Martabat tujuh
Assalamu'alaikum wr.wb...
Martabat tujuh adalah suatu ajaran dalam tasawuf, yang disajikan untuk menjelaskan paham WAHDATUL AL-WUJUD (kesatuan wujud) Tuhan dengan makhluk-Nya. Ajaran martabat tujuh menyatakan Wujud itu hanya satu dan Wujud yang satu itu adalah Wujud al-Haqq (Allah) Subhanahu wa Ta'ala.
Wujud yang satu itu memiliki banyak manifestasi atau penampakan dan memiliki 7 martabat.
Tujuh martabat itu yaitu, :
1. Martabat ahadiah (al-ahadiyyah).
2. Martabat Wahdah (al-wahdah).
3. Martabat wahidiah (al-wahidiyyah.
4. Martabat alam arwah (alam al-arwah).
5. Martabat alam misal (alam al-mitsal).
6. Martabat alam tubuh (alam al-ajsam).
7. Martabat manusia (al-insan).
Tiga martabat pertama adalah martabat ketuhanan (martabah uluhiyyah), adapun empat martabat berikutnya adalah martabat alam dan makhluk (martabah al-kawn wa al-khalq). Martabat kedua sampai dengan ketujuh adalah martabat manifestasi dari Wujud yang Satu, adapun martabat pertama bukanlah manifestasi, tetapi ASLI WUJUD ITU SENDIRI.
Kita coba uraikankan :
1. Wujud pada MARTABAT PERTAMA adalah wujud yang dipandang hanya dari segi Wujud atau Kunhi (hakikat)-Nya.
Wujud yang dipandang hanya dari segi kunhi itu, Tidak dapat diketahui oleh siapa pun ; tidak dapat ditangkap oleh indra, waham, dan akal ; serta tak bisa diana-logikan.
Barang siapa yang ingin mengetahuinya dari segi kunhi, ia hanya akan membuang-buang waktu.
Martabat pertama disebut juga martabat La ta'ayyun (tanpa penentuan/penampakan identitas diri), sedangkan martabat-martabat yang lain adalah ta'ayyunat (ta'ayyunat = bentuk-bentuk penentuan/penampakan identitas diri).
Martabat pertama bukanlah martabat penampakan atau manifestasi, tapi martabat penampakan (al-martabah li al-zuhur), sedangkan yang lainnya adalah martabat-martabat penampakan atau manifestasi (maratib al-zuhur atau maratib al-tajalli).
Martabat pertama Wujud Tuhan, selain disebut martabat Ahadiah (keESAan) dan martabat La ta'ayyun, juga disebut martabat Dzat semata dan martabat Itlaq dan makna penegasian ta'ayyun ada wujudnya pada martabat itu, tetapi dengan pengertian bahwa Wujud pada martabat itu maha suci dari relasi na't dan sifat, bersih dari batasa apa pun, bahkan dari batasan itlaq.
Wujud pada martabat ini adalah KUNHI Allah SWT. Ini adalah martabat tertinggi, dan wujud pada martabat ini adalah wujud aktual, asli, dan bukan penampakan atau manipestasi, bukan wujud ilmi, ide, atau konsep. Sifat dan nama, karena merupakan batasan dan manifestasi, tidak ada pada wujud dalam martabat pertama ini.
Hakikat wujud pada martabat martabat ini tidak diketahui oleh siapa pun selain DIA.
Ia paling sulit untuk dibicarakan, disebut, dan dipikirkan. Disana, sakit sekalian ibarat. Pengetahuan orang arif tentang wujud pada martabat pertama ini hanyalah dalam bentuk Tanzih (pembenaran bahwa Ia Maha Suci) dan Taqdis (pembenaran bahwa Ia Maha Kudus).
2. Wujud pada martabat kedua adalah wujud yang dipandang dari aspek penampakan-Nya pada tahap awal.
Oleh karena itu, martabat kedua, selain disebut martabat Wahdah, juga disebut martabat ta'ayyun awwal (penampakan identitas diri tingkat pertama). Disamping itu, martabat ini disebut juga martabat Hakikat Muhammadiyah (al-haqiqat al-Muhammadiyyaah), dan martabat sifat.
Tatkala Al-haqq Subhanahu Wa Ta'ala ingin melahirkan kehendak :
"Aku adalah harta terpendam, Aku ingin agar dikenal, maka Aku ciptakan makhluk agar melalui makhluk itu mereka (manusia) mengenal-Ku", maka muncul secara global kecantikan-Nya pada cermin Nama-nama dan Sifat-sifat.
