memberatkan dirinya.

Dengan dasar ini, orang orang yang memanfaatkan dirinya semakin bertambah banyak dan pada akhirnya mereka membuat sebuah perkumpulan untuk melawan para waliyulloh. Dari kisah ini pula, syeikh Siti Jenar, berkali kali dipanggil dalam sidang kewalian untuk cepat cepat merubah sifatnya yang banyak dimanfaatkan orang orang yang tidak bertanggung jawab, namun beliau tetap dalam pendiriannya untuk selalu memegang sifat dzat Alloh.

Bahkan dalam pandangan, syeikh Siti Jenar sendiri mengenai perihal orang orang yang memenfaatkan dirinya, beliau mengungkapkannya dalam sidang terhormat para waliyulloh; “Bagaiman diriku bisa marah maupun menolak apa yang diinginkan oleh orang yang memanfaatkanku, mereka semua adalah mahluk Alloh, yang mana setiap apa yang dikehendaki oleh mereka terhadap diriku, semua adalah ketentuanNya juga" lanjutnya.

“Diriku hanya sebagai pelantara belaka dan segala yang mengabulkan tak lain dan tak bukan hanya dialah Alloh semata . Karena sesungguhnya adanya diriku adanya dia dan tidak adanya diriku tidak adanya dia. Alloh adalah diriku dan diriku adalah Alloh, dimana diriku memberi ketentuan disitu pula Alloh akan mengabulkannya. Jadi janganlah salah paham akan ilmu Alloh sesungguhnya, karena pada kesempatannya nanti semua akan kembali lagi kepadaNya."

Dari pembedaran tadi sebenarnya semua para waliyulloh, mengerti betul akan makna yang terkandung dari seorang yang sedang jatuh cinta kepada tuhannya, dan semua waliyulloh yang ada dalam persidangan kala itu tidak menyalahkan apa barusan yang diucapkan oleh, syeikh Siti Jenar.

Hanya saja permasalahannya kala itu, seluruh para wali sedang menapaki pemahaman ilmu bersifat syar’i sebagai bahan dasar dari misi syiar islam untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat luas yang memang belum mempunyai keyakinan yang sangat kuat dalam memasuki pencerahan arti islam itu sendiri. Wal hasil, semua para wali pada saat itu merasa takut akan pemahaman dari syeikh siti jenar, yang sepantasnya pemahaman beliau ini hanya boleh didengar oleh oleh orang yang sederajat dengannya, sebab bagaimanapun juga orang awam tidak akan bisa mengejar segala pemahaman yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar.

Sedangkan pada saat itu, syeikh Siti Jenar yang sedang kedatangan sifat zadabiyah, beliau tidak bisa mengerem ucapannya yang bersifat ketauhidan, sehingga dengan cara yang dilakukannya ini membawa dampak kurang baik bagi masyarakt luas kala itu. Nah, untuk menanggulangi sifat syeikh Siti Jenar ini seluruh para wali akhirnya memohon petunjuk kepada Alloh SWT, tentang suatu penyelesaian atas dirinya, dan hampir semua para wali ini mendapat hawatif yang sama, yaitu :

"Tiada jalan yang lebih baik bagi orang yang darahnya telah menyatu dengan tuhannya, kecuali dia harus cepat cepat dipertemukan dengan kekasihnya". Dari hasil hawatif para waliyulloh, akhirnya syeikh Siti Jenar dipertemukan dengan kekasihnya Alloh SWT, lewat eksekusi pancung. Dan cara ini bagi syeikh Siti Jenar sendiri sangat diidamkannya. Karena baginya, mati adalah kebahagiaan yang membawanya kesebuah kenikmatan untuk selama lamnya dalam naungan jannatun na’im.

Makam Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) di Demak

Asal Usul silsilah Syekh Siti Jenar & inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani


Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M


Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.

Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”

[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
.


Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.

Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.

Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.

Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.

Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.

Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.

Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.

Padepokan Giri Amparan Jati

Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus]
.

Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.

Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.

Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.

