Menyingkap Tabir Ulama dan Sufi dari Makassar
BISMILLAHI AR-RAHMANI AR-RAHIM
Seorang laki-laki datang kepada Ibrahim sambil berkata:
Wahai Syekh, semoga Allah merahmatimu.
Jawab Ibrahim:
Saya ini seorang pencuri. Mendekatlah! Engkau akan mendapatkannya. Dan sesudah mereka, berbuatlah sekehendakmu.
Dengan heran laki-laki itu kembali bertanya [sehingga terjadilah semacam dialog]:
Mereka? Saya tidak paham mereka yang syekh maksudkan.
Syekh Ibrahim:
Pertama, jika engkau berniat melawan Tuhan, janganlah makan rezeki-Nya.
Laki-laki:
Demi Tuhan, itu sangat sulit. Jika rezeki-Nya semua di laut, di darat, di gunung dari mana saya makan untuk bertahan hidup?
Syekh Ibrahim:
Pantaskah makan rezeki-Nya dan melawan-Nya?
Laki-laki:
Tidak.
Syekh Ibrahim:
Kedua, jika kamu ingin melawan Allah, jangan bertempat tinggal di negeri-Nya.
Laki-laki
Demi Allah, itu lebih sulit dari yang pertama. Jika dunia ini kepunyaan-Nya, lantas di mana saya harus tinggal?
Syekh Ibrahin:
Pantaskah makan rezeki-Nya, tinggal di negeri-Nya dan melawan-Nya?
Laki-laki:
Tidak.
Syekh Ibrahim:
Ketiga, jika hendak melawan, lawanlah ditempat Ia tidak melihatmu.
Laki-laki:
Demi Allah, ini semakin sulit. Bagaimana mungkin, sedang Ia tahu semua yang tidak terlihat [gaib] dan yang tersimpan di dalam hati.
Syekh Ibrahim:
Pantaskah makan rezeki-Nya, bertempat tinggal di negeri-Nya dan melawan-Nya? Sedang Ia melihat engkau?
Laki-laki:
Tidak. Kalau begitu syekh, berikan saya yang keempat.
Syekh Ibrahim:
Jika datang Malaikat Maut menjemput dan mencabut rohmu, katakanlah kepadanya, 'Akhirilah kematian saya sampai saya bertaubat'. Malaikat berkata, 'Enak saja. Jika engkau tahu, mengapa tidak bertaubat dari dulu.
Laki-laki itu belum puas dan karena itu masih meminta opsi kelima.
Baik kata Ibrahim:
Jika datang Mungkar dan Nakir, maka tolak dan usirlah keduanya.
Laki-laki:
Tidak ada kekuatan bagiku. Berilah opsi yang lain syekh.
Syekh Ibrahim:
Jika kamu berada di hadapan Allah Azza wa Jalla, sedangkan Allah memerintahkan memasukkan engkau ke neraka, berkatalah kepada Tuhan: Jangan perintahkan mereka.
Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu ya Allah.
kisah ini dikutip oleh Syekh Yusuf al-Makassari dari kitab Zaadatul Musafirin [Perbekalan para Pengembara] dalam salah satu risalahnya, An-Nafhatus-Sailaniah [Embusan dari Ceylon]. Syekh Yusuf menulis lebih dari 20 [dua puluh] tulisan terutama tentang tasawuf. Salah satunya dari Ceylon [Srilangka sekarang].
Di tulis memenuhi keinginan para jamaah dan sahabat, risalah ini memuat antara lain keharusan mempersatukan syari'at dan hakikat. Misalnya mengutip pendapat guru-guru tasawuf yang menyatakan, "Barangsiapa yang berilmu tetapi tidak bertasawuf, ia fasik. Barangsiapa yang bertasawuf namun tidak berfiqh, ia zindik."
