Breaking News

Laksamana Cheng Ho, Sang Mualim dan Mubaligh




Laksamana Zheng He (nama asli : Ma He, dialek Hokkian : Cheng Ho, nama Arab : Haji Mahmud, 
gelar : Sam Po Tay Djien/Sam Po Toa Lang) adalah seorang kasim Muslim dari suku Hui yang menjadi kepercayaan Kaisar Cina Yong Le. Cheng Ho lahir pada tahun 1371 di Kunyang, propinsi Yunnan. Leluhurnya berasal dari Asia Tengah dan menganut agama Islam. Pada saat dinasti Ming menduduki Yunnan pada tahun 1382, Cheng Ho ditangkap dan dibawa ke Nanjing, untuk dijadikan kasim yang melayani putra raja. Gelar Sam Po diberikan oleh Kaisar ketika mengangkat Cheng Ho menjadi Thai Kam. Dan sejak itu Cheng Ho lebih dikenal dengan sebutan Sam Po Thai Kam, atau dikenal juga sebagai Sam Po Tay Djien atau Sam Po Toa Lang (Tay Djien dan Toa Lang artinya “orang besar”). Dari berbagai cerita dan catatan sejarah, Cheng Ho digambarkan sebagai orang yang tinggi dan kekar dengan tinggi lebih dari 2 meter, mata berbinar, gigi seputih kerang, rambut terpotong rapi, dan postur yang gagah seperti harimau dengan suara yang jelas dan menggelegar. Cheng Ho juga dikagumi akan keahliannya dalam berdebat.

Kedekatan Cheng Ho dengan kaisar Yong Le berawal ketika Cheng Ho dijadikan kasim yang melayani Yong Le muda. Ketika Yong Le muda merebut mahkota kekaisaran Cina dari keponakannya, Cheng Ho berjuang di sisinya. Kaisar Yong Le memiliki banyak ambisi, di antaranya membangun kembali Tembok Besar, mendirikan ibu kota di Beijing, serta melaksanakan ekspedisi menjelajah samudra. Ia menunjuk Cheng Ho untuk memimpin ekspedisi tersebut, dan memberinya gelar “Laksamana dari Samudra Barat”. 

Tahun 1405, Cheng Ho memulai ekspedisi pertamanya. Armada Cheng Ho terdiri dari 62 kapal besar sepanjang 600 kaki dan ratusan kapal-kapal kecil, dengan 27000 personil yang selain terdiri dari anak buah kapal, juga terdapat dokter, juru tulis, serta para pemuka agama Islam dan Buddha yang bertindak sebagai diplomat di negara-negara yang mereka kunjungi. Di setiap tempat yang disinggahi, Cheng Ho mempersembahkan cenderamata dari Kaisar Cina dan memperkenalkan kegemilangan dinasti Ming. 

Pertama kali Cheng Ho mengunjungi Champa (sekarang Vietnam) dan Kalkuta. Hasil yang dibawa Cheng Ho dari ekspedisi yang pertama ini sangat memuaskan Kaisar, sehingga ia mengirim Cheng Ho untuk melakukan perjalanan yang lebih jauh. Dalam 7 kali perjalanannya, Cheng Ho juga telah singgah di Brunei, Singapura, Srilanka, Nikobar (Teluk Bengal), Teluk Persia, jazirah Arab dan benua Afrika.
Dalam setiap perjalanannya, Cheng Ho membawa cenderamata untuk dipersembahkan kepada penguasa di daerah yang ia singgahi, antara lain terdiri dari barang-barang porselen, sutra, emas dan perak, peralatan besi, alat-alat dapur dari tembaga, serta minyak wangi. Sebaliknya, Cheng Ho membawa pulang berbagai cenderamata dari negara-negara yang dikunjunginya antara lain rempah-rempah, tanaman obat-obatan, pewarna kain, batu-batu mulia, mutiara, cula badak, gading gajah dan binatang-binatang eksotik. Salah satu binatang eksotik yang dibawa pulang Cheng Ho adalah jerapah, zebra dan oryx (sejenis kambing bertanduk panjang), yang pada masa itu merupakan binatang yang asing di Cina. Selain pertukaran cenderamata, ekspedisi Cheng Ho ini juga sebagai salah satu sarana pertukaran budaya antara Cina dan mancanegara. 
Selain sebagai pemimpin armada yang hebat, Cheng Ho juga termotivasi untuk melaksanakan ekspedisi ini dengan ketaatannya terhadap agama Islam. Dalam perjalanan ini, Cheng Ho berkesempatan menyebarkan agama Islam, sekaligus mengunjungi negara-negara Islam. Bahkan ketika singgah di jazirah Arab, konon Cheng Ho sempat melaksanakan ibadah haji, seperti yang telah dilakukan oleh ayah dan kakeknya.