  1. nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia.
  2. nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan.
  3. niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan
  4.  sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.

Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.

Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.

Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.

Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).

Pencerahan Rohani di Baghdad

Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.

Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.

Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.

Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.

Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.

Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.

Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.

Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan
mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.

Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.

Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.

Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).

Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.

Wasiat Syeh Siti Jenar.. "prinsip madya"

 ·

Syekh Abdul Jalil mengajarkan agama Islam secara kaffah antara syariatt, hakikat, thariqat dan makrifat diajarkan secara berimbang dan berjenjang. Ajaran sufinya adalah apa yang disebutsasyahidan. Karena itu ia lebih dikenal sebagai Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.

Syekh Abdul Jalil tidak sembarangan mengajarkan hakikat dan makrifat hanya orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran yang ia ajari bukan sembarang orang apalagi orang awam. Konon demikian banyaknya para pengikut Syekh Siti Jenar-Syekh Abdul Jalil ini dan mereka memuja-mujanya bagaikan dewa. Padahal yang demikian tidak dikehendaki oleh Syekh Abdul Jalil. Maka buru-buru Syekh Abdul Jalil berpamit meninggalkan padepokan Siti Jenar.

Sebelum pergi ia berwasiat kepada murid-muridnya dan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya:
“Sebelum aku pergi meninggalkan kalian, sangat baik jika aku tinggalkan wasiat kepada kalian, yang dengan wasiat ini kalian tidak akan tersesat dalam menjalani hidup didunia dan akhirat. Dengan wasiat ini kalian akan selalu berada di jalan Kebenaran sampai ke hadirat-Nya. Maka jangan sekali-kali kalian melepaskan wasiat yang aku tinggalkan ini. Pegang wasiat itu sebagai pusaka”

Pertama-tama, inilah wasiatku :
setiap orang harus sadar jika segala sesuatu yang tergelar di alam semesta ini adalah nisbi. Tidak ada yang berlaku mutlak. Maka setiap orang harus hidup madya (tengah-tengah) ora ngoyo (tidak berlebihan) dan tidak ngongro ( tidak melampaui batas).

prinsip ini hendaknya kalian jadikan pusaka dalam segala hal yang menyangkut kehidupan kalian, baik yang duniawiah maupun ukhrawiah dan Ilahiah.

Dalam kehidupan duniawi kalian bisa memaknai prinsip ini dengan kehidupan yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga membuat seseorang tertimbun harta kekayaannya.

Kalian juga boleh memaknainya dengan pengekangan terhadap nafsu perut dan nafsu syahwat yang sesuai dengan nila-nilai kepantasan manusia.

Kalian juga boleh memaknainya sebagai pengekangan terhadap ambisi kekuasaan yang membahayakan.

Pendek kata maknailah prinsip madya ini sesuai kemampuan akal budi dan hati nurani kalian masing-masing dengan ukuran keseimbangan dan penghormatan atas kehidupan “

“Di dalam kehidupan ruhaniahpun berlaku prinsip madya. Maka aku melarang murid-muridku dan pengikutku untuk bertapa di gua-gua dan di hutan-hutan, kurang tidur, kurang makan, tidak kawin, tidak bergaul dengan manusia yang lain, tenggelam dalam lautan ruhani. Sebab, hak-hak ruhani harus dipenuhi secara pantas. Hak-hak jasmanipun hendaknya tidak diabaikan. Penuhilah hak ruhani dan jasmani secara seimbang, bukan aku menganggap tidak baik perilaku-orang-orang yang meninggalkan keduniawian dengan menjadi pertapa. Semua manusia bebas memilih yang terbaik bagi dirinya, tetapi bagi pengikutku hal seperti ini tidaklah dibenarkan. Hiduplah dengan prinsip ditengah-tengah, yaitu madya.

