poison of snake
Ular
merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia.
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak
berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang
atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan
bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.
Bisa
adalah
suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar
khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu
substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama
protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
2.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme “Kerja” Bisa ular
Bisa
ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya
tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin
saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari
berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein
non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa
enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom
yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein
seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari
C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan
dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti
histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan
variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap
timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular
mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas
neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase,
ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase
perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa
ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi
jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.
Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran
racun. (de Jong, 1998)
Bisa
ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang
ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik,
hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan
gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga
merangsang jaringan untuk menghasikan zat – zat peradangan lain
seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo,
2006).
2.2 Jenis – jenis ular berbisa
2.2 Jenis – jenis ular berbisa
Gigitan
ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari
kira -kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali
yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya
bagi manusia. (de Jong, 1998)
Di
seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang
berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi
taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama
yaitu:
- Famili Elapidae misalnya ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
- Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bandotan puspo
- Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
- Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Untuk
menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat
dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka
bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri
– ciri ular tidak berbisa:
- Bentuk kepala segi empat panjang
- Gigi taring kecil
- Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri
– ciri ular berbisa:
- Kepala segi tiga
- Dua gigi taring besar di rahang atas
- Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis
ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak
dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :
- Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
- Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut.
Neurotoksin
pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada
reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin
prasinaps seperti β-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin
merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada
neuromuscular junction.
Beberapa
spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik
sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat
gigitan.
2.3 Patofisiologi
Racun/bisa
diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun
ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat
bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun
pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan
yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang
hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk
mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah :
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah :
- hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida.
- fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot.
- enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik. (Warrell, 2005)
2.4 Gejala klinis
Racun
yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan
hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan
tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula
dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum
atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun
langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular
tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain
adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat
neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini
adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada
pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas
sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot
pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau
mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis
gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka
yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai
berikut (Dreisbach, 1987) :
- Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24 jam)
- Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
- Gejala khusus gigitan ular berbisa :
- Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
- Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
- Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
- Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness). (Sudoyo, 2006)
Menurut
Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai
berikut:
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
- Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.
- Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Menurut
WHO (Warrell, 2005) gejala local dan tanda pada tempat gigitan :
- Bekas taring/gigitan
- Nyeri dan pendarahan lokal
- memar
- lymphangitis
- pembesaran lymphonodi
- inflamasi (bengkak, kemerahan, panas)
- melepuh
- infeksi lokal, formasi abses
- nekrosis
Gambaran
klinis gigitan beberapa jenis ular :
Gigitan
Elapidae
- Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
- Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
- Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala – gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan
Viperidae:
- Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan
- Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang – kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan
Hidropiidae:
- Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
- Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
- Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin.
- Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting.
Gigitan Coral Snake:
Jika
terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin
(Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006)
Tanda
dan gejala lokal :
1.
Tanda gigi taring
2.
Nyeri lokal
3.
Pendarahan lokal
4.
Bruising
5.
lymphangitis
6.
Bengkak, merah, panas
7.
Melepuh
8.
Necrosis
Gejala
dan tanda sistemik umum :
Umum
Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration.
Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration.
Kardiovascular
(Viperidae) :
Visual
disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension,
arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva.
Kelainan
perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) :
- Perdarahan dari luka gigitan
- Perdarahan sitemik spontan – dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russell’s viper) :
Drowsiness,
paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, “heavy”
eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah
dan otot lai yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia,
difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised
flaccid paralysis
Otot
rangka (sea snakes, Russell’s viper) :
Nyeri
menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus,
myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes) :
LBP
(lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria,
oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis,
hiccups, nausea, pleuritic chest pain)
Endokrin
(acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell’s viper) :
- Fase akut: syok, hypoglycaemia
- Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999).
2.5
Pemeriksaan
Pemeriksaan
penunjang
- Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
- Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
- EKG
- Foto dada
2.6
Diagnosis Banding
Diagnosis
banding untuk snakebite antara lain :
- Anafilasis
- Trombosis vena bagian dalam
- Trauma vaskular ekstrimitas
- Scorpion Sting
- Syok septik
- Luka infeksi
2.7 Penatalaksanaan
Berikut
adalah langkah-langkah yang biasanya dilakukan dalam menangani
gigitan ular (Warrell, 2005) :
- Pertolongan pertama
- Segera kirim ke RS
- Resusitasi dan penanganan klinis segera
- Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis species ular
- Periksa lab
- Pemberian SABU
- Observasi respon SABU: untuk memutuskan peningkatan dosisnya
- Pemberian terapi suportif
- Penanganan bekas gigitan
- Rehabilitasi
- Penanganan komplikasi kronis
Tujuan
pertolongan
pertama
- mencoba memperlambat absorpsi sistemik racun
- mempertahankan nyawa dan mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa ke RS
- mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya
- mengatur transportasi pasien agar segera mendapat pertolongan medis
- Above all, do no harm!
