Breaking News

DEVELOPMENT PLAN-RENCANA TATA RUANG KOTA


Pembangunan kota memerlukan 2 instrumen penting, yaitu pertama development plan dan kedua development regulation. Tanpa kedua instrument tersebut maka pembangunan kota tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Development plan adalah rencana tata ruang kota yang umumnya di semua negara terdiri dari 3 jenjang rencana yang baku, yaitu rencana makro, rencana meso dan rencana mikro. Sedangkan development regulation atau peraturan zonasi adalah suatu perangkat peraturan yang dipakai sebagai landasan dalam menyusun rencana tata ruang mulai dari jenjang rencana yang paling tinggi (rencana makro) sampai kepada rencana yang sifatnya operasional (rencana mikro) disamping juga akan berfungsi sebagai alat kendali dalam pelaksanaan pembangunan kota.

Kedua istrumen pembangunan tersebut umumnya merupakan dokumen yang terpisah. Adalah pemikiran yang keliru apabila menganggap peraturan zonasi merupakan turunan dari suatu rencana atau disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang, seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, pasal 20 ayat 1 huruf f yang bunyinya : Rencana Tata Ruang Nasional memuat, (langsung ke huruf f ) – arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistim nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi ; pasal 26 ayat 1 huruf f yang bunyinyaRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten memuat (langsung ke huruf f ) – ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi, pasal 36 ayat 2. yang bunyinya : peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Dengan pemahaman seperti ini maka tidak dapat dihindari peraturan zonasi akan bersifat localized dan partial. Padahal seharusnya peraturan zonasi bersifat universal dalam arti dimungkinkan beberapa bagian wilayah kota atau bahkan beberapa kota memiliki peraturan zonasi yang sama.
Oleh karena itu hal ini perlu diluruskan. Justru perencanaan merupakan output dari peraturan zonasi. Analog dengan hal tersebut adalah perencanaan arsitektur bangunan. Para arsitek dalam membuat rancangannya tidak bisa membuat design semaunya sendiri tetapi harus mengacu kepada Peraturan Bangunan setempat. Begitu juga dengan perencanaan tata ruang kota tidak bisa dibuat seenak udelnya sendiri tanpa mengacu kepada peraturan zonasi. Bayangkan apa jadinya bila suatu kawasan yang telah ditetapkan untuk tingkat kepadatan tertentu tetapi kemudian direncanakan untuk jenis-jenis perpetakan yang tidak sesuai ? Bisa jadi yang seharusnya direncanakan rumah susun dibuat menjadi rumah mewah atau sebaliknya. Apa jadinya bila sebuah petak tidak ditetapkan lebar minimum depannya ? Bisa jadi rencana perpetakan dengan luas 200 m2 dibuat dengan lebar depan 4 meter dan panjang sisi 50 meter. Apa jadinya bila dimensi jalan yang direncanakan tidak sepadan dengan dimensi perpetakan dan standard hirarki jalan ? Apa jadinya bila penyusunan rencana kota tidak didasarkan pada standard dimensi yang baku dan seterusnya-dan seterusnya. Jadi bukan rencana yang menentukan zoning tetapi zoninglah yang menentukan perencanaan.
Selain itu harus diingat bahwa perencanaan terikat pada suatu dimensi waktu, sedangkan peraturan berlaku selamanya. Apabila peraturan zonasi merupakan bagian yang utuh dari suatu rencana, maka tatkala rencana habis masa berlakunya alias kedaluwarsa , semua peraturan yang terkandung di dalamnya juga ikut kedaluwarsa.
Demikian pula sebaliknya tidaklah lazim bila rencana tata ruang merupakan bagian dari peraturan zonasi, meskipun masih ada beberapa kota di Amerika yang mencantumkan zoning plan sebagai salah satu chapter dalam peraturan zonasi mereka . Masalahnya adalah apabila zoning plan dimasukkan sebagai salah satu chapter dalam peraturan zonasi, selain akan membuat zoning plan tersebut menjadi rigid dan tidak fleksibel juga menyulitkan setiap kali terjadi usulan perubahan rencana karena akan membawa konsekwensi dilakukannya amandemen peraturan zonasi secara terus menerus.
