Breaking News

Ajaran dan Dzikir Tarekat Syattariyah

Bila menyebut sebuah ajaran tarekat, yang paling banyak diajarkan dalam ritualnya adalah dzikir. Dan dzikir adalah salah satu amalan yang paling utama dalam sebuah tarekat. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah Saw. bersabda, ''Ketahuilah bahwa sesungguhnya dzikir itu akan menenangkan hati. Sebaik-baik dzikir adalah dengan membaca Laa Ilaha Illallah.''

Karena itulah, dzikir dan wirid, untuk mendekatkan diri kepada Allah, menjadi hal yang paling utama dalam sebuah tarekat. Demikian halnya dengan Tarekat Syattariyah. Dalam ajaran dan ritualnya, tarekat ini juga banyak melafalkan kalimat-kalimat tauhid dan Asmaul Husna sebagai bagian dari wirid dan dzikir.

Para pengikut tarekat ini akan mencapai tujuan-tujuan mistik (kesufian) melalui kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk menjalaninya, seseorang terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat akhyar (orang-orang terpilih) dan abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir.
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah SWT itu sebanyak gerak nafas makhluk, tetapi yang paling utama di antaranya adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Ketiga kelompok tersebut memiliki metode masing-masing dalam berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan terhadap Allah SWT.
Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca Al Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad. Sedangkan, kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu menyucikan hati. Menurut para tokoh Tarekat Syattariyah, jalan tercepat untuk sampai kepada Allah SWT adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Syattar karena mereka memperoleh bimbingan langsung dari roh para wali.

Ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu tobat, zuhud, tawakal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridha, dzikir, dan musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT). Dzikir dalam Tarekat Syattariyah terbagi dalam tiga kelompok yang semuanya menitikberatkan pada pelafalan Asma'ul Husna (nama-nama Allah SWT). Ketiga kelompok tersebut menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya, dan menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut.

Para pengikut ajaran Tarekat Syattariyah meyakini bahwa menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya akan menjadikan seorang salik (murid) lebih tunduk kepada-Nya. Nama-nama yang dimaksud adalah Al-Qahhar, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir. Setelah merasakan dirinya semakin tunduk kepada Allah SWT, murid dapat menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya, yaitu Al-Malik, Al-Quddus, dan Al-Alim. Sedangkan, nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut di atas adalah Al-Mukmin dan Al-Muhaimin.


Menurut aturan Tarekat Syattariyah, pelafalan dzikir dengan menyebut nama-nama Allah SWT harus dilakukan secara berurutan. Artinya, terlebih dahulu menyebut nama-nama yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kemudian diikuti dengan nama-nama yang berhubungan dengan keindahan-Nya, dan nama-nama yang merupakan gabungan kedua sifat tersebut.

Proses ini dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang hingga hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Apabila hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.

Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:

1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.

2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.

3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.

4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.

5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.

6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.

7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.

Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”. Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:

1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.

2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.

3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.

4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.

5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.

6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.

7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni;

a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.

b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.

c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas.

Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.

Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syaikh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad Saw. lewat Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syaikhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.

Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah Saw. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw., atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali ra., dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw. sebelum melimpahkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.

Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:

Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).

No comments