Breaking News

Proyeksi Peta


image005

Proyeksi Peta


Oleh : Ir. Zainal Arifin



13.1 Pengertian Proyeksi Peta


Persoalan ditemui dalam upaya menggambarkan garis yang nampak lurus pada muka lengkungan bumi ke bidang datar peta. Bila cakupan daerah pengukuran dan penggambaran tidak terlalu luas, seperti halnya dalam ilmu ukur tanah (plane surveying) yang muka lengkungan bumi bisa dianggap datar maka tidak ditemui perbedaan yang berarti antara unsur di muka bumi dan gambarannya di peta.

Proyeksi peta adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran berbentuk bola ke permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Dalam proyeksi peta diupayakan sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik-titik di muka bumi dan di peta.

Bentuk bumi bukanlah bola tetapi lebih menyerupai ellips 3 dimensi atau ellipsoid. Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid yang digunakan untuk menyatakan bentuk bumi. Karena bumi tidak uniform, maka digunakan istilah geoid untuk menyatakan bentuk bumi yang menyerupai ellipsoid tetapi dengan bentuk muka yang sangat tidak beraturan.

Untuk menghindari kompleksitas model matematik geoid, maka dipilih model ellipsoid terbaik pada daerah pemetaan, yaitu yang penyimpangannya terkecil terhadap geoid.WGS-84 (World Geodetic System) dan GRS-1980 (Geodetic Reference System) adalah ellipsoid terbaik untuk keseluruhan geoid. Penyimpangan terbesar antara geoid dengan ellipsoid WGS-84 adalah 60 m di atas dan 100 m di bawah-nya. Bila ukuran sumbu panjang ellipsoid WGS-84 adalah 6 378 137 m dengan kegepengan 1/298.257, maka rasio penyimpangan terbesar ini adalah 1 / 100 000. Indonesia, seperti halnya negara lainnya, menggunakan ukuran ellipsoid ini untuk pengukuran dan pemetaan di Indonesia. WGS-84 "diatur, diimpitkan" sedemikian rupa diperoleh penyimpangan terkecil di kawasan Nusantara RI. Titik impit WGS-84 dengan geoid di Indonesia dikenal sebagai datum Padang (datum geodesi relatif) yang digunakan sebagai titik reference dalam pemetaan nasional. Sebelumnya juga dikenal datum Genuk di daerah sekitar Semarang untuk pemetaan yang dibuat Belanda. Menggunakan ER yang sama - WGS 84, sejak 1995 pemetaan nasional di Indonesia menggunakan datum geodesi absolut.DGN-95. Dalam sistem datum absolut ini, pusat ER berimpit dengan pusat masa bumi.

Untuk memudahkan rekonstruksi proyeksi peta dari titik di muka bumi maka digunakan model spheroid dengan volume yang sama dengan spheroid terbaik. Rekonstruksi proyeksi peta yang baik adalah yang bisa meminimkan distorsi dalam hal: luas, bentuk, arah dan jarak. Dalam praktek tak ada satupun sistem proyeksi peta yang bisa menghasilkan peta dengan keempat faktor luas, bentuk, arah dan jarak tidak mengalami distorsi. Upaya mempertahan salah satu unsur berakibat terjadinya distorsi pada unsur yang lain.

Sistem proyeksi peta dibuat untuk mereduksi sekecil mungkin distorsi tersebut dengan:



  • Membagi daerah yang dipetakan menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu luas, dan

  • Menggunakan bidang peta berupa bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan tanpa mengalami distorsi seperti bidang kerucut dan bidang silinder.

Kebanyakan orang enggan untuk berpindah atau ganti dari satu sistem proyeksi peta ke sistem proyeksi peta yang lain. Namun dengan berkembang majunya teknologi komputer dan komunikasi dengan terapannya dalam bidang pemetaan, seperti GPS dan GIS, maka perpindahan sistem proyeksi merupakan hal yang penting dan untuk dikerjakan.

13.2 Tujuan dan Cara Proyeksi Peta


Sistem Proyeksi Peta dibuat dan dipilih untuk:



  • Menyatakan posisi titik-titik pada permukaan bumi ke dalam sistem koordinat bidang datar yang nantinya bisa digunakan untuk perhitungan jarak dan arah antar titik.

  • Menyajikan secara grafis titik-titik pada permukaan bumi ke dalam sistem koordinat bidang datar yang selanjutnya bisa digunakan untuk membantu studi dan pengambilan keputusan berkaitan dengan topografi, iklim, vegetasi, hunian dan lain-lainnya yang umumnya berkaitan dengan ruang yang luas.

Cara proyeksi peta bisa dipilah sebagai:



  • Proyeksi langsung (direct projection): Dari ellipsoid langsung ke bidang proyeksi.

  • Proyeksi tidak langsung (double projection): Proyeksi dilakukan menggunakan "bidang" antara, ellipsoid ke bola dan dari bola ke bidang proyeksi.

Pemilihan sistem proyeksi peta ditentukan berdasarkan pada:



  • Ciri-ciri tertentu atau asli yang ingin dipertahankan sesuai dengan tujuan pembuatan / pemakaian peta,

  • Ukuran dan bentuk daerah yang akan dipetakan,

  • Letak daerah yang akan dipetakan.

12.3 Pembagian Sistem Proyeksi Peta


Secara garis besar sistem proyeksi peta bisa dikelompokkan berdasarkan pertimbangan ekstrinsik dan intrinsik.

13.3.1 Pertimbangan Ekstrinsik:


Bidang proyeksi yang digunakan:



  • Proyeksi azimutal / zenital: Bidang proyeksi bidang datar.

  • Proyeksi kerucut: Bidang proyeksi bidang selimut kerucut.

  • Proyeksi silinder: Bidang proyeksi bidang selimut silinder.

Persinggungan bidang proyeksi dengan bola bumi:



  • Proyeksi Tangen: Bidang proyeksi bersinggungan dengan bola bumi.

  • Proyeksi Secant: Bidang Proyeksi berpotongan dengan bola bumi.

  • Proyeksi "Polysuperficial": Banyak bidang proyeksi

Posisi sumbu simetri bidang proyeksi terhadap sumbu bumi:



  • Proyeksi Normal: Sumbu simetri bidang proyeksi berimpit dengan sumbu bola bumi.

  • Proyeksi Miring: Sumbu simetri bidang proyeksi miring terhadap sumbu bola bumi.

  • Proyeksi Traversal: Sumbu simetri bidang proyeksi ^ terhadap sumbu bola bumi.

13.3.2 Pertimbangan Intrinsik:


Sifat asli yang dipertahankan:



  • Proyeksi Ekuivalen: Luas daerah dipertahankan: luas pada peta setelah disesuikan dengan skala peta = luas di asli pada muka bumi.



  • Proyeksi Konform: Bentuk daerah dipertahankan, sehingga sudut-sudut pada peta dipertahankan sama dengan sudut-sudut di muka bumi.

  • Proyeksi Ekuidistan: Jarak antar titik di peta setelah disesuaikan dengan skala peta sama dengan jarak asli di muka bumi.

Cara penurunan peta:



  • Proyeksi Geometris: Proyeksi perspektif atau proyeksi sentral.

  • Proyeksi Matematis: Semuanya diperoleh dengan hitungan matematis.

  • Proyeksi Semi Geometris: Sebagian peta diperoleh dengan cara proyeksi dan sebagian lainnya diperoleh dengan cara matematis.