“Di dalam pengetahuan tentang Yang Illahi pun prinsip madya ini hendaknya tetap kalian pusakakan. Sebab ada diantara umat Islam yang memiliki pandangan berlebihan dalam memaknai Yang Illahi. Mereka memandang bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Suci, Maha Sempurna, Maha Baik, Maha Kasih. Sehingga dari Allah memancar Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian dan Kasih. Mereka menganggap mustahil dari Allah memancar ketidak adilan, ketidak sempurnaan, ketidak sucian dan kemurkaan. Pandangan ini sah bagi pengikut paham ini. Pandangan ini benar bagi yang meyakininya”

Tetapi dengarkanlah wahai murid-murid dan pengikutku, bahwa aku Syekh Siti Jenar, tidak pernah mengajarkan keyakinan yang berlebihan dan melampaui batas seperti itu. Ajaranku tetap bertolak pada prinsip madya, di tengah-tengah. Sebab jika seseorang menganggap bahwa Allah adalah Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian, Maha Kasih dan dari-Nya tidak bisa memancar ketidak baikan, ketidak sempurnaan, ketidak sucian dan kemurkaan maka sejatinya orang tersebut telah terperangkap ke dalam jaring-jaring masalah yang rumit yang bakal membawanya ke jurang kemusyrikan. Mereka akan menganggap ketidak baikan dan ketidak sempurnaan berasal dari Dzat selain Allah, yaitu kuasa kegelapan dari kejahatan. Itu berarti mereka menganggap ada dua Dzat yang berbeda, yaitu Allah dan dzat selain Allah. Kalau keyakinan itu diikuti maka orang akan menolak keberadaan Asma Illahi yang saling bertolak belakang (al asma al-mutaqabilah) yang berujung pada Asma Allah sebagai keseluruhan asma Allah yang bertentangan (Majmu al asma al-mutaqabilah). mereka akan menolak nama Allah yang Maha Menyesatkan (al-Mudhill) Yang Memberi Kesempitan (al-Qabidh)Yang Maha Menista (al-Mudzil) Yang Memberi Bahaya (adh-dhar) Yang Membinasakan (al-mumit) mereka juga akan mengingkari bahwa dunia yang tidak sempurna ini berasal dari Allah. Atau mengingkari bahwa iblis, setan mahluk-mahluk kegelapan dan manusi-manusia terkutuk berasal dari Allah. Padahal segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Dengan memegang teguh prinsip hidup madya ini, sangatlah tidak masuk akal jika kalian sebagai murid-murid dan pengikutku memperlakukan aku secara berlebihan.

Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan kalian menciumi kakiku, merangkul lututku, mengusap jubahku mengelus terompahku bahkan mengambil tanah bekas telapak kakiku. Itu berlebihan. Itu melampui batas. Itu thaghut. Itu pemberhalaan yang justru aku tentang selama ini. Sebab Nabi Muhammad SAW, manusia agung yang menjadi panutanku selalu menolak bila diperlakukan secara berlebihan. Dia selalu menampakkan kehambaan dan kerendahan hatinya. Dia selalu berada di tengah-tengah dan mengajarkan agar pengikutnya pun berada di tengah-tengah. Maka mulai saat ini aku katakan bahwa mereka yang memperlakukan aku atau siapapun diantara manusia secara berlebihan dan bahkan memberhalakannya, maka dia bukanlah pengikutku apalagi murid ruhaniku.

Wasiat Syeh Siti Jenar.. "prinsip madya"

oleh “Mistik dan Makrifat Syekh Siti Jenar” pada 19 Juni 2011 pukul 19:11 ·
Syekh Abdul Jalil mengajarkan agama Islam secara kaffah antara syariatt, hakikat, thariqat dan makrifat diajarkan secara berimbang dan berjenjang. Ajaran sufinya adalah apa yang disebutsasyahidan. Karena itu ia lebih dikenal sebagai Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.

Syekh Abdul Jalil tidak sembarangan mengajarkan hakikat dan makrifat hanya orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran yang ia ajari bukan sembarang orang apalagi orang awam. Konon demikian banyaknya para pengikut Syekh Siti Jenar-Syekh Abdul Jalil ini dan mereka memuja-mujanya bagaikan dewa. Padahal yang demikian tidak dikehendaki oleh Syekh Abdul Jalil. Maka buru-buru Syekh Abdul Jalil berpamit meninggalkan padepokan Siti Jenar.