Begitulah Syekh Yusuf al-Makassari. Dia berdakwah [ceramah] dengan cara memberi contoh dan hikmah, sehingga jamaah yang hadir senang dan betah untuk tinggal mendengar dakwahnya [ceramahnya]. Karena itulah, tidak heran bila namanya begitu sangat terkenal sampai Cape Town, Afrika Selatan.
Nama Syekh Yusuf al-Makassari tentu tidak asing lagi, karena banyak artikel, tulisan-tulisan dan buku-buku yang ditulis oleh para pemerhati perjuangan Syekh Yusuf. Ia adalah ulama besar kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, [3 Juli 1626 M.] Muhammad Yusuf atau lebih di kenal dengan nama Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani, berasal dari kalangan bangsawan tinggi dari suku Bugis Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa dan Bone. Konon nama Muhammad Yusuf merupakan pemberian dari Sultan Alauddin, Raja Gowa yang merupakan kerabat ayahnya, Gallarang Moncongloe dan ibunya Sitti Aminah.
Namun menurut Buya Hamka, nama ayah Syekh Yusuf adalah "Abdullah Abul Mahsim". Keluarganya memiliki latar belakan keislaman yang kuat, membuat Syekh Yusuf sejak kecil diajar dan dididik secara Islami. Syekh Yusuf selain sebagai seorang ulama juga dikenal sebagai pejuang Nasional dan diangkat sebagai pahlawan Nasional pada tahun 1995 M. Ia juga seorang sastrawan dan sekaligus sebagai ahli tasawuf [sufi].
Pergulatannya dengan ilmu agama dan perjuangannya melawan penjajah, hingga ia diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan, sudah begitu banyak dijelaskan oleh para tokoh diberbagai buku dan artikel.
Pada tulisan ini, akan dikemukakan perjalanan dan pemikirannya dalam bidang tasawuf. Perkenalan dan persentuhan pertama kali dengan ilmu tasawuf, didapatnya dari Syekh Nuruddin ar-Raniri di Aceh, yaitu dengan belajar Tarekat Qadiriyah hingga ia mendapat Ijazah [sebuah pernyataan bahwa ia diperbolehkan mengajarkan kepada orang lain] dari ar-Raniri. Selepas dari Aceh, Syekh Yusuf melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi melalui Yaman. Di Yaman ini ia belajar pada Sayyid Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi an-Naqsyabandi. Dari ulama ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah Tarekat Naqsyabandiya.
Masih di Yaman Syekh Yusuf kembali belajar kepada Syekh Maulana Sayyid Ali, dan diberi Ijazah Tarekat Al-Baawalawiyah. Selanjutnya, dia menunaikan ibadah haji di Makkah. Setelah selesai melakukan ibadah haji, Syekh Yusuf melanjutkan perjalanannya ke Madinah dan di Kota al-Nabawiyah inilah ia bertemu dan belajar kepada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani. Dari syekh ini diterima ijazah Tarekat Syattariyah.
Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf melanjutkan perjalanan ke negeri Syam [Damaskus] menemui Syekh Abu al-Barakah Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi. Ia diberikan ijazah Tarekat Khalwatiyah.
Dari sekian banyak tarekat yang ia pelajari, menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tidak heran bila di kemudian hari dia sangat ahli di bidang ilmu Tasawuf.
Dalam lontara versi Gowa disebutkan akan kedalaman dan penguasaan ilmu yang dimiliki Syekh Yusuf. Bagaikan:
''Tamparang tenaya sandakanna'' [langit yang tak dapat di duga].
''Langik tenaya birinna'' [langit yang tak berpinggir].
''Kappalak tenaya gulinna'' [kapal yang tak berkemudi].
Kedalaman ilmu yang dimiliki terutama dalam bidang tasawuf, membuat Syekh Yusuf senantiasa berhati-hati berperilaku.
Dalam hidup Syekh Yusuf menekankan pentingnya bagi setiap Muslim untuk menempuh jalan kesucian bathin dari segala bentuk kemaksiatan. Dorongan berbuat maksiat, menurutnya, dipengaruhi oleh kecenderungan untuk mengikuti keinginan hawa nafsu, yaitu keinginan untuk memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama seseorang berperilaku buruk.