Tabel 13.1: Kelas proyeksi peta

































KELAS

Pertimbangan
EKSTRINSIK

1. Bid. Proyeksi

Bid. Datar

Bid. Kerucut

Bid. Silinder

2. Persinggungan

Tangent

Secant

Polysuperficial

3. Posisi

Normal

Oblique/Miring

Transversal

Pertimbangan
INTRINSIK

4. Sifat

Ekuidistan

Ekuivalen

Konform

5. Generasi

Geometris

Matematis

Semi Geometris

Pertimbangan dalam pemilihan proyeksi peta untuk pembuatan peta skala besar adalah:



  • Distorsi pada peta berada pada batas-batas kesalahan grafis

  • Sebanyak mungkin lembar peta yang bisa digabungkan

  • Perhitungan plotting setiap lembar sesederhana mungkin

  • Plotting manual bisa dibuat dengan cara semudah-mudahnya

  • Menggunakan titik-titik kontrol sehingga posisinya segera bisa diplot.

image004

Gambar 13.1: Jenis bidang proyeksi dan kedudukannya terhadap bidang datum

13.4 Peristilahan Dalam Proyeksi Peta


Beberapa ketentuan yang berhubungan dengan pemodelan bumi sebagai spheroid adalah:

a. Meridian dan meridian utama

b. Paralel dan paralel NOL atau ekuator.

c. Bujur (longitude - j ), Bujur Barat (0° - 180° BB) dan Bujur Timur (0° - 180° BT)

d. Lintang ( latitude - l ), Lintang Utara (0° -90° LU) dan Lintang Selatan (0° -90° LS)

image005

Gambar 13.2: Bumi sebagai spheroid.

13.5.1 Bidang Datum Dan Bidang Proyeksi:



  • Bidang datum adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (j ,l ).

  • Bidang proyeksi adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinatnya (X,Y).

13.5.2 Ellipsoid:

a. Sumbu panjang (a) dan sumbu pendek (b)

b. Kegepengan ( flattening ) - f = (a - b)/b

image006

Gambar 13.3: Geometri elipsoid.

c. Garis geodesic adalah kurva terpendek yang menghubungkan dua titik pada permukaan elipsoid.

d. Garis Orthodrome adalah proyeksi garis geodesic pada bidang proyeksi.

e. Garis Loxodrome ( Rhumbline) adalah garis (kurva) yang menghubungkan titik-titik dengan azimuth a yang tetap.

image007

Gambar 13.4: Rhumbline atau loxodrome menghubungkan titik-titik dengan azimuth yang tetap.

image008

Gambar 13.5: orthodrome dan loxodrome pada proyeksi gnomonis dan proyeksi mercator.

13.5 Proyeksi Polyeder


Sistem proyeksi Kerucut, Normal, Tangent dan Konform

image009

Gambar 13.6: Proyeksi kerucut: bidang datum dan bidang proyeksi.


Gambar 13.7: Proyeksi polyeder: bidang datum dan bidang proyeksi.

Digunakan untuk daerah 20’ x 20’ ( 37 km x 37 km ), sehingga bisa memperkecil distorsi. Bumi dibagi dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis paralel dengan lintang sebesar 20’ atau tiap jalur selebar 20’ diproyeksikan pada kerucut tersendiri. Bidang kerucut menyinggung pada garis paralel tengah yang merupakan paralel baku -k = 1.

Meridian tergambar sebagai garis lurus yang konvergen ke arah kutub, ke arah KU untuk daerah di sebelah utara ekuator dan ke arah KS untuk daerah di selatan ekuator. Paralel-paralel tergambar sebagai lingkaran konsentris. Untuk jarak-jarak kurang dari 30 km, koreksi jurusan kecil sekali sehingga bisa diabaikan. Konvergensi meridian di tepi bagian derajat di wilayah Indonesia maksimum 1.75’.

image011

Gambar 13.8: Lembar proyeksi peta polyeder di bagian lintang utara dan lintang selatan

image012

Gambar 13.9: Konvergensi meridian pada proyeksi polyeder.

Secara praktis, pada kawasan 20’ x 20’, jarak hasil ukuran di muka bumi dan jarak lurusnya di bidang proyeksi mendekati sama atau bisa dianggap sama.

Proyeksi polyeder di Indonesia digunakan untuk pemetaan topografi dengan cakupan:
94° 40 BT - 141° BT, yang dibagi sama tiap 20’ atau menjadi 139 bagian,
11° LS - 6° LU, yang diabgi tiap 20’ atau menjadi 51 bagian.

Penomoran dari barat ke timur: 1, 2, 3, ... , 139,
dan penomoran dari LU ke LS: I, II, III, ... , LI.

13.5.1 Penerapan Proyeksi Polyeder di Indonesia


Sistem Penomoran Bagian Derajat Proyeksi Polyeder

Peta dengan proyeksi Polyeder dibuat di Indonesia sejak sebelum Perang Dunia II, meliputi peta-peta di pulau Jawa, Bali dan Sulawesi.

Wilayah Indonesia dengan 94° 40’ BT - 141° BT dan 6° LU - 11° LS dibagi dalam 139 x LI bagian derajat, masing-masing 20’ x 20’.

Tergantung pada skala peta, tiap lembar bisa dibagi lagi dalam bagian yang lebih kecil.

Cara Menghitung Pojok Lembar Peta Proyeksi Polyeder

Setiap bagian derajat mempunyai sistem koordinat masing-masing. Sumbu X berimpit dengan meridian tengah dan sumbu Y tegak lurus sumbu X di titik tengah bagian derajatnya. Sehingga titik tengah setiap bagian derajat mempunyai koordinat O.

Koordinat titik-titik lain seperti titik triangualsi dan titik pojok lembar peta dihitung dari titik pusat bagian derajat masin-masing bagian derajat. Koordinat titik-titik sudut (titik pojok) geografis lembar peta dihitung berdasarkan skala peta, misal 1 : 100 000, 1 : 50 000, 1 : 25 000 dan 1 : 5 000.

Pada skala 1 :50 000, satu bagian derajat proyeksi polyeder (20’ x 20’) tergambar dalam 4 lembar peta dengan penomoran lembar ABC dan D. Sumbu Y adalah meridian tengah dan sumbu X adalah garis tegak lurus sumbu Y yang melalui perpotongan meridian tengah dan paralel tengah. Setiap lembar peta mempunyai sistem sumbu koordinat yang melalui titik tengah lembar dan sejajar sumbu X,Y dari sistem koordinat bagian derajat.

13.5.2 Keuntungan dan Kerugian Sistem Proyeksi Polyeder


Keuntungan proyeksi polyeder: Kareana perubahan jarak dan sudut pada satu bagian derajat 20’ x 20’, sekitar 37 km x 37 km bisa diabaikan, maka proykesi ini baik untuk digunakan pada pemetaan teknis skala besar.

Kerugian proyeksi polyeder:

a. Untuk pemetaan daerah luas harus sering pindah bagian derajat, memerlukan tranformasi
koordinat,

b. Grid kurang praktis karena dinyatakan dalam kilometer fiktif,

c. Tidak praktis untuk peta skala kecil dengan cakupan luas,

d. Kesalahan arah maksimum 15 m untuk jarak 15 km.

13.6 Proyeksi Universal Traverse Mercator ( UTM ):


UTM merupakan sistem proyeksi SilinderKonformSecantTransversal

Ketentuan selanjutnya:



  • Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut meridian standar dengan faktor skala 1.

  • Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180° BT dengan nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri

  • Perbesaran di meridian tengah = 0.9996

  • Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84° LU dan 80° LS.