Terdapat beberapa versi mengenai perjalanan Cheng Ho yang ke-7, atau yang terakhir. Sebuah versi mengatakan bahwa Cheng Ho meninggal pada tahun 1435, 2 tahun setelah kembali dari perjalanannya yang ke-7, dan dimakamkan di Niushou, Nanjing, di mana nisannya ditulis dengan aksara Cina dan Arab. Namun versi lain mengatakan bahwa Cheng Ho meninggal dalam perjalanannya yang ke-7, dan sebagaimana tradisi bagi seorang pelaut, jenasahnya dibungkus dan dibuang ke laut, sehingga diduga makan yang ada di Nanjing hanya berupa makam kosong. Namun kisah perjalanannya telah membuatnya begitu terkenal. Begitu banyak pertunjukan dan novel yang ditulis berdasarkan catatan perjalanannya, bahkan di masa modern ini.
Hasil yang dicapai dari ekspedisi Cheng Ho ini membuktikan bahwa pada masa itu Cina telah memiliki kapal dan teknologi navigasi yang layak untuk menjelajahi dunia. Namun karena pertimbangan masalah anggaran, serta timbulnya faham yang menekankan agar Cina lebih memperhatikan masalah dalam negeri, Cina tidak melanjutkan ekspedisi yang telah dirintis Cheng Ho tersebut. Pengadilan bahkan menghancurkan kapal-kapal penjelajah samudra mereka, serta catatan perjalanan yang dibuat oleh Cheng Ho. Cerita yang diketahui saat ini diperoleh dari berbagai prasasti peninggalan di berbagai negara yang disinggahi, serta catatan anak buah kapal atau para penjelajah yang mengikuti ekspedisi Cheng Ho.
Dari sekian banyak tempat yang ia kunjungi di Asia Tenggara, Cheng Ho sempat singgah di Sumatra dan Jawa, yang ia kunjungi sebanyak 7 kali. Di Samudra Pasai, Cheng Ho mempersembahkan lonceng raksasa Cakrado kepada Sultan Aceh. Tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati, Cirebon, dan mempersembahkan sebuah piring yang bertuliskan Ayat Kursi. Cheng Ho juga sempat singgah di Majapahit pada masa pemerintahan Wikramawardhana.
Salah satu peninggalan Cheng Ho dalam perjalanannya mengarungi Laut Jawa adalah Gedung Batu di Simongan, Semarang. Disebut Gedung Batu, karena bentuknya merupakan gua batu besar yang terletak di bukit. Klenteng ini didirikan oleh anak buang Cheng Ho yang menetap di Semarang untuk memperingati pendaratan Cheng Ho di Semarang. Dikisahkan orang kepercayaan Cheng Ho, Wang Jing Hong, sakit keras. Cheng Ho memerintahkan untuk membuang sauh dan kemudian mereka menyusuri Kali Garang, dan tiba di sebuah gua di desa Simongan, Semarang, dimana Wang dirawat oleh Cheng Ho. Konon, setelah Cheng Ho melanjutkan pelayarannya, banyak awak kapalnya yang menikah dengan perempuan lokal dan menetap di Semarang. Di sisi luar gua, terdapat relief yang menceritakan kisah ekspedisi Cheng Ho. Keunikan dari klenteng ini adalah adanya perpaduan budaya Kong Hu Cu, Tao, Buddha, Jawa, dan Islam, yang ditandai dengan adanya altar untuk pemujaan (Buddha, Tao dan Kong Hu Cu), patung dwarapala (Jawa), serta makam Kyai Juru Mudi Dampu Awang (Lie Keng Hong) yang dimakamkan secara Islam. Dengan adanya pendaratan Cheng Ho di Semarang ini, diduga bahwa ekspedisi ini termasuk salah satu titik awal penyebaran agama Islam di Jawa. 

Bulan Juli sampai Oktober 2005 yang lalu, dunia merayakan 600 Tahun Pelayaran Laksamana Cheng Ho yang diperingati di 37 negara (yang ironisnya, di Cina sendiri perayaan ini tidak dirayakan secara besar-besaran). Di Indonesia, kegiatan tersebut dipusatkan di Semarang dan diselenggarakan pada tanggal 1-7 Agustus 2005. Perayaan tersebut dipusatkan di Gedung Batu dan klenteng Tak Kak Sie.

No comments