Tahap pertama yang harus ditempuh seorang murid [salik] adalah, mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan pada kemewahan duniawi.
Syekh Yusuf juga dikenal sebagai ulama yang moderat, dalam mengajarkan proses penyucian bathin kepada murid-muridnya, dia tidak menginginkan murid-muridnya meninggalkan seluruh urusan duniawi, dan hanya mengejar negeri akhirat.
Menurut Syekh Yusuf, kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali, melainkan hidup ini harus dimamfaatkan untuk mengembara menuju perjumpaan dengan Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.
Hidup menurut pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi, namun kehidupan ini, harus diilhami cita-cita dan tujuan hidup untuk menuju kepada keridhaan Allah subhanahu wata'ala. Menurutnya, Allah subhanahu wata'ala adalah inti orientasi dan tujuan hidup seorang Muslim sejati. Sedangkan dunia ini hanyalah tempat persinggahan dalam perjalanan menuju negeri keabadian.
Sejak kecil, ilmu tasawuf sudah mencuri perhatian Syekh Yusuf. Sebagian besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarkannya sebagai seorang guru besar. Pengetahuan mengenai tasawuf di perolehnya dengan cara menimba ilmu dari sejumlah ulama besar yang bermukim ditempat-tempat yang pernah ia singgahi. Sebut saja diantaranya:
- Syekh Nuruddin ar-Raniri, ulama termasyhur di Aceh.
-Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi, seorang ulama yang menggagas berdirinya Tarekat Naqsyabandiyah.
- Syekh Maulana Sayyid Ali, penggagas Tarekat Baalawiyah.
- Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani, ulama asal madinah pencetus Tarekat Syattariyah.
- Syekh Abu al-Barakah Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi, ulama Damaskus penggagas Tarekat Khalwatiyah.
Karena itu pula, Syekh Yusuf-pun banyak menulis buku dalam bidang tasawuf. Buku-buku mengenai ajaran tasawuf ditulisnya ketika dalam perantauan dan pada saat menjalani pengasingan. Ketika menjalani pengasingan di Srilangka, salah seorang ulama besar dari India yang ia temui disana, Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, meminta Syekh Yusuf menulis sebuah buku tentang tasawuf yang berjudul "Kayfiyat al-Tasawuf". Begitu juga selama menetap di Banten, Syekh Yusuf menulis sejumlah karya, demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Indonesia. Salah satu bukunya "Al-Barakat al-Sailaniyyah" yang berisi nasehat mengenai cara dan bagaimana mengikuti jalan sufisme, seperti berdzikir, syahadat dan cara bagaimana mendekatkan diri kepada Allah [Muraqabah].
Pendapatnya dalam buku ini ada tiga cara mengingat Allah [dzikir] yakni melalui:
- Dzikral-nafi wa al-ithbat, dengan mengucapkan: "Laa Ilaha Illa Allah".
- Dzikir al-Mujarrad wa al-Jalala, dengan mengucapkan: "Allah"
- Dzikir al-Ishara wa al-anfas, dengan mengucapkan: "Hu".
Dalam karyanya yang lain, "Al-Fawa'il al-Yusufiyyah fi Bayan Tahqiq al-Sufiyyah" ditulis ketika dia menjawab pertanyaan orang yang mengenal beberapa masalah agama, ia menganjurkan orang untuk banyak membaca Al-Qur'an dan memperkuat tauhid, di samping mengamalkan kewajiban agama. Dalam buku ini, ia juga merekomendasikan kepada mereka untuk sabar, syukur dan jujur seperti halnya "Al-Fawa'il al-Yusufiyyah fi Bayan Tahqiq al-Sufiyyah".