Pada Gambar 13.10 berikut ditunjukkan perpotongan silinder terhadap bola bumi dan gambar XYZ menujukkan penggambaran proyeksi dari bidang datum ke bidang proyeksi.

image013

Gambar 13.10: Kedudukan bidang proyeksi silinder terhadap bola bumi pada proyeksi UTM

image014

Gambar 13.11: Proyeksi dari bidang datum ke bidang proyeksi.

image015

Gambar 13.12: Pembagian zone global pada proyeksi UTM.

Pada kedua gambar tersebut, ekuator tergambar sebagai garis lurus dan meridian-meridian tergambar sedikit melengkung. Karena proyeksi UTM bersifat konform, maka paralel-paralel juga tergambar agak melengkung sehingga perpotongannya dengan meridian membentuk sudut siku. Ekuator tergambar sebagai garis lurus dan dipotong tegak lurus oleh proyeksi meridian tengah yang juga terproyeksi sebagai garis lurus melalui titik V dan VI. Kedua garis ini digunakan sebagai sumbu sistem koordinat (X,Y) proyeksi pada setip zone.

Sistem grid pada proyeksi UTM terdiri dari garis lurus yang sejajar meridian tengah. Lingkaran tempat perpotongan silinder dengan bola bumi tergambar sebagai garis lurus. Pada daerah
IVII dan IIIVIIV gambar proyeksi mengalami pengecilan, sedangkan pada daerahIAIIBIIIC dan IVD mengalami perbesaran. Garis tebal dan garis putus-putus pada gambar menunjukkan proyeksi lingkaran-lingkaran melalui IIIIII dan IV yang tidak mengalami distorsi setelah proyeksi.

Notasi sistem proyeksi UTM:































































































L

Lintang, positif ke utara katulistiwa

L ’

Lintang titik kaki pada Meridian Tengah

B

Bujur, positif ke timur Meridian Greenwich

B ’

Bujur Meridian Tengah

i

Subskrip untuk menunjukkan nomor urutan titik

dL

L i - Li-1

dB

B i - Bi-1

db

B - B , beda bujur dihitung dari Meridian Tengah.

U ’

Jarak grid suatu titik diukur dari katulistiwa

T ’

Jarak grid suatu titik diukur dari Meridian Tengah.

U

Ordinat grid suatu titik, jika titik di sebelah utara katulistiwa, U = U’ m
jika titik di sebelah selatan katulistiwa, U = 10 000 000 - U’ m

T

Absis grid suatu titik, jika titik di sebelah timur Meridian Tengah, T = 500 000 + T’ m, jika titik di sebelah barat Meridian Tengah, T = 500 000 - T’ m.

N , M

Jari-jari kelengkungan bidang normal dan jari-jari kelengkungan bidang meridian.

A

Azimuth geodesi, adalah sudut antara meridian spheroid dan garis geodesik searah jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360° .

A g

Azimuth grid, adalah sudut antara utara grid dan garis geodesik searah jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360° .

A s

Sudut jurusan grid, adalah sudut antara utara grid dan garis penghubung lurus 2 titik searah jarum jam sampai 360° .

K g

Konvergensi grid, adalah sudut antara azimuth geodesi dan azimuth grid.

K m

Konvergensi meridian adalah perubahan azimuth dari garis geodesi antara dua titik di spheroid. Azimuth belakang = Azimuth muka + Konvergensi meridian ± 180° .
A2-1 = A1-2 + Km ± 180° .

K n

Sudut kelengkungan garis adalah perubahan azimuth grid antara 2 titik pada busur.
Ag i-1 = Ag i + K n ± 180° .

tmt

Koreksi kelengkungan busur, adalah sudut antara busur dan garis lurus (arc-to-chord).
As = Ag + tmt = A + Kg + tmt

s

Jarak spheroid = jarak di atas spheroid sepanjang garis geodesi atau sepanjang irisan normal busur.

S

Jarak grid adalah panjang busur sebagai proyeksi dari jarak geodesi (jarak di spheroid)

D

Jarak di bidang datar, yaitu garis penghubung lurus antara dua titik di bidang datar.

m

Panjang meridian pada spheroid dihitung dari katulistiwa.

a , b

Setengah sumbu panjang dan sumbu pendek ellipsoid

e 2

Eksentrisitas ellipsoid = (a2 - b2)/a2

e ’2

Eksentrisitas kedua = (a2 - b2)/b2

k 0

Angka perbesaran (faktor skala) pada meridian tengah = 0.9996.

k

Angka perbesaran titik di sembarang tempat.

K

Angka perbesaran garis di sembarang tempat.

Konvergensi Meridian:

image016

Gambar 13.13: Konvergensi Meridian pada proyeksi UTM

13.6.1 Ukuran Lembar Peta dan Cara Menghitung Titik Sudut Lembar Peta UTM


Susunan Sistem Koordinat

Ukuran satu lembar bagian derajat adalah 6° arah meridian 8° arah paralel (6° x 8° ) atau sekitar (665 km x 885 km).

Pusat koordinat tiap bagian lembar derajat adalah perpotongan meridian tengah dengan "paralel" tengah. Absis dan ordinat semu di (0,0) adalah + 500 000 m, dan + 0 m untuk wilayah di sebelah utara ekuator atau + 10 000 000 m untuk wilayah di sebelah selatan ekuator.

Gambar 13.14 dan 13.15 menunjukkan sistem koordinat dan faktor skala pada setiap lembar peta. Perhatikan pada absis antara 320 000 m - 500 000 m dan 680 000 m - 500 000 m terjadi pengecilan faktor skala dari 1 ke 0.9996. Sedangkan pada selang diluar kedua daerah ini terjadi perbesaran faktor skala. Misalnya, pada tepi zone atau sekitar 300 km di sebelah barat dan timur meriadian tengah, untuk jarak 1 000 m pada meridian tengah akan tergambar 1.000 070 x 1 000 m = 1 000.70 m, atau terjadi distorsi sekitar 70 cm / 1 000 m.

image017

Gambar 13.14: Sistem koordinat proyeksi peta UTM.

image018

Gambar 13.15: Grafik faktor skala proyeksi peta UTM.

Lembar Peta UTM Global

Penomoran setiap lembar bujur  dari 180° BB - 180° BT menggunakan angka Arab
1 - 60.

Penomoran setiap lembar arah paralel 80° LS - 84° LU menggunakan huruf latin besar dimulai dengan huruf C dan berakhir huruf X dengan tidak menggunakan huruf I dan O. Selang seragam setiap  mulai 80° LS - 72° LU atau C - W.

Menggunakan cara penomoran seperti itu, secara global pada proyeksi UTM, wilayah Indonesia di mulai pada zone 46 dengan meridian sentral 93° BT dan berakhir pada zone 54 dengan meridian sentral 141° BT, serta 4 satuan arah lintang, yaitu L, M, N dan P dimulai dari 15° LS - 10° LU.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 250 000 di Indonesia



  1. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 250 000 adalah 1 ½° x 1° .
    Sehingga untuk satu bagian derajat 6° x 8° terbagi dalam 4 x 8 = 32 lembar.

  2. Angka Arab 1 - 31 untuk penomoran bagian lembar setiap 1 ½° pada arah94½° BT - 141° BT.

  3. Angka Romawi I - XVII untuk penomoran bagian lembar setiap 1° pada arah
    6° LU - 11° LS.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 100 000 di Indonesia



  1. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 100 000 adalah 30’ x 30’.

  2. Satu lembar peta skala 1 : 250 000 dibagi menjadi 6 bagian lembar peta skala 1 : 100 000.

  3. Angka Arab 1 - 94 untuk penomoran bagian lembar setiap 30’ pada arah
    94° BT - 141° BT.

  4. Angka Arab 1 - 36 untuk penomoran bagian lembar setiap 30’ pada arah
    6° LU - 12° LS.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 50 000di Indonesia



  1. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 50 000 adalah 15’ x 15’.