Ringkasnya dapat dikatakan peraturan zonasi adalah buku manual bagi para planner dalam penyusunan rencana kota. Ketiadaan zoning dapat membuat rencana kota bersifat multi tafsir sehingga bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang. Tanpa adanya peraturan zonasi juga akan sangat sulit menyiapkan suatu rencana kota yang sifatnya operasional dan dapat dipertangung jawabkan secara hukum. Rencana Umum Tata Ruang meskipun telah ditetapkan sebagai peraturan daerah, tetapi karena kandungan materinya masih sangat bersifat umum dan konsepsional, belum dapat dijadikan dasar dalam penerbitan berbagai macam perizinan yang menyangkut pembangunan kota. Segala macam bentuk perizinan yang diterbitkan pada dasarnya mengacu kepada rencana mikro (rinci) yang sifatnya operasional. Namun semua produk-produk turunan dari rencana makro, baik rencana meso maupun rencana mikro apabila tidak disusun berdasarkan peraturan zonasi maka tidak akan memiliki dasar hukum yang kuat (statutory planning). Dengan sendirinya semua produk perizinan yang diterbitkan dengan acuan rencana seperti itu dapat dikatakan cacat hukum. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila terjadi konflik penataan ruang antara pemerintah dengan masyarakat yang diselesaikan lewat Peradilan Tata Usaha Negara, seringkali pemerintah dikalahkan. Mengapa ? Karena yang dipakai sebagai acuan oleh pengadilan adalah rencana yang memiliki dasar hukum yang kuat, dalam hal ini Peraturan Daerah tentang Rencana Umum Tata Ruang, meskipun kandungan materi rencana tersebut masih bersifat umum dan konsepsional. Sedangkan yang dijadikan dasar dalam penerbitan berbagai macam perizinan adalah rencana rinci yang kekuatan hukumnya sangat lemah karena penyusunannya tidak didasarkan pada peraturan zonasi dan hanya disahkan dengan Keputusan Gubernur / Walikota ataupun pimpinan dinas terkait.
Dalam praktek penataan ruang, peraturan zonasi lebih penting kedudukannya ketimbang perencanaan dan harus ditetapkan sebagai prioritas dalam penyusunannya . Begitu pentingnya peraturan zonasi ini sehingga ada pendapat yang mengatakan better regulation without planning rather than planning without regulation. Konsepsi increamental planning seperti yang dipraktekkan di Houston dan floating zone sebagaimana yang diberlakukan di Perancis, dapat dikatakan mencerminkan hal tersebut. Houston tidak memiliki zoning plan, sedangkan Perancis menyusun konsepsi zoning plan atas dasar zona existing. Tetapi mereka memiliki regulasi yang kuat untuk alat bernegosiasi, yaitu Houston dengan peraturan land usenya dan Perancis dengan peraturan zonasinya . Demikian juga pengalaman kota Jakarta semasa zaman kolonial dan dua dekade awal kemerdekaan. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menyusun Master Plan kota Jakarta tetapi hanya menyiapkan sebuah peraturan yaitu Kringen Type Verordening 1941 / KTV 1941 ( Peraturan Lingkungan dan Jenis Bangunan 1941 ). Peraturan ini sudah dapat digolongkan sebagai peraturan zonasi dalam bentuk yang sederhana karena materi yang diatur masih sangat terbatas sesuai dengan kondisi kota Jakarta pada saat itu. Namun peraturan inilah yang dipakai sebagai acuan dalam perencanaan bagian-bagian wilayah kota Jakarta seperti Menteng, Kebayoran. KTV 1941 kemudian dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kota Jakarta dan dinyatakan tidak berlaku melalui Perda 6 Tahun 1999
Pada hampir semua negara, peraturan zonasi ditetapkan sebagai peraturan nasional, meskipun yang diatur adalah muatan yang lebih bersifat lokal, seperti di Inggris, Perancis, Jepang , Malaysia dlsbnya. Amerika Serikat juga sampai sekarang masih menetapkan zoning sebagai peraturan nasional dan telah diadopsi oleh banyak kota di sana. Namun masih diberikan kelonggaran bagi setiap kota untuk menyusun peraturan zonasinya sendiri. Demikian juga hendaknya bagi Indonesia , seyogyanya peraturan ini bersifat nasional. Dengan peraturan yang sifatnya nasional, lebih mudah melaksanakan pemaduan serasian rencana tata ruang antar wilayah yang setara.
Selain peraturan zonasi memang ada ketentuan dan peraturan lain yang dikembangkan setelah suatu rencana rinci selesai disusun. Itulah peraturan yang disebut development control plan di Inggris dan beberapa negara persemakmurannya atau urban design guidelines di Amerika Serikat. Peraturan ini sifatnya supplement dan sangat spesifik dan hanya diberlakukan pada zona yang dikategorikan sebagai overlay zone, yaitu kawasan yang minimal memiliki dua kepentingan yang berbeda sehingga memerlukan penanganan khusus. Misalnya pusat kota, daerah bandara dan sekitarnya, kawasan heritage, kawasan tepi air dan lain sebagainya. Sedangkan zoning regulation sifatnya generik dan berlaku umum untuk setiap jengkal lahan perkotaan.