Pada
umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular.
Cara
tradisional pada penanganan gigitan ular seperti metode
penggunaan torniket (cara
ini sangat menyakitkan dan berbahaya apabila torniket dipasang
terlalu lama karena dapat menyebabkan iskemia dan akhirnya banyak
yang menjadi gangren),
insisi
tempat gigitan,
pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian
antihistamin dan kortikosteroid harus
dihindari karena
tidak terbukti manfaatnya
dan bahkan membahayakan.
(WHO, 2005)
Foto foto ular berikut terdiri dari bermacam macam jenis yang mungkin saja pernah kamu temui disekitar lingkungan kamu.Ular adalah binatang melata yang paling ditakuti terutama kekuatan bisanya.Bagaimana tidak,satu gigitan ular berbisa jenis tertentu saja mampu membunuh sapi dalam waktu sekejap.
Sebenarnya ular paling berbisapun tidak pernah menyerang manusia,namun mereka akan menyerang jika merasa terancam.Bahkan ular akan lari jika mengetahui kedatangan manusia.Berhati hati sajalah jika masuk kedalam habitat mereka,jangan sampai menyentuh atau tidak sengaja menyenggol mereka.Mohon dimaklumi,ular tidak memiliki perasaan sehingga tidak bisa membedakan mana yang sengaja atau tidak sengaja.
Mereka juga makhluk hidup yang juga ingin bertahan hidup didunia ini sama seperti manusia,so jangan membunuh mereka jika tidak karena terpaksa.
Manusia dikaruniai akal dan fikiran,tentu lebih mengerti cara agar terhindar dari serangan binatang seperti ular ini.Sedangkan binatang hanya memiliki insting dan naluri saja,jadi siapa yang harus mengalah?....
Sekian saja basa basinya dan berikut Foto foto ular yang mungkin kamu cari sebagai bahan pengetahuan.
Recommended first aid methods
Sebenarnya ular paling berbisapun tidak pernah menyerang manusia,namun mereka akan menyerang jika merasa terancam.Bahkan ular akan lari jika mengetahui kedatangan manusia.Berhati hati sajalah jika masuk kedalam habitat mereka,jangan sampai menyentuh atau tidak sengaja menyenggol mereka.Mohon dimaklumi,ular tidak memiliki perasaan sehingga tidak bisa membedakan mana yang sengaja atau tidak sengaja.
Mereka juga makhluk hidup yang juga ingin bertahan hidup didunia ini sama seperti manusia,so jangan membunuh mereka jika tidak karena terpaksa.
Manusia dikaruniai akal dan fikiran,tentu lebih mengerti cara agar terhindar dari serangan binatang seperti ular ini.Sedangkan binatang hanya memiliki insting dan naluri saja,jadi siapa yang harus mengalah?....
Sekian saja basa basinya dan berikut Foto foto ular yang mungkin kamu cari sebagai bahan pengetahuan.
Recommended first aid methods
- Menenangkan korban yang mungkin sangat
- Immobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan atau bidai (karena setiap gerakan atau kontraksi otot meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh darah atau limfe)
- Pertimbangkan pressure-immobilisation untuk beberapa jenis ular Elapidae
- Hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat membuat infeksi, meningkatkan absorpsi racun, dan meningkatkan pendarahan.
Tindakan
Pelaksanaan
- Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
- Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
- Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol
- Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
Petunjuk
awal bahwa pasien mengfalami gejala keracunan berat :
- Ular teridentifikasi sebagai jenis yang berbahaya
- Pembesaran bengkak yang cepat pada tempat gigitan
- Cepat terjadi Pembesaran dari lokal lymphonodi, menunjukan bahwa racun telah menyebar pada saluran limfe.
- Cepat terjadi gejala sistemik: kolaps (hypotension, shock), nausea, muntah, diare, nyeri kepala hebat, “berat” pada kelopak mata, mudah mengantuk atau ptosis yang aal/opthalmoplegia
- Cepat terjadi perdarahan sistenik spontan
- Urin berwarna coklat gelap
- Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
- Penatalaksanaan jalan napas
- Penatalaksanaan fungsi pernapasan
- Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
- Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)
- Periksa lab, Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati.
- Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
- Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
- 10-50 LD50 bisa Ankystrodon
- 25-50 LD50 bisa Bungarus
- 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
- Fenol 0.25% v/v
Teknik
pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose
5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial).
Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.
Dosis SABU pada anak dan dewasa sama, karena ular menginjeksikan
jumlah/dosis racun yang sama pula saat dia menggigit dewasa ataupun
anak-anak.
Indikasi
SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada
bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way
(Depkes, 2001):
Pedoman
terapi SABU menurut Luck :
Monitor
keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi
pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
• Jika
koagulopati tidak membaik
(fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang),
ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam
berikutnya, dst.