  2. Satu lembar peta skala 1 : 100 000 dibagi menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 : 50 000.

  3. Penomoran menggunakan angka Romawi I, II, III dan IV dimulai dari pojok kanan atas searah jarum jam.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 25 000 di Indonesia



  1. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 25 000 adalah 7 ½ ’ x 7 ½ ’.

  2. Satu lembar peta skala 1 : 50 000 dibagi menjadi 4 bagian lembar peta skala 1 : 25 000.

  3. Penomoran menggunakan huruf latin kecil a, b, c dan d dimulai dari pojok kanan atas searah jarum jam.

13.6.2 Kebaikan Proyeksi UTM




  1. Proyeksi simetris selebar 6° untuk setiap zone,

  2. Transformasi koordinat dari zone ke zone dapat dikerjakan dengan rumus yang sama untuk setiap zone di seluruh dunia,

  3. Distorsi berkisar antara - 40 cm / 1 000 m dan 70 cm / 1 000 m.

13.7 Proyeksi TM-3


Sistem proyeksi peta TM-3° adalah sistem proyeksi Universal Tranverse Mercator dengan ketentuan faktor skala di meridian sentral = 0.9999 dan lebar zone = 3° . Sistem proyeksi ini, sejak tahun 1997 digunakan oleh bekas Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai sistem koordinat nasional menggunakan datum absolut DGN-95.

Penomoran lembar peta:

Penomoran zone sistem proyeksi TM-3 berbasis nomor zoner UTM 46 - 54.




























































































Nomor Zone

Bujur
Meridian Sentral

Meridian Batas Zone

( B0 )

Barat

Timur

46.2

94° 30’

93°

96°

47.1

97 30

96

99

47.2

100 .0

99

102

48.1

103 30

102

105

48.2

106 30

105

108

49.1

109 30

108

111

49.2

112 30

111

114

50.1

115 30

114

117

50.2

118 30

117

120

51.1

121 30

120

123

51.2

124 30

123

126

52.1

127 30

126

129

52.2

130 30

129

132

53.1

133 30

132

135

53.2

136 30

135

138

54.1

139 30

138

141

Ketentuan sistem proyeksi peta TM-3° :

a. Proyeksi : TM dengan lebar zone 3°

b. Sumbu pertama (Y) : Meridian sentral dari setiap zone

c. Sumbu kedua (X) : Ekuator

d. Satuan : Meter

e. Absis semu (T) : 200 000 meter + X

f. Ordinat semu (U) : 1 500 000 meter + Y

g. Faktor skala pada meridian sentral : 0.9999

Peratanyaan dan Soal Latihan


1. Buat perbandingan antara sistem proyeksi Polyeder dan UTM.

2. Pada awal pemetaan di Indonesia, pernah digunakan titik (6° LS, 106° 48’ 27.79’’ BT) sebagai titik pangkal koordinat. Hitung posisi titik ini dalam lembar peta: Polyeder, UTM dan TM3 pada bergaia skala yang anda ketahui.

Rangkuman


Sistem proyeksi peta dipilih untuk menggambarkan rupa bumi tiga dimensi ke muka bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Tak ada satu sistem proyeksi peta-pun yang mampu memproyeksikan ke bidang datar bentuk, luas dan jarak rupa bumi sama persis tanpa distorsi. Sistem proyeksi peta yang sekarang umum digunakan adalah UTM. Di Indonesia, UTM dimodifikasi dengan membagi lembar peta UTM menjadi (3 x 3). Sistem proyeksi peta UTM digunakan oleh BAKOSURTANAL untuk JKGN Orde 0 dan 1, sedangkan TM3 digunakan oleh eks Badan Pertanahan Nasional untuk JKGN Orde 2 dan 3. Peta topografi Indonesia buatan Belanda menggunakan sistem proyeksi Polyeder.

Daftar Pustaka


1. Aryono Prihandito, (1988), Proyeksi Peta, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 6.

3. KBK Pemetaan Sistematik dan Rekayasa, (1997), Buku Petunjuk Penggunaan Proyeksi TM-3 Dalam Pengukuran dan Pemetaan Kadastral, Jurusan Teknik Geodesi FTSP ITB, Bandung.


Pemetaan Sitasi Detail

Modul 12

Pemetaan Sitasi Detail

Oleh : Ir. Zainal Arifin


12.1. PENDAHULUAN

Pemetaan situasi dan detail adalah pemetaan suatu daerah atau wilayah ukur yang mencakup penyajian dalam dimensi horisontal dan vertikal secara bersama-sama dalam suatu gambar peta.

Untuk penyajian gambar peta situasi tersebut perlu dilakukan pengukuran sebagai berikut :

· Pengukuran titik fundamental ( Xo, Yo, Ho dan ao )

· Pengukuran kerangka horisontal ( sudut dan jarak )

· Pengukuran kerangka tinggi ( beda tinggi )

· Pengukuran titik detail ( arah, beda tinggi dan jarak terhadap titik detail yang dipilih sesuai dengan permintaan skala )

Pada dasarnya prinsip kerja yang diperlukan untuk pemetaan suatu daerah selalu dilakukan dalam dua tahapan, yaitu :

· Penyelenggaraan kerangka dasar sebagai usaha penyebaran titik ikat

· Pengambilan data titik detail yang merupakan wakil gambaran fisik bumi yang akan muncul di petanya.

· Kedua proses ini diakhiri dengan tahapan penggambaran dan kontur.

Dalam pemetaan medan pengukuran sangat berpengaruh dan ditentukan oleh kerangka serta jenis pengukuran. Bentuk kerangka yang didesain tidak harus sebuah polygon, namun dapat saja kombinasi dari kerangka yang ada.


1. Pengukuran Horisontal

Terdapat dua macam pengukuran yang dilakukan untuk posisi horisontal yaitu pengukuran polygon utama dan pengukuran polygon bercabang.

2. Pengukuran Beda Tinggi

Pengukuran situasi ditentukan oleh dua jenis pengukuran ketinggian, yaitu

· Pengukuran sifat datar utama .

· Pengukuran sifat datar bercabang .

· Pengukuran Detail

Pada saat pengukuran di lapangan , data yang diambil untuk pengukuran detail adalah :



  • Beda tinggi antara titik ikat kerangka dan titik detail yang bersangkutan .

  • Jarak optis atau jarak datar antara titik kerangka dan titik detail .

  • Sudut antara sisi kerangka dengan arah titik awal detail yang bersangkutan , atau sudut jurusan magnetis dari arah titik detail yang bersangkutan .

Adapun metode pengukuran situasi sendiri ada dua, yaitu :


12.1.1. METODE OFFSET

Pada metode ini alat utama yang digunakan adalah pita / rantai dan alat bantu untuk membuat siku ( prisma )

Metode offset terdiri dari dua cara, yaitu :


· Metode siku-siku ( garis tegak lurus )

image005

Titik-titik detail diproyeksikan siku-siku terhadap garis ukur AB. Kemudian diukur jarak-jaraknya dengan mengukur jarak aa’, bb’, cc’, dd’, posisi titik a, b, c dan d secara relatif dapat ditentukan.

· Metode Mengikat ( Interpolasai )

Titik-titik detail diikat dengan garis lurus pada garis ukur.

Ada dua cara :

Ø Pengikatan pada sembarang titik.

image006

Ø Perpanjangan sisi

image007

Ø Pengikatan pada sembarang titik.

image008


Tentukan sembarang garis pada garis ukur AB titik-titik a’, a”, b;, b”, c’, c”.

