Breaking News

Syattariyah: Tarekat dari Negeri Hindustan (1)



Sejarah Tarekat SyattariyahTarekat Syattariyah pertama kali muncul di Hindustan (India) pada abad ke-15. Seperti tarekat lainnya, nama tarekat ini juga dinisbatkan pada tokoh yang menjadi pembawa atau pelopornya, yakni Syaikh Abdullah Asy-Syattar. Tarekat ini pernah menduduki posisi penting di dunia Islam karena pengaruhnya yang besar dan mendapatkan sambutan luas dari masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia.

Meski di banyak negara Muslim ajaran yang dibawa oleh Syaikh Abdullah Asy-Syattar dikenal dengan nama Tarekat Syattariyah; di beberapa tempat, seperti Iran dan kawasan Transoksania (Asia Tengah), ia lebih dikenal dengan nama lain. Di kedua wilayah ini, ajaran Syaikh Abdullah Asy-Syattar lebih dikenal dengan nama Isyqiyah karena Syaikh Abu Yazid Al-Isyqi dianggap sebagai tokoh utamanya. Sedangkan, di wilayah Turki Utsmani (Kerajaan Ottoman), tarekat ini disebut Bistamiyah.

Dalam perkembangannya, Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari kelompok sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat yang berdiri sendiri dan memiliki karakteristik dalam hal keyakinan dan praktik. Sementara itu, mengenai sang tokoh, yakni Syaikh Abdullah Asy-Syattar, hanya sedikit riwayat yang bisa diketahui. Ia adalah keturunan Syaikh Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara (Samarkand). Di sinilah, dia diresmikan menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Syaikh Muhammad Arif.

Nisbah Asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbat), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Syaikh Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga).

Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, Syaikh Abdullah Asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula, ia tinggal di Jawnpur. Kemudian, pindah ke Mondu, sebuah kota Muslim di daerah Malwa (Multan). Keputusan yang diambilnya ternyata tepat karena di sinilah akhirnya dia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah. Tidak diketahui, apakah perubahan nama dari Tarekat Isqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India atau atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya pada tahun 1428 M.

Sepeninggal Syaikh Abdullah Asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A’la, sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari. Salah seorang murid yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Syattariyah sebagai satu tarekat yang berdiri sendiri adalah Syaikh Muhammad Ghaus dari Gwalior (wafat 1526 M), keturunan keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.

No comments