Gangguan
koagulopati berat berikan
antivenin spesifik,
plasma
fresh-frozen,
cryoprecipitate
(fibrinogen, factor VIII),
fresh
whole blood or platelet concentrates.
• Jika
koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun)
maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk
memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk
penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi
minimal 2 minggu setelah gigitan.
Antivenom
reactions
A
proportion of patients, usually more than 20%, develop a reaction
either early
(within
a few hours) or late (5 days or more) after being given antivenom.
Early
anaphylactic reactions:
usually within 10-180 minutes of starting antivenom,
the
patient begins to itch (often over the scalp) and develops urticaria,
dry cough,
fever,
nausea, vomiting, abdominal colic, diarrhoea and tachycardia. A
minority of
these
patients may develop severe life-threatening anaphylaxis:
hypotension,
bronchospasm
and angio-oedema
Pyrogenic
(endotoxin) reactions usually
develop 1-2 hours after treatment.
Symptoms
include shaking chills (rigors), fever, vasodilatation and a fall in
blood
pressure.
Febrile convulsions may be precipitated in children. These reactions
are
caused
by pyrogen contamination during the manufacturing process
Late
(serum sickness type) reactions develop
1-12 (mean 7) days after treatment.
Clinical
features include fever, nausea, vomiting, diarrhoea, itching,
recurrent urticaria,
arthralgia,
myalgia, lymphadenopathy, periarticular swellings, mononeuritis
multiplex,
proteinuria
with immune complex nephritis and rarely encephalopathy
Treatment
of early anaphylactic and pyrogenic antivenom
reactions
Epinephrine
(adrenaline) is given intramuscularly (into the deltoid muscle or the
upper
lateral thigh) in an initial dose of 0.5 mg for adults, 0.01 mg/kg
body weight for
children.
Severe, life-threatening anaphylaxis can evolve very rapidly and so
epinephrine
(adrenaline) should be given at the very first sign of a reaction,
even
when
only a few spots of urticaria have appeared or at the start of
itching, tachycardia
or
restlessness. The dose can be repeated every 5-10 minutes if the
patient’s condition
is
deteriorating.
At
the earliest sign of a reaction:
Antivenom
administration must be temporarily suspended
Epinephrine
(adrenaline) (0.1% solution, 1 in 1,000, 1 mg/ml) is the effective
treatment
for early anaphylactic and pyrogenic antivenom reactions
Additional
treatment
anti
H1
antihistamine
such as chlorpheniramine
maleate
(adults 10 mg, children 0.2 mg/kg by intravenous injection over a few
minutes)
should
be given followed by intravenous hydrocortisone (adults 100 mg,
children
2
mg/kg body weight).
There
is increasing evidence that anti H2
antihistamines
such as cimetidine or
ranitidine
have a role in the treatment of severe anaphylaxis. Both drugs are
given,
diluted
in 20 ml isotonic saline, by slow intravenous injection (over 2
minutes).
Doses:
cimetidine – adults 200 mg, children 4 mg/kg;
ranitidine
– adults 50 mg, children 1 mg/kg.
Treatment
of late (serum sickness) reactions
Late
(serum sickness) reactions usually respond to a 5-day course of oral
antihistamine.
Patients
who fail to respond in 24-48 hours should be given a 5-day course of
prednisolone.
Doses:
Chlorpheniramine: adults 2 mg six hourly, children 0.25 mg/kg /day
in
divided doses
Prednisolone:
adults 5 mg six hourly, children 0.7 mg/kg/day in divided doses for
5-7
days
Neurotoxic
envenoming
Antivenom
treatment alone cannot be relied upon to save the life of a patient
with
bulbar
and respiratory paralysis
akibat neurotoksin pada bias ular. Death
may result from aspiration, airway obstruction or respiratory
failure. A
clear
airway must be maintained.
Atropine
sulphate (adults 0.6 mg, children50 μg/kg body weight) is given by
intravenous injection
followed
immediately by edrophonium chloride (adults 10 mg, children
0.25
mg/kg body weight) given intravenously over 3 or 4 minutes. The
patient is
observed
over the next 10-20 minutes for signs of improved neuromuscular
transmission
If
edrophonium chloride is not available, any other anticholinesterases
(neostigmine
– “Prostigmine”, distigmine, pyridostigmine, ambenomium) can be
used
for
this assessment but a longer period of observation will be needed (up
to 1 hour
Hypotension
and shock
Snake
bite: causes of hypotension and shock
(1)
Anaphylaxis
(2) Antivenom reaction
Vasodilatation
Respiratory
failure
Cardiotoxicity
Acute
pituitary adrenal insufficiency
Hypovolaemia
Septicaemia
This
is usually the result of hypovolaemia (from loss of circulating
volume into the
swollen
limb, or internal/external haemorrhage), venom-induced vasodilatation
or
direct
myocardial effects with or without arrhythmias
In
patients with evidence of a generalised increase in capillary
permeability, a
selective
vasoconstrictor such as dopamine may be given by intravenous
infusion,
preferably
into a central vein (starting dose 2.5-5 μg/kg/minute
Oliguria
and renal failure
Detection
of renal failure
Dwindling
or no urine output
Rising
blood urea/creatinine concentrations
Clinical
“uraemia syndrome”
nausea,
vomiting, hiccups, fetor, drowsiness, confusion, coma, flapping
tremor,
muscle
twitching, convulsions, pericardial friction rub, signs of fluid
overload
Conservative
management
may
tide the patient over, avoiding the need for dialysis
If
the patient is hypovolaemic
:
- Establish intravenous access
- Insert a urethral catheter
- Determine the central venous pressure.