Usahakan segitiga a’a”a, b’b”b, c’c”c merupakan segitiga samasisi atau samakaki. Dengan mengukur jarak Aa’, Aa”, Ab’, Ab”, Ac’, Ac”, Bc”, Bc’, Bb”, Bb’, Ba’, Ba”, a’a, a”a, b’b, b”b, c’c, c”c maka posisi titik-titik a, b, c dapat ditentukan.

1. Perpanjangan sisi

2. Cara Trilaterasi Sederhana


12.1.2.








image009

METODE POLAR


Alat : theodolit kompas ( missal To ) atau theodolit repetesi.

1. Dengan unsur Azimuth dan jarak

2. Dengan unsur sudut dan jarak

- Pengukuran sudut dilakukan dari titik dasar teknik

- Pengukuran jarak datar dilakukan dengan pita ukur atau EDM.

image010

Dalam menentukan titik batas dibutuhkan minimal tiga data ukuran yang dikukur dengan menggunakan minimal dua titik tetap ( referensi )

Contoh

1. Sudut, sudut, sudut

image011

2. Sudut, sudut, jarak

image012


3. Sudut, jarak, jarak

image013


Setelah pengukuran pemetaan situasi dan detail telah selesai dilaksanakan langkah berikutnya yaitu melakukan perhitungan terhadap data yang telah diperoleh dan menyajikannya dalam bentuk penggambaran peta yang dilengkapi dengan garis kontur .

Garis kontur adalah yang ada dipermukaan bumi yang menghubungkan titik - titik dengan ketinggian yang sama dari suatu bidang referensi tertentu .

Konsep dari garis kontur ini dapat mudah dipahami dengan membayangkan kolam air . Jika air dalam keadaan tenang , maka tepi dari permukaan air itu akan menunjukan garis yang ketinggiannya sama . Garis tersebut akan menutup pada tepi kolam dan membentuk garis kontur .

Adapun kegunaan dari garis kontur ini antara lain :

• Sebagai dasar untuk menentukan penampang tegak suatu permukaan tanah .

• Sebagai dasar untuk perencanaan besarnya galian atau timbunan .

• Memperlihatkan ketinggian tanah dalam lokasi atau peta tersebut ,dan sebagainnya .


12.2. PERALATAN DAN PERLENGKAPAN

• Pesewa theodolit

• Statif

• Rambu ukur

• Unting - unting

• Payung

• Pata board

• Patok

• Alat tulis


12.3. LANGKAH KERJA

• Pembuatan kerangka polygon tertutup .

• Siapkan catatan , daftar pengukuran dan buat sket lokasi yang akan dipetakan .

• Tentukan titik-titik kerangka poligon .

• Dirikan pesawat diatas titik P1 dan stel pesawat tersebut tepat diatas titik sampai datar .

• Arahkan pesawat ke arah utara magnetis dan nolkan sudut horisontalnya.

• Putar teropong pesawat dan bidikkan ke titik P2, baca sudut horisontalnya.

• Letakkan bak ukur di atas titik P2, bidik dan baca BA, BT, BB dan sudut vertikalnya.

• Putar teropong pesawat searah jarum jam dan bidikkan ke titik Pakhir, baca sudut horisontalnya.

• Letakkan bak ukur di atas titik Pakhir, bidik dan baca BA, BT, BB dan sudut vertikalnya

• Pindahkan pesawat ke titik P2 dan lakukan penyetelan alat.

• Arahkan pesawat ke titik P3, baca sudut horisontalnya.

• Letakkan bak ukur di atas titik P3, bidik dan baca BA, BT, BB dan sudut vertikalnya.

• Putar teropong pesawat searah jarum jam dan bidikkan ke titik P1, baca sudut horisontalnya.

• Letakkan bak ukur di atas titik P1, bidik dan baca BA, BT, BB dan sudut vertikalnya.

• Dengan cara yang sama , pengukuran dilanjutkan ketitik poligon berikutnya sampai kembali ke titik P 1.

• Lakukan perhitungan sudut pengambilan , sudut azimut , koordinat beda tinggi dan ketinggian di masing - masing titik .

• Gambar hasil pengukuran dengan skala.


12.4. PRAKTEK PENGUKURAN SITUASI .

• Siapkan catatan , daftar pengukuran dan buat sket lokasi yang akan dibuat situasi .

• Dirikan pesawat diatas titik P1 dan stel pesawat tersebut tepat diatas titik sampai datar .

• Arahkan pesawat ke titik P2 dan nolkan piringan sudut horisontal serta kunci kembali dengan memutar skrup piringan bawah .

• Tentukan titik-titik situasi yang akan dibidik.

• Putar pesawat searah jarum jam dan arahkan pada tiap-tiap titik detail satu persatu. Lakukan pembacaan BA, BT, BB, sudut vertikal dan sudut horisontal.

• Masukkan data situasi pada daftar pengukuran situasi.

• Pindahkan pesawat ke titik P2 dan stel pesawattersebut tepat di atas titik sampai datar.

• Dengan cara yang sama lakukan pembidikan ke titik-titik detail yang dianggap perlu.

• Lakukan pengukuran titik detail berikutnya dengan cara yang sama sampai selesai.

• Lakukan perhitungan beda tinggi dan tinggi titik.

• Gambar hasil pengukuran.

• Penyajian Pengukuran Pemetaan


Setelah selesai dilakukan perhitungan sajikan dalam bentuk gambar peta situasi yang dilengkapi garis kontur.

Cara penentuan garis kontur yaitu :

Dari hasil pengukuran dihitung dan digambar dengan skala tertentu. Kemudian dibuat garis konturnya sesuai dengan sistem interpolasi. Adapun interval kontur kurang lebih 1 m, tergantung dari ketinggian tanah.

Interval kontur = 1/2000 x skala peta, satuan dalam meter

image014 Rumus umum letak garis kontur (X) adalah :

X = x d


12.5. LANGKAH PERHITUNGAN

• Pengukuran Polygon Tertutup

1. Sudut Pengambilan ()

luar = Hz (muka) - Hz (blk)

dalam = Hz (blk) - Hz (muka)

Syarat :

Ã¥ luar = ( n+2 ) . 180°

Ã¥ dalam = ( n+2 ) . 180°

Jika Ã¥ lapangan ¹ Ã¥ teori maka ada koreksi.

Adapun besar koreksi adalah :

Ã¥ koreksi = Ã¥ teori - Ã¥ lapangan

2. Cara koreksi sudut ada 2, yaitu :

o Metode Perataan

Kor. D = Ã¥ kor. / n

o Metode Bow Dieth

Kor. D = ( / Ã¥ ) . Ã¥ kor. atau

Kor. D = ( d / Ã¥ d ) . Ã¥ kor.

3. Sudut Azimuth (a)

an = aawal + n -180°

n adalah sudut pengambilan setelah koreksi


4. Jarak Datar









image015



Zenith (V)


Elevasi (a)


Jika memakai sudut zenith ( vertikal ) :

Do = ( BA- BB) x 100 x SinV , jarak optis

Dh = ( BA- BB) x 100 x SinV , jarak datar

Jika memakai sudut elevasi (a) :

Do = ( BA- BB) x 100 x Cos V , jarak optis

Dh = ( BA- BB) x 100 x CosV , jarak datar

5. Beda Tinggi (Dh)

Jika memakai sudut zenith ( vertikal ) :

Dh = ta + - BT

Jika memakai sudut elevasi (a) :

Dh = ta + (Dh x tan V) - BT

Adapun syarat Dh untuk polygon tertutup yaitu :

Dh (+) - Dh (-) = 0

Jika ¹ 0, maka ada kesalahan yang harus dikoreksi.