Juga dikatakan, bahwa tatkala al-haqq Subhanahu wa Ta'ala ingin bertajalli (menampakan diri) dalam diri-Nya sendiri dengan pengetahuan yang bersifat global maka muncullah wujud-Nya yang mutlak dalam pengetahuan yang global itu dengan semua keadaan-keadaan ketuhanan dan kemakhlukan tanpa pembedaan bagian dengan bagian, maka dinamakan WAHDAH. Jadi, penampakan pada tingkat awal adalah ide-ide tentang diri-Nya dan tentang alam, tapi baru dalam bentuk global.
Seiring dijumpai gambaran dari naskah-naskah tua bahwa ilmu yang bersifat global itu dapat diibaratkan huruf yang banyak yang masih bersatu dalam Tinta di ujung mata pena. Perbedaan antara satu ide dengan ide yang lain, atau antara satu keadaan dengan yang lain belum menampakkan diri.
3. Martabat ketiga selain disebut martabat Wahidiah, juga disebut martabat hakikat manusia (al-haqiqah al-insaniyyah) dan martabat asma' (nama-nama). Ini merupakan penampakan atau manifestasi tingkat kedua (al-ta'ayyun ats-tsani).
"Bahwa al-haqq Subhanahu wa Ta'ala tatkala menghendaki bertajalli pada diri-Nya dengan pengetahuan terperinci, maka muncullah dalam pengetahuan terperinci itu wujud-Nya yang mutlak dengan semua nama dan sifat ketuhanan dan kealaman dengan perbedaan yang nyata antara bagian dengan bagian. Maka wujud (yang muncul) itu dinamakan Wahidiyyah dan haqiqat insaniyyah. Ide-ide yang terperinci ini disebut juga a'yan tsabitah.
Baik ilmu-Nya yang global pada martabat wujud yang kedua maupun ilmu-Nya yang terperinci dalam martabat ketiga tidaklah lain dari Dzat atau Wujud Yang Satu itu sendiri.
Biasanya a'yan tsabitah tidak memiliki wujud, bahkan tidak mencium aroma wujud. Logis dapat dipahami pula bahwa ide-ide yang terdapat dalam ilmu-Nya yang bersifat global pada martabat kedua juga tidak mencium aroma Wujud.
Seperti disinggung di atas, martabat pertama, kedua, dan ketiga, adalah martabat ketuhanan. Hubungan ketiga martabat itu adalah hubungan Dzat Tuhan dengan Sifat dan Nama-Nya.
Wujud-Nya yang hanya satu bisa dipandang dari tiga aspek.
Dipandang dari aspek pertama, Wujud yang satu itu dapat dimaklumi sebagai wujud ; dipandang dari aspek kedua, Ia dapat dimaklumi sebagai wujud yang memiliki ilmu yang bersifat global, dan dilihat dari aspek ketiga, Ia dapa dimaklumi sebagai wujud yang memiliki ilmu yang besifat terperinci.
Urutan tida martabat itu sama sekali tidak menunjukkan perbedaan dan urutan waktu.
Ketiga martabat itu sama-sama Qadim.
4. Martabat keempat, Martabat Alam Arwah.
Tatkala al-haqq Ta'ala menghendaki bertajalli pada bukan diri-Nya, maka Ia ciptakan Nur (cahaya).
Pada ungkapan yang lain dikatan, tatkala al-haqq Subhanahu wa ta'ala munculnya kehendak firman " sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran ', maka Ia Ciptakan Ruh Muhammad "
Dalam pengajaran para penganut martabat tujuh, makhluk pertama yang diciptakan Tuhan disebut antara lain dengan nama Nur Muhammad dan Ruh Muhammad. selanjutnya diajarkan segenap alam lainnya diciptakan dari Nur Muhammad itu.
Alam Arwah dilukiskan dalam pelajaran martabat tujuh sebagai tidak tersusun (tidak murakkab) dan merupakan bayang-bayang dari al-a'yan ats-tsabitah.
Juga arwah dikatakan sebagai makhluk yang seperti (mirif sifatnya) dengan sifat-sifat Tuhan, tidak makan atau tidak minum, mujarrad (sunyi dari materi dan bentuk) tidak dapat dilihat mata kepala, tidak dapat di indra oleh indra lahir, dan tinggi martabatnya.
5. Martabat alam Mitsal.
Alam mitsal itu itu halus (lathief) tidak mengandung bagian-bagian, tidak bidsa dibagi-bagi, tidak bisa dipisah-pisah, tidak bisa disatukan antara yang satu dengan yang lain, tidak seperti tubuh materi yang kasar (katsif), yang mengandung bagian-bagian, bisa dibagi-bagi, bisa dipisah-pisah, dan bisa disatukan dengan yang lainnya.
para malaikat, arwah manusia, para jin, syetan, dan iblis berada dialam mitsal.