Dalam kitabnya "Hashiyyah" Syekh Yusuf juga menjelaskan makna syahadat, yang berarti kekuasaan apapun berasal dari Allah. Kitab Hashiyyah ini hampir sama dengan kitab, "Kayfiyat al-Munghghi wa al ithbat bi al-Hadits al-Qudsi" yang dia tulis di Srilangka. Kitab ini menjelaskan pentingnya mengingat Allah subhanahu wata'ala kapanpun dan dimanapun, sebagai mana dicontohkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Dalam kitab ini juga dijelaskan cara-cara bertobat dan memperoleh ridha Allah subhanahu wata'ala.
Sementara kitabnya "Mathalib al-Salikin" sang ulama tasawuf menjelaskan keesaan Allah sebagai landasan untuk menjadi seorang Muslim. Menurut dia, seorang Muslim harus percaya konsep tauhid [keesaan Allah] dan ma'rifat [mengenal Allah] serta menjalankan ibadah. Urutannya dapat dilihat sebagaimana pohon, terdiri dari batang yang diibaratkan sebagai tauhid, cabang serta daun-daunnya yang diibaratkan sebagai ma'rifat, dan ibadah sebagai buahnya.
Syekh Yusuf al-Makassari juga di kenal sebagai seorang pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Setelah menuntut ilmu di Makkah, ia kembali ke Tanah Air [Indonesia]. Syekh Yusuf tidak langsung pulang ke kampung halamannya di Makassar, ia justru menetap di Banten [pulau jawa] dan bertemu dengan sahabatnya Pangeran Surya, yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Banten yang bergelar Abul Fatah Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa [tahun 1651-1683 M]. Selama di Banten Syekh Yusuf membantu perjuangan yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa. Semasa pemerintahan Sultan Ageng, bangsa-bangsa Eropa mulai melakukan ekspansi ke wilayah Nusantara. Ketika para penjajah ini bermaksud menduduki wilayah kesultanan Banten, bersama dengan Sultan Ageng, Syekh Yusuf melakukan perlawanan. Namun pasukan Sultan Ageng dan Syekh Yusuf terdesak, hingga akhirnya harus melakukan perang gerilya. Para pejuang itu harus mundur sampai ke daerah Priangan Timur, termasuk wilayah Tasikmalaya Selatan. Setelah sebelumnya menyusuri sungai Ciseel dan sungai Citanduy, lalu memutar lewat Parigi [Ciamis].
Menurut Abu Hamid, Guru besar ilmu Sosial dan Politik dari Universitas Hasanuddin Makassar, yang menulis tentang Perjuangan Syekh Yusuf, sang ulama berlindung di sebuah tempat bernama Karang atau Aji Karang di Sukapura [Sukapura adalah nama lain sebelum menjadi Tasikmalaya]. Apa yang disebut Karang oleh Abu Hamid, tidak lain adalah Karangnunggal. Di situ terdapat kompleks pemijahan dan Goa Safarwadi, tempat Syekh Abdul Muhyi, penyebar Islam di Tasikmalaya dan mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Disitulah Syekh Yusuf untuk beberapa waktu berlindung sambil menyusun kekuatan.
Menurut Azumardi Azra: Sumber-sumber belanda menyebutkan, bahwa Syekh Yusuf mundur ke Desa Karang dan berhubungan dengan seseorang yang dipanggil, "Hajee Karang" Tokoh ini tidak lain adalah Syekh Abdul Muhyi, murid dari Syekh Abdul Rauf Singkel, ulama besar dari Serambi Makkah [Aceh] penyebar ajaran Tarekat Syattariyah. Dengan segala tipu muslihat Belanda menangkap ulama ini, pada 14 Desember 1683 di Segara Anakan, ia di bawa dari Pamijahan ke Batavia. Karena pengaruh Syekh Yusuf demikian besar, maka penjajah Belanda berusaha keras untuk memadamkan semangat juangnya.
Pada tahun 1684, Syekh Yusuf diasingkan ke Srilangka dan pada tahun 1693, ia dibawa lagi ke Cape Town, Afrika Selatan, dan ditempatkan di Zandvilet
No comments
Post a Comment