Sebelum pergi ia berwasiat kepada murid-muridnya dan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya:
“Sebelum aku pergi meninggalkan kalian, sangat baik jika aku tinggalkan wasiat kepada kalian, yang dengan wasiat ini kalian tidak akan tersesat dalam menjalani hidup didunia dan akhirat. Dengan wasiat ini kalian akan selalu berada di jalan Kebenaran sampai ke hadirat-Nya. Maka jangan sekali-kali kalian melepaskan wasiat yang aku tinggalkan ini. Pegang wasiat itu sebagai pusaka”

Pertama-tama, inilah wasiatku :
setiap orang harus sadar jika segala sesuatu yang tergelar di alam semesta ini adalah nisbi. Tidak ada yang berlaku mutlak. Maka setiap orang harus hidup madya (tengah-tengah) ora ngoyo (tidak berlebihan) dan tidak ngongro ( tidak melampaui batas).

prinsip ini hendaknya kalian jadikan pusaka dalam segala hal yang menyangkut kehidupan kalian, baik yang duniawiah maupun ukhrawiah dan Ilahiah.

Dalam kehidupan duniawi kalian bisa memaknai prinsip ini dengan kehidupan yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga membuat seseorang tertimbun harta kekayaannya.

Kalian juga boleh memaknainya dengan pengekangan terhadap nafsu perut dan nafsu syahwat yang sesuai dengan nila-nilai kepantasan manusia.

Kalian juga boleh memaknainya sebagai pengekangan terhadap ambisi kekuasaan yang membahayakan.

Pendek kata maknailah prinsip madya ini sesuai kemampuan akal budi dan hati nurani kalian masing-masing dengan ukuran keseimbangan dan penghormatan atas kehidupan “

“Di dalam kehidupan ruhaniahpun berlaku prinsip madya. Maka aku melarang murid-muridku dan pengikutku untuk bertapa di gua-gua dan di hutan-hutan, kurang tidur, kurang makan, tidak kawin, tidak bergaul dengan manusia yang lain, tenggelam dalam lautan ruhani. Sebab, hak-hak ruhani harus dipenuhi secara pantas. Hak-hak jasmanipun hendaknya tidak diabaikan. Penuhilah hak ruhani dan jasmani secara seimbang, bukan aku menganggap tidak baik perilaku-orang-orang yang meninggalkan keduniawian dengan menjadi pertapa. Semua manusia bebas memilih yang terbaik bagi dirinya, tetapi bagi pengikutku hal seperti ini tidaklah dibenarkan. Hiduplah dengan prinsip ditengah-tengah, yaitu madya.

“Di dalam pengetahuan tentang Yang Illahi pun prinsip madya ini hendaknya tetap kalian pusakakan. Sebab ada diantara umat Islam yang memiliki pandangan berlebihan dalam memaknai Yang Illahi. Mereka memandang bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Suci, Maha Sempurna, Maha Baik, Maha Kasih. Sehingga dari Allah memancar Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian dan Kasih. Mereka menganggap mustahil dari Allah memancar ketidak adilan, ketidak sempurnaan, ketidak sucian dan kemurkaan. Pandangan ini sah bagi pengikut paham ini. Pandangan ini benar bagi yang meyakininya”