Dalam garis besarnya praktek penyusunan peraturan zonasi di Amerika Serikat telah menghasilkan 5 model zoning, yaitu Euclidean zoning, Performance Zoning, Incentive Zoning, Form based zoning dan Euclidean II zoning.
1. Euclidean zoning :
Disebut demikian karena diadopsi dari nama kota di negara bagian Ohio, yaitu Euclid. Peraturan ini pada awalnya digugat ke pengadilan oleh seorang pemilik tanah dan perkaranya sampai ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menolak gugatan tersebut dengan pertimbangan bahwa pertama ; zoning memperbaiki “ nuisance law” , yang disebabkan karena ada beberapa penggunaan tertentu yang tidak kompatibel dengan penggunaan lain dalam distrik yang sama, kedua ; zoningadalah instrumen perencanaan pembangunan kota yang penting. Keputusan Mahkamah Agung tersebut membuat posisi peraturan zoning secara hukum menjadi lebih kuat. Euclidan zoning kemudian menjadi populer dan banyak ditiru oleh banyak kota kecil dan besar di Amerika, disamping itu juga karena Euclidean zoning sangat mudah dilaksanakan, familiar untuk para planner dan designer professional.
Euclidean zoning dicirikan dengan pengelompokan penggunaan lahan ke dalam distrik geografis dan standar dimensi yang menentukan besaran dan batasan kegiatan yang diperbolehkan pada setiap lot / petak yang direncanakan. Klassifikasi penggunaan dalam Euclidean zoning meliputi ; single family, multi family, commercial dan industrial. Beberapa penggunaan pelengkap diperkenankan dengan atau tanpa syarat untuk menampung kebutuhan penggunaan utama. Standard dimensi meliputi posisi bangunan pada tiap petak, setback, minimum luas, ketinggian maximum, koefisien dasar bagunan dan building envelope.
Dalam perjalanannya Euclidean zoning banyak mendapat kritik karena dianggap tidak fleksibel dan akhirnya disadari tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
2. Performance zoning :
Dikenal juga sebagai “effect based planning”, impact zoning dan point system. Performance zoning menggunakan performance based atau kriteria yang berorientasi kepada tujuan melalui penyiapan parameter penilaian terhadap proyek pembangunan yang diusulkan. Performance zoning menggunakan sistim “point based” ( batasan nilai –nilai dasar dari berbagai parameter pembangunan) dimana pengembang properti untuk pertimbangan bisnisnya dapat meminta keleluasaan /dispensasi terhadap ketentuan tersebut dengan pilihan berikut sebagai kompensasi antara lain membangun perumahan yang terjangkau, menyediakan publicamenities ( ruang terbuka hijau dll ) atau pembangunan mitigasi lingkungan. Beberapa kriteria tambahan juga disiapkan sebagai bagian dari proses penilaian.
Performance zoning memiliki tingkat flexibiltas yang sangat tinggi, rasional, transparan dan akuntabilitas. Performance zoning dapat menampung prinsip-prinsip pasar dan hak kepemilikan pribadi dengan melindungi lingkungannya. Namun performance zoning memiliki prosedur yang rumit dan sulit untuk dilaksanakan.
3. Incentive zoning :
Incentive zoning diberlakukan pertama kali di kota Chicago dan New York, ditujukan untuk menyiapkan reward based system untuk mendorong pembangunan agar mencapai tujuan pembangunan kota sebagaimana yang diinginkan. Batasan-batasan dasar pembangunan ditetapkan dan sebuah daftar kriteria insentip juga disiapkan untuk para pengembang, sehingga mereka dapat memilih akan memanfaatkan atau tidak keleluasaan yang diberikan. Skala reward dikaitkan dengan kriteria insentip memberikan suatu peluang bagi para pengembang untuk membangun proyek sesuai dengan yang mereka inginkan asalkan memenuhi beberapa persyaratan, seperti misalnya untuk pembangunan perumahan yang terjangkau di lokasi yang sama akan memperoleh bonus floor are ratio ( FAR ) atau untuk penyediaan fasiltas umum di lokasi yang sama akan memperoleh bonus ketinggian bangunan. Incentive zoning memungkinkan tingkat fleksibiltas yang sangat tinggi tetapi terlalu rumit untuk dilaksanakan karena harus sering melakukan revisi terhadap zoning.