Seperti alam arwah, alam Mitsal juga termasuk alam Gaib, yang tidak bisa titangkap dengan panca indra.
Menurut para pengajar martabat tujuhdan penganut wahdatul al-wujud pada umumnya, Ruh Manusia sebelum masuk ke dalam badan materi, berada dalam jasad mitsali di alam mitsal, dan setelah wafat, kembali menjadi jasad misali yang sesuai dengan amal-amalnya di dalam hidupnya bersama badan materi.
bila amal-amal manusia itu buruk, ruhnya dalam alam mitsal, memiliki bentuk yang buruk dan menghitam ; tetapi bila amal-amalnya terpuji, didalam alam mitsal memiliki bentuk yang indah dan putih berseri-seri.
Amal-amal perbuatan manusia juga menjelma menjadi jasad-jasad mitsali di alam mitsal sesuai dengan gambaran dalam hadits Nabi Saw bahwa : amal buruk akan menjelma antara lain menjadi ular atau kalajengking yang menyiksa Ruh (mayyit).
Alam Barzakh atau alam akhirat dengan surga dan neraka, dalam pemahaman penganut Wahdatul al-Wujud, termasuk kepada alam mitsal.
6. Martabat alam ajsam (tubuh-tubuh materi), mengacu kepada segala sesuatu yang kasat mata, dengat sifat-sifat seperti yang telah disebutkan di atas.
Alam ajsam disebut juga alam yang bisa disaksikan (alam syahadah) dan alam mulk (kerajaan materi).
Alam ajsam itu dipersusun dari pada Api, Angin, Air, Tanah, sekalian yang kasar yang menerima bersusun dan bercerai-berai setengah dari setengahnya.
Bagi para ulama penganut martabat tujuh dan para ulama Islam pada umumnya (yang tidak berkenalan dengan kosmologi modern), alam ajsam meliputi bumi dan tujuh lapis langit (yang ditempati bulan, matahari, bintang-bintang, dan langit kursi serta langit arasy. Bumi, bagi mereka, berada dipusat alam semesta dan terkurung dalam lingkaran langit, lingkaran kursi, dan lingkaran arasy. Sembilan lingkaran yang mengurung bumi itu bersifat tembus pandang.
Alam syahadah yang luar biasa luasnya itu dalam penggambaran para penganut martabat tujuh, bila dibandingkan dengan keagungan Tuhan hanyalah seperti satu biji sawi atau satu buih di tengah laut luas tanpa batas.
7. Martabat Insan, disebut juga martabat yang menghimpun (martabah jami'ah), karena menghimpun martabat :
- Jasmani.
- Nurani.
- Wahdah
- Wahidiyah
Dan Ia adalah tajalli atau selubung akhir.
Menurut al-Burhanpuri, bila manusia itu menaik dan muncul pada martabat-martabat tersebut bersamaan dengan keterbukaan batinnya, maka ia disebut Manusia Sempurna (Insan Kamil).
Naik dan keterbukan bathin, kata al-Burhanpuri, dalam bentu yang paling sempurna adalah pada diri Nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW.
Sebutan martabat ketuhanan hanya bole dipakaikan kepada tiga martaba pertam, tidak boleh digunakan untuk empat martabat berikutnya. Demikian pula sebaliknya, sebutan martabat alam atau kemakhlukan hanya boleh digunakan untuk empat martabat terakhir, tidak boleh digunakan untuk tiga martabat pertama, demikian penegasan al-Burhanpuri.
Para pendukung ajaran ini, menurut al-Burhanpuri, terbagi tiga martabat, sebagai berikut :
1. Mereka mengetahui bahwa Allah Ta'ala adalah hakikat segenap alam dengan pengetahuan yang yakin, tetapi tidak menyaksikan Allah Ta'ala pada ciptaan-Nya.
2. Mereka yang menyaksikan Allah Ta'ala pada ciptaan-Nya dalam bentuk penyaksian dengan hati.
Martabat kedua ini lebih tinggi daripada yang pertama.
3. Mereka yang menyaksikan Allah Ta'ala dalam makhluk, dan menyaksikan makhluk dalam Allah, dalam bentuk salah satunya tidak menjadi penghalang bagi yang lain.
Martabat yang akhir ini adalah paling tinggi. Inilah martabat para Nabi Allah, para Wali Allah, dan para Quthub.
Mustahil mencapai martabat pertengahan (kedua) bagi penempuh jalan yang menyalahi syariah dan tarekat, apalagi mencapai martabat yang terakhir (ketiga) yang lebih tinggi dari dua lainnya.
Sumber : Makram Al-banjari ( http://www.facebook.com/profile.php?id=100000375364442 )
No comments
Post a Comment