Tetapi dengarkanlah wahai murid-murid dan pengikutku, bahwa aku Syekh Siti Jenar, tidak pernah mengajarkan keyakinan yang berlebihan dan melampaui batas seperti itu. Ajaranku tetap bertolak pada prinsip madya, di tengah-tengah. Sebab jika seseorang menganggap bahwa Allah adalah Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian, Maha Kasih dan dari-Nya tidak bisa memancar ketidak baikan, ketidak sempurnaan, ketidak sucian dan kemurkaan maka sejatinya orang tersebut telah terperangkap ke dalam jaring-jaring masalah yang rumit yang bakal membawanya ke jurang kemusyrikan. Mereka akan menganggap ketidak baikan dan ketidak sempurnaan berasal dari Dzat selain Allah, yaitu kuasa kegelapan dari kejahatan. Itu berarti mereka menganggap ada dua Dzat yang berbeda, yaitu Allah dan dzat selain Allah. Kalau keyakinan itu diikuti maka orang akan menolak keberadaan Asma Illahi yang saling bertolak belakang (al asma al-mutaqabilah) yang berujung pada Asma Allah sebagai keseluruhan asma Allah yang bertentangan (Majmu al asma al-mutaqabilah). mereka akan menolak nama Allah yang Maha Menyesatkan (al-Mudhill) Yang Memberi Kesempitan (al-Qabidh)Yang Maha Menista (al-Mudzil) Yang Memberi Bahaya (adh-dhar) Yang Membinasakan (al-mumit) mereka juga akan mengingkari bahwa dunia yang tidak sempurna ini berasal dari Allah. Atau mengingkari bahwa iblis, setan mahluk-mahluk kegelapan dan manusi-manusia terkutuk berasal dari Allah. Padahal segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Dengan memegang teguh prinsip hidup madya ini, sangatlah tidak masuk akal jika kalian sebagai murid-murid dan pengikutku memperlakukan aku secara berlebihan.

Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan kalian menciumi kakiku, merangkul lututku, mengusap jubahku mengelus terompahku bahkan mengambil tanah bekas telapak kakiku. Itu berlebihan. Itu melampui batas. Itu thaghut. Itu pemberhalaan yang justru aku tentang selama ini. Sebab Nabi Muhammad SAW, manusia agung yang menjadi panutanku selalu menolak bila diperlakukan secara berlebihan. Dia selalu menampakkan kehambaan dan kerendahan hatinya. Dia selalu berada di tengah-tengah dan mengajarkan agar pengikutnya pun berada di tengah-tengah. Maka mulai saat ini aku katakan bahwa mereka yang memperlakukan aku atau siapapun diantara manusia secara berlebihan dan bahkan memberhalakannya, maka dia bukanlah pengikutku apalagi murid ruhaniku. 








KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH


1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing.

Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong.

Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas;

Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”

[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….


2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar itu tidak berdasar alias ngawur.

Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’.  

Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti.

Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ,

artinya "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (QS. al-Qashash : 88)..

Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’Tauhid Qur’anidan Tauhid Syar’iy.


3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb.

Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.


4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing.

Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih.

Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.


5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong.

Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron.

Bantahan saya: Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah.

Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama.” Tidak bisa diterima akal sehat.

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
  1. Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
  2. Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
  3. Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]

Wahai kaum muslimin...melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam.

Hati-hati....jangan sampai kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.

Buku 1 : SUFISME SYEKH SITI JENAR   

Kajian Kitab Serat dan Suluk  Syekh Siti Jenar

Sufisme: Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar / Muhammad Sholikhin ; Penyunting, Windy Afiyanti. -- Yogyakarta: Narasi, 2004. -- Cet.1. -- xvi, 336 P.; 22 cm

Penulis : Muhammad Sholikhin

Penerbit : Narasi Yogyakarta

Bl/Tahun Terbit : September 2004

Tebal Buku : xvi + 336 halaman

Harga Buku : Rp. 37.500,-

Catatan sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa, menunjukkan bahwa Islam tersebar luas kepada masyarakat Indonesia hingga saat ini berkat jasa besar para ulama dan auliya’, yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Walisanga. Sayangnya periwayatan mereka, hingga saat ini masih banyak didominasi oleh mitos dan hikayat, dan belum menunjukkan fakta sejarah serta ajaran yang betul-betul valid.

Di antara para wali yang paling mendatangkan kontroversi, dan paling banyak diselimuti kabut mitos adalah wali nyentrik, yaitu Syekh Siti Jenar. Kisah dan ajarannya sangat populer di masyarakat. Sayangnya, penulisan ajarannya secara utuh dan shahih belum banyak dilakukan.