4. Form based zoning :
Form based zoning berpijak pada peraturan yang diterapkan pada lokasi pembangunan dengan menggunakan 2 kriteria, yakni sesuai dengan ketentuan atau tidak sesuai. Kriteria tersebut bergantung kepada ukuran petak, lokasi, penggunaan dan lain sebagainya. Sistim ini lebih fleksibel dibanding Euclidean Code tetapi juga banyak mendapat kritik karena tidak dilengkapi dengan ilustrasi maupun diagram sehingga sulit untuk diinterpretasikan.
5. Euclidean II Zoning.
Euclidean II zoning masih menggunakan klasifikasi zoning Euclidean yang tradisional, namun sistim zoning diklasifikasikan secara hirarkis dilihat dari dampak negatip yang akan ditimbulkannya. Konsep ini hampir mirip dengan konsep Planned Unit Development ( mixed uses ). Contohnya begini, semua zona disusun dalam suatu peringkat dimana zona industri misalnya ditempatkan pada peringkat tertinggi karena dampak negatipnya yang besar, kemudian disusul oleh kegiatan komersial, rumah susun , rumah tunggal dan seterusnya. Kegiatan yang lebih rendah hirarkinya dapat dapat hadir pada zona yang lebih tinggi misalnya rumah susun diizinkan pada zona komersial atau zona industri, kegiatan komersial dapat diizinkan pada zona industri. Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku sebaliknya. Ueclidean II juga menyertakan sarana kota ( transportasi dan utilitas ) sebagai zoning district yang baru didalam matrix zona yang dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu Publik, Semi Publik dan Privat. Ueclidean II zoning memperkuat konsep mixed use dan menjamin tercapainya pengunaan yang terbaik dan berkualitas tinggi. Juga relatip mudah merubah klasifikasi zona yang sudah ada ke dalam sistim Euclidean II zoning.
Satu-satunya kota di Amerika Serikat yang menolak zoning adalah Houston. Para pemberi suara menolak upaya untuk memberlakukan zoning pada tahun 1948, 1962 dan 1993. Houston dalam pembangunan kotanya menerapkan konsep increamental planning, yaitu suatu prinsip melakukan perencanaan land use secara bertahap sesuai permohonan atau usulan yang diajukan tanpa melalui zoning plan. Namun setiap usulan dinilai dengan menggunakan peraturan tata guna lahan yang sebetulnya pada hakekatnya tidak lain adalah juga peraturan zonasi.
2.4. Zoning di Indonesia
Penerbitan KTV 1941 (peraturan tentang lingkungan dan jenis bangunan) untuk kota Jakarta oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1941 dapat dikatakan merupakan awal kehadiran peraturan zonasi di Indonesia. Dalam perjalanannya terutama pada era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, KTV 1941 dianggap sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan pembangunan kota pada saat itu, karena :.
Pertama ; KTV 41 sama sekali belum mengatur tentang pembangunan bangunan tinggi dan kedua ; karena klasifikasi zonasi yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan pertumbuhan kota Jakarta sebagai kota metropolitan. KTV 41 menetapkan klasifikasi zonasi menjadi 3 kategori utama, yaitu zona urban , zona rural dan zona umum. Ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam peraturan pembangunan sub zona rural terutama tentang batasan minimum luas petak, KDB, serta pemanfaatan lahannya semata untuk lahan pertanian menjadi kendala bagi pembangunan Jakarta.
Untuk menutupi kekurangan tersebut maka pada tahun 1975 diterbitkanlah Peraturan Daerah No.4 Tahun 1975 tentang Ketentuan Bangunan Bertingkat di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta . Setelah itu berbagai Keputusan Gubernur yang terkait dengan pembangunan kota juga diterbitkan (SK Gub No. 540, SK 640, SK 678 dan lain sebagainya). Semua peraturan tersebut tersebar dalam beberapa dokumen yang terpisah dan satu sama lainya tumpang tindih dan kadang saling bertentangan. Disamping itu dari sisi hukum, SK Gubernur kekuatan hukumnya sangat lemah.