Jika kesalahan (+) maka koreksi (-)

Jika kesalahan (-) maka koreksi (+)

Cara koreksi ada dua yaitu :

o Metode Pukul Rata

o Metode Bow Dieth

o Pengukuran Situasi

Rumus-rumus yang dipakai yaitu :

Jika memakai sudut zenith ( vertikal ) :

6. Jarak

Do = ( BA- BB) x 100 x SinV , jarak optis

Dh = ( BA- BB) x 100 x SinV , jarak datar

7. Beda Tinggi

Dh = ta + - BT

8. Ketinggian ( T detail )

T detail = T Px + Dh , TPx adalah Ketinggian di titik pesawat

Jika memakai sudut elevasi (a) :

9. Jarak

Do = ( BA- BB) x 100 x Cos V , jarak optis

Dh = ( BA- BB) x 100 x CosV , jarak datar

10 Beda Tinggi (Dh)

Dh = ta + (Dh x tan V) - BT

11. Ketinggian ( T detail )

T detail = T Px + Dh , TPx adalah Ketinggian di titik pesawat


12.6. CARA PENGGAMBARAN

• Situasi

Adapun langkah-langkah penggambaran situasi adalah sebagai berikut :

o Menggambar titik-titik polygon

o Menggambar titik-titik detail

o Menggambar situasi


Pengukuran Jalan dan Pengairan


MODUL


Pengukuran Jalan dan Pengairan


Oleh : Ir. Zainal Arifin

Pengukuran dan pemetaan rute dimaksudkan untuk membahas penerapan pengukuran dan pemetaan rute dalam bidang rekayasa teknik sipil, khususnya jalan dan pengairan. Kajian lebih banyak mengacu pada terapan praktis berdasarkan bakuan yang diterbitkan oleh bekas Departemen Pekerjaan Umum (PU).

11.1 Pengukuran dan Pemetaan Jalan


Survai jalan meliputi pengukuran dan pemetaan untuk perencanaan dan pengembangan, perancangan, pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan jalan. Perhatikan pada Gambar 11.1 berikut, pengukuran dan pemetaan khusus untuk perencanaan jalan baru dimulai pada tahapan rencana pendahuluan menggunakan peta skala 1 : 50 000. Pada tahapan sebelumnya menggunakan peta dasar rupa bumi (topografi) dan peta-peta lainnya yang sudah tersedia.

image004

Gambar 11.1: Tahapan program perencanaan dan pengembangan jalan.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono).

Produk pengukuran dan pemetaan di Indonesia berupa peta dasar ataupun peta tematik lainnya bisa diperoleh dari BAKOSURTANAL, Dir. Geologi Bandung dan PU.

Pemetaan skala besar 1 : 1 000 yang meliputi pembuatan peta topografi, pematokan, pengukuran penampang dan pengukuran sekitar bangunan khusus - misalnya jembatan, dilakukan untuk membuat rancangan detil jalan. Susunan peta dan gambar pada tahapan ini adalah peta topografi sekitar route dan penampang memanjang pada satu lembar gambar, sedangkan gambar penampang melintang digambar tersendiri. Gambar ini kemudian dilengkapi dengan gambar rencana alinyemen horizontal dan vertikal - termasuk potongan melintang tipikal sesuai kondisi tanah lokasi.

Pada tahap pelaksanaan, gambar rancangan detil dipatok ulang ke lapangan. Bila yidak ada penyimpangan yang berarti, maka tidak perlu dilakukan revisi. Tetapi bila ditemui perubahan yang cukup berarti, maka dilakukan perubahan rancangan alinyemen horizontal. Setelah dianggap tidak perlu ada perubahan lagi, dilanjutkan dengan pematokan setiap 25 m dan pengukuran penampang memanjang dan melintang. Bila rancangan alinyemen vertikal sudah sesuai keadaan saat konstruksi, maka digambarkan potongan melintang rencana jalan berdasarkan bentuk-bentuk potongan tipikal yang disepakati untuk diterapkan. Berdasarkan gambar penampang ini dihitung volume pekerjaan.

Contoh skala peta dan gambar untuk pekerjaan jalan tahap perancangan rinci:

























Jenis

Peta atau Gambar

Skala

Catatan

Pengukuran dan pemetaan rancangan rinci.

Peta planimetri

1 : 500
s/d
1 : 1 000

Peta sepanjang rute, pengukuran berbasis sumbu jalan

Potongan memanjang
setiap 50 m.

H = skaa plan
V 1 : 100

Perancangan alinyemen vertikal.

Potongan melintang

H/V 1 : 100

Volume perkerjaan

Pengukuran dan pemetaan untuk pelaksanaan

Sama seperti pada tahap perancangan rinci, hanya pengukuran penampang melintang dibuat lebih rapat.

Gambar

11.4: Penampang melintang pada berbagai tipikal konstrusi jalan.
(Dialih dan dikembangkan berdasarkan Hickerson.)

11.2 Pengukuran dan Pemetaan Pengairan


Survai pengairan adalah survai untuk water resource engineering and management, sehingga akan mencakup dari kawasan sumber air hingga kawasan hilir di sekitar pantai. Objek yang diukur dan dipetakan bisa meliputi sistem sungai, waduk dan bendungan, saluran irigasi dan bangunan sarana - prasarana pengairan lainnya. Jenis pengukurannya - dengan anggapan peta dasar sudah tersedia, meliputi pemetaan topografi skala 1 : 10 000 atau lebih besar hingga pengukuran untuk pelaksanaan pekerjaan. Persyaratan-persyaratan tersebut mengutamakan pemetaan skala besar seperti oto udara yang digunakan berskala 1 : 10 000 dan peta serta gambar-gambar yang dihasilkan berskala 1: 5 000

Kajian survey dan pemetaan mencakup persyaratan pengadaan data secara fotogrametris untuk pembuatan peta topografi jenis ortofoto hingga pengukuran rincikan cara teristris untuk perencanaan saluran tersier. Pengukuran dan pemetaan dimulai dengan cara pembuatan dan ketentuan ketelitian kerangka, cara pengukuran dan pemetaan rinci, cara perekaman data, cara pengolahan, cara penyajian dan ketentuan dokumentasi.



  • Bench Mark:

BM merupakan titik rujukan dan pemeriksaan posisi horizontal (KDH) dan vertikal (KDV) pengukuran dan pemetaan. Sepanjang rute sungai dan saluran, BM dipasang setiap interval 2,5 km. BM terpasang dibuatkan deskripsi.

Gambar 11.5: BM untuk pengukuran pengairan. (Disalin dari PT 02 PU)



  • Poligon :
    Poligon utama:

1. Poligon terikat sempurna,

2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 10"Ö nn = jumlah titik sudut,

3. Kesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 10 000.

Poligon cabang:

1. Poligon terikat sempurna pada poligon utama,

2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan Poligon terikat sempurna pada poligon utama, Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 20"Ö nn= jumlah titik sudut, danKesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 5 000.



  • Sipat datar:

Kesalahan penutup sipat datar lebih teliti atau sama dengan 7Ö Dkm mm.