Syekh Siti Jenar menghadirkan kearifan spiritual Islam di tanah Jawa, atau yang umum disebut sekarang sebagai Islam Esoteris. Syekh Siti Jenar mengambil langkah tersebut, disamping alasan utama bahwa kebenaran agama tidak bisa disembunyikan, dan bahwa dia sendiri adalah seorang esoteris dan esensialis yang telah mencapai pengalaman spiritual tertinggi (mencapai kemanunggalan,tauhid al-wujud), Syekh Siti Jenar juga menyadari, bahwa Islam yang sudah diterima masyarakat Jawa sejak awal abad ke-13 (jauh sebelum Walisanga hadir), adalah Islam yang mampu berinteraksi dengan relijiusitas lokal, dan menjalin-kelindan dengan peradaban serta budaya masyarakat yang ada.

Hasilnya adalah sebuah antropologi keagamaan yang mengasyikkan, bahwa dzikir adalah shalat daim, yakni seluruh tingkah laku kita yang berhubungan timbal balik dengan Allah. Dan bahwa ternyata ajaran Syekh Siti Jenar tersebut diperoleh dengan sanad yang bisa dipertanggungjawabkan, baik secara syar’i maupun sufi. Tujuan utama ajaran Syekh Siti Jenar adalah mengajak manusia untuk selalu tumbuh berkembang seperti pohon Sidratul Muntaha; selalu aktif, progresif, dan positif. Membangkitkan pribadi Ingsun Sejati melalui tauhid al-wujud, atau yang dikenal secara lokal dengan sebutan Manunggaling Kawula-Gusti.

Namun benarkah tuduhan bahwa ajaran Siti Jenar sesat? Benarkan bahwa ajarannya adalah bentuk pertempuran antara kejawen dan Islam? Apakah ajaran Syekh Siti Jenar merupakan bentuk rekayasa budaya untuk menyerang Islam? Benarkan Siti Jenar meninggal setelah di eksekusi oleh Walisongo? Berbagai jawaban mengenai teka-teki Syekh Siti Jenar akan anda temukan dalam buku ini.





Buku 2 : AJARAN MA’RIFAT SYEKH SITI JENAR

Panduan Menuju Kemenyatuan dengan Allah, Refleksi dan Penghayatan Syekh Siti Jenar


Penulis : Muhammad Sholikhin

Penerbit : Narasi Yogyakarta

Bl/Tahun Terbit : Mei 2007

Tebal Buku : 612 halaman

Harga Buku : Rp. 60.000,-

“Islam sebagai agama formal yang dibawa melalui fisik Nabi Muhammad adalah wadah (bersifat netral). Islam dalam bentuk kepasrahan total dan keterleburan diri Nur Muhammad (universal) adalah isi. Syekh Siti Jenar menghendaki dan mengajarkan al-Islam sebagai isi yang mempengaruhi jasad-fisik sebagai wadah, bukan isi yang diwarnai oleh wadah” (Intuisi mistik yang diperoleh penulis, ketika melakukan ziarah spiritual kepada Syekh Siti Jenar, Ahad 1 Muharram 1425 H/22 Pebruari 2004).

Mencapai tahapan ma’rifatullah, dan kondisi selalu bersama Allah (ma’iyyatullah), apalagi anugerah untuk bisa “melihat” dan “berpadu” dengan Allah dalam alam keabadian setelah mati, menjadi dambaan dan harapan hampir semua umat manusia. Sehingga berbagai cara ditempuh untuk itu. Dalam konteks buku ini, perjalanan spiritual tersebut, lebih diarahkan pada manifestasi pengalaman manunggaling kawula-Gusti, buah spiritual dari Syekh Siti Jenar.

Islam menyediakan kerangka utuh untuk hal tersebut, yaitu konsep dasar iman, islam, dan ihsan. Dalam dunia tasawuf, ketiga kerangka keagamaan tersebut diaplikasi dalam doktrin kemanunggalansyari’at, thariqah, ma’rifat, dan hakekat. Namun pusat dari empat doktrin sufi itu adalah ma’rifatullah.