- Fluid challenge until the jugular venous pressure/central venous pressure has risen to 8-10 cm above the sternal angle (with the patient propped up at 45o). f the urine output does not improve, try furosamide challenge.
- Furosamide (frusemide) challenge: 100 mg of furosamide is injected slowly (4-5 mg/minute). If this does not induce a urine output of 40 ml/hour, give a second dose of furosamide, 200 mg. If urine output does not improve, try mannitol challenge.
- Mannitol challenge: 200 ml of 20% mannitol may be infused intravenously over 20 minutes but this must not be repeated as there is a danger of inducing dangerous fluid and electrolyte imbalance.
- Conservative management: If the urine output still does not improve, the patient should be referred to a renal unit. The diet should be bland, high in calories (1700/day), low in protein (less than 40g/day), low in potassium (avoid fruit, fruit juices and potassium containing drugs) and low in salt.
- Biochemical monitoring: Serum potassium, urea, creatinine and, if possible, pH, bicarbonate, calcium and phosphate should be monitored frequently. If this is not possible the electrocardiogram (ECG) should be examined for evidence of hyperkalaemia serum potassium >6.5 mmol/l or ECG changes
- Dialysis
Indications
for dialysis
Clinical
uraemia
Fluid
overload
Blood
biochemistry – one or more of the following
creatinine
>6 mg/dl (500 μmol/l)
urea
>200 mg/dl (400 mmol/l)
potassium
>7 mmol/l (or hyperkalaemic ECG changes)
symptomatic
acidosis
Treatment of the bitten part
The
bitten limb, which may be painful and swollen, should be nursed in
the most
comfortable
position, preferably slightly elevated, to encourage reabsorption of
oedema
fluid. Bullae may be large and tense but they should be aspirated
only if
they
seem likely to rupture
Bacterial
infections
prophylactic
course of penicillin (or erythromycin for penicillin-hypersensitive
patients)
and
a single dose of gentamicin or a course of chloramphenicol, together
with a
booster
dose of tetanus toxoid is recommended. Interference with the wound
(incisions
made with an unsterilised razor blade/knife etc) creates a risk of
secondary
bacterial
infection and justifies the use of broad spectrum antibiotics (eg
amoxycillin
or
a cephalosporin plus a single dose of gentamicin plus metronidazole).
Compartmental
syndromes and fasciotomy
Swelling
of envenomed muscle within such tight fascial compartments could
result
in an increase in tissue pressure above the venous pressure,
resulting in
ischaemia.
Clinical
features of a compartmental syndrome
Disproportionately
severe pain
Weakness
of intracompartmental muscles
Pain
on passive stretching of intracompartmental muscles
Hypoaesthesia
of areas of skin supplied by nerves running through the
compartment
Obvious
tenseness of the compartment on palpation
The
most reliable test is to measure
intracompartmental
pressure directly through a cannula introduced into the
compartment
and connected to a pressure transducer or manometer,
intracompartmental
pressures exceeding 40 mmHg (less in
children)
may carry a risk of ischaemic necrosis.
Criteria
for fasciotomy in snake-bitten limbs
Haemostatic
abnormalities have been corrected (antivenom with or without clotting
factors)
clinical
evidence of an intracompartmental syndrome
intracompartmental
pressure >40 mmHg (in adults)
Rehabilitation
Restoration
of normal function in the bitten part after the patient has been
discharged
from
hospital is not usually supervised. Conventional physiotherapy may
well
accelerate
this process.
Terapi
suportif lainnya pada keadaan :
- Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
- Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
- Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
- Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
- Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
- Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
- Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
- Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat – obatan narkotik depresan
Terapi
profilaksis
- Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
- Beri toksoid tetanus
- Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular :
- Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
- Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
- Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak – semak
- Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
- Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
- Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
- De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
- Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
- Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
- Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
- Warrell, D.A., 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. World Health House. Indraprastha Estate. New Delhi 110002. India.
- Warrell, D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November),
doi:
10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.

























No comments
Post a Comment