  • Titik detil cara tachymetri:

Poligon pembantu:

1. Poligon pembantu terikat pada poligon utama atau poligon cabang,

2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 24"Ö n; n = jumlah titik sudut,

3. Kesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 2 000,

4. Kesalahan penutup ketinggian titik poligon pembantu £ ± 10Ö Dkm mm.



  • Garis kontur:

1. 1. Indeks kontur umumnya 5 m atau 10 m,

2. Inteval 0,25 m pada daerah datar hingga 10 m pada derah dengan kecuraman > 20%.



  • Proyeksi peta: UTM

Gambar 11.6: Contoh lembar peta ortofoto pengairan.
(Disalin dari PT 02 PU)



  • Kertas gambar:

1. Kertas gambar ukuran A1,

2. Wajah peta (50 cm x 80 cm),

3. Skala peta 1 : 2 000, 1 : 5 000, 1 : 10 000 dan 1 : 20 000.



  • Stasion rute:

1. Stasion atau patok kilometer dimulai dari bagian hilir sungai atau awal bendung,

2. Patok kilometer di pasang sebelah kanan/kiri sungai ataupun saluran.



  • Penampang memanjang:

1. Penampang memanjang (PM) sepanjang sungai atau saluran,

2. PM menunjukkan kedalaman asli sumbu, bagian terdalam, tinggi muka air terendah dan tertinggi,

3. PM menunjukkan tinggi rencana muka air tertinggi, banjir, tinggi tanggul kanan dan kiri,

4. PM dibuat berdasarkan data pengukuran penampang melintang,

5. Skala gambar H/V 1 : 2 000/1 : 200 atau 1 : 1 000/1 : 100.

6. Pengukuran penampang memanjang saluran dan sungai umumnya tidak diukur tersendiri, tetapi merupakan bagian dari pengukuran penampang melintang.

Gambar 11.7: Potongan memanjang sungai.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono).



  • Penampang melintang:

1. Penampang melintang tegak lurus sumbu sungai atau saluran,

2. Penampang dilihat dari arah hilir,

3. Selang pengukuran setiap 25, 50 atau 100 m,

4. Skala gambar H/V 1 : 200/1 : 200, 1 : 200/1 : 100 atau 1 : 100/1 : 100.

Gambar 11.8: Contoh tipe pengukuran panampang sungai.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono)



  • Bangunan Khusus:

1. Bendung/waduk peta topografi skala 1 : 500,

2. Bangunan lainnya skala peta topografi skala 1 : 500 atau 1 : 200.

Pertanyaan dan Soal Latihan


1. Sebutkan jenis dan skala serta pemakaian gambar dan peta pada berbagai tahapan pekerjaan rekayasa sipil, khususnya jalan. Coba berikan alasan pemakaian berbagai skala itu.

2. Gambar dan sebutkan elemen pengukuran penampang melintang pada pengukuran jalan dan sungai. Bandinghkan cara dan peralatan pengukuran yang mungkin diperlukan.

Rangkuman


Penerapan pengukuran dan pemetaan di bidang rekayasa sipil mulai dari pemetaan skala kecil yang mencakup daerah luas hingga ke skala besar untuk pelaksanaan pekerjaan. Pembuatan peta skala kecil dan peta dasar oleh lembaga khusus pemetaan nasional. Pengukuran dan pemataan skala besar mulai dari tahap perencanaan pendahuluan dilakukan khusus untuk lokasi pekerjaan.

Daftar Pustaka




  1. Hickerson, T.F., (1953), Route Location and Surveying, McGraw-Hill, New York, Chapter 2.

  2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 7 dan 8.

  3. Departemen Pekerjaan Umum (1986), PT 02 Standar Perencanaan Irigasi, Jakarta.


Pengukuran Polygon

Modul 10
Garis Kontur


Pengukuran Polygon


Ir. Zainal Arifin


10.1 Kontur


Salah satu unsur yang penting pada suatu peta topografi adalah informasi tentang tinggi suatu tempat terhadap rujukan tertentu. Untuk menyajikan variasi ketinggian suatu tempat pada peta topografi, umumnya digunakan garis kontur (contour-line).

Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian sama. Nama lain garis kontur adalah garis tranches, garis tinggi dan garis lengkung horisontal.

Garis kontur + 25 m, artinya garis kontur ini menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian sama + 25 m terhadap referensi tinggi tertentu.

Garis kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak garis-garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar peta. Karena peta umumnya dibuat dengan skala tertentu, maka bentuk garis kontur ini juga akan mengalami pengecilan sesuai skala peta.

Gambar 10.1.: Pembentukan Garis Kontur dengan membuat proyeksi tegak garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi

Dengan memahami bentuk-bentuk tampilan garis kontur pada peta, maka dapat diketahui bentuk ketinggian permukaan tanah, yang selanjutnya dengan bantuan pengetahuan lainnya bisa diinterpretasikan pula informasi tentang bumi lainnya.

10.2 Interval Kontur dan Indeks Kontur


Interval kontur adalah jarak tegak antara dua garis kontur yang berdekatan. Jadi juga merupakan jarak antara dua bidang mendatar yang berdekatan.

Pada suatu peta topografi interval kontur dibuat sama, berbanding terbalik dengan skala peta. Semakin besar skala peta, jadi semakin banyak informasi yang tersajikan, interval kontur semakin kecil.

Indeks kontur adalah garis kontur yang penyajiannya ditonjolkan setiap kelipatan interval kontur tertentu; mis. Setiap 10 m atau yang lainnya.

Rumus untuk menentukan interval kontur pada suatu peta topografi adalah:

i= (25 / jumlah cm dalam 1 km) meter, atau

i = n log n tan a , dengan n = (0.01 S + 1)1/2 meter.

Contoh:

· Peta dibuat pada skala 1 : 5 000, sehingga 20 cm = 1 km,
maka i = 25 / 20 = 1.5 meter.

· Peta dibuat skala S = 1 : 5 000 dan a = 45° ,
maka i = 6.0 meter.

Berikut contoh interval kontur yang umum digunakan sesuai bentuk permukaan tanah dan skala peta yang digunakan.

Tabel 10.1: Interval kontur berdasarkan skala dan bentuk medan




















Skala

Bentuk muka tanah

Interval Kontur

1 : 1 000

dan

lebih besar

Datar

Bergelombang

Berbukit

0.2 - 0.5 m

0.5 - 1.0 m

1.0 - 2.0 m

1 : 1 000

s / d

1 : 10 000

Datar

Bergelombang

Berbukit

0.5 - 1.5 m

1.0 - 2.0 m

2.0 - 3.0 m

1 : 10 000

dan

lebih kecil

Datar

Bergelombang

Berbukit

Bergunung

1.0 - 3.0 m

2.0 - 5.0 m

5.0 - 10.0 m

0.0 - 50.0 m


10.3 Sifat Garis Kontur


a. Garis-garis kontur saling melingkari satu sama lain dan tidak akan saling berpotongan.

b. Pada daerah yang curam garis kontur lebih rapat dan pada daerah yang landai lebih jarang.

c. Pada daerah yang sangat curam, garis-garis kontur membentuk satu garis.

d. Garis kontur pada curah yang sempit membentuk huruf V yang menghadap ke bagian yang lebih rendah.Garis kontur pada punggung bukit yang tajam membentuk huruf Vyang menghadap ke bagian yang lebih tinggi.

e. Garis kontur pada suatu punggung bukit yang membentuk sudut 90° dengan kemiringan maksimumnya, akan membentuk huruf U menghadap ke bagian yang lebih tinggi.

f. Garis kontur pada bukit atau cekungan membentuk garis-garis kontur yang menutup-melingkar.

g. Garis kontur harus menutup pada dirinya sendiri.

h. Dua garis kontur yang mempunyai ketinggian sama tidak dapat dihubungkan dan dilanjutkan menjadi satu garis kontur.