Telah banyak buku tasawuf beredar, dan banyak pula seminar, pelatihan, serta kursus tentangma’rifatullah. Buku-buku dan even-even kesufian telah mampu menarik banyak minat kaum muslim Indonesia dewasa ini, yang memang sedang mengalami kegersangan spiritual. Kosmos ruhani bangsa kita gersang, dan kering kerontang dan kesejukan batiniah. Dunia keagamaan kita ternyata masih miskin dalam menghadirkan inti dan esensi keagamaannya.

Tetapi, setelah membaca berbagai buku sufi, serta banyak mengikuti forum seminar dan pelatihan, ternyata masih banyak keluhan, bahwa yang didapatkan juga tidak lebih dari teori-teori yang berulang. Kalaupun ada hasil, sifatnya instan dan sementara. Sehingga banyak orang yang mendambakan hadirnya tuntunan praktis, yang dapat memberikan pelatihan langsung, serta imbas dan efek yang bersifat selamanya.

Terdorong oleh keinginan untuk ikut berbagai pengetahuan dan pengalaman tentang ma’rifatullah, maka penulis sengaja menyusun buku “Ajaran Ma’rifat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar” ini, dengan pijakan dasar, sebagai bahan bacaan yang sekaligus dapat dilaksanakan secara aplikatif-praktis bagi perjalanan ruhani menuju Allah.

Buku ini penulis susun dengan meramukan berbagai pengetahuan kesufian, pengalaman keruhanian real, dan juga terutama konsep kesufian Syekh Siti Jenar dengan puncak pengalamannya,manunggaling kawula-Gusti. Ma’rifat tidak bisa difahami hanya dalam teori semata, tetapi lebih merupakan pengalaman spiritual langsung. Buku ini akan membawa anda ke samudera perjalanan dan pengalaman spiritual tersebut, yang dapat anda praktikkan setiap saat.






Buku 3 : MANUNGGALING KAWULA GUSTI

Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar


Penulis : Muhammad Sholikhin

Penerbit : Narasi Yogyakarta

Bl/Tahun Terbit : Januari 2008

Tebal Buku : 420 halaman

Harga Buku : Rp. 72.000,-

Pada berbagai kesempatan, penulis diberi kesempatan untuk menggali secara mendalam tentang berbagai aspek ajaran Syekh Siti Jenar, yang bermuara pada Rasulullah Muhammad saw. Wajar jika mereka menolak untuk disebut sebagai pengikut alirah Syekh Siti Jenar, yang terpisah dari ajaran Nabi Muhammad.

Di antara ajaran yang sempat penulis dalami adalah tentang konsep sangkan paraning dumadi (inna lillahi wa inna ilaihi raji'un), ajaran tauhid, eksistensi manusia dalam relasinya dengan eksistensi Allah, dan tentu juga ajaran serta praktik mati sak jerroning urip.

Pada kesempatan buku, penulis hadirkan buku “Filsafat Islam-Jawa Syekh Siti Jenar” dari hasil rangkaian penelitian penulis, yang merupakan buku ketiga dari trilogi Syekh Siti Jenar. Buku pertama adalah “Sufisme Syekh Siti Jenar” sebagaimana sudah disebut di atas, dan buku kedua adalah “Ajaran Makrifat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar”.

Memang dalam buku ini, penulis tentu saaja belum sempat mencantumkan berbagai “oleh-oleh” dari perjalanan tersebut, karena memang sejak penulis berangkat, naskah buku ini sudah selesai penulis kerjakan. Insya Allah pada karya hasil penelitian berrikutnya, penulis akan memaparkan berbagai seluk-beluk pedalaman ajaran tersebut.

Akan tetapi, insya Allah hal-hal yang mendasar, yang berkait dengan konsepsi filosofis dan metafisis sudah terekam dalam buku ini.



No comments