Akhirnya Perda 6 Tahun 1999 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DKI Jakarta, menyatakan bahwa KTV 41 tidak berlaku lagi dan diamanatkan untuk segera menyusun peraturan zonasi sebagai gantinya. Sebenarnya upaya untuk menyusun peraturan zonasi di Jakarta sudah dimulai pada awal tahun 1980- an dan kebetulan penulis termasuk yang ditugasi menyusun Peraturan dimaksud. Pekerjaan dimulai dengan mengumpulkan dan mempelajari peraturan zonasi yang berlaku pada beberapa kota di dunia  dan setelah mencari model yang kira-kira sesuai dengan kondisi Jakarta, akhirnya peraturan zonasi untuk Jakarta berhasil disusun pada tahun 2002 tetapi masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah. Naskah Raperda tentang zonasi ini bahkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, cq Dinas Tata Kota telah desiminasikan ke berbagai instansi dan perguruan tinggi, antara lain Dinas-dinas teknis di lingkungan Pemda, Bappeda, Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Bappenas, ITB, UI dan lain-lain. Hasil positipnya adalah kesadaran tentang pentingnya peraturan ini semakin meluas dan apa yang selama ini diharapkan yaitu agar peraturan zonasi menjadi salah satu ketentuan perundangan berhasil diwujudkan. Namun sayangnya raperda dimaksud sampai hari ini belum disahkan menjadi perda karena tidak adanya political will ditingkat pimpinan DKI untuk menyelesaikannya.
Sebagai kesimpulan dapat disampaikan bahwa kelahiran zoning di Amerika maupun Inggris mempunyai latar belakang yang hampir serupa yaitu untuk mengendalikan keserakahan pengusaha properti maupun industri. Sehingga tidaklah salah apabila ada beberapa pakar perencanaan kota memberi respons positip tentang zoning antara lain Robert Hood yang menyatakan bahwa zoning adalah langkah awal menuju community planning di mana milik perorangan tunduk terhadap kepentingan kesejahteraan masyarakat dan Hugh Ferris yang menyatakan bahwa zoning adalah dimensi demokratik dalam pembangunan kota karena melindungi hak publik terhadap hak property yang semula tidak terbatas.
Di Indonesia yang mendorong Pemerintah Hindia Belanda menyusun KTV 1941 adalah sebagai respons terhadap berbagai permasalahan lingkungan kota tua saat itu akibat munculnya hunian-hunian kumuh yang tidak hygienis .Perencanaan sebagian daerah Menteng dan Kebayoran Baru dibuat berdasarkan peraturan tersebut. Sampai saat ini tidak ada kawasan yang bisa menandingi perencanaan daerah Menteng dan Kebayoran, sekalipun Pondok Indah ataupun Simprug. Tetapi sayangnya kondisi Menteng dan Kebayoran sekarang ini secara perlahan tetapi pasti sedang menuju degradasi lingkungan yang parah. Semuanya diawali dengan kemunculan berbagai kegiatan yang tidak kompatibel dengan penggunaan lahan di kedua wilayah tersebut.
Sejarah yang terjadi di Inggris dan Amerika Serikat berulang dinegeri ini. Keserakahan pengusaha properti, kevakuman peraturan zonasi, ditambah lagi dengan adanya kewenangan yang tumpang tindih di sini, itulah yang antara lain menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Konon sebelum era otonomi daerah dimulai kewenangan yang tumpang tindih itu memang tidak bisa dihindari. Kanwil-kanwil yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah seperti Kanwil Perdangangan, Perindustrian, Pariwisata, Kesehatan dan lain sebagainya lebih setia kepada pimpinannya di pusat ketimbang pimpinannya di daerah. Dalam menerbitkan izin usaha perdagangan, industri, hotel, rumah sakit, rumah makan dan lain-lain , para Kanwil tidak mau mengacu dan bahkan tidak mau peduli dengan rencana tata ruang . Meskipun peruntukannya tidak sesuai asalkan ada keterangan domisili dari lurah dan rekomendasi Undang-undang Gangguan ( hinder ordonansi ) dari Biro Kamtib maka izin diterbitkan. Sedangkan di negerinya Paman Sam semua perizinan yang bersifat penggunaan non residential diharuskan memiliki Sertifikat Penggunaan Zoning.
Munculnya berbagai kegiatan yang tidak kompatibel di wilayah Menteng, Kebayoran Baru, Kemang adalah akibat kewenangan yang tumpang tindih itu. Dari sisi penataan ruang jelas hal tersebut menyimpang tetapi dari sisi izin usaha seratus persen legal. Anehnya setelah segala kewenangan tersebut diserahkan kepada dinas-dinas terkait di daerah mengapa praktek sesat tersebut masih berlanjut ? Dinas-dinas daerah sampai saat ini  masih meneruskan kebijakan yang salah kaprah tersebut.

No comments