10.4 Kemiringan Tanah dan Kontur Gradient


Kemiringan tanah a adalah sudut miring antara dua titik = tan-1(D hAB/sAB). Sedangkan kontur gradient b adalah sudut antara permukaan tanah dan bidang mendatar..

Gambar 4.6: Kemiringan tanah dan kontur gradient

Titik-titik yang menggambarkan kontur gradient harus dipilih dalam pengukuran titik detil sehingga dapat dibuat interpolasi linier dalam penggambaran garis kontur di daerah pengukuran.

10.5 Kegunaan Garis Kontur


Selain menunjukkan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur juga dapat digunakan untuk:



  1. Menentukan potongan memanjang ( profilelongitudinal sections ) antara dua tempat.

  2. Menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan.

  3. Menentukan route / trace dengan kelandaian tertentu.

  4. Menentukan kemungkinan dua titik di langan sama tinggi dan saling terlihat

10.6 Penentuan dan Pengukuran Titik Detil Untuk Pembuatan Garis Kontur


Semakin rapat titik detil yang diamati, maka semakin teliti informasi yang tersajikan dalam peta. Dalam batas ketelitian teknis tertentu, kerapatan titik detil ditentukan oleh skala peta dan ketelitian (interval) kontur yang diinginkan.
Pengukuran titik-titik detil untuk penarikan garis kontur suatu peta dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

10.6.1 Pengukuran tidak langsung


Titik-titik detil yang tidak harus sama tinggi, dipilih mengikuti pola tertentu, yaitu: pola kotak-kotak (spot level), pola profil (grid) dan pola radial. Titik-titik detil ini, posisi horizontal dan tingginya bisa diukur dengan cara tachymetri - pada semua medan, sipat datar memanjang ataupun sipat datar profil - pada daerah yang relatif datar.

Pola radial digunakan untuk pemetaan topografi pada daerah yang luas dan permukaan tanahnya tidak beraturan.

10.6.2 Pengukuran langsung

Titik-titik detil ditelusuri sehingga dapat ditentukan posisinya dalam peta dan diukur pada ketinggian tertentu - ketinggian garis kontur. Cara pengukurannya bisa menggunakan cara tachymetri atau cara sipat datar memanjang dan diikuti dengan pengukuran polygon.

Cara pengukuran langsung lebih rumit dan sulit pelaksanaannya dibanding dengan cara tidak langsung, namun ada jenis kebutuhan tertentu yang harus menggunakan cara pengukuran kontur cara langsung, misalnya pengukuran dan pemasangan tanda batas daerah genangan.

10.7 Interpolasi Garis Kontur


Pada pengukuran garis kontur cara langsung, garis-garis kontur sudah langsung merupakan garis penghubung titik-titik yang diamati dengan ketinggian yang sama, sedangkan pada pengukuran garis kontur cara tidak langsung umumnya titik-titik detil itu pada ketinggian sembarang yang tidak sama. Bila titik-titik detil yang diperoleh belum mewujudkan titik-titik dengan ketinggian yang sama, maka perlu dilakukan interpolasi linier untuk mendapatkan titik-titik yang sama tinggi. Interpolasi linier bisa dilakukan dengan cara: taksiran, hitungan dan grafis.

10.7.1 Cara taksiran (visual)


Titik-titik dengan ketinggian yang sama secara visual diinterpolasi dan diinterpretasikan langsung di antara titik-titik yang diketahui ketinggiannya.

10.7.2 Cara hitungan (numeris)


Cara ini pada dasarnya juga menggunakan dua titik yang diketahui posisi dan ketinggiannya, hanya saja hitungan interpolasinya dikerjakan secara numeris (eksak) menggunakan perbandingan linier.

Pada Gambar 10.14 di atas, titik R yang terletak pada garis ketinggian + 600 berada pada jarak BR =(D hBR / D hBC) ´ jarakBC.

10.7.3 Cara grafis


Pada kertas transparan, buat interpolasi dengan membuat garis-garis sejajar dengan interval tertentu pada selang antara dua titik yang sudah diketahui ketinggiannya. Kemudian plot salah satu titik pada kertas transparan. Titik ini kemudian diimpitkan dengan titik yang sama pada kertas gambar dan keduanya ditahan berimpit sebagai sumbu putar. Selanjutnya putar kertas transparan hingga arah titik yang lain yang diketahui ketinggiannya terletak pada titik yang sama pada kertas gambar. Maka dengan menandai perpotongan garis-garis sejajar denga garis yang diketahui ketinggiannya diperoleh titik-titik dengan ketinggian pada interval tertentu.

Pertanyaan dan Soal Latihan


1. Dari sebuah peta topografi yang dibuat oleh BAKOSURTANAL atau peta geologi dari Dir. Geologi di Bandung pada skala tertentu, misalnya 1 : 50 000:

a. Amati dan catat interval kontur yang ada serta catat jarak dua kontur di peta. b. Perbesar peta ini, misal dengan mesin copy hingga 200%.

b. Ulangi pengamatan seperti di 1.a. Apa yang terjadi ?

c. Bandingkan peta untuk tempat yang sama dengan peta rupabumi dari BPN Apa yang terlihat ? Kesimpulannya ?

2. Tarik garis kontur dengan interval 2.5 m dan indeks kontur tiap kelipatan genap 10 m dari data ukur pengukuran kontur cara grid yang sudah diplot pada sket berikut. Pada satu kotak = (1 cm x 1 cm) = (500 m x 500 m).

a. Apakah ada bukit dan cekungan ? Bila ada tunjukkan letaknya.

b. Berapa garis kontur terendah dan tertinggi ?

3. Buat pola garis kontur pada:



  1. Sekitar suatu sungai bertanggul di kanan dan kiri.

  2. Jalan menurun yang di salah satu sisinya terdapat sungai kecil dan sawah di sisi lainnya.

4. Pada pengukuran batas genangan suatu bendung, akan ditentukan batas genangan tertinggi pada ketinggian + 775.500 m. Bagaimana cara menentukan lokasi titik-titik ini di lapangan bila pengukuran dimulai dari BM (bench mark) BS-01 di dekat lokasi sumbu bendung dengan ketinggian + 774.795 m ?

Bila bacaan benang tengah sipat datar pada rambu di BM-01 = 1.937 m, maka tentukan berapa seharusnya bacaan benang tengah pada rambu yang berdiri tepat di ketinggian + 775.500 m.

Rangkuman


Garis kontur menghubungkan titik-titik dengan ketinggian sama. Pada daerah landai garis kontur jarang dan semakin rapat pada derah yang semakin terjal. Interval kontur dipengaruhi oleh bentuk medan dan skala peta yang berkaitan dengan tujuan pemakaian peta. Membesarkan peta dari peta skala kecil menjadi peta skala besar akan diperoleh peta dengan informasi yang "hilang" atau tidak tercakup, termasuk garis kontur pada peta skala besar. Berdasarkan pola kontur bisa diinterpretasikan kondisi fisik rupabumi dan dibuat keputusan-keputusan pada pekerjaan perencanaan dan perancangan bangunan rekayasa sipil.

Daftar Pustaka




  1. Purworhardjo, U.U., (1986), Ilmu Ukur Tanah Seri C - Pengukuran Topografi, Jurusan Teknik Geodesi ITB, Bandung, Bab 5.

  2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 5.

  3. Wirshing, J.R. and Wirshing, R.H., (1985), Teori dan Soal Pengantar Pemetaan - Terjemahan, Introductory Surveying, Schaum Series, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1995, Bab 8.

  4. Wongsotjitro, Soetomo, (1980), Ilmu Ukur Tanah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Bab